masalah-masalah yang dihadapi dalam sejarah lisan
BAB
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bagi
para peneliti yang mengkaji sejarah Indonesia saat ini, sejarah lisan
menawarkan banyak harapan. Sejarah lisan tampak sebagai sebuah metode untuk
menggali pengalaman orang biasa, mengatasi keterbatasan dokumen-dokumen
tertulis yang tidak banyak dan sering tidak terawat (Roosa, 2008). Di Indonesia
kegiatan sejarah lisan sebagai penyediaan sumber dimulai oleh Arsip Nasional RI
sejak 1973. Pekerjaan yang terpenting, yang langsung mengenai pengumpulan
sejarah lisan ialah wawancara, menyalin, dan menyunting. Sejarah
lisan secara sederhana dapat dipahami sebagai peristiwa-peristiwa sejarah
terpilih yang terdapat di dalam ingatan hampir setiap individu manusia.
Dengan
pemahaman seperti itu, menjadi jelas ada di mana sebenarnya sejarah lisan.
Sejarah lisan ada di dalam memori manusia. Untuk itu, agar sejarah lisan dapat
digunakan sebagai sumber sejarah, perlu ada upaya untuk mengeluarkannya dari
memori individu manusia. Tanpa itu, bisa jadi sejarah lisan tidak akan pernah
bisa digunakan sebagai sumber sejarah dan akan menjadi hak milik abadi sang
pemilik kisah.
Dalam
kaitannya dengan upaya untuk mengeluarkan sejarah lisan dari memori individu
manusia maka akan sampailah pada pembicaraan tentang cara, teknik, atau metode
untuk mengeluarkannya. Cara, teknik, atau metode untuk mengeluarkan sejarah
lisan ini untuk mudahnya bisa disebut sebagai metode sejarah lisan. Namun dalam
pelaksanaan menggali informasi dari ingatan setiap individu akan terdapat
beberapa kendala yang lazim dikenal dengan masalah-masalah yang dihadapi dalam
sejarah lisan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat diketahui
rumusan masalah sebagai berikut:
1. bagaimana pengertian
dari sejarah lisan?
2. bagaimana
tahapan
dalam sejarah lisan?
3. bagaimana
masalah-masalah yang dihadapi dalam sejarah lisan?
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan
masalah di atas, maka terdapat tujuan penulisan dalam pembahasan ini sebagai
berikut:
1. mengetahui
pengertian
dari sejarah lisan.
2. mengetahui
tahapan
dalam sejarah lisan.
3. mengetahui
masalah-masalah yang dihadapi dalam sejarah lisan.
1.4 Manfaat
Berdasarkan tujuan
penulisan di atas, maka terpadat manfaat penulisan dalam pembahasan ini sebagai
berikut:
1. untuk
mengetahui pengertian dari sejarah lisan bagi para pembaca.
2. untuk
mengetahui tahapan dalam sejarah lisan bagi para pembaca.
3. untuk
mengetahui masalah-masalah yang dihadapi dalam sejarah lisan bagi
para pembaca.
4.
BAB
2. PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Sejarah Lisan
Sebelum memaparkan lebih
jauh mengenai masalah-masalah yang dihadapi dalam sejarah lisan pada pembahasan
kali ini akan diuraikan terlebih dahulu apa itu atau pengertian dari sejarah
lisan. Menurut tulisan Dienaputra (2013: 11) dalam bukunya yang berjudul “Sejarah Lisan Metode dan Praktek” ini
mengemukakan beberapa definisi sejarah lisan menurut beberapa ahli diantaranya
sebagai berikut.
Menurut Sartono
Kartodirjo (1992) merumuskan sejarah lisan sebagai cerita-cerita tentang
pengalaman kolektif yang disampaikan secara lisan. Menurut A. Adaby Darban
(1988) mengartikan sejarah lisan sebagai sumber sejarah yang terdapat di
kalangan manusia yang mengikuti kejadian atau menjadi saksi atas suatu kejadian
masa lampau, yang diuraikan dengan lisan. Menurut A.B Lapian (1981) mengatakan bahwa di Amerika Serikat sejarah
lisan dipahami sebagai rekaman pita (tape
recording) daripada wawancara tentang peistiwa atau hal-hal yang dialami
oleh pengkisah (interviewe) atau
lebih tepat lagi rekaman pada pita kaset tentang pengalaman- pengalaman yang
masih diingat oleh pengkisah. Merurut A. Gazali Usman (1983) memberikan
definisi sejrah lisan sebagai rekaman pita dari wawancara tentang peristiwa
yang dialami oleh pengkisah. Dengan demikian, isi pita rekaman berupa wawancara
antara pewawancara (interviewer) dengan pengkisah. Menurut Abd Kadir (1987)
sejarah lisan adalah pencarian sumber-sumber berdasarkan pada sumber lisan atau
disebut oral history. Menurut Jan
Vansina (1972) sejarah lisan merupakan satu kaedah atau teknik penyelidikan
modern yang bertujuan untuk memelihara pengetahuan-pengetahuan sejarah melalui
pengkisahan.
Sejarah
lisan ialah nothing more than a branch of historical research ini menunjukkan
betapa penting sejarah lisan dalam mengekalkan sejarah dan teknik ini diambil
melalui teknik purba dan lebih moden daripada teknologi karena ia bermain
dengan memori seseorang (Maclean, 1977: 1). Sejarah lisan mempunyai ciri-ciri
yang tersendiri yang menyebabkanya sangat sesuai dijadikan bahan utama dalam
penyelidikan sejarah dan sumber utama dalam mengungkai perkara yang sudah
lepas. Sejarah lisan ialah sejarah yang diambil daripada kekuatan memori
seseorang secara saintifik dengan merekodkan wawancara tersebut (Ritchie, 2003: 19). Menurut Nadzan
Haron, sejarah lisan ialah keterangan yang berkaitan dengan sejarah dan ia
harus dalam bentuk lisan (Salleh, 1996: 45).
Dari beberapa pengertian sejarah lisan
tersebut, secara tampak adanya keseragaman dalam melihat muatan utama sejarah
lisan, yakni memori dan ingatan manusia. Dengan demikian, tanpa adanya ingatan
manusia tidak mungkin ada sejarah lisan. Demikian pula sebaliknya, tidak
mungkin ada sejarah lisan tanpa ada ingatan manusia. Dengan pengertiannya di
atas, jelaslah bahwa sejarah lisan pada dasarnya merupakan rekonstruksi visual
atas berbagai peristiwa sejarah yang benar-benar pernah terjadi yang terdapat
di dalam memori setiap individu manusia.
Pada
keterangan lisan amat penting untuk sejarah lisan kerana ia berkaitan dengan
keterangan daripada responden yang mengalami peristiwa tersebut, dan diperoleh melalui proses wawancara. Sumber melalui sejarah lisan berisiko mengubah fakta
sejarah atau sumber sejarah yang sebenarnya. Di samping itu, sejarah lisan
ialah suatu cara bagi mendapatkan keterangan sejarah yang berbentuk lisan,
untuk menambah dan bukan untuk menggantikan sumber-sumber yang bertulis yang
ada seperti rekod, surat-surat, catatan harian dan apa-apa sumber bertulis yang
berkaitan, yang telah dihasilkan dalam jangka waktu yang berkenaan (Salleh,
1996: 45). Oleh itu, untuk mendapatkan
sumber yang sahih, pengkaji perlu mendapatkan sumber yang mempunyai kekuatan
memori yang sangat baik dan sumber betul-betul mengalami peristiwa tersebut.
2.1.1 Sumbangan
Sejaran Lisan Terhadap Penulisan Sejarah
Sejarah lisan mempunyai sumbangan
yang besar dalam mengembangkan substansi penulisan sejarah, diantaranya:
1)
Dengan sifatnya
yang kontemporer sejarah lisan memberikan kemungkinan yang hampir-hampir tak
terbatas untuk menggali sejarah dari pelaku-pelakunya;
2)
Sejarah lisan
dapat mencapai pelaku-pelaku sejarah yang tidak disebutkan dalam dokumen;
3)
Sejarah lisan
memungkinkan perluasan permasalahan sejarah, karena sejarah tidak lagi dibatasi
kepada adanya dokumen tertulis.
2.2 Tahapan Dalam Sejarah Lisan
Menurut Dienaputra (2013:
29-60), tahapan kerja dalam sejarah lisan ini terdapat 3 tahapan yang meliputi:
1) Tahap
persiapan, yang terdiri dari:
a. Perumusan
topik penelitian;
b. Penetapan
judul peneitian;
c. Pemahaman
masalah;
d. Pembuatan
kerangka penelitian;
e. Pembuatan
kendali wawancara;
f.
Inventarisasi dan seleksi pengkisah;
g. Kontak
dengan pengkisah;
h. Pengenalan
lapangan;
i.
Pengenalan alat rekam.
2) Tahap
Pelaksanaan, yang terdiri dari:
a) Membuat
label wawancara;
b) Pembukaan
wawancara;
c) Menjaga
suasana wawancara;
d) Membuat
catatan;
e) Mengakhiri
wawancara;
f) Membuat
surat pernyataan.
3) Tahap
pembuatan indeks dan transkripsi, yang terdiri dari:
a) Pembuatan
indeks;
b) Pembuatan
transkripsi.
Selain itu juga
dikemukakan oleh (Surjomihardjo, 1979:138) mengenai prinsip-prinsip
atau prosedur sejarah lisan, diantaranya:
1.
Perencanaan, yang
terdiri dari:
a.
Mempersiapkan
peralatan, bisa berupa alat perekam seperti tape recorder, handphone;
b.
Mempersiapkan
draft pertanyaan
Draft pertanyaan yang disiapkan disesuaikan dengan
rancangan informasi yang ingin digali.
2.
Tahap wawancara
a.
Menentukan
pengkisah/narasumber/narator/interviewee;
Mereka ini yang akan diminta sebagai pengkisah
pengalamannya. Seperti: bersediakah calon pengkisah memberikan keterangan untuk
direkam. Bagaimana keadaan kesehatan pengkisah itu? Apakah kondisi pengkisah
sendiri dapat memberikan keterangan secara jujur? Apakah pengkisah telah
menaruh kepercayaan kepada kegunaan sejarah lisan?.
b.
Mempersiapkan diri
sebagai pewawancara/interviewer;
Ini merupakan orang yang akan mengadakan wawancara.
Seperti: apakah pewawancara/interviewer telah cukup pengetahuannya mengenai
diri pengkisah? Dalam hal ini perlu diketahui lebih dulu keadaan zaman
pengkisah. Apakah ia memegang peranan atau tidak? Apakah telah menulis tentang
sesuatu, bagaimana kehidupannya, pendeknya wawancara harus siap dengan
pengetahuan sekitar calon pengkisahnya. Yang menentukan dalam hal ini adalah
terutama pribadi pewawancara sendiri, keluwesan dalam bergaul, kelincahannya
dan pengetahuan persiapan menghadapi pengkisah.
c.
Adanya jaminan
hukum.
Dapat dijelaskan adalah lazim dalam suatu wawancara
mengenai kehidupan seorang atau lembaga, pengkisah akan memberikan informasi
mengenai perorangan lain maupun pendapatnya mengenai kebijaksanaan lembaga masyarakat
lain. Sebagian dari bahan-bahan keterangan yang diberikan, tida dikehendaki
untuk digunakan dalam hidup pengkisah atau masa hidup orang-orang/ lembaga
lain. Sampai dimana rahasia yang telah diberikan dapat dipercayakan untuk
didengar oleh pewawancara dan direkam?.
3.
Hasil
wawancara/sumber sejarah
Hasil wawancara ini nantinya akan dalam bentuk
transkripsi suara dari narasumber
2.3 Masalah-Masalah Yang Dihadapi Dalam Sejarah Lisan
Menurut Roosa (2008), sejumlah
kegiatan penelitian sejarah lisan yang telah dicoba di Indonesia banyak yang
gagal: beberapa berhenti di tengah jalan, beberapa lagi menghasilkan rekaman
wawancara yang kemudian berselimut debu karena tidak disimpan dalam sistem
pengarsipan yang baik dan tidak dikemas agar dapat digunakan masyarakat luas,
beberapa lagi berakhir dengan sang peneliti yang terlalu kebingungan untuk
mampu menuliskan apapun tentang hasil wawancara mereka, dan beberapa lagi
diterbitkan dengan mutu yang meragukan. Kegagalan-kegagalan ini sebagian
mencerminkan masalah-masalah umum yang dijumpai dalam penelitian sejarah di Indonesia.
Pada buku Roosa (2008)
diterangkan bahwa calon sejarawan lisan yang percaya bahwa untuk memulai
penelitian mereka hanya perlu memilih topik (kekerasan 1965-66, misalnya) dan
sumber (wawancara lisan). Sejarah lisan bagi mereka adalah hal yang sederhana:
tinggal taruh alat perekam di hadapan seseorang, lalu berbicara dengan orang
itu. Tetapi begitu wawancara mulai berjalan, mereka dilumpuhkan kebingungan:
Bagaimana saya memilih orang yang akan saya wawancarai? Mengapa orang yang saya
wawancarai tidak dengan sendirinya berbicara bebas lepas? Apa pertanyaan yang
harus saya ajukan kepada orang yang saya wawancarai? Apa yang harus saya tulis?
Singkatnya, ia tidak menguasai prosedur dasar penelitian.
Selain itu, di luar
beberapa masalah teknis, seperti misalnya dimana sebaiknya meletakkan mikrofon
dan bagaimana menyusun katalog hasil rekaman, buku penuntun tidak akan banyak
membantu. Tak ada buku penuntun yang dapat menetapkan dasar-dasar aturan main
yang benar untuk memperkenalkan diri kita kepada orang lain, bercakap-cakap
dengan mereka, dan menuliskan pengalaman-pengalaman mereka.
Penghalang utama
proyek-proyek penelitian sejarah lisan di Indonesia adalah asumsi bahwa
wawancara hanyalah sebuah kegiatan “mengumpulkan data” atau merekam “kesaksian”
yang dapat dilakukan dengan cara-cara yang dipakai ilmuwan sosial, pengacara,
penyelidik hak asasi manusia, atau wartawan. Peneliti berusaha memadukan
peranan sejarawan lisan dengan peranan yang sudah mereka kenal. Tugas pertama
sejarawan lisan ialah memahami bagaimana para korban, dengan daya upaya sendiri
serta bantuan teman-teman dan saudara-saudara mereka, dapat mengatasi
pengalaman-pengalaman traumatis mereka dengan cukup baik sehingga dapat
berbicara mengenai pengalaman-pengalaman itu sekarang. “Proses pemulihan”
terjadi jauh sebelum kita para sejarawan lisan bertemu mereka dan karena itu
kita perlu belajar dari mereka, dan tidak menganggap mereka sebagai korban yang
membutuhkan pertolongan kita. Pandangan ini bahkan berlaku pula bagi
orang-orang yang diwawancarai yang tampaknya memang menderita trauma.
Dalam melaksanakan
penulisan sejarah lisan tentunya akan ada beberapa permasalah atau kendala yang
dihadapi yang bermula dari; sebelum menjalankan projek sejarah lisan, semasa
menjalankan projek hingga pada pasca menjalankan projek sejarah lisan. Antara
contoh masalah yang dihadapi seperti masalah mencari responden, keuangan,
kenderaan dan sebagainya. Dalam menjalankan sesuatu projek sejarah lisan
terdapat permasalahan yang harus dihadapi agar sesuatu projek dapat berjalan
dengan lancar.
2.3.1
Sebelum
Menjalankan Projek Sejarah Lisan
Pada
pembahasan kali ini akan membahas mengenai masalah-masalah yang dihadapi dalam
sejarah lisan yang bermula saat sebelum menjalankan projek sejarah lisan. Dalam
menjalankan sesuatu projek sejarah lisan terdapat permasalahan yang akan
dihadapi dan tidak boleh dianggap sebagai perkara yang remeh. Hal ini
disebabkan, perkara yang remeh ini akan menjadikan sesuatu projek tidak
berjalan lancar dan tidak sempurna seperti dengan apa yang dikehendaki. Oleh
itu, permasalahan yang pertama yang harus diambil kira ialah siapa responden
yang harus ditemui untuk melakukan sesi wawancara (Salleh, 1996: 48), supaya
kajian yang hendak dilakukan bisa dijalankan dengan sempurna. Masalah siapa
yang akan ditemui untuk melakukan sesi wawancara, haruslah yang tahu akan
peristiwa yang terjadi. Di samping itu, seharusnya terdapat wujud badan
penasihat yang mampu membantu dalam memberikan senarai nama orang yang dapat
dijadikan untuk ditemui untuk melakukan sesi wawancara. Selanjutnya untuk
mencari responden dalam menghasilkan sejarah lisan ialah semestinya responden
pernah mengalami peristiwa tersebut dan mempunyai kekuatan memori yang kuat walaupun sudah
berusia. Di samping itu, kita boleh menjadikan keterangan saksi mata sebagai
interviewe karena mereka menyaksikan peristiwa tersebut walaupun tidak
mengalami. Hanya saksi mata dan orang mengalami peristiwa boleh dianggap
sebagai sumber sejarah lisan dan sumber itu adalah benar dan tiada tokak
tambah.
Permasalahan
selanjutnya sebelum menjalankan projek sejarah lisan ialah mendapat kerjasama
interviewe. Untuk mendapatkan kerjasama dalam
melaksanakan interviewe terutama dalam kalangan orang-orang strata menengah dan
bawahan tidak akan menjadi masalah. Masalah akan timbul apabila berhubung
dengan golongan atasan khasnya peringkat pegawai tinggi negara dan menteri.
Untuk mendapat keterangan sejarah lisan daripada golongan atasan merupakan
masalah besar. Terdapat dua sebab utama yang dapat dilihat pertama tidak mau
untuk mempersoalkan tentang sesuatu yang berkaitan dengan perkara-perkara yang
melibatkan rahasia negara serta untuk menjaga kepentingan kedudukan mereka dan
kedua mereka ini tidak dapat meluangkan waktu karena kesibukan (Salleh, 1996:
56).
Permasalahan
selanjutnya masalah keuangan. Kebanyakan sesuatu projek yang mau dijalankan
semestinya perlu mempunyai keuanga yang kukuh agar pelaksanaan dapat
dilaksanakan dengan baik. Begitu juga
dalam melaksanakan kajian ini ia memerlukan bugget yang besar terutama
dalam perbelanjaan yang melibatkan penyediaan alat-alat perakam, perjalanan,
surat-menyurat, memproses rekaman dan sebagainya. Sebagai contoh, alat- alat
perakam yang berharga sangat mahal dan memerlukan cost (harga) yang tinggi jika
alat perakam rusak. Selain itu, alat-alat perakam mestilah dibawa lebih
daripada satu karena berkemungkinan terdapat masalah terhadap alat perekam
semasa melakukan interview. Oleh sebab itu, untuk melaksanakan program sejarah
lisan memerlukan keuangan yang tinggi. Di samping itu, perbelanjaan perjalanan,
juga diperkirakan dalam aspek ini yang penting karena kenderaan yang dinaiki memerlukan harga tinggi untuk perjalanan pulang-pergi.
Oleh itu, sebelum melaksanakan sesuatu projek perlu dilakukan perencanaan
terlebih dahulu atau terdapat badan yang mampu menampung perbelanjaan dalam
program-program sejarah lisan.
2.3.2
Semasa
Menjalankan Projek Sejarah Lisan
Pada
pembahasan kali ini akan membahas mengenai masalah-masalah yang dihadapi dalam
sejarah lisan saat semasa menjalankan projek sejarah lisan. Semasa menjalankan
projek sejarah lisan masalah yang kerap dihadapi semestinya dengan interviewe
(responden). Masalah yang kerap dihadapi ialah, seorang interviewe (responden)
memulai wawancara dengan membaca keterangan yang telah disediakan dengan panjang lebar.
Hal ini berlaku apabila interviewe (responden) telah menulis naratif yang panjang lebar tentang pengalamannya
dalam projek yang dikaji. Apabila hal ini berlaku, interviewer hendaklah
membiarkan interviewe membaca seketika
dan memberhentikan rekaman secara sopan. Segala perkataan atau
pertanyaan yang digunakan jangan sesekali menyinggung perasaan interviewe
(Haron, 2012: 130). Oleh karena itu, yang harus dilakukan ialah memberi pujian
kepada interviewe dengan baik supaya menghasilkan naratif (tulisan) dan meminta
naratif (tulisan) yang ditulis untuk diteliti. Seterusnya, jika mendapati
naratif (tulisan) tidak sejalan dengan apa yang dipertanyakan atau tidak mengikut
materi kajian atau kurang menepati seperti yang dikehendaki, maka gunakan sesi
berkenaan untuk mendapatkan keterangan lebih lanjut. Sebaliknya, jika
interviewer berpuas hati dengan naratif yang ditulis oleh interviewe, gunakan
sesi berkenaan untuk mendapatkan keterangan yang lebih lanjut tentang tulisan yang
telah dibuat.
Permasalahan
selanjutnya semasa menjalankan projek sejarah lisan, masalah yang kerap
dihadapi saat menjalankan interview ialah
interviewe
memberi keterangan yang bertentangan dengan materi atau persoalan yang
diutarakan dan tidak releven dengan dengan materi atau pertanyaan. Oleh karena
itu, sebagai interviewer tidak seharusnya tergesa-gesa untuk menarik interviewe
kembali kepada materi atau pertanyaan. Hal ini disebabkan takut interviewe
tersinggung, sekiranya interviewer tidak memberhentikan wawancara yang sedang
berlangsung atau memotong pemberian keterangan (Haron, 2012: 130). Biarkan interviewe meneruskan keterangannya hingga
selesai. Oleh karena itu, bagian yang tidak diperlukan boleh disunting semasa
menjalankan proses transkripsi nanti.
Sekiranya
interviewer masih merasa interviewe perlu kembali kepada materi atau
pertanyaan, hendaklah mengajukan soalan pendek yang menjurus untuk kepada
pengakhiran kalimat. Oleh karena itu, dapat mengelakkan rasa tersinggung pihak
interviewe. Jika interviewe tidak menjawab soalan yang diutarakan oleh
interviewer, sebagai interviewer haruslah pandai mengubah topik kepada topik
asal dan tanpa menyebabkan interviewe merasa bingung. Hal ini akan membuat sesi
wawancara akan menjadi lebih panjang dan mendalam. Oleh sebab itu, seorang
interviewer yang hebat dan mahir mampu mengawal situasi yang dihadapi. Di samping itu, masalah yang akan di hadapi
oleh interviewer ialah interviewer yang kehabisan idea untuk memberi soalan
kepada interviewe. Oleh karena itu, mereka haruslah pandai bermain dengan kata
tanya seperti mana, bila, siapa, bagaimana dan sebagainya. Oleh karena itu, sebagai
interviewer boleh mencoba mengaitkan pertanyaan untuk membina pertanyaan baru
dan didasarkan pada jawaban yang diberikan oleh interviewee. Oleh karena itu,
wawancara ini akan mengambil masa lebih lama dan terdapat perkaitan antara
soalan ke soalan yang disoalkan kepada interviewe.
Permasalahan
selanjutnya yaitu berkaitan dengan sesi wawancara apabila terdapat gangguan seperti
bunyi pesan, deringan telefon dan gangguan sampingan seperti kanak-kanak
menangis, mesin dan alat-alat penghawa dingin (AC) semasa sesi wawancara
dijalankan. Hal ini menyebabkan hasil interview terganggu dan gangguan tersebut
berpengaruh dalam proses transkripsi. Di samping itu, semasa menggunakan alat
perekam pastikan alat perekam berfungsi dengan baik dan pastikan alat perekam
terpasang saat memulai sesi wawancara. Alat perekam harus diletakkan berdekatan
dengan interviewe supaya sesi tanya jawab/ wawancara dapat dijalankan dengan
baik tanpa banyak berlaku pergerakan. Kedua-dua pihak dalam sesi wawancara
hendaklah duduk, walaupun dikursi atau lantai dengan alasan sesi wawancara
memerlukan waktu yang panjang. Selain itu, jika semasa sesi wawancara, sumber
(responden) mengatakan “off the record”, maka, jika rekaman diteruskan, kita
tidak boleh menggunakan (Amir, 2005: 34). Jadi, apabila interviewe meminta rekaman
diberhentikan dan kita mesti mematuhi kehendaknya.
Apabila
interview haruslah membawa alat
perakam yang lain apabila yang dipergunakan rusak. Maka, alat perekam haruslah
dibawa lebih dari satu yang berkemungkinan alat perekam yang lain mengalami
kerusakan dan menyebabkan sesi wawancara terkendala yang nantinya akan
mengganggu emosi interviewe yang sudah bersedia untuk diwawancarai.
Masalah
yang kerap berlaku semasa berlangsung sesi wawancara ialah interviewe bingung untuk
mencari sesuatu yang dapat dijadikan gambaran dan sebagainya semasa dia sedang
memberi keterangan mengenai peristiwa yang sedang ia alami (Haron, 2012: 130).
Jika hal ini terjadi dalam sesi wawancara maka akan mengganggu hasil wawancara
tersebut. Oleh karena itu, interviewer hendaklah jangan membiarkan interviewe
berbuat demikian. Interviewer hendaknya menunjukkan sikap minat ingin melihat
objek berkenaan tetapi pada akhir sesi nanti. Selanjutnya, jika keterangan
interviewer kurang jelas, maka akan menyebabkan interviewe tidak dapat menjawab
pertanyaan tersebut. Sebagai contoh, 15 menit sebelumnya, sebelum sesi
wawancara hendaklah interviewer melakukan catatan agar dapat mengemukan keterangan
yang akan dikemukan kemudian.
2.3.3
Pasca/
Selepas Menjalankan Projek Sejarah Lisan
Pada
pembahasan kali ini akan membahas mengenai masalah-masalah yang dihadapi dalam
sejarah lisan pasca atau selepas menjalankan projek sejarah lisan.
Terdapat
satu lagi langkah dalam proses sejarah lisan yaitu proses transkripsi yaitu satu proses mengadaptasikan rekaman (tape) kepada penulisan atau proses transcribing. Dalam tahap ini terdapat
tiga proses yang sangat penting yaitu sunting dengar (auditing), penyuntingan (editing)
dan penghasilan tanskrip kekal (Grele, 1987: 576). Di dalam setiap proses memiliki
masalah yang harus diselesaikan. Proses ini disusun mengikut kronologi atau
mengikuti topik.
Melalui
proses sunting dengar (auditing), ini
akan membutuhkan waktu yang lama dan harus dilaksanakan secara berkelanjutan.
Hal ini disebabkan, jika proses ini diberhentikan akan mengganggu perjalanan
proses dimana terpaksa mendengar (rekaman) tape
berulang kali. Mengikut pengalaman ahli-ahli sejarah lisan di Amerika, hitungan
panjang untuk memproses tiap-tiap satu jam rekaman akan membutuhkan waktu yang
lama yaitu antara 25-30 jam, ini tidak termasuk masa yang digunakan oleh
interviewe untuk menyimak draf transkripsi, manakala waktu persediaan untuk wawancara
yang berjalan selama satu jam wawancara, soal jawab, waktu untuk persediaan dan
memprosesnya ialah antara 40-50 jam (Salleh, 1996: 55). Hal ini menyebabkan waktu
yang diperuntukkan untuk sesuatu projek sejarah lisan adalah sangat lama. Selain itu, pengkaji harus mendengar dengan
teliti sebutan-sebutan yang diperkatakan oleh interviewe dan harus ditulis
dengan perkataan yang disebut oleh interviewe. Pengkaji tidak boleh mengubah sebutan-sebutan tersebut
karena ini merupakan proses sunting dengar dan merupakan proses peringkat awal
dalam menghasilkan sesuatu transkripsi. Permasalahan yang dialami oleh pengkaji
semasa proses sunting dengar ini ialah pengkaji harus mendengar beberapa kali
untuk memastikan sebutan yang digunakan oleh interviewe sama dengan apa yang
ditulis oleh pengkaji dalam transkripsi semasa
proses transcribing berlaku..
Hal ini karena, sebuah transkripsi seharusnya memiliki bagian wawancara yang
asli sebelum melakukan pengeditan sehingga menghasilkan transkripsi kekal.
Dalam transkripsi kekal hanya bagian yang penting saja dan yang tidak
diperlukan akan dibuang.
Selepas
proses sunting dengar (auditing) akan
disambung dengan proses penyuntingan (editing),
proses ini merupakan proses draf persediaan sampai kepada penyiapan transkripsi
(Maclean, 1977: 48). Proses mengedit transkrip mestilah dilakukan dengan
tersusun di mana pembaca akan membaca
tanpa henti dan tertarik dengan
transkripsi yang di hasilkan. Selain itu, proses penyuntingan merupakan proses
mengedit bahan-bahan yang tidak ada kaitan dengan materi dan mengedit
penggunaan bahasa kepada bahasa formal. Hal ini merupakan perkara yang sangat
merumitkan dan mengambil masa yang lama dalam mengedit semula karena perlu menyusun semula kalimat dan memastikan
penggunaan tata bahasa yang betul supaya mudah dibaca dan dipahami. Selain itu, pengkaji harus
membaca transkripsi yang telah diedit
beberapa kali supaya bahan-bahan yang tidak diperlukan dalam inskripsi dibuang
dan hanya materi yang diperlukan saja yang ada dalam transkripsi.
Selepas proses editing, maka terhasilah
transkripsi kekal di mana, melalui transkripsi kekal matei yang tidak pernah
dianggap sebagai sumber sejarah telah siap digunakan untuk rujukan di masa
depan. Selain itu, transkripsi kekal ini akan diberi kepada interviewe, untuk disimpan
mereka, jika interviewe merasakan materi yang ditulis oleh pengkaji
mempunyai unsur-unsur yang kurang berkenan untuk interviewe
(Salleh, 1996: 53), maka pengkaji harus mengedit semula transkripsi tersebut
sebagai jaminan terhadap interviewe, oleh karena itu sebelum menghasilkan
transkripsi pengkaji harus menghasilkan draf transkripsi untuk diberikan kepada
interviewe untuk diteliti. Ini merupakan
masalah yang sangat merumitkan karena terpaksa mengedit semula transkripsi yang
sudah siap tersebut. Oleh karena itu, pengkaji terpaksa mengambil waktu beberapa
hari untuk mengedit dan menyesuaikan transkripsi
tersebut.
Selain
itu masalah-masalah yang dihadapi dalam sejarah lisan ini dapat berupa
permasalahan sebagai berikut:
1)
Kajian sejarah
lisan bersifat kontemporer.
Sejarah kontemporer adalah sejarah dalam waktu nyang
bersamaan.
2)
Subyektivitasnya
sangat tinggi, karena:
a.
Dipengaruhi oleh
egonya;
b.
Sikap berat
sebelah;
c.
Perbedaan filsafat;
d.
Prasangka kelompok;
e.
Perbedaan
interpretasi;
3)
Sumber.
Berada
dalam ingatan seseorang atau dalam kelompok masyarakat. Sedikitnya jumlah
dokumen akan membuat penulis kesulitan melakukan wawancara.
4)
Ingatan narasumber
yang melemah karena usia yang sudah renta.
5)
Kritik sumber.
a.
Perbedaan persepsi
tiap narasumber
b.
Adanya sengketa
pribadi
c.
Ingatan yang lemah
d.
Pretensi pelaku
(ego, adanya sifat ke “aku “-an)
Dengan adanya masalah-maslaah tersebut dapat diusahkan
dengan cara mengatasinya sebagai berikut:
·
Wawancara simultan
Menghadirkan
beberapa tokoh untuk diwawancarai secara bersamaan.
·
Menguji
saksi/sumber
Ø Apakah narasumber mampu menjelaskan peristiwa yang
akan dikaji
Ø Apakah narasumber terlibat langsung
Ø Apakah narasumber dapat berkata jujur
BAB 3. PENUTUP
3.1 Simpulan
Dapat
diambil suatu kesimpulan dalam makalah ini bahwa dalam penulisan
sejarah-sejarah lisan tentunya akan menghadapi suatu masalah yang membuat
pelaksanaan sejarah lisan tidak selalu berjalan lancar, namun apabila dapat
mengatasi permasalahan yang ditimbulkan maka akan menghasilkan transkripsi
sejarah lisan yang dapat dipergunakan sebagai sumber penulisan sejarah di masa
depan. Adapun masalah-masalah yang dihadapi dalam sejarah lisan ini bermula
pada: sebelum menjalankan projek sejarah lisan, semasa menjalankan projek
hingga pada pasca/ selepas menjalankan projek sejarah lisan.
DAFTAR PUSTAKA
Amir, J. 2005.Teknik
Wawancara. PTS Profesional Publishing.
Dienaputra, R. D.
2013. Sejarah Lisan Metode dan Praktek.
Bandung: Balatin.
Grele,
J. R. 1987. On Using Oral History
Collections: An Introduction. The Journal of American History.Vol 74, No 2:
576.
Haron, N. 2012. Panduan
Penyelidikan dan pendokumentasian Sejarah Lisan. Persatuan Sejarah Malaysia.
Jeju. 2017. Masalah Dalam Kaedah
Sejarah Lisan. https://www.academia.edu/17246746/masalah_dalam_kaedah_sejarah_lisan (diakses 10 Maret
2018).
Maclean
Kay, Davis Cullom, dan Back Kathryn. 1977. Oral History from Tape to Type.
Chicago American Library Assocition.
Ritchie, A. D. 2003.
Doing Oral History. Oxford University Press Inc 198 Madison Avenue: NY.
Roosa, J dan Ayu
Ratih. 2008. Sejarah Lisan di Indonesia dan Kajian Subyektivitas. https://www.sejarahsosial.org/2008/09/20/sejarah-lisan-di-indonesia-dan-kajian-subyektivitas/ (di akses 11
Maret 2018).
Salleh, B. H dan
Tan Liok Ee. 1996. Alam Pensejarahan dari Pelbagai Persepktif. Penerbitan Dewan Bahasa
dan Pustaka.
Surjomihardjo,
A.1979. Pembinaan Bangsa dan Masalah
Historiografi. Jakarta: Yayasan Idayu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar