Sabtu, 13 Oktober 2018

PROSEDUR SEJARAH LISAN










MAKALAH
diajukan guna melengkapi tugas mata kuliah Sejarah Lisan dengan dosen pengampu
Drs. Marjono, M.Hum






Oleh Kelompok 4

1.              Muh. Anwari             NIM 140210302066
2.              Diah Arum Yuli L     NIM 150210302024
3.              Sigit Efendy               NIM 150210302094









PROGAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2018

PRAKATA


Puji syukur kepada Allah SWT, atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Sejarah Lisan yang berjudul “Prosedur Sejarah Lisan”.
Penyusunan tugas mata kuliah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Saya menyampaikan terima kasih kepada:
1.      Drs. Marjono, M.Hum selaku dosen pengampu mata kuliah Sejarah Lisan 
2.      Teman-teman kelas A yang mengampu mata Sejarah Lisan.
Kami menerima segala kritik serta saran dari semua pihak untuk membangun serta kesempurnaan tugas ini. Akhir kata, semoga tugas ini dapat bermanfaat.


Jember, Maret 2018                                                                                        Penulis











DAFTAR ISI

Halaman














BAB 1. PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang

            Menurut Darban (1997:1) sejarah lisan merupakan salah satu sumber sejarah yang dapat secara sah digunakan untuk penulisan sejarah. Cikal bakal kelahiran sejarah lisan bermula dari gugatan sejarawan amerika terhadap pemikiran dan adagium Charles-Victor Langois dan Charles Seignobos yang menyatakan bahwa tidak ada yang bisa menggantikan fungsi sumber tertulis untuk merekonstruksi masa lalu dan secara demonstratif mempopulerkan adagium no document, no history[1].
            Sejarawan Amerika berpendapat bahwa sebagian besar masa lampau bangsa Amerika tidak ada dalam catatan-catatan tertulis, sehingga timbul usaha untuk merekam pengalaman orang tua yang dalam membangun Amerika. Oleh karena hal tersebut sejarah lisan dimulai tahun 1930 dan tahun 1948 dibangun pusat sejarah lisan di Universitas Columbia, New York (Syukur, 2006:2).
Sejarah lisan mulai muncul di Indonesia pada tahun 1964 yang digagas oleh Nugroho Notosusanto dengan proyek monumen nasionalnya yang mengumpulkan data-data sejarah Revolusi Indonesia 1945-1950 dengan kerja lisanya dipusatkan pada keberhasilan para perwira TNI Angkatan Dasat menggagalkan kudeta Gerakan 30 September 1965, dan sejarah lisan di Indonesia menjadi semakin kokoh setelah ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia) melakukan proyek sejarah lisan dengan penanggung jawab Soemartini (Kepala ANRI 1971-1991).
Untuk mendapatkan informasi atau data sejarah seperti halnya sejarah tertulis dalam sejarah lisan juga mempunyai metode sejarah lisan yang terdapat tahapan atau prosedur yang harus dilakukan. Makalah ini disusun untuk mengkaji lebih dalam tentang prosedur sejarah lisan yang secara garis besar terdiri dari tiga tahapan yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan, dan tahap transkripsi.


1.2 Rumusan Masalah

            Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah.
1.      Bagaimana Prosedur Pengambilan Data Pada Sejarah Lisan?

1.3 Tujuan

Berdasarkan rumusan permasalahan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam makalah ini adalah.
1.      Untuk mengkaji secara mendalam prosedur pengambilan data pada sejarah lisan.

1.4 Manfaat

Berdasarkan tujuan makalah di atas, maka makalah ini diharapkan dapat bermanfaat.
1.    Bagi penulis dapat memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Lisan dengan tema Prosedur Sejarah Lisan.
2.    Bagi pembaca dapat mengetahui dan mempelajari tentang Sejarah Lisan dengan tema Prosedur pengambilan data sejarah lisan untuk menambah wawasan pengetahuan.












BAB 2.PEMBAHASAN


Secara garis besar sejarah lisan mulai muncul di Indonesia pada tahun 1964 yang digagas oleh Nugroho Notosusanto dari Universitas Indonesia dengan proyek monumen nasionalnya yang mengumpulkan data-data sejarah Revolusi Indonesia 1945-1950 dengan kerja lisannya dipusatkan pada keberhasilan para perwira TNI Angkatan Dasar menggagalkan kudeta Gerakan 30 September 1965, dan sejarah lisan di Indonesia menjadi semakin kokoh setelah ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia) melakukan proyek sejarah lisan dengan penanggung jawab Soemartini (Kepala ANRI 1971-1991) yang dibantu oleh empat sejarawan yaitu Sartono Kartodirjo, Taufik Abdullah, Abdurachman Surjomiharjo, dan A.B Lapian[2].
Sejarah lisan diartikan sebagai sumber sejarah yang keberadaannya di dalam lingkungan manusia yang mengikuti kejadian atau menjadi saksi atas terjadinya peristiwa sejarah atau peristiwa yang terjadi pada masa lampau yang diuraikan dengan lisan (Darban dalam Dienaputra, 2013). Menurut Lapian (1981) dan A.Gazali Usman (1983) menyatakan bahwa sejarah lisan dipahami sebagai rekaman pita hasil wawancara tentang peristiwa-peristiwa sejarah yang dialami oleh pengisah pada masa lampau[3]. Jadi dapat disimpulkan bahwa sejarah lisan sebagai sumber sejarah yang ada dalam kalangan manusia yang diuraikan dengan lisan dan hasilnya berupa rekaman pita yang diuraikan oleh pengisah yang mengikuti atau menjadi saksi atas terjadi peristiwa sejarah pada masa lampau.
            Untuk mendapatkan informasi atau data sejarah seperti halnya sejarah tertulis dalam sejarah lisan juga mempunyai metode sejarah lisan yang dinyatakan oleh Joze Rizal Chaniago dalam Dienaputra (2013) merupakan teknik pengumpulan data melalui wawancara yang direkam oleh seseorang pewawancara atau pencari sumber data dengan pengisah yang bercerita tentang apa yang dialami, dirasakan dan dipikirkan ketika peristiwa sejarah terjadi. Oleh karena itu syarat awal dalam mencari sumber data dengan metode sejarah lisan meliputi adanya pewawancara, pengisah, dan alat rekam.
            Seperti halnya metode sejarah, pada metode sejarah lisan juga terdapat tahapan atau prosedur yang harus dilakukan. Secara garis besar terdapat tiga tahapan atau prosedur kerja dalam metode sejarah lisan, yang meliputi tahapan persiapan, tahapan kedua meliputi pelaksanaan, dan tahapan terakhir berupa pembuatan indeks dan transkripsi[4].
            Menurut Darban (1997:2) sebelum menentukan sumber sejarah lisan atau pengisah diperlukan beberapa seleksi secara kritis dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1.      Kesehatan sumber lisan, dalam hal ini yang perlu diperhatikan mengenai kesehatan pengisah secara sehat mental, rohani dan jasmaninya.
2.      Pembohong/pembual yang hal ini perlu dicarikan keterangan, apakah sumber lisan pembohong/pembual atau tidak. Hal ini juga dapat digunakan perbandingan wawancara dengan sumber lisan lainnya.
3.      Melihat usia sumber lisan yang artinya bahwa dalam hal ini pewawancara secara kritis harus memperhatikan perbandingan antara umur pengisah dengan peristiwa yang diinformasikan.

2.1 Tahap Persiapan

            Praktek sejarah lisan dimulai dengan kegiatan persiapan yang memainkan peranan signifikan untuk menentukan suksesnya tidaknya kegiatan penggalian sejarah.
1.      Perumusan Topik penelitian
Langkah awal dalam tahap persiapan prosedur sejarah lisan yaitu perumusan topik penelitian. Ada empat perimbangan dalam menentukan topik penelitian, yaitu
a.       Interested topic merupakan topik yang menarik untuk diteliti sesuai minat peneliti dan tidak perlu dipaksakan harus menarik atau sesuai pula dengan minat orang lain.
b.      Manageable topic, yaitu topik yang diteliti ada dalam tiga jangkauan kemampuan :
1)      Kemampuan intelektual yang berkaitan dengan kemampuan akademis peneliti di dalam mengolah dan mengerjakan topik yang akan diteliti.
2)      Kemampuan finansial tentang kemampuan ekonomi penggali sejarah lisan dalam mengolah dan menyelesaikan topik yang akan diteliti.
3)      Kemampuan atau ketersediaan waktu yang dipahami sebagai adanya kesesuaian antara waktu yang dimiliki penggali sejarah lisan dengan rentang waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan penggalian sejarah lisan sesuai topik yang dipilih.
c.       Obtainable topik, merupakan sumber (pengisah) yang diperlukan untuk menggali sejarah lisan yangs esuai dengan topik yang telah dirumuskan masih hidup dan relatif mudah untuk dijangkau.
d.      Significance of topic, yakni topik yang cukup penting untuk diteliti. Pertimbangan dalam menentukan topik ini bisa jadi sangat relatif sekali, terutama manakala hal tersebut dikaitkan dengan orang lain di luar penggali sejarah lisan.
2.      Penetapan judul penelitian
Bila topik diibaratkan sebagai judul besar maka judul sendiri diibaratkan sebagai bentuk yang lebih spesifik dari topik. Judul sebaiknya terdiri dari dua variabel yang saling berkaitan. Untuk memilih judul yang terbik sebuah penelitian sejarah lisan pada dasarnya parameternya sama dengan yang digunakan dalam memilih topik dalam memilih judul penelitian.
3.      Pemahaman Masalah
Memahami masalah yang akan diteliti perlu dilakukan sebelum penggalian sejarah lisan dilakukan, penggali sejarah lisan telah memiliki bekal awal tentang peristiwa atau materi yang akan ditelitinya. Upaya memahami masalah dapat dilakukan melalui pendekatan konvensional dan pendekatan non konvensional. Pendekatan konvensional dilakukan dengan melacak terlebih dahulu memlaui sumber-sumber tertulis, baik di lembaga-lembaga kearsipan maupun perpustakaan. Pendekatan non konvensional dilakukan dengan melacak materi atau peristiwa yang akan diteliti melalui internet.
4.      Pembuatan Kerangka Penelitian
Kerangka penelitian bagi penggalian sejarah lisan penting untuk dibuat karena dapat petunjuk tentang informasi sejarah lisan yang diperlukan. Kerangka penelitian sebagai penjabaran lebih lanjut dari judul yang telah ditetepkan akan dapat memberi penjelasan yang lebih rinci tentang informasi sejarah lisan apa yang diperlukan dan penting untuk digali. Tidak ada aturan baku yang menentukan tentang banyaknya bab yang termuat dalam sebuah kerangka penelitian. Pada umumnya kernagka penelitian terdiri empat bab yang terdiri dari bab pertama bab pendahuluan, bab kedua dan ketiga berisi pembahasan atau inti jawaban penelitian, dan bab keempat merupakan simpulan.
5.      Pembuatan Kendali Wawancara
Kendali wawancara memiliki fungsi sebagai alat pancing untuk memperoleh informasi sejarah lisan sebagaimana yang diinginkan. Dengan demikian, kendali wawancara selalu memiliki keterkaitan erat dengan kerangka sementara. Apa yang sudah diuraikan dalam kerangka sementara kemudian dijabarkan lebih lanjut kedalam kendali wawancara. Dalam hal ini kelanjutan dari kerangka sementara adalah berupa bertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan yang dimuat dalam kendali wawancara haruslah dibuat sederhana mungkin tetapi jelas dan mudah dipahami. Pertanyaan yang diajukan harus mempunyai 5 hal yang penting, yaitu who, what, when, where, why, dan how. (Dienaputra, 2013:39-40).
6.      Inventarisasi dan Seleksi Pengkisah
Pada langkah kegiatan ini, inventarisasi dipahami sebagai proses penyusunan daftar pengkisah sesuai dengan derajat perannya dalam peristiwa sejarah serta perluasan daftar pengkisah yang akan digali sejarah lisannya. Akan menjadi baik kiranya bila daftar pengkisah ini dibuat sebanyak mungkin. Adapun yang dimaksud pengkisah (interviewee) adalah saksi hidup yang menceritakan kesaksiannya melalui wawancara yang direkam dalam alat rekam. Kesaksian lisan dari tangan pertama, bias berupa peristiwa tertentu yang dialami sendiri, dirasakan sendiri, didengar sendiri, dilihat sendiri, atau difikirkan sendiri secara langsung oleh pengkisah.
Setelah inventarisasi dilakukan, maka dilakukan seleksi pengkisah. Seleksi pengkisah yang paling sederhana menyangkut dua hal, pertama, usia. Seleksi usia dilakukan untuk mengetahui kezamanan pengkisah dengan peristiwa yang akan digali sejarahnya. Seleksi kedua, berkaitan dengan kesehatan mental. Kesehatan mental menjadi persyaratan penting selanjutnya yang perlu dimiliki pengkisah. Hal itu tidak saja berkait dengan kemampuan untuk menyampaikan sejarah lisan tetapi juga berkait erat dengan kemampuan untuk mengingat dengan baik peristiwa-peristiwa sejarah terpilih yang ada didalam memorinya. (Dienaputra, 2013:40-41)
7.      Kontak dengan Pengkisah
Kontak dengan pengkisah dimaksud untuk memperkenalkan diri, menyampaikan maksud dan tujuan, serta sekaligus membuat janji wawancara. Ada baiknya sebelum kontak dilakukan, pewawancara berupaya mengenal terlebih dahulu profil calon pengkisah, baik melalui orang-orang yang mengetahui tentang jati diri pengkisah maupun melalui bacaan-bacaan. Kontak awal dengan pengkisah pada dasarnya akan turut menentukan sukses tidaknya pengalian sejarah lisan yang akan dilakukan. Maka kontak awal dengan pengkisah pun harus dilakukan secara hati-hati agar dapat menimbulkan kesan awal yang baik dari pengkisah. Untuk mencapai itu semua, factor penampilan dan kesantunan dalam berbicara benar-benar harus diperhatikan dengan baik. Haruslah diupayakan bahwa kontak awal tersebut dapat menimbulkan rasa nyaman dan senang pada pengkisah. (Dienaputra, 2013:41-42)
8.      Pengenalan Lapangan
Pengenalan lapangan disini dimaksudkan sebagai upaya mengenal medan tempat wawancara akan dilakukan. Ada dua hal yang menjadi dasar perlunya pengenalan lapangan dilakukan. Pertama, bila kontak awal dengan pengkisah dilakukan dengan tidak mendatangi langsung tempat tinggal pengkisah. Kedua, bila ternyata dari dari kontak awal yang dilakukan, pengkisah memutuskan bahwa wawancara tidak diadakan di tempat tinggal pengkisah tetapi di tempat lain yang telah di tentukan, misalnya di kantor tempat pengkisah bekerja.
Pewawancara harus sangat tau lapangan yang akan dibuat wawancara, baik dari jarak waktu tempuh serta kondisi sarana dan prasarana yang dibutuhkan dilapangan. Tempaknya memang menjadi hal yang sepele tetapi dalam hal ini memang sangat dibutuhkan oleh seseorang pewawancara dalam mengenali kondisi lapangan (Dienaputra, 2013:43-44).
9.      Pengenalan Alat Rekam
Keberadaan alat rekam bagi seorang peneliti sejarah lisan dalam kegiatan pengalian sejarah memang sangat diperlukan. Seperti halnya seorang prajurit dalam berperang harus memiliki sebuah senjata untuk berperang. Alat rekam yang baik adalah alat rekam yang jernih daya tangkapnya, selain itu juga sederhana, mudah dibawa, dan untuk menjalankannya dapat menggunakan energy listrik maupun baterai. Sangat diajurkan dan harus dipahami oleh seorang peneliti sebelum menggunakan alat rekam harus dicoba terlebih dahulu. Baik kondisi alat rekam serta daya tangkap dan radius yang dimiliki oleh alat perekam tersebut. Tujuannya, untuk mengetahui kelayakan alat rekam tersebut sebelum digunakan dilapangan atau digunakan untuk mengali sejarah lisan yang diteliti (Dienaputra, 2013:44-45).

2.2 Tahap Pelaksanaan

            Pelaksanaan pencarian data pada sejarah lisan dengan teknik wawancara memerlukan persiapan yang telah dijelaskan sebelumnya. Hal ini berbeda dengan wawancara pada jurnalistik yang dapat dilaksanakan secara mendadak tanpa persiapan untuk kepentingan aktualisasi berita. Dalam Dienaputra (2013:46) pelaksanaan praktek sejarah lisan dibagi menjaadi beberapa langkah yang meliputi pembuatan label wawancara, pembukaan wawancara, menjaga suasana wawancara, membuat catatan dan mengakhiri wawancara.
a.       Pembuatan Label Wawancara
Label wawancara dalam penggalian data sejarah lisan dibuat pada awal dan akhir wawancara yang meliputi keterangan nama pengisah atau orang yang diwawancara, nama pewawancara, tanggal dan tempat wawancara, waktu wawancara dan topik atau judul wawancara[5]. Pembuatan label dalam penggalian informasi sejarah lisan terdapat empat jenis:
1.      Label yang terekam dalam kaset pada awal wawancara
Label wawancara ini dibuat sebelum dilaksanakan sebelum wawancara dilakukan. Kelebihan pembuatan label wawanara ini akan membuat suasana wawancara lebih cepat atau tidak akan mengganggu jalannya wawancara karena tidak terjadi kekosongan waktu, namun terdapat kelemahan yang perlu diperbaiki apabila waktu wawancara berbeda dengan waktu yang dijanjikan atau apabila waktu harus diganti dikarenakan pengisah membatalkan wawancara.
2.      Label yang terekam di akhir wawancara
Pembuatan label dengan cara ini memilki kelebihan dalam hal akurasi waktu serta kepastian tentang pelaksanaan wawancara, namun memiliki kelemahan yaitu terjadi kekosongan waktu beberapa saat antara pengisah dan pewawancara pada saat pembuatan label wawancara ke dalam kaset.
3.      Label yang tertulis di kulit kaset dan yang tertulis di kertas pembungkus kaset
Artinya bahwa label wawancara yang berbentuk tulisan berfungsi untuk memberikan identitas pada kaset hasil penggalian informasi sejarah lisan.
b.      Pembukaan Wawancara
Tahapan pelaksanaan metode sejarah lisan yang merupakan bagian terpenting adalah pada saat pembukaan wawancara. Oleh karena hal tersebut disarankan pembukaan wawancara dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan yang santai, ringan dan menyenangkan bagi pengisah misalnya dapat tentang riwayat hidup pengisah. Tujuan utama pembukaan wawancara adalah untuk menyegarkan ingatan pengisah akan peristiwa sejarah terpilih yang terdapat di dalam memorinya (Dienaputra, 2013:49).
Pembukaan wawancara merupakan kunci awal berhasil tidaknya pewawancara menarik perhatian pengisah sehingga pengisah memberikan keterangan atau pengalaman historisnya dengan baik. Dalam hal ini diperlukan untuk mengetahui tipologi dan sifat orang yang akan diwawancarai[6] diantaranya:
1.      Pendiam, dalam menghadapi sumber lisan pendiam diperlukan ketelatenan, supel dan banyak inisiatif bertanya ataupun merangsang pembicaraan.
2.      Banyak bicara, pewawancara perlu memiliki sikap sabar dan mengarahkan ke materi pokok dengan sikap yang baik.
3.      Rendah diri, dalam menghadapi pengisah yang rendah diri maka pewawancara harus memberikan motivasi bahwasanya informasi yang disampaikan penting bagi penulisan sejarah.
Hal lain yang perlu diperhatikan agar pembukaan wawancara berjalan dengan baik, diperlukan penampilan yang baik bagi pewawancara. Hal ini dinyatakan oleh Harsono Tjokroaminoto dalam Dienaputra (2013:50) bahwa penampilan pewawancara pada pandangan pertama oleh pengisah atau sumber lisan memiliki arti yang signifikan bagi pelaksanaan wawancara selanjutnya, artinya bahwa penampilan pewawancara yang arogan  dan tidak simpatik, otomatis akan terjadi penolakan oleh pengisah maka akan terjadi iklim yang tidak nyaman dalam pelaksanaan wawancara selanjutnya. Oleh karena itu diperlukan sikap manis, murah senyum dan selingan humor untuk menunjang suksesnya wawancara.
c.       Menjaga Suasana Wawancara
Hal yang perlu diperhatikan agar terwujudnya wawancara yang sukses yaitu dengan menjaga suasana selama terjadinya wawancara yaitu suasana saling percaya dan keterbukaan hubungan antara pewawancara dan pengisah. Upaya menciptakan suasana wawancara yang baik memiliki persyaratan khusus yang harus dimiliki oleh pewawancara. Willa K. Baum dalam Dienaputra (2013:52) menyatakan bahwa pewawancara harus orang yang mampu duduk tenang dan bersedia mendengarkan pendapat tanpa merasa wajib menyanggah, tidak takut untuk sesekali mengajukan pertanyaan dan komentar, memiliki pengetahuan yang luas untuk mengetahui apabila pengisah menyinggung subjek yang tidak direncanakan namun berharga, dan yang bersikap cukup tegas mengakhiri wawancara tepat pada waktunya. Untuk menciptakan suasana wawancara yang baik perlu memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:
1.      Pertanyaan disampaikan satu persatu dan dimulai dengan pertanyaan siapa, apa, dimana, kapan, mengapa atau bagaimana (5W, 1H)
2.      Pertanyaan dibuat dengan singkat dan mudah dipahami oleh pengisah
3.      Jangan memotong pembicaraan pengisah, apabila pewawancara menilai bahwa peristiwa yang diceritakan pengisah tidak benar.
4.      Menjadi pendengar yang baik selama pengisah menyampaikan keteranganya dengan memperlihatkan bahasa tubuh ketertarikan pewawancara terhadap keterangan-keterangan yang disampaikan pewawancara.
5.      Apabila informasi yang disampaikan oleh pengisah kurang jelas, maka pewawancara perlu bertanya kembali untuk memperjelas informasi.
6.      Bersikap fleksibel dan tidak hanya perpaku pada pertanyaan yang termuat dalam kendali wawancara.
Darban (1997:2) menyatakan bahwa dalam menciptakan suasana wawancara perlu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1.      Menciptakan suasana wawancara yang akrab dan familier antara pewawancara dan pengisah
2.      Memberikan kesempatan sebanyak-banyaknya kepada pengisah atau sumber lisan untuk mengisahkan sejarahnya
3.      Apabila pengisah sudah terlihat jenuh dan melantur, maka dengan bijak pewawancara mengarahkan kembali dalam topik atau melakukan refeshing sejenak
4.      Apabila sumber lisan atau seorang terpelajar, agar wawancara lebih berhasil dan mengarah, dapat dimintakan membaca kendali lebih dahulu, kemudian dilaksanakan wawancara.



d.      Membuat Catatan
Pembuatan catatan selama berlangsungnya wawancara dimaksudkan untuk mencatat kata-kata yang dinilai kurang jelas atau kata-kata yang dianggap penting, misalnya mengenai nama orang, nama tempat, atau istilah-istilah tertentu yang bersumber dari bahsa asing atau bahasa derah setempat.  Kata-kata tersebut di koreksi kembali dengan setelah wawancara selesai kepada pengisah[7].
Pembuatan catatan juga diperlukan untuk menyikapi kemungkinan munculnya pertanyaan baru diluar yang tertulis dalam kendali wawancara. Hal ini terjadi paabila pengisah menyampaikan jawaban yang didalamnya terdapat keterangan menarik yang perlu dipertanyaan lebih lanjut karena berkaitan langsung dengan penelitian yang dilakukan.
e.       Mengakhiri Wawancara
Apabila data yang diperlukan dari pengisah atau sumber lisan sudah memenuhi target yang diinginkan, maka pewawancara hendaknya segera mengakhiri wawancara untuk mencegah masuknya informasi-informasi yang tidak relevan dengan topik penelitian. Hal ini juga berlaku apabila pengisah sudah kelihatan lelah atau melantur dalam menuturkan kisahnya sebaiknya wawancara segera dihentikan dan dilanjutkan pada waktu yang lain. Terry dan Baum dalam Dienaputra (2013:54) mengemukakan bahwa waktu maksimum untuk sekali wawancara dalam kegiatan penggalian sejarah lisan sekitar 1,5 jam atau 90 menit, apabial lebih dari waktu tersebut pengisah dan pewawancara seringkali kehilangan konsentrasi terhadap topik yang dibahsa sehingga tidak banyak hasil yang dapat diperoleh.
Pada saat wawancara diakhiri harus dilakukan dengan cara yang sesantun, terlebih yang menjadi alasan perlunya wawancara diakhiri karena kondisi pengisah yang sudah telihat lelah dan mulai melantur. Apabila wawancara belum mencapai hasil yang diinginkan, wawancara diakhiri dengan kalimat mengikat dengan tujuan melakukan wawancara lanjutan pada waktu yang telah ditentukan. Apabila wawancara sudah berjalan sesuai dengan yang direncakan dan banyak informasi yang berhasil digali, direkomendasikan sebelum mengakhiri wawancara ada pertanyaan yang dapat memberikan kesempatan kepada pengisah untuk berkontribusi optimal terhadap informasi yang dibutuhkan dalam penelitian.
f.        Membuat Surat Pernyataan
Pembuatan surat pernyataan wawancara bertujuan untuk memperkuat kredibilitas hasil penggalian sejarah lisan sebagai sumber sejarah serta untuk memberi rasa aman antara pengisah dan pewawancara apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, mislnya pemutaran balikan fakta oleh pewawancara maupun pengisah aatu pengingkaran telah memberikan keterangan tertentu oleh pengisah. Surat pertanyaan dibuat di atas kertas segel atau kertas bermaterai sesuai peraturan yang berlaku untuk menjad aspek legalitas hukum dengan baik[8].
            Surat pertanyaan wawancara pada dasarnya dibuat dalam dua model[9]. Model pertama surat pernyataan dibuat setelah wawancara dilakukan yang berisi keterangan bahwa pengisah benar-benar telah diwawancarai oleh pewawancara berkaitan dengan judul penelitian, waktu dan tempat yang ditentukan. Model ini dilaksanakan apabila pewawancara bertemapt tinggal jauh dari tempat tinggal pengisah atau apabila pengisah tampak telah uzur usianya. Model kedua surat pernyataan dibuat setelah transkripsi dibuat, atau setelah pengisah membaca dengan seksama hasil transkripsi wawancara, selanjutnya pengisah mendatangani transkripsi tersebut dan membuat surat pernyataan yang isinya keterangan telah diwawancarai serta kebenaran bahwa hasil wawanacra sesuai dengan yang tertulis dalam hasil transkripsi. Model ini dilaksanakan apabila pewawancara dihadapkan pada situasi hubungan yang serba mudah dan aman dengan pengisah sehingga tidak akan sulit untuk dihubungi.

2.3 Indeks dan Transkripsi

Pembuatan indeks dan transkip dalam metode sejarah lisan dapat di katakan sebagai tahapan akhir proses penggalian sejarah lisan. Adapun tujuan pembuatan indeks dan transkip tidak lain untuk mempermudah penggunaan hasil penggalian sejarah lisan sebagai sumber sejarah. Kedudukan indeks dalam penelitian sejarah lisan dapat di katakan hampir sama dengan kedudukan daftar isi pada sebuah buku. Sementara itu, pembuatan transkip di maksudkan untuk mempermudah pengolahan hasil penggalian sejarah lisan. Dengan melakukan transkip, yang inti kegiatannya berupa penggalian bentuk lisan ke bentuk tulisan, proses pengolahan sejarah lisan sebagai sumber sejarah di harapkan menjadi lebih mudah dan lebih cepat.
a.       Pembuatan Indeks
Sejarah dengan fungsinya, pembuatan indeks haruslah diupayakan mampu memberi gambaran yang jelas dan utuh tentang isi kaset hasil pengambilan sejarah lisa. Perlu adanya penguraian yang cermat dan cerdas tentang isi hasil penggalian sejarah lisan kedalam bagian-bagian tertentu. Secara teknis, ada dua alternatif pilihan dalam pembuatan indeks.
1.      Pembuatan indeks dengan berdasarkan pada pembagian waktu atau kedalam satuan bentuk menit ataupun jam. Contohnya : Sisi A, 00.00 riwayat hidup pengkisa, 06.00 masa pendidikan dasar, 21 masa pendidikan menengah, 28.00  masa pendidikan militer. 34.00 masa pengabdian sebagai militer, 39.00 masa pengabdian sebagai sipil; Sisi B, 00.00 masa pengabdian menjadi kabinet, 12.00 masa krisis sebagai mentri, 27.00 sikap dan pandanagan terhadap kebijakan presiden, 33.00 dillema dalam menyikapi dekrit presiden.
2.      Pembuatan indeks dengan berdasarkan pada digital counter memiliki tiga digit angka. Bila pembuatan indeks dilakukan denagn menggunakan tape counter maka pembagiannya misalnya menjadi, 000 riwayat hidup pengkisah, 035 masa pendidikan dasar, 079 mesa pendidikan menengah, 177 masa pendidikan militer, 176 masa pengabdian sebagian militer, 354 masa pengabdian sebagai sipil, dan seterusnya.
Maka diantara kedua pilihan teknis pembuatan indeks tersebut yang akan digunakan, sangat tergantung dengan kondisi alat rekam serta kenyamanan pembuat indeks. Bila kondisi alat rekam tidak memiliki tape counter maka pilihan satu-satunya hanaya menggunakan pembagian wakt, sedangkan bila alat rekam memiliki tape counter berartia da dua alternatif pilihan yang bisa dipilih. Di antara kedua pilihan tersebut, pilihan membuat indeks dengan berdasarkan tape counter dapat dijadikan sebagai pilihan pertama karena lebih praktis dan lebih cepat bila digunakan untuk mengolah data hasil penggalian sejaarah lisan.
b.      Pembuatan Transkipsi
Setelah menyelesaikan penelitian lapangan dalam sejarah lisan, yaitu wawancara anada sudah memenuhi target yang diharapkan, informasi lisan dari narasumber atau sumber lisan sudah dianggap cukup, maka langkah selanjutnya menyimak kembali hasil rekaman. Bila hasil rekaman itu sudah cukup menjaring sumber lisan yang dibutuhkan, langkah berikutnya ialah mengadakan transkripsi, yaitu menuangkan atau mamindahkan hasil rekaman kedalam tulisan. Sejarah lisan tanpa transkipsi sering dikatakan sebagai kelemahan yang khas dari sejarah lisan, karena di pandang tidak praktis dalam pemanfaatannya. Tujuan utama yang terdapat di dalamnya adalah untuk mendapatlan kejernihan (clarity) dan untuk menggampangkan (readability).
Kejernihan yang diharapkan dari pembuatan transkip tidak lain adalah kejelasan tentang apa yang terekam di dalam keset. Pengkiasan yang tidak jelas, kondisi alat rekam yang kurang baik, tempat wawancara yang bising atau munculnya suara-suata yang tidak terduga saat wawancara sehingga mengakibatkan hasil wawancara kurang bagitu jelas terdengar. Dalam kondisi demikian hanya pewawancara yang dapat mengenali dengan relatif lebih baik apa yang di sampaikan oleh pengkisah, termasuk segala bunyi yang ada di dalam rekaman. Beberapa kaidah transkipsi dalam sejarah lisan meliputi antara lain :
1.      Betul-betul memindahkan hasil rekaman seperti apa yanga ada yang termuat dalam rekaman, sehingga boleh di katkan tidak ada satu patah katapun yang tertinggal atau di tinggalkan. Agar lebih autentik maka suara batuk, dehem, ketawa dan sebagainya sebainya juga di tuangkan dalam tulisan.
2.      Apabila sumber lisan memakai bahasa daerah (Jawa, Sunda, Batak, Madura, Banjar, Bugis, Melayu, dan sebagainya), atau memakai bahasa asing (Inggris, Prancis, China, Arab, dan sebagainya), maka di tuangkan bahasa yang terekam pada wawancara. Soal penerjemahan (transiterasi) adalah tugas bagi sejarawan yang akan menggunakan sumber lisan itu. Namun, si peneliti sejarah lisan ingin meterjemahkannya dalam bahasa Indonesia, hal ini merupakan sebuah prestasi yang lebih baik.
3.      Langkah selanjutnya ialah agar transkipsi ini hanya berisi pernyataan, kisah, jawaban dari sumber lisan, maka pertanyaan dari peneliti sumber lisan boleh dihapuskan. Dengan demikian yang ada dalam tulisan murni apa yang dikatakan oleh sumber lisan.
4.      Setelah selesai melaksanakan transkipsi pada draft kasar, ykemudian di ketik rapi. Sebelum masuk pada hasil wawancara (pernyataan/jawaban/kisah) dari sumber lisan, perlu kiranya ditulis identitas. Identitas yang perlu ditulis itu di antara lain:
a.       Nama sumber lisan (yang di wawancara) dengan lengkap
b.      Alamat sumber lisan dan dimana lokasi wawancara diadakan
c.       Peranan/jawaban sumber lisan (dahulu dan sekarang)
d.      Waktu wawancara dilakukan (hari, tanggal, dan bila perlu jam)
e.       Mana peneliti sejarah lisan (pewawancara dengan identitasnya)
5.      Apabila hasil transkipsi sudah dianggap sempurna (yaitu diketik rapi dengan dilengkapiidentitas sebagai sumber sejarah lisan), maka langkah selanjutnya mengunjungi sumber lisan untuk diminta tanda tangan atas persetujuan terhadap hasil jawaban/pernyataan atau kisah lisan yang dituangkan dalam tulisan. Dalam hal ini ada 4 kemungkinan :
a.       Setuju dan tidak keberatan hasilnya di baca umum
b.      Setuju namun ada beberapa pernyataan yang tidak boleh di ketahui umum
c.       Setuju dan membenarkan pernyataannya namun tidak boleh untuk umum
d.      Tidak setuju/tidak membenarkan
Bila sumber sejarah lisan itu setuju dan tidak keberatan hasil wawancaranya diketahui umuim, maka tugas peneliti sejarah lisan tidak perlu menjaganya. Bila sumber sejarah lisan menyatakan sebagian daru keteranganya “off the record” atau tidak boleh disiarkan / diketahui umum, maka tugas seeejarah lisaan harus menyeleksi lagi.
6.      Di akhir lembar hasil transkipsi terhadap sumber lisan, harap disediakan ruang pernyataan dari peneliti sumber lisan yang mengtranskipsi hasil wawancara dengan sumber lisan. Isi pernyataan antara lain : “Trankipsi ini di tulis sesuwai dengan hasil wawancara yang terekam dalam kaset “. Dibawah pernyataan dan tanda tangan dari peneliti sejarah lisan, disediakan ruang yang cukup untuk pernyataan/pengesahan dan tanda tangan dari sumberlisan/yang diwawancarai.
7.      Hasil semuanya itu agar tidak berserakan, maka dijilid yang rapi, termasuk di dalamnya lampiran kendali wawancara, lembar khusus “karantian”, dan foto yang mendukung materi wawancara (bila ada).
Penting di sadari, bahwa yang benar-benar hasil sejarah lisan itu adalah “Hasil rekaman yang masih ada di dalam pita kaset”, sedangkan hasil transkipsi dari kaset itu merupakan “penulisan hasil re-kaman dari sumber lisan”, dalam rangka untuk memudahkan peneliti sejarahyang akan menggunakannya.

Hasil akhir suatu wawancara dengan tujuan direkam dan diarahkan untuk kepentingan penyimpanan dan penyediaan sebagai sumber sejarah dipengaruhi beberapa faktor[10].
1.      Faktor yang akan diminta sebagai pengkisah pengalamannya, yaitu kesediaan calon pengisah memberikan keterangan untuk direkam, kondisi kesehatan pengisah, dan keterangan yang disampaikan.
2.      Faktor orang yang akan mengadakan wawancara, yaitu pengetahuan pewawancara mengenai diri pengisah. Serta tentang pribadi wawancara keluwesan dalam bergaul dan kelincahan dalam menghadapi pengisah.
3.      Faktor jaminan hukum, dalam suatu wawancara mengenai kehidupan pengisah tidak dikehendaki untuk digunakan dalam hidup pengisah atau lembaga lain.

BAB 3. SIMPULAN


Sejarah lisan diartikan sebagai sumber sejarah yang keberadaannya di dalam lingkungan manusia yang mengikuti kejadian atau menjadi saksi atas terjadinya peristiwa sejarah atau peristiwa yang terjadi pada masa lampau yang diuraikan dengan lisan (Darban dalam Dienaputra, 2013). Seperti halnya metode sejarah, pada metode sejarah lisan juga terdapat tahapan atau prosedur yang harus dilakukan. Secara garis besar terdapat tiga tahapan atau prosedur kerja dalam metode sejarah lisan, yang meliputi tahapan persiapan, tahapan kedua meliputi pelaksanaan, dan tahapan terakhir berupa pembuatan indeks dan transkripsi.
Tahapan persiapan terdiri dari perumusan topik penelitian, penetapan judul penelitian, pemahan masalha, pembuatan kerangka penelitian, pembuatan kendala wawancara, inventarisasi dan seleksi pengisah, kontak dengan pengisah, pengenalan lapangan, dan pengenalan alat rekam.
Tahap pelaksanaan terdiri dari pembuatan label wawancara, pembukaan wawancara, menjaga suasana wawancara, membuat catatan, mengakhiri wawancara, dan membuata surat pertanyaan. Dan tahap terakhir adalah indeks dan transkripsi yang terdiri dari pembuatan indeks dan pembuatan transkripsi.












DAFTAR PUSTAKA


Darban, Adaby. 1997. Sejarah Lisan: Memburu Sumber Sejarah dari Pelaku dan Penyaksi Sejarah. Jurnal Humaniora IV: 1-4.

Dienaputra, Reiza D. 2013. Sejarah Lisan: Metode dan Praktik. E-book. Bandung: Balatin.

Surjomihardjo, Abdurachman. 1979. Pembinaan Bangsa dan Masalah Historiografi. Jakarta: Yayasan Idayu.

Syukur, Abdul. 2006. Sejarah Lisan Orang Biasa: Sebuah Pengalaman Penelitian. Makalah untuk Konferensi Nasional Sejarah VII tanggal 14-17 November 2006.


[1] Abdul Syukur, Sejarah Lisan Orang Biasa: Sebuah Pengalaman Penelitian, Makalah untuk Konferensi Nasional Sejarah VII tanggal 14-17 November 2006, hlm 1.
[2] Abdul Syukur, Sejarah Lisan Orang Biasa: Sebuah Pengalaman Penelitian, Makalah untuk Konferensi Nasional Sejarah VII tanggal 14-17 November 2006, hlm 3-4.
[3] Reiza D.Dienaputra, Sejarah Lisan:Metode dan Praktik, (Bandung:Bolatin, 2013), hlm.11.
[4] Reiza D.Dienaputra, Sejarah Lisan:Metode dan Praktik, (Bandung:Bolatin, 2013), hlm.29
[5] Reiza D.Dienaputra, Sejarah Lisan:Metode dan Praktik, (Bandung:Bolatin, 2013), hlm. 47
[6] Adaby Darban, Sejarah Lisan Memburu Sumber Sejarah dari Pelaku dan Penyaksi Sejarah, (Jurnal Humaniora, 1997), hlm. 2
[7] Reiza D.Dienaputra, Sejarah Lisan:Metode dan Praktik, (Bandung:Bolatin, 2013), hlm. 53
[8] Reiza D.Dienaputra, Sejarah Lisan:Metode dan Praktik, (Bandung:Bolatin, 2013), hlm. 56
[9] Reiza D.Dienaputra, Sejarah Lisan:Metode dan Praktik, (Bandung:Bolatin, 2013), hlm. 56
[10] Abdurachman Surjomihardjo, Pembinaan Bangsa dan Masalah Historiografi, (Jakarta:Yayasan Idayu, 1979), hlm. 138

Tidak ada komentar:

Posting Komentar