MAKALAH
diajukan guna melengkapi tugas mata kuliah Sejarah
Lisan dengan dosen pengampu
Drs.
Marjono, M.Hum
Oleh
Kelompok 4
1.
Muh. Anwari NIM 140210302066
2.
Diah
Arum Yuli L NIM 150210302024
3.
Sigit
Efendy NIM 150210302094
PROGAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2018
PRAKATA
Puji
syukur kepada Allah SWT, atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas mata kuliah Sejarah Lisan yang berjudul “Prosedur Sejarah Lisan”.
Penyusunan
tugas mata kuliah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Saya
menyampaikan terima kasih kepada:
1.
Drs.
Marjono, M.Hum selaku dosen pengampu mata kuliah Sejarah
Lisan
2.
Teman-teman kelas A yang
mengampu mata Sejarah Lisan.
Kami
menerima segala kritik serta saran dari semua pihak untuk membangun serta
kesempurnaan tugas ini. Akhir kata, semoga tugas ini dapat bermanfaat.
Jember, Maret 2018 Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut Darban (1997:1) sejarah
lisan merupakan salah satu sumber sejarah yang dapat secara sah digunakan untuk
penulisan sejarah. Cikal bakal kelahiran sejarah lisan bermula dari gugatan
sejarawan amerika terhadap pemikiran dan adagium Charles-Victor Langois dan
Charles Seignobos yang menyatakan bahwa tidak ada yang bisa menggantikan fungsi
sumber tertulis untuk merekonstruksi masa lalu dan secara demonstratif
mempopulerkan adagium no document, no
history[1].
Sejarawan Amerika berpendapat bahwa
sebagian besar masa lampau bangsa Amerika tidak ada dalam catatan-catatan
tertulis, sehingga timbul usaha untuk merekam pengalaman orang tua yang dalam
membangun Amerika. Oleh karena hal tersebut sejarah lisan dimulai tahun 1930
dan tahun 1948 dibangun pusat sejarah lisan di Universitas Columbia, New York
(Syukur, 2006:2).
Sejarah
lisan mulai muncul di Indonesia pada tahun 1964 yang digagas oleh Nugroho
Notosusanto dengan proyek monumen nasionalnya yang mengumpulkan data-data
sejarah Revolusi Indonesia 1945-1950 dengan kerja lisanya dipusatkan pada
keberhasilan para perwira TNI Angkatan Dasat menggagalkan kudeta Gerakan 30
September 1965, dan sejarah lisan di Indonesia menjadi semakin kokoh setelah
ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia) melakukan proyek sejarah lisan dengan
penanggung jawab Soemartini (Kepala ANRI 1971-1991).
Untuk
mendapatkan informasi atau data sejarah seperti halnya sejarah tertulis dalam
sejarah lisan juga mempunyai metode sejarah lisan yang terdapat tahapan atau
prosedur yang harus dilakukan. Makalah ini disusun untuk mengkaji lebih dalam tentang prosedur sejarah lisan
yang secara garis besar terdiri dari tiga tahapan yaitu tahap persiapan, tahap
pelaksanaan, dan tahap transkripsi.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang
permasalahan di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah.
1. Bagaimana
Prosedur Pengambilan Data Pada Sejarah Lisan?
1.3 Tujuan
Berdasarkan
rumusan permasalahan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam makalah ini
adalah.
1. Untuk
mengkaji secara mendalam prosedur pengambilan data pada sejarah lisan.
1.4 Manfaat
Berdasarkan
tujuan makalah di atas, maka makalah ini diharapkan dapat bermanfaat.
1. Bagi
penulis dapat memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Lisan dengan tema Prosedur
Sejarah Lisan.
2. Bagi
pembaca dapat mengetahui dan mempelajari tentang Sejarah Lisan dengan tema Prosedur
pengambilan data sejarah lisan untuk menambah wawasan pengetahuan.
BAB 2.PEMBAHASAN
Secara
garis besar sejarah lisan mulai muncul di Indonesia pada tahun 1964 yang
digagas oleh Nugroho Notosusanto dari Universitas Indonesia dengan proyek
monumen nasionalnya yang mengumpulkan data-data sejarah Revolusi Indonesia
1945-1950 dengan kerja lisannya dipusatkan pada keberhasilan para perwira TNI
Angkatan Dasar menggagalkan kudeta Gerakan 30 September 1965, dan sejarah lisan
di Indonesia menjadi semakin kokoh setelah ANRI (Arsip Nasional Republik
Indonesia) melakukan proyek sejarah lisan dengan penanggung jawab Soemartini (Kepala
ANRI 1971-1991) yang dibantu oleh empat sejarawan yaitu Sartono Kartodirjo,
Taufik Abdullah, Abdurachman Surjomiharjo, dan A.B Lapian[2].
Sejarah
lisan diartikan sebagai sumber sejarah yang keberadaannya di dalam lingkungan
manusia yang mengikuti kejadian atau menjadi saksi atas terjadinya peristiwa
sejarah atau peristiwa yang terjadi pada masa lampau yang diuraikan dengan
lisan (Darban dalam Dienaputra, 2013). Menurut Lapian (1981) dan A.Gazali Usman
(1983) menyatakan bahwa sejarah lisan dipahami sebagai rekaman pita hasil
wawancara tentang peristiwa-peristiwa sejarah yang dialami oleh pengisah pada
masa lampau[3].
Jadi dapat disimpulkan bahwa sejarah lisan sebagai sumber sejarah yang ada
dalam kalangan manusia yang diuraikan dengan lisan dan hasilnya berupa rekaman pita
yang diuraikan oleh pengisah yang mengikuti atau menjadi saksi atas terjadi
peristiwa sejarah pada masa lampau.
Untuk mendapatkan informasi atau
data sejarah seperti halnya sejarah tertulis dalam sejarah lisan juga mempunyai
metode sejarah lisan yang dinyatakan oleh Joze Rizal Chaniago dalam Dienaputra
(2013) merupakan teknik pengumpulan data melalui wawancara yang direkam oleh
seseorang pewawancara atau pencari sumber data dengan pengisah yang bercerita
tentang apa yang dialami, dirasakan dan dipikirkan ketika peristiwa sejarah
terjadi. Oleh karena itu syarat awal dalam mencari sumber data dengan metode
sejarah lisan meliputi adanya pewawancara, pengisah, dan alat rekam.
Seperti halnya metode sejarah, pada
metode sejarah lisan juga terdapat tahapan atau prosedur yang harus dilakukan.
Secara garis besar terdapat tiga tahapan atau prosedur kerja dalam metode
sejarah lisan, yang meliputi tahapan persiapan, tahapan kedua meliputi
pelaksanaan, dan tahapan terakhir berupa pembuatan indeks dan transkripsi[4].
Menurut Darban (1997:2) sebelum
menentukan sumber sejarah lisan atau pengisah diperlukan beberapa seleksi
secara kritis dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Kesehatan
sumber lisan, dalam hal ini yang perlu diperhatikan mengenai kesehatan pengisah
secara sehat mental, rohani dan jasmaninya.
2. Pembohong/pembual
yang hal ini perlu dicarikan keterangan, apakah sumber lisan pembohong/pembual
atau tidak. Hal ini juga dapat digunakan perbandingan wawancara dengan sumber
lisan lainnya.
3. Melihat
usia sumber lisan yang artinya bahwa dalam hal ini pewawancara secara kritis
harus memperhatikan perbandingan antara umur pengisah dengan peristiwa yang
diinformasikan.
2.1 Tahap Persiapan
Praktek
sejarah lisan dimulai dengan kegiatan persiapan yang memainkan peranan
signifikan untuk menentukan suksesnya tidaknya kegiatan penggalian sejarah.
1. Perumusan
Topik penelitian
Langkah
awal dalam tahap persiapan prosedur sejarah lisan yaitu perumusan topik
penelitian. Ada empat perimbangan dalam menentukan topik penelitian, yaitu
a. Interested
topic merupakan topik yang menarik untuk diteliti sesuai minat peneliti dan
tidak perlu dipaksakan harus menarik atau sesuai pula dengan minat orang lain.
b. Manageable
topic, yaitu topik yang diteliti ada dalam tiga jangkauan kemampuan :
1) Kemampuan
intelektual yang berkaitan dengan kemampuan akademis peneliti di dalam mengolah
dan mengerjakan topik yang akan diteliti.
2) Kemampuan
finansial tentang kemampuan ekonomi penggali sejarah lisan dalam mengolah dan
menyelesaikan topik yang akan diteliti.
3) Kemampuan
atau ketersediaan waktu yang dipahami sebagai adanya kesesuaian antara waktu
yang dimiliki penggali sejarah lisan dengan rentang waktu yang diperlukan untuk
menyelesaikan penggalian sejarah lisan sesuai topik yang dipilih.
c. Obtainable
topik, merupakan sumber (pengisah) yang diperlukan untuk menggali sejarah lisan
yangs esuai dengan topik yang telah dirumuskan masih hidup dan relatif mudah untuk
dijangkau.
d. Significance
of topic, yakni topik yang cukup penting untuk diteliti. Pertimbangan dalam
menentukan topik ini bisa jadi sangat relatif sekali, terutama manakala hal
tersebut dikaitkan dengan orang lain di luar penggali sejarah lisan.
2. Penetapan
judul penelitian
Bila
topik diibaratkan sebagai judul besar maka judul sendiri diibaratkan sebagai
bentuk yang lebih spesifik dari topik. Judul sebaiknya terdiri dari dua
variabel yang saling berkaitan. Untuk memilih judul yang terbik sebuah
penelitian sejarah lisan pada dasarnya parameternya sama dengan yang digunakan
dalam memilih topik dalam memilih judul penelitian.
3. Pemahaman
Masalah
Memahami
masalah yang akan diteliti perlu dilakukan sebelum penggalian sejarah lisan
dilakukan, penggali sejarah lisan telah memiliki bekal awal tentang peristiwa
atau materi yang akan ditelitinya. Upaya memahami masalah dapat dilakukan
melalui pendekatan konvensional dan pendekatan non konvensional. Pendekatan
konvensional dilakukan dengan melacak terlebih dahulu memlaui sumber-sumber
tertulis, baik di lembaga-lembaga kearsipan maupun perpustakaan. Pendekatan non
konvensional dilakukan dengan melacak materi atau peristiwa yang akan diteliti
melalui internet.
4. Pembuatan
Kerangka Penelitian
Kerangka
penelitian bagi penggalian sejarah lisan penting untuk dibuat karena dapat
petunjuk tentang informasi sejarah lisan yang diperlukan. Kerangka penelitian
sebagai penjabaran lebih lanjut dari judul yang telah ditetepkan akan dapat
memberi penjelasan yang lebih rinci tentang informasi sejarah lisan apa yang
diperlukan dan penting untuk digali. Tidak ada aturan baku yang menentukan
tentang banyaknya bab yang termuat dalam sebuah kerangka penelitian. Pada
umumnya kernagka penelitian terdiri empat bab yang terdiri dari bab pertama bab
pendahuluan, bab kedua dan ketiga berisi pembahasan atau inti jawaban
penelitian, dan bab keempat merupakan simpulan.
5. Pembuatan Kendali Wawancara
Kendali wawancara memiliki fungsi sebagai
alat pancing untuk memperoleh informasi sejarah lisan sebagaimana yang
diinginkan. Dengan demikian, kendali wawancara selalu memiliki keterkaitan erat
dengan kerangka sementara. Apa yang sudah diuraikan dalam kerangka sementara
kemudian dijabarkan lebih lanjut kedalam kendali wawancara. Dalam hal ini
kelanjutan dari kerangka sementara adalah berupa bertanyaan.
Pertanyaan-pertanyaan yang dimuat dalam kendali wawancara haruslah dibuat
sederhana mungkin tetapi jelas dan mudah dipahami. Pertanyaan yang diajukan
harus mempunyai 5 hal yang penting, yaitu who, what, when, where, why, dan how.
(Dienaputra, 2013:39-40).
6.
Inventarisasi dan Seleksi Pengkisah
Pada langkah kegiatan ini, inventarisasi
dipahami sebagai proses penyusunan daftar pengkisah sesuai dengan derajat
perannya dalam peristiwa sejarah serta perluasan daftar pengkisah yang akan
digali sejarah lisannya. Akan menjadi baik kiranya bila daftar pengkisah ini
dibuat sebanyak mungkin. Adapun yang dimaksud pengkisah (interviewee) adalah saksi hidup yang menceritakan kesaksiannya
melalui wawancara yang direkam dalam alat rekam. Kesaksian lisan dari tangan
pertama, bias berupa peristiwa tertentu yang dialami sendiri, dirasakan
sendiri, didengar sendiri, dilihat sendiri, atau difikirkan sendiri secara
langsung oleh pengkisah.
Setelah inventarisasi dilakukan, maka
dilakukan seleksi pengkisah. Seleksi pengkisah yang paling sederhana menyangkut
dua hal, pertama, usia. Seleksi usia dilakukan untuk mengetahui kezamanan
pengkisah dengan peristiwa yang akan digali sejarahnya. Seleksi kedua,
berkaitan dengan kesehatan mental. Kesehatan mental menjadi persyaratan penting
selanjutnya yang perlu dimiliki pengkisah. Hal itu tidak saja berkait dengan
kemampuan untuk menyampaikan sejarah lisan tetapi juga berkait erat dengan
kemampuan untuk mengingat dengan baik peristiwa-peristiwa sejarah terpilih yang
ada didalam memorinya. (Dienaputra, 2013:40-41)
7.
Kontak dengan Pengkisah
Kontak dengan pengkisah dimaksud untuk
memperkenalkan diri, menyampaikan maksud dan tujuan, serta sekaligus membuat
janji wawancara. Ada baiknya sebelum kontak dilakukan, pewawancara berupaya
mengenal terlebih dahulu profil calon pengkisah, baik melalui orang-orang yang
mengetahui tentang jati diri pengkisah maupun melalui bacaan-bacaan. Kontak
awal dengan pengkisah pada dasarnya akan turut menentukan sukses tidaknya
pengalian sejarah lisan yang akan dilakukan. Maka kontak awal dengan pengkisah
pun harus dilakukan secara hati-hati agar dapat menimbulkan kesan awal yang
baik dari pengkisah. Untuk mencapai itu semua, factor penampilan dan kesantunan
dalam berbicara benar-benar harus diperhatikan dengan baik. Haruslah diupayakan
bahwa kontak awal tersebut dapat menimbulkan rasa nyaman dan senang pada
pengkisah. (Dienaputra, 2013:41-42)
8.
Pengenalan Lapangan
Pengenalan lapangan disini dimaksudkan sebagai
upaya mengenal medan tempat wawancara akan dilakukan. Ada dua hal yang menjadi
dasar perlunya pengenalan lapangan dilakukan. Pertama, bila kontak awal dengan
pengkisah dilakukan dengan tidak mendatangi langsung tempat tinggal pengkisah.
Kedua, bila ternyata dari dari kontak awal yang dilakukan, pengkisah memutuskan
bahwa wawancara tidak diadakan di tempat tinggal pengkisah tetapi di tempat
lain yang telah di tentukan, misalnya di kantor tempat pengkisah bekerja.
Pewawancara harus sangat tau lapangan yang
akan dibuat wawancara, baik dari jarak waktu tempuh serta kondisi sarana dan
prasarana yang dibutuhkan dilapangan. Tempaknya memang menjadi hal yang sepele
tetapi dalam hal ini memang sangat dibutuhkan oleh seseorang pewawancara dalam
mengenali kondisi lapangan (Dienaputra, 2013:43-44).
9.
Pengenalan Alat Rekam
Keberadaan alat rekam bagi seorang peneliti
sejarah lisan dalam kegiatan pengalian sejarah memang sangat diperlukan.
Seperti halnya seorang prajurit dalam berperang harus memiliki sebuah senjata
untuk berperang. Alat rekam yang baik adalah alat rekam yang jernih daya
tangkapnya, selain itu juga sederhana, mudah dibawa, dan untuk menjalankannya
dapat menggunakan energy listrik maupun baterai. Sangat diajurkan dan harus
dipahami oleh seorang peneliti sebelum menggunakan alat rekam harus dicoba
terlebih dahulu. Baik kondisi alat rekam serta daya tangkap dan radius yang
dimiliki oleh alat perekam tersebut. Tujuannya, untuk mengetahui kelayakan alat
rekam tersebut sebelum digunakan dilapangan atau digunakan untuk mengali
sejarah lisan yang diteliti (Dienaputra, 2013:44-45).
2.2 Tahap Pelaksanaan
Pelaksanaan pencarian data pada
sejarah lisan dengan teknik wawancara memerlukan persiapan yang telah
dijelaskan sebelumnya. Hal ini berbeda dengan wawancara pada jurnalistik yang
dapat dilaksanakan secara mendadak tanpa persiapan untuk kepentingan
aktualisasi berita. Dalam Dienaputra (2013:46) pelaksanaan praktek sejarah
lisan dibagi menjaadi beberapa langkah yang meliputi pembuatan label wawancara,
pembukaan wawancara, menjaga suasana wawancara, membuat catatan dan mengakhiri
wawancara.
a. Pembuatan
Label Wawancara
Label
wawancara dalam penggalian data sejarah lisan dibuat pada awal dan akhir
wawancara yang meliputi keterangan nama pengisah atau orang yang diwawancara,
nama pewawancara, tanggal dan tempat wawancara, waktu wawancara dan topik atau
judul wawancara[5].
Pembuatan label dalam penggalian informasi sejarah lisan terdapat empat jenis:
1. Label
yang terekam dalam kaset pada awal wawancara
Label wawancara ini dibuat sebelum dilaksanakan
sebelum wawancara dilakukan. Kelebihan pembuatan label wawanara ini akan
membuat suasana wawancara lebih cepat atau tidak akan mengganggu jalannya
wawancara karena tidak terjadi kekosongan waktu, namun terdapat kelemahan yang
perlu diperbaiki apabila waktu wawancara berbeda dengan waktu yang dijanjikan
atau apabila waktu harus diganti dikarenakan pengisah membatalkan wawancara.
2. Label
yang terekam di akhir wawancara
Pembuatan label dengan cara ini memilki kelebihan
dalam hal akurasi waktu serta kepastian tentang pelaksanaan wawancara, namun
memiliki kelemahan yaitu terjadi kekosongan waktu beberapa saat antara pengisah
dan pewawancara pada saat pembuatan label wawancara ke dalam kaset.
3. Label
yang tertulis di kulit kaset dan yang tertulis di kertas pembungkus kaset
Artinya bahwa label wawancara yang berbentuk tulisan
berfungsi untuk memberikan identitas pada kaset hasil penggalian informasi
sejarah lisan.
b. Pembukaan
Wawancara
Tahapan
pelaksanaan metode sejarah lisan yang merupakan bagian terpenting adalah pada
saat pembukaan wawancara. Oleh karena hal tersebut disarankan pembukaan
wawancara dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan yang santai, ringan dan
menyenangkan bagi pengisah misalnya dapat tentang riwayat hidup pengisah.
Tujuan utama pembukaan wawancara adalah untuk menyegarkan ingatan pengisah akan
peristiwa sejarah terpilih yang terdapat di dalam memorinya (Dienaputra,
2013:49).
Pembukaan
wawancara merupakan kunci awal berhasil tidaknya pewawancara menarik perhatian
pengisah sehingga pengisah memberikan keterangan atau pengalaman historisnya
dengan baik. Dalam hal ini diperlukan untuk mengetahui tipologi dan sifat orang
yang akan diwawancarai[6]
diantaranya:
1. Pendiam,
dalam menghadapi sumber lisan pendiam diperlukan ketelatenan, supel dan banyak
inisiatif bertanya ataupun merangsang pembicaraan.
2. Banyak
bicara, pewawancara perlu memiliki sikap sabar dan mengarahkan ke materi pokok
dengan sikap yang baik.
3. Rendah
diri, dalam menghadapi pengisah yang rendah diri maka pewawancara harus
memberikan motivasi bahwasanya informasi yang disampaikan penting bagi
penulisan sejarah.
Hal
lain yang perlu diperhatikan agar pembukaan wawancara berjalan dengan baik,
diperlukan penampilan yang baik bagi pewawancara. Hal ini dinyatakan oleh
Harsono Tjokroaminoto dalam Dienaputra (2013:50) bahwa penampilan pewawancara
pada pandangan pertama oleh pengisah atau sumber lisan memiliki arti yang
signifikan bagi pelaksanaan wawancara selanjutnya, artinya bahwa penampilan
pewawancara yang arogan dan tidak
simpatik, otomatis akan terjadi penolakan oleh pengisah maka akan terjadi iklim
yang tidak nyaman dalam pelaksanaan wawancara selanjutnya. Oleh karena itu
diperlukan sikap manis, murah senyum dan selingan humor untuk menunjang
suksesnya wawancara.
c. Menjaga
Suasana Wawancara
Hal
yang perlu diperhatikan agar terwujudnya wawancara yang sukses yaitu dengan
menjaga suasana selama terjadinya wawancara yaitu suasana saling percaya dan
keterbukaan hubungan antara pewawancara dan pengisah. Upaya menciptakan suasana
wawancara yang baik memiliki persyaratan khusus yang harus dimiliki oleh
pewawancara. Willa K. Baum dalam Dienaputra (2013:52) menyatakan bahwa
pewawancara harus orang yang mampu duduk tenang dan bersedia mendengarkan
pendapat tanpa merasa wajib menyanggah, tidak takut untuk sesekali mengajukan
pertanyaan dan komentar, memiliki pengetahuan yang luas untuk mengetahui
apabila pengisah menyinggung subjek yang tidak direncanakan namun berharga, dan
yang bersikap cukup tegas mengakhiri wawancara tepat pada waktunya. Untuk
menciptakan suasana wawancara yang baik perlu memperhatikan beberapa hal
sebagai berikut:
1. Pertanyaan
disampaikan satu persatu dan dimulai dengan pertanyaan siapa, apa, dimana,
kapan, mengapa atau bagaimana (5W, 1H)
2. Pertanyaan
dibuat dengan singkat dan mudah dipahami oleh pengisah
3. Jangan
memotong pembicaraan pengisah, apabila pewawancara menilai bahwa peristiwa yang
diceritakan pengisah tidak benar.
4. Menjadi
pendengar yang baik selama pengisah menyampaikan keteranganya dengan
memperlihatkan bahasa tubuh ketertarikan pewawancara terhadap
keterangan-keterangan yang disampaikan pewawancara.
5. Apabila
informasi yang disampaikan oleh pengisah kurang jelas, maka pewawancara perlu
bertanya kembali untuk memperjelas informasi.
6. Bersikap
fleksibel dan tidak hanya perpaku pada pertanyaan yang termuat dalam kendali
wawancara.
Darban
(1997:2) menyatakan bahwa dalam menciptakan suasana wawancara perlu
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1. Menciptakan
suasana wawancara yang akrab dan familier antara pewawancara dan pengisah
2. Memberikan
kesempatan sebanyak-banyaknya kepada pengisah atau sumber lisan untuk
mengisahkan sejarahnya
3. Apabila
pengisah sudah terlihat jenuh dan melantur, maka dengan bijak pewawancara
mengarahkan kembali dalam topik atau melakukan refeshing sejenak
4. Apabila
sumber lisan atau seorang terpelajar, agar wawancara lebih berhasil dan
mengarah, dapat dimintakan membaca kendali lebih dahulu, kemudian dilaksanakan
wawancara.
d. Membuat
Catatan
Pembuatan
catatan selama berlangsungnya wawancara dimaksudkan untuk mencatat kata-kata
yang dinilai kurang jelas atau kata-kata yang dianggap penting, misalnya
mengenai nama orang, nama tempat, atau istilah-istilah tertentu yang bersumber
dari bahsa asing atau bahasa derah setempat.
Kata-kata tersebut di koreksi kembali dengan setelah wawancara selesai
kepada pengisah[7].
Pembuatan
catatan juga diperlukan untuk menyikapi kemungkinan munculnya pertanyaan baru
diluar yang tertulis dalam kendali wawancara. Hal ini terjadi paabila pengisah
menyampaikan jawaban yang didalamnya terdapat keterangan menarik yang perlu
dipertanyaan lebih lanjut karena berkaitan langsung dengan penelitian yang
dilakukan.
e. Mengakhiri
Wawancara
Apabila
data yang diperlukan dari pengisah atau sumber lisan sudah memenuhi target yang
diinginkan, maka pewawancara hendaknya segera mengakhiri wawancara untuk
mencegah masuknya informasi-informasi yang tidak relevan dengan topik
penelitian. Hal ini juga berlaku apabila pengisah sudah kelihatan lelah atau
melantur dalam menuturkan kisahnya sebaiknya wawancara segera dihentikan dan
dilanjutkan pada waktu yang lain. Terry dan Baum dalam Dienaputra (2013:54)
mengemukakan bahwa waktu maksimum untuk sekali wawancara dalam kegiatan
penggalian sejarah lisan sekitar 1,5 jam atau 90 menit, apabial lebih dari
waktu tersebut pengisah dan pewawancara seringkali kehilangan konsentrasi
terhadap topik yang dibahsa sehingga tidak banyak hasil yang dapat diperoleh.
Pada
saat wawancara diakhiri harus dilakukan dengan cara yang sesantun, terlebih
yang menjadi alasan perlunya wawancara diakhiri karena kondisi pengisah yang
sudah telihat lelah dan mulai melantur. Apabila wawancara belum mencapai hasil
yang diinginkan, wawancara diakhiri dengan kalimat mengikat dengan tujuan
melakukan wawancara lanjutan pada waktu yang telah ditentukan. Apabila wawancara
sudah berjalan sesuai dengan yang direncakan dan banyak informasi yang berhasil
digali, direkomendasikan sebelum mengakhiri wawancara ada pertanyaan yang dapat
memberikan kesempatan kepada pengisah untuk berkontribusi optimal terhadap
informasi yang dibutuhkan dalam penelitian.
f.
Membuat Surat Pernyataan
Pembuatan
surat pernyataan wawancara bertujuan untuk memperkuat kredibilitas hasil
penggalian sejarah lisan sebagai sumber sejarah serta untuk memberi rasa aman
antara pengisah dan pewawancara apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,
mislnya pemutaran balikan fakta oleh pewawancara maupun pengisah aatu
pengingkaran telah memberikan keterangan tertentu oleh pengisah. Surat
pertanyaan dibuat di atas kertas segel atau kertas bermaterai sesuai peraturan
yang berlaku untuk menjad aspek legalitas hukum dengan baik[8].
Surat pertanyaan wawancara pada
dasarnya dibuat dalam dua model[9].
Model pertama surat pernyataan dibuat setelah wawancara dilakukan yang berisi
keterangan bahwa pengisah benar-benar telah diwawancarai oleh pewawancara
berkaitan dengan judul penelitian, waktu dan tempat yang ditentukan. Model ini
dilaksanakan apabila pewawancara bertemapt tinggal jauh dari tempat tinggal
pengisah atau apabila pengisah tampak telah uzur usianya. Model kedua surat
pernyataan dibuat setelah transkripsi dibuat, atau setelah pengisah membaca
dengan seksama hasil transkripsi wawancara, selanjutnya pengisah mendatangani
transkripsi tersebut dan membuat surat pernyataan yang isinya keterangan telah
diwawancarai serta kebenaran bahwa hasil wawanacra sesuai dengan yang tertulis
dalam hasil transkripsi. Model ini dilaksanakan apabila pewawancara dihadapkan
pada situasi hubungan yang serba mudah dan aman dengan pengisah sehingga tidak
akan sulit untuk dihubungi.
2.3 Indeks dan Transkripsi
Pembuatan
indeks dan transkip dalam metode sejarah lisan dapat di katakan sebagai tahapan
akhir proses penggalian sejarah lisan. Adapun tujuan pembuatan indeks dan
transkip tidak lain untuk mempermudah penggunaan hasil penggalian sejarah lisan
sebagai sumber sejarah. Kedudukan indeks dalam penelitian sejarah lisan dapat
di katakan hampir sama dengan kedudukan daftar isi pada sebuah buku. Sementara
itu, pembuatan transkip di maksudkan untuk mempermudah pengolahan hasil
penggalian sejarah lisan. Dengan melakukan transkip, yang inti kegiatannya
berupa penggalian bentuk lisan ke bentuk tulisan, proses pengolahan sejarah
lisan sebagai sumber sejarah di harapkan menjadi lebih mudah dan lebih cepat.
a. Pembuatan
Indeks
Sejarah
dengan fungsinya, pembuatan indeks haruslah diupayakan mampu memberi gambaran yang
jelas dan utuh tentang isi kaset hasil pengambilan sejarah lisa. Perlu adanya
penguraian yang cermat dan cerdas tentang isi hasil penggalian sejarah lisan
kedalam bagian-bagian tertentu. Secara teknis, ada dua alternatif pilihan dalam
pembuatan indeks.
1. Pembuatan
indeks dengan berdasarkan pada pembagian waktu atau kedalam satuan bentuk menit
ataupun jam. Contohnya : Sisi A, 00.00 riwayat hidup pengkisa, 06.00 masa
pendidikan dasar, 21 masa pendidikan menengah, 28.00 masa pendidikan militer. 34.00 masa
pengabdian sebagai militer, 39.00 masa pengabdian sebagai sipil; Sisi B, 00.00
masa pengabdian menjadi kabinet, 12.00 masa krisis sebagai mentri, 27.00 sikap
dan pandanagan terhadap kebijakan presiden, 33.00 dillema dalam menyikapi
dekrit presiden.
2. Pembuatan
indeks dengan berdasarkan pada digital counter memiliki tiga digit angka. Bila
pembuatan indeks dilakukan denagn menggunakan tape counter maka pembagiannya
misalnya menjadi, 000 riwayat hidup pengkisah, 035 masa pendidikan dasar, 079
mesa pendidikan menengah, 177 masa pendidikan militer, 176 masa pengabdian
sebagian militer, 354 masa pengabdian sebagai sipil, dan seterusnya.
Maka
diantara kedua pilihan teknis pembuatan indeks tersebut yang akan digunakan,
sangat tergantung dengan kondisi alat rekam serta kenyamanan pembuat indeks.
Bila kondisi alat rekam tidak memiliki tape counter maka pilihan satu-satunya
hanaya menggunakan pembagian wakt, sedangkan bila alat rekam memiliki tape
counter berartia da dua alternatif pilihan yang bisa dipilih. Di antara kedua
pilihan tersebut, pilihan membuat indeks dengan berdasarkan tape counter dapat
dijadikan sebagai pilihan pertama karena lebih praktis dan lebih cepat bila
digunakan untuk mengolah data hasil penggalian sejaarah lisan.
b. Pembuatan
Transkipsi
Setelah
menyelesaikan penelitian lapangan dalam sejarah lisan, yaitu wawancara anada
sudah memenuhi target yang diharapkan, informasi lisan dari narasumber atau
sumber lisan sudah dianggap cukup, maka langkah selanjutnya menyimak kembali
hasil rekaman. Bila hasil rekaman itu sudah cukup menjaring sumber lisan yang
dibutuhkan, langkah berikutnya ialah mengadakan transkripsi, yaitu menuangkan
atau mamindahkan hasil rekaman kedalam tulisan. Sejarah lisan tanpa transkipsi
sering dikatakan sebagai kelemahan yang khas dari sejarah lisan, karena di
pandang tidak praktis dalam pemanfaatannya. Tujuan utama yang terdapat di
dalamnya adalah untuk mendapatlan kejernihan (clarity) dan untuk menggampangkan
(readability).
Kejernihan
yang diharapkan dari pembuatan transkip tidak lain adalah kejelasan tentang apa
yang terekam di dalam keset. Pengkiasan yang tidak jelas, kondisi alat rekam
yang kurang baik, tempat wawancara yang bising atau munculnya suara-suata yang
tidak terduga saat wawancara sehingga mengakibatkan hasil wawancara kurang
bagitu jelas terdengar. Dalam kondisi demikian hanya pewawancara yang dapat
mengenali dengan relatif lebih baik apa yang di sampaikan oleh pengkisah,
termasuk segala bunyi yang ada di dalam rekaman. Beberapa kaidah transkipsi
dalam sejarah lisan meliputi antara lain :
1. Betul-betul
memindahkan hasil rekaman seperti apa yanga ada yang termuat dalam rekaman,
sehingga boleh di katkan tidak ada satu patah katapun yang tertinggal atau di
tinggalkan. Agar lebih autentik maka suara batuk, dehem, ketawa dan sebagainya
sebainya juga di tuangkan dalam tulisan.
2. Apabila
sumber lisan memakai bahasa daerah (Jawa, Sunda, Batak, Madura, Banjar, Bugis,
Melayu, dan sebagainya), atau memakai bahasa asing (Inggris, Prancis, China,
Arab, dan sebagainya), maka di tuangkan bahasa yang terekam pada wawancara.
Soal penerjemahan (transiterasi) adalah tugas bagi sejarawan yang akan
menggunakan sumber lisan itu. Namun, si peneliti sejarah lisan ingin
meterjemahkannya dalam bahasa Indonesia, hal ini merupakan sebuah prestasi yang
lebih baik.
3. Langkah
selanjutnya ialah agar transkipsi ini hanya berisi pernyataan, kisah, jawaban
dari sumber lisan, maka pertanyaan dari peneliti sumber lisan boleh dihapuskan.
Dengan demikian yang ada dalam tulisan murni apa yang dikatakan oleh sumber
lisan.
4. Setelah
selesai melaksanakan transkipsi pada draft kasar, ykemudian di ketik rapi.
Sebelum masuk pada hasil wawancara (pernyataan/jawaban/kisah) dari sumber
lisan, perlu kiranya ditulis identitas. Identitas yang perlu ditulis itu di
antara lain:
a. Nama
sumber lisan (yang di wawancara) dengan lengkap
b. Alamat
sumber lisan dan dimana lokasi wawancara diadakan
c. Peranan/jawaban
sumber lisan (dahulu dan sekarang)
d. Waktu
wawancara dilakukan (hari, tanggal, dan bila perlu jam)
e. Mana
peneliti sejarah lisan (pewawancara dengan identitasnya)
5. Apabila
hasil transkipsi sudah dianggap sempurna (yaitu diketik rapi dengan
dilengkapiidentitas sebagai sumber sejarah lisan), maka langkah selanjutnya
mengunjungi sumber lisan untuk diminta tanda tangan atas persetujuan terhadap
hasil jawaban/pernyataan atau kisah lisan yang dituangkan dalam tulisan. Dalam
hal ini ada 4 kemungkinan :
a. Setuju
dan tidak keberatan hasilnya di baca umum
b. Setuju
namun ada beberapa pernyataan yang tidak boleh di ketahui umum
c. Setuju
dan membenarkan pernyataannya namun tidak boleh untuk umum
d.
Tidak setuju/tidak
membenarkan
Bila
sumber sejarah lisan itu setuju dan tidak keberatan hasil wawancaranya
diketahui umuim, maka tugas peneliti sejarah lisan tidak perlu menjaganya. Bila
sumber sejarah lisan menyatakan sebagian daru keteranganya “off the record” atau tidak boleh disiarkan / diketahui umum, maka
tugas seeejarah lisaan harus menyeleksi lagi.
6. Di
akhir lembar hasil transkipsi terhadap sumber lisan, harap disediakan ruang
pernyataan dari peneliti sumber lisan yang mengtranskipsi hasil wawancara
dengan sumber lisan. Isi pernyataan antara lain : “Trankipsi ini di tulis
sesuwai dengan hasil wawancara yang terekam dalam kaset “. Dibawah pernyataan
dan tanda tangan dari peneliti sejarah lisan, disediakan ruang yang cukup untuk
pernyataan/pengesahan dan tanda tangan dari sumberlisan/yang diwawancarai.
7. Hasil
semuanya itu agar tidak berserakan, maka dijilid yang rapi, termasuk di
dalamnya lampiran kendali wawancara, lembar khusus “karantian”, dan foto yang
mendukung materi wawancara (bila ada).
Penting
di sadari, bahwa yang benar-benar hasil sejarah lisan itu adalah “Hasil rekaman yang masih ada di dalam pita
kaset”, sedangkan hasil transkipsi dari kaset itu merupakan “penulisan hasil re-kaman dari sumber lisan”,
dalam rangka untuk memudahkan peneliti sejarahyang akan menggunakannya.
Hasil
akhir suatu wawancara dengan tujuan direkam dan diarahkan untuk kepentingan
penyimpanan dan penyediaan sebagai sumber sejarah dipengaruhi beberapa faktor[10].
1. Faktor
yang akan diminta sebagai pengkisah pengalamannya, yaitu kesediaan calon
pengisah memberikan keterangan untuk direkam, kondisi kesehatan pengisah, dan
keterangan yang disampaikan.
2. Faktor
orang yang akan mengadakan wawancara, yaitu pengetahuan pewawancara mengenai
diri pengisah. Serta tentang pribadi wawancara keluwesan dalam bergaul dan
kelincahan dalam menghadapi pengisah.
3. Faktor
jaminan hukum, dalam suatu wawancara mengenai kehidupan pengisah tidak
dikehendaki untuk digunakan dalam hidup pengisah atau lembaga lain.
BAB 3. SIMPULAN
Sejarah
lisan diartikan sebagai sumber sejarah yang keberadaannya di dalam lingkungan
manusia yang mengikuti kejadian atau menjadi saksi atas terjadinya peristiwa
sejarah atau peristiwa yang terjadi pada masa lampau yang diuraikan dengan
lisan (Darban dalam Dienaputra, 2013). Seperti halnya metode sejarah, pada
metode sejarah lisan juga terdapat tahapan atau prosedur yang harus dilakukan.
Secara garis besar terdapat tiga tahapan atau prosedur kerja dalam metode
sejarah lisan, yang meliputi tahapan persiapan, tahapan kedua meliputi
pelaksanaan, dan tahapan terakhir berupa pembuatan indeks dan transkripsi.
Tahapan
persiapan terdiri dari perumusan topik penelitian, penetapan judul penelitian,
pemahan masalha, pembuatan kerangka penelitian, pembuatan kendala wawancara,
inventarisasi dan seleksi pengisah, kontak dengan pengisah, pengenalan
lapangan, dan pengenalan alat rekam.
Tahap
pelaksanaan terdiri dari pembuatan label wawancara, pembukaan wawancara,
menjaga suasana wawancara, membuat catatan, mengakhiri wawancara, dan membuata
surat pertanyaan. Dan tahap terakhir adalah indeks dan transkripsi yang terdiri
dari pembuatan indeks dan pembuatan transkripsi.
DAFTAR PUSTAKA
Darban,
Adaby. 1997. Sejarah Lisan: Memburu
Sumber Sejarah dari Pelaku dan Penyaksi Sejarah. Jurnal Humaniora IV: 1-4.
Dienaputra,
Reiza D. 2013. Sejarah Lisan: Metode dan
Praktik. E-book. Bandung: Balatin.
Surjomihardjo,
Abdurachman. 1979. Pembinaan Bangsa dan
Masalah Historiografi. Jakarta: Yayasan Idayu.
Syukur,
Abdul. 2006. Sejarah Lisan Orang Biasa:
Sebuah Pengalaman Penelitian. Makalah untuk Konferensi Nasional Sejarah VII
tanggal 14-17 November 2006.
[1] Abdul
Syukur, Sejarah Lisan Orang Biasa: Sebuah
Pengalaman Penelitian, Makalah untuk Konferensi Nasional Sejarah VII
tanggal 14-17 November 2006, hlm 1.
[2] Abdul
Syukur, Sejarah Lisan Orang Biasa: Sebuah
Pengalaman Penelitian, Makalah untuk Konferensi Nasional Sejarah VII
tanggal 14-17 November 2006, hlm 3-4.
[6] Adaby
Darban, Sejarah Lisan Memburu Sumber
Sejarah dari Pelaku dan Penyaksi Sejarah, (Jurnal Humaniora, 1997), hlm. 2
[10] Abdurachman
Surjomihardjo, Pembinaan Bangsa dan
Masalah Historiografi, (Jakarta:Yayasan Idayu, 1979), hlm. 138
Tidak ada komentar:
Posting Komentar