Sabtu, 13 Oktober 2018

masalah-masalah yang dihadapi dalam sejarah lisan


masalah-masalah yang dihadapi dalam sejarah lisan
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Bagi para peneliti yang mengkaji sejarah Indonesia saat ini, sejarah lisan menawarkan banyak harapan. Sejarah lisan tampak sebagai sebuah metode untuk menggali pengalaman orang biasa, mengatasi keterbatasan dokumen-dokumen tertulis yang tidak banyak dan sering tidak terawat (Roosa, 2008). Di Indonesia kegiatan sejarah lisan sebagai penyediaan sumber dimulai oleh Arsip Nasional RI sejak 1973. Pekerjaan yang terpenting, yang langsung mengenai pengumpulan sejarah lisan ialah wawancara, menyalin, dan menyunting. Sejarah lisan secara sederhana dapat dipahami sebagai peristiwa-peristiwa sejarah terpilih yang terdapat di dalam ingatan hampir setiap individu manusia.
Dengan pemahaman seperti itu, menjadi jelas ada di mana sebenarnya sejarah lisan. Sejarah lisan ada di dalam memori manusia. Untuk itu, agar sejarah lisan dapat digunakan sebagai sumber sejarah, perlu ada upaya untuk mengeluarkannya dari memori individu manusia. Tanpa itu, bisa jadi sejarah lisan tidak akan pernah bisa digunakan sebagai sumber sejarah dan akan menjadi hak milik abadi sang pemilik kisah.
Dalam kaitannya dengan upaya untuk mengeluarkan sejarah lisan dari memori individu manusia maka akan sampailah pada pembicaraan tentang cara, teknik, atau metode untuk mengeluarkannya. Cara, teknik, atau metode untuk mengeluarkan sejarah lisan ini untuk mudahnya bisa disebut sebagai metode sejarah lisan. Namun dalam pelaksanaan menggali informasi dari ingatan setiap individu akan terdapat beberapa kendala yang lazim dikenal dengan masalah-masalah yang dihadapi dalam sejarah lisan.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat diketahui rumusan masalah sebagai berikut:
1.      bagaimana pengertian dari sejarah lisan?
2.      bagaimana tahapan dalam sejarah lisan?
3.      bagaimana masalah-masalah yang dihadapi dalam sejarah lisan?
1.3  Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka terdapat tujuan penulisan dalam pembahasan ini sebagai berikut:
1.       mengetahui pengertian dari sejarah lisan.
2.       mengetahui tahapan dalam sejarah lisan.
3.       mengetahui masalah-masalah yang dihadapi dalam sejarah lisan.

1.4  Manfaat
Berdasarkan tujuan penulisan di atas, maka terpadat manfaat penulisan dalam pembahasan ini sebagai berikut:
1.      untuk mengetahui pengertian dari sejarah lisan bagi para pembaca.
2.      untuk mengetahui tahapan dalam sejarah lisan bagi para pembaca.
3.      untuk mengetahui masalah-masalah yang dihadapi dalam sejarah lisan bagi para pembaca.

4.       
BAB 2. PEMBAHASAN
2.1  Pengertian Sejarah Lisan
Sebelum memaparkan lebih jauh mengenai masalah-masalah yang dihadapi dalam sejarah lisan pada pembahasan kali ini akan diuraikan terlebih dahulu apa itu atau pengertian dari sejarah lisan. Menurut tulisan Dienaputra (2013: 11) dalam bukunya yang berjudul “Sejarah Lisan Metode dan Praktek” ini mengemukakan beberapa definisi sejarah lisan menurut beberapa ahli diantaranya sebagai berikut.
Menurut Sartono Kartodirjo (1992) merumuskan sejarah lisan sebagai cerita-cerita tentang pengalaman kolektif yang disampaikan secara lisan. Menurut A. Adaby Darban (1988) mengartikan sejarah lisan sebagai sumber sejarah yang terdapat di kalangan manusia yang mengikuti kejadian atau menjadi saksi atas suatu kejadian masa lampau, yang diuraikan dengan lisan. Menurut A.B Lapian (1981)  mengatakan bahwa di Amerika Serikat sejarah lisan dipahami sebagai rekaman pita (tape recording) daripada wawancara tentang peistiwa atau hal-hal yang dialami oleh pengkisah (interviewe) atau lebih tepat lagi rekaman pada pita kaset tentang pengalaman- pengalaman yang masih diingat oleh pengkisah. Merurut A. Gazali Usman (1983) memberikan definisi sejrah lisan sebagai rekaman pita dari wawancara tentang peristiwa yang dialami oleh pengkisah. Dengan demikian, isi pita rekaman berupa wawancara antara pewawancara (interviewer) dengan pengkisah. Menurut Abd Kadir (1987) sejarah lisan adalah pencarian sumber-sumber berdasarkan pada sumber lisan atau disebut oral history. Menurut Jan Vansina (1972) sejarah lisan merupakan satu kaedah atau teknik penyelidikan modern yang bertujuan untuk memelihara pengetahuan-pengetahuan sejarah melalui pengkisahan.
Sejarah lisan ialah  nothing more than a branch of historical research ini menunjukkan betapa penting sejarah lisan dalam mengekalkan sejarah dan teknik ini diambil melalui teknik purba dan lebih moden daripada teknologi karena ia bermain dengan memori seseorang (Maclean, 1977: 1). Sejarah lisan mempunyai ciri-ciri yang tersendiri yang menyebabkanya sangat sesuai dijadikan bahan utama dalam penyelidikan sejarah dan sumber utama dalam mengungkai perkara yang sudah lepas. Sejarah lisan ialah sejarah yang diambil daripada kekuatan memori seseorang secara saintifik dengan merekodkan wawancara  tersebut (Ritchie, 2003: 19). Menurut Nadzan Haron, sejarah lisan ialah keterangan yang berkaitan dengan sejarah dan ia harus dalam bentuk lisan (Salleh, 1996: 45).
Dari beberapa pengertian sejarah lisan tersebut, secara tampak adanya keseragaman dalam melihat muatan utama sejarah lisan, yakni memori dan ingatan manusia. Dengan demikian, tanpa adanya ingatan manusia tidak mungkin ada sejarah lisan. Demikian pula sebaliknya, tidak mungkin ada sejarah lisan tanpa ada ingatan manusia. Dengan pengertiannya di atas, jelaslah bahwa sejarah lisan pada dasarnya merupakan rekonstruksi visual atas berbagai peristiwa sejarah yang benar-benar pernah terjadi yang terdapat di dalam memori setiap individu manusia.
Pada keterangan lisan amat penting untuk sejarah lisan kerana ia berkaitan dengan keterangan daripada responden yang mengalami peristiwa tersebut,  dan diperoleh melalui proses wawancara. Sumber  melalui sejarah lisan berisiko mengubah fakta sejarah atau sumber sejarah yang sebenarnya. Di samping itu, sejarah lisan ialah suatu cara bagi mendapatkan keterangan sejarah yang berbentuk lisan, untuk menambah dan bukan untuk menggantikan sumber-sumber yang bertulis yang ada seperti rekod, surat-surat, catatan harian dan apa-apa sumber bertulis yang berkaitan, yang telah dihasilkan dalam jangka waktu yang berkenaan (Salleh, 1996: 45).  Oleh itu, untuk mendapatkan sumber yang sahih, pengkaji perlu mendapatkan sumber yang mempunyai kekuatan memori yang sangat baik dan sumber betul-betul mengalami peristiwa tersebut.

2.1.1 Sumbangan Sejaran Lisan Terhadap Penulisan Sejarah
Sejarah lisan mempunyai sumbangan yang besar dalam mengembangkan substansi penulisan sejarah, diantaranya:
1)      Dengan sifatnya yang kontemporer sejarah lisan memberikan kemungkinan yang hampir-hampir tak terbatas untuk menggali sejarah dari pelaku-pelakunya;
2)      Sejarah lisan dapat mencapai pelaku-pelaku sejarah yang tidak disebutkan dalam dokumen;
3)      Sejarah lisan memungkinkan perluasan permasalahan sejarah, karena sejarah tidak lagi dibatasi kepada adanya dokumen tertulis.

2.2  Tahapan Dalam Sejarah Lisan
Menurut Dienaputra (2013: 29-60), tahapan kerja dalam sejarah lisan ini terdapat 3 tahapan yang meliputi:
1)      Tahap persiapan, yang terdiri dari:
a.       Perumusan topik penelitian;
b.      Penetapan judul peneitian;
c.       Pemahaman masalah;
d.      Pembuatan kerangka penelitian;
e.       Pembuatan kendali wawancara;
f.        Inventarisasi dan seleksi pengkisah;
g.      Kontak dengan pengkisah;
h.      Pengenalan lapangan;
i.        Pengenalan alat rekam.
2)      Tahap Pelaksanaan, yang terdiri dari:
a)      Membuat label wawancara;
b)      Pembukaan wawancara;
c)      Menjaga suasana wawancara;
d)      Membuat catatan;
e)      Mengakhiri wawancara;
f)       Membuat surat pernyataan.
3)      Tahap pembuatan indeks dan transkripsi, yang terdiri dari:
a)      Pembuatan indeks;
b)      Pembuatan transkripsi.
Selain itu juga dikemukakan oleh (Surjomihardjo, 1979:138) mengenai prinsip-prinsip atau prosedur sejarah lisan, diantaranya:
1.      Perencanaan, yang terdiri dari:
a.       Mempersiapkan peralatan, bisa berupa alat perekam seperti tape recorder, handphone;
b.      Mempersiapkan draft pertanyaan
Draft pertanyaan yang disiapkan disesuaikan dengan rancangan informasi yang ingin digali.
2.      Tahap wawancara
a.       Menentukan pengkisah/narasumber/narator/interviewee;
Mereka ini yang akan diminta sebagai pengkisah pengalamannya. Seperti: bersediakah calon pengkisah memberikan keterangan untuk direkam. Bagaimana keadaan kesehatan pengkisah itu? Apakah kondisi pengkisah sendiri dapat memberikan keterangan secara jujur? Apakah pengkisah telah menaruh kepercayaan kepada kegunaan sejarah lisan?.
b.      Mempersiapkan diri sebagai pewawancara/interviewer;
Ini merupakan orang yang akan mengadakan wawancara. Seperti: apakah pewawancara/interviewer telah cukup pengetahuannya mengenai diri pengkisah? Dalam hal ini perlu diketahui lebih dulu keadaan zaman pengkisah. Apakah ia memegang peranan atau tidak? Apakah telah menulis tentang sesuatu, bagaimana kehidupannya, pendeknya wawancara harus siap dengan pengetahuan sekitar calon pengkisahnya. Yang menentukan dalam hal ini adalah terutama pribadi pewawancara sendiri, keluwesan dalam bergaul, kelincahannya dan pengetahuan persiapan menghadapi pengkisah.
c.       Adanya jaminan hukum.
Dapat dijelaskan adalah lazim dalam suatu wawancara mengenai kehidupan seorang atau lembaga, pengkisah akan memberikan informasi mengenai perorangan lain maupun pendapatnya mengenai kebijaksanaan lembaga masyarakat lain. Sebagian dari bahan-bahan keterangan yang diberikan, tida dikehendaki untuk digunakan dalam hidup pengkisah atau masa hidup orang-orang/ lembaga lain. Sampai dimana rahasia yang telah diberikan dapat dipercayakan untuk didengar oleh pewawancara dan direkam?.
3.      Hasil wawancara/sumber sejarah
Hasil wawancara ini nantinya akan dalam bentuk transkripsi suara dari narasumber
2.3  Masalah-Masalah Yang Dihadapi Dalam Sejarah Lisan
Menurut Roosa (2008), sejumlah kegiatan penelitian sejarah lisan yang telah dicoba di Indonesia banyak yang gagal: beberapa berhenti di tengah jalan, beberapa lagi menghasilkan rekaman wawancara yang kemudian berselimut debu karena tidak disimpan dalam sistem pengarsipan yang baik dan tidak dikemas agar dapat digunakan masyarakat luas, beberapa lagi berakhir dengan sang peneliti yang terlalu kebingungan untuk mampu menuliskan apapun tentang hasil wawancara mereka, dan beberapa lagi diterbitkan dengan mutu yang meragukan. Kegagalan-kegagalan ini sebagian mencerminkan masalah-masalah umum yang dijumpai dalam penelitian sejarah di Indonesia.
Pada buku Roosa (2008) diterangkan bahwa calon sejarawan lisan yang percaya bahwa untuk memulai penelitian mereka hanya perlu memilih topik (kekerasan 1965-66, misalnya) dan sumber (wawancara lisan). Sejarah lisan bagi mereka adalah hal yang sederhana: tinggal taruh alat perekam di hadapan seseorang, lalu berbicara dengan orang itu. Tetapi begitu wawancara mulai berjalan, mereka dilumpuhkan kebingungan: Bagaimana saya memilih orang yang akan saya wawancarai? Mengapa orang yang saya wawancarai tidak dengan sendirinya berbicara bebas lepas? Apa pertanyaan yang harus saya ajukan kepada orang yang saya wawancarai? Apa yang harus saya tulis? Singkatnya, ia tidak menguasai prosedur dasar penelitian.
Selain itu, di luar beberapa masalah teknis, seperti misalnya dimana sebaiknya meletakkan mikrofon dan bagaimana menyusun katalog hasil rekaman, buku penuntun tidak akan banyak membantu. Tak ada buku penuntun yang dapat menetapkan dasar-dasar aturan main yang benar untuk memperkenalkan diri kita kepada orang lain, bercakap-cakap dengan mereka, dan menuliskan pengalaman-pengalaman mereka.
Penghalang utama proyek-proyek penelitian sejarah lisan di Indonesia adalah asumsi bahwa wawancara hanyalah sebuah kegiatan “mengumpulkan data” atau merekam “kesaksian” yang dapat dilakukan dengan cara-cara yang dipakai ilmuwan sosial, pengacara, penyelidik hak asasi manusia, atau wartawan. Peneliti berusaha memadukan peranan sejarawan lisan dengan peranan yang sudah mereka kenal. Tugas pertama sejarawan lisan ialah memahami bagaimana para korban, dengan daya upaya sendiri serta bantuan teman-teman dan saudara-saudara mereka, dapat mengatasi pengalaman-pengalaman traumatis mereka dengan cukup baik sehingga dapat berbicara mengenai pengalaman-pengalaman itu sekarang. “Proses pemulihan” terjadi jauh sebelum kita para sejarawan lisan bertemu mereka dan karena itu kita perlu belajar dari mereka, dan tidak menganggap mereka sebagai korban yang membutuhkan pertolongan kita. Pandangan ini bahkan berlaku pula bagi orang-orang yang diwawancarai yang tampaknya memang menderita trauma.
Dalam melaksanakan penulisan sejarah lisan tentunya akan ada beberapa permasalah atau kendala yang dihadapi yang bermula dari; sebelum menjalankan projek sejarah lisan, semasa menjalankan projek hingga pada pasca menjalankan projek sejarah lisan. Antara contoh masalah yang dihadapi seperti masalah mencari responden, keuangan, kenderaan dan sebagainya. Dalam menjalankan sesuatu projek sejarah lisan terdapat permasalahan yang harus dihadapi agar sesuatu projek dapat berjalan dengan lancar.
2.3.1        Sebelum Menjalankan Projek Sejarah Lisan
Pada pembahasan kali ini akan membahas mengenai masalah-masalah yang dihadapi dalam sejarah lisan yang bermula saat sebelum menjalankan projek sejarah lisan. Dalam menjalankan sesuatu projek sejarah lisan terdapat permasalahan yang akan dihadapi dan tidak boleh dianggap sebagai perkara yang remeh. Hal ini disebabkan, perkara yang remeh ini akan menjadikan sesuatu projek tidak berjalan lancar dan tidak sempurna seperti dengan apa yang dikehendaki. Oleh itu, permasalahan yang pertama yang harus diambil kira ialah siapa responden yang harus ditemui untuk melakukan sesi wawancara (Salleh, 1996: 48), supaya kajian yang hendak dilakukan bisa dijalankan dengan sempurna. Masalah siapa yang akan ditemui untuk melakukan sesi wawancara, haruslah yang tahu akan peristiwa yang terjadi. Di samping itu, seharusnya terdapat wujud badan penasihat yang mampu membantu dalam memberikan senarai nama orang yang dapat dijadikan untuk ditemui untuk melakukan sesi wawancara. Selanjutnya untuk mencari responden dalam menghasilkan sejarah lisan ialah semestinya responden pernah mengalami peristiwa tersebut dan mempunyai  kekuatan memori yang kuat walaupun sudah berusia. Di samping itu, kita boleh menjadikan keterangan saksi mata sebagai interviewe karena mereka menyaksikan peristiwa tersebut walaupun tidak mengalami. Hanya saksi mata dan orang mengalami peristiwa boleh dianggap sebagai sumber sejarah lisan dan sumber itu adalah benar dan tiada tokak tambah.
Permasalahan selanjutnya sebelum menjalankan projek sejarah lisan ialah mendapat kerjasama interviewe. Untuk mendapatkan kerjasama  dalam melaksanakan interviewe terutama dalam kalangan orang-orang strata menengah dan bawahan tidak akan menjadi masalah. Masalah akan timbul apabila berhubung dengan golongan atasan khasnya peringkat pegawai tinggi negara dan menteri. Untuk mendapat keterangan sejarah lisan daripada golongan atasan merupakan masalah besar. Terdapat dua sebab utama yang dapat dilihat pertama tidak mau untuk mempersoalkan tentang sesuatu yang berkaitan dengan perkara-perkara yang melibatkan rahasia negara serta untuk menjaga kepentingan kedudukan mereka dan kedua mereka ini tidak dapat meluangkan waktu karena kesibukan (Salleh, 1996: 56).
Permasalahan selanjutnya masalah keuangan. Kebanyakan sesuatu projek yang mau dijalankan semestinya perlu mempunyai keuanga yang kukuh agar pelaksanaan dapat dilaksanakan dengan baik. Begitu juga  dalam melaksanakan kajian ini ia memerlukan bugget yang besar terutama dalam perbelanjaan yang melibatkan penyediaan alat-alat perakam, perjalanan, surat-menyurat, memproses rekaman dan sebagainya. Sebagai contoh, alat- alat perakam yang berharga sangat mahal dan memerlukan cost (harga) yang tinggi jika alat perakam rusak. Selain itu, alat-alat perakam mestilah dibawa lebih daripada satu karena berkemungkinan terdapat masalah terhadap alat perekam semasa melakukan interview. Oleh sebab itu, untuk melaksanakan program sejarah lisan memerlukan keuangan yang tinggi. Di samping itu, perbelanjaan perjalanan, juga diperkirakan dalam aspek ini yang penting karena kenderaan yang  dinaiki memerlukan  harga tinggi untuk perjalanan pulang-pergi. Oleh itu, sebelum melaksanakan sesuatu projek perlu dilakukan perencanaan terlebih dahulu atau terdapat badan yang mampu menampung perbelanjaan dalam program-program sejarah lisan.


2.3.2        Semasa Menjalankan Projek Sejarah Lisan
Pada pembahasan kali ini akan membahas mengenai masalah-masalah yang dihadapi dalam sejarah lisan saat semasa menjalankan projek sejarah lisan. Semasa menjalankan projek sejarah lisan masalah yang kerap dihadapi semestinya dengan interviewe (responden). Masalah yang kerap dihadapi ialah, seorang interviewe (responden) memulai wawancara dengan membaca keterangan yang telah disediakan dengan panjang lebar. Hal ini berlaku apabila interviewe (responden) telah menulis naratif  yang panjang lebar tentang pengalamannya dalam projek yang dikaji. Apabila hal ini berlaku, interviewer hendaklah membiarkan interviewe membaca seketika  dan memberhentikan rekaman secara sopan. Segala perkataan atau pertanyaan yang digunakan jangan sesekali menyinggung perasaan interviewe (Haron, 2012: 130). Oleh karena itu, yang harus dilakukan ialah memberi pujian kepada interviewe dengan baik supaya menghasilkan naratif (tulisan) dan meminta naratif (tulisan) yang ditulis untuk diteliti. Seterusnya, jika mendapati naratif (tulisan) tidak sejalan dengan apa yang dipertanyakan atau tidak mengikut materi kajian atau kurang menepati seperti yang dikehendaki, maka gunakan sesi berkenaan untuk mendapatkan keterangan lebih lanjut. Sebaliknya, jika interviewer berpuas hati dengan naratif yang ditulis oleh interviewe, gunakan sesi berkenaan untuk mendapatkan keterangan yang lebih lanjut tentang tulisan yang telah dibuat.
Permasalahan selanjutnya semasa menjalankan projek sejarah lisan, masalah yang kerap dihadapi saat menjalankan interview ialah  interviewe memberi keterangan yang bertentangan dengan materi atau persoalan yang diutarakan dan tidak releven dengan dengan materi atau pertanyaan. Oleh karena itu, sebagai interviewer tidak seharusnya tergesa-gesa untuk menarik interviewe kembali kepada materi atau pertanyaan. Hal ini disebabkan takut interviewe tersinggung, sekiranya interviewer tidak memberhentikan wawancara yang sedang berlangsung atau memotong pemberian keterangan (Haron, 2012: 130). Biarkan  interviewe meneruskan keterangannya hingga selesai. Oleh karena itu, bagian yang tidak diperlukan boleh disunting semasa menjalankan proses transkripsi nanti.
Sekiranya interviewer masih merasa interviewe perlu kembali kepada materi atau pertanyaan, hendaklah mengajukan soalan pendek yang menjurus untuk kepada pengakhiran kalimat. Oleh karena itu, dapat mengelakkan rasa tersinggung pihak interviewe. Jika interviewe tidak menjawab soalan yang diutarakan oleh interviewer, sebagai interviewer haruslah pandai mengubah topik kepada topik asal dan tanpa menyebabkan interviewe merasa bingung. Hal ini akan membuat sesi wawancara akan menjadi lebih panjang dan mendalam. Oleh sebab itu, seorang interviewer yang hebat dan mahir mampu mengawal situasi yang dihadapi.  Di samping itu, masalah yang akan di hadapi oleh interviewer ialah interviewer yang kehabisan idea untuk memberi soalan kepada interviewe. Oleh karena itu, mereka haruslah pandai bermain dengan kata tanya seperti mana, bila, siapa, bagaimana dan sebagainya. Oleh karena itu, sebagai interviewer boleh mencoba mengaitkan pertanyaan untuk membina pertanyaan baru dan didasarkan pada jawaban yang diberikan oleh interviewee. Oleh karena itu, wawancara ini akan mengambil masa lebih lama dan terdapat perkaitan antara soalan ke soalan yang disoalkan kepada interviewe.
Permasalahan selanjutnya yaitu berkaitan dengan sesi wawancara apabila terdapat gangguan seperti bunyi pesan, deringan telefon dan gangguan sampingan seperti kanak-kanak menangis, mesin dan alat-alat penghawa dingin (AC) semasa sesi wawancara dijalankan. Hal ini menyebabkan hasil interview terganggu dan gangguan tersebut berpengaruh dalam proses transkripsi. Di samping itu, semasa menggunakan alat perekam pastikan alat perekam berfungsi dengan baik dan pastikan alat perekam terpasang saat memulai sesi wawancara. Alat perekam harus diletakkan berdekatan dengan interviewe supaya sesi tanya jawab/ wawancara dapat dijalankan dengan baik tanpa banyak berlaku pergerakan. Kedua-dua pihak dalam sesi wawancara hendaklah duduk, walaupun dikursi atau lantai dengan alasan sesi wawancara memerlukan waktu yang panjang. Selain itu, jika semasa sesi wawancara, sumber (responden) mengatakan “off the record”, maka, jika rekaman diteruskan, kita tidak boleh menggunakan (Amir, 2005: 34). Jadi, apabila interviewe meminta rekaman diberhentikan dan kita mesti mematuhi kehendaknya.
 Apabila  interview haruslah  membawa alat perakam yang lain apabila yang dipergunakan rusak. Maka, alat perekam haruslah dibawa lebih dari satu yang berkemungkinan alat perekam yang lain mengalami kerusakan dan menyebabkan sesi wawancara terkendala yang nantinya akan mengganggu emosi interviewe yang sudah bersedia untuk diwawancarai.
Masalah yang kerap berlaku semasa berlangsung sesi wawancara ialah interviewe bingung untuk mencari sesuatu yang dapat dijadikan gambaran dan sebagainya semasa dia sedang memberi keterangan mengenai peristiwa yang sedang ia alami (Haron, 2012: 130). Jika hal ini terjadi dalam sesi wawancara maka akan mengganggu hasil wawancara tersebut. Oleh karena itu, interviewer hendaklah jangan membiarkan interviewe berbuat demikian. Interviewer hendaknya menunjukkan sikap minat ingin melihat objek berkenaan tetapi pada akhir sesi nanti. Selanjutnya, jika keterangan interviewer kurang jelas, maka akan menyebabkan interviewe tidak dapat menjawab pertanyaan tersebut. Sebagai contoh, 15 menit sebelumnya, sebelum sesi wawancara hendaklah interviewer melakukan catatan agar dapat mengemukan keterangan yang akan dikemukan kemudian.
2.3.3        Pasca/ Selepas Menjalankan Projek Sejarah Lisan
Pada pembahasan kali ini akan membahas mengenai masalah-masalah yang dihadapi dalam sejarah lisan pasca atau selepas menjalankan projek sejarah lisan.
Terdapat satu lagi langkah dalam proses sejarah lisan yaitu proses transkripsi yaitu satu proses mengadaptasikan rekaman (tape) kepada penulisan atau proses transcribing. Dalam tahap ini terdapat tiga proses yang sangat penting yaitu sunting dengar (auditing), penyuntingan (editing) dan penghasilan tanskrip kekal (Grele, 1987: 576). Di dalam setiap proses memiliki masalah yang harus diselesaikan. Proses ini disusun mengikut kronologi atau mengikuti topik.
Melalui proses sunting dengar (auditing), ini akan membutuhkan waktu yang lama dan harus dilaksanakan secara berkelanjutan. Hal ini disebabkan, jika proses ini diberhentikan akan mengganggu perjalanan proses dimana terpaksa mendengar (rekaman) tape berulang kali. Mengikut pengalaman ahli-ahli sejarah lisan di Amerika, hitungan panjang untuk memproses tiap-tiap satu jam rekaman akan membutuhkan waktu yang lama yaitu antara 25-30 jam, ini tidak termasuk masa yang digunakan oleh interviewe untuk menyimak draf transkripsi, manakala waktu persediaan untuk wawancara yang berjalan selama satu jam wawancara, soal jawab, waktu untuk persediaan dan memprosesnya ialah antara 40-50 jam (Salleh, 1996: 55). Hal ini menyebabkan waktu yang diperuntukkan untuk sesuatu projek sejarah lisan adalah sangat lama.  Selain itu, pengkaji harus mendengar dengan teliti sebutan-sebutan yang diperkatakan oleh interviewe dan harus ditulis dengan perkataan yang disebut oleh interviewe. Pengkaji  tidak boleh mengubah sebutan-sebutan tersebut karena ini merupakan proses sunting dengar dan merupakan proses peringkat awal dalam menghasilkan sesuatu transkripsi. Permasalahan yang dialami oleh pengkaji semasa proses sunting dengar ini ialah pengkaji harus mendengar beberapa kali untuk memastikan sebutan yang digunakan oleh interviewe sama dengan apa yang ditulis oleh pengkaji dalam transkripsi semasa  proses transcribing berlaku.. Hal ini karena, sebuah transkripsi seharusnya memiliki bagian wawancara yang asli sebelum melakukan pengeditan sehingga menghasilkan transkripsi kekal. Dalam transkripsi kekal hanya bagian yang penting saja dan yang tidak diperlukan akan dibuang.
            Selepas proses sunting dengar (auditing) akan disambung dengan proses penyuntingan (editing), proses ini merupakan proses draf persediaan sampai kepada penyiapan transkripsi (Maclean, 1977: 48). Proses mengedit transkrip mestilah dilakukan dengan tersusun di mana  pembaca akan membaca tanpa henti  dan tertarik dengan transkripsi yang di hasilkan. Selain itu, proses penyuntingan merupakan proses mengedit bahan-bahan yang tidak ada kaitan dengan materi dan mengedit penggunaan bahasa kepada bahasa formal. Hal ini merupakan perkara yang sangat merumitkan dan mengambil masa yang lama dalam mengedit semula karena perlu  menyusun semula kalimat dan memastikan penggunaan tata bahasa yang betul supaya mudah dibaca  dan dipahami. Selain itu, pengkaji harus membaca  transkripsi yang telah diedit beberapa kali supaya bahan-bahan yang tidak diperlukan dalam inskripsi dibuang dan hanya materi yang diperlukan saja yang ada dalam transkripsi.
Selepas proses editing, maka terhasilah transkripsi kekal di mana, melalui transkripsi kekal matei yang tidak pernah dianggap sebagai sumber sejarah telah siap digunakan untuk rujukan di masa depan. Selain itu, transkripsi kekal ini akan diberi kepada interviewe, untuk disimpan mereka, jika interviewe merasakan materi yang ditulis oleh pengkaji mempunyai  unsur-unsur  yang kurang berkenan untuk interviewe (Salleh, 1996: 53), maka pengkaji harus mengedit semula transkripsi tersebut sebagai jaminan terhadap interviewe, oleh karena itu sebelum menghasilkan transkripsi pengkaji harus menghasilkan draf transkripsi untuk diberikan kepada interviewe untuk diteliti.  Ini merupakan masalah yang sangat merumitkan karena terpaksa mengedit semula transkripsi yang sudah siap tersebut. Oleh karena itu, pengkaji terpaksa mengambil waktu beberapa hari untuk mengedit  dan menyesuaikan transkripsi tersebut.    
Selain itu masalah-masalah yang dihadapi dalam sejarah lisan ini dapat berupa permasalahan sebagai berikut:
1)      Kajian sejarah lisan bersifat kontemporer.
Sejarah kontemporer adalah sejarah dalam waktu nyang bersamaan.
2)      Subyektivitasnya sangat tinggi, karena:
a.     Dipengaruhi oleh egonya;
b.    Sikap berat sebelah;
c.     Perbedaan filsafat;
d.    Prasangka kelompok;
e.     Perbedaan interpretasi;
3)      Sumber.
Berada dalam ingatan seseorang atau dalam kelompok masyarakat. Sedikitnya jumlah dokumen akan membuat penulis kesulitan melakukan wawancara.
4)      Ingatan narasumber yang melemah karena usia yang sudah renta.
5)      Kritik sumber.
a.     Perbedaan persepsi tiap narasumber
b.    Adanya sengketa pribadi
c.     Ingatan yang lemah
d.    Pretensi pelaku (ego, adanya sifat ke “aku “-an)

Dengan adanya masalah-maslaah tersebut dapat diusahkan dengan cara mengatasinya sebagai berikut:
·         Wawancara simultan
Menghadirkan beberapa tokoh untuk diwawancarai secara bersamaan.
·         Menguji saksi/sumber
Ø  Apakah narasumber mampu menjelaskan peristiwa yang akan dikaji
Ø  Apakah narasumber terlibat langsung
Ø  Apakah narasumber dapat berkata jujur


BAB 3. PENUTUP
3.1 Simpulan
Dapat diambil suatu kesimpulan dalam makalah ini bahwa dalam penulisan sejarah-sejarah lisan tentunya akan menghadapi suatu masalah yang membuat pelaksanaan sejarah lisan tidak selalu berjalan lancar, namun apabila dapat mengatasi permasalahan yang ditimbulkan maka akan menghasilkan transkripsi sejarah lisan yang dapat dipergunakan sebagai sumber penulisan sejarah di masa depan. Adapun masalah-masalah yang dihadapi dalam sejarah lisan ini bermula pada: sebelum menjalankan projek sejarah lisan, semasa menjalankan projek hingga pada pasca/ selepas menjalankan projek sejarah lisan.




DAFTAR PUSTAKA
Amir, J. 2005.Teknik Wawancara. PTS Profesional Publishing.

Dienaputra, R. D. 2013. Sejarah Lisan Metode dan Praktek. Bandung: Balatin.

Grele, J. R. 1987. On Using Oral History Collections: An Introduction. The Journal of American History.Vol 74, No 2: 576.

Haron, N. 2012. Panduan Penyelidikan dan pendokumentasian Sejarah Lisan. Persatuan Sejarah Malaysia.

Jeju. 2017. Masalah Dalam Kaedah Sejarah Lisan. https://www.academia.edu/17246746/masalah_dalam_kaedah_sejarah_lisan (diakses 10 Maret 2018).

Maclean Kay, Davis Cullom, dan Back Kathryn. 1977. Oral History from Tape to Type. Chicago American Library Assocition.

Ritchie, A. D. 2003. Doing Oral History. Oxford University Press Inc 198 Madison Avenue: NY.

Roosa, J dan Ayu Ratih. 2008. Sejarah Lisan di Indonesia dan Kajian Subyektivitas. https://www.sejarahsosial.org/2008/09/20/sejarah-lisan-di-indonesia-dan-kajian-subyektivitas/ (di akses 11 Maret 2018).

Salleh, B. H dan Tan Liok Ee. 1996. Alam Pensejarahan dari Pelbagai      Persepktif. Penerbitan Dewan Bahasa dan Pustaka.

Surjomihardjo, A.1979. Pembinaan Bangsa dan Masalah Historiografi. Jakarta: Yayasan Idayu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar