KEBIJAKAN-KEBIJAKAN PEMERINTAH KOLONIAL
PADA MASA PERGERAKAN NASIONAL
MAKALAH
Oleh
Akhirul Ariyanto
NIM 140210302064
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN ILMU
PENDIDIKAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN
DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2015
DAFTAR ISI
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada penulis sehingga berhasil
menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya dengan judul “Kebijakan-Kebijakan Pemerintah Kolonial pada Masa Pergerakan Nasional”.
Makalah ini berisikan informasi
tentang langkah-langkah pemerintah
kolonial dalam mempertahankan posisi serta
kedudukan mereka dari ancaman pergerakan nasional.
Diharapkan
makalah ini dapat memperluas wawasan pembaca sekaligus menciptakan rasa cinta
tanah air dalam diri kita semua.
Dalam
penyusunan makalah ini, penulis tidak terlepas dari bantuan dari bantuan dan
keterlibatan dari berbagi pihak yang telah mendukung dan memberikan bantuan
baik bantuan moral maupun pemikiran. Oleh karena itu, pada kesempatan ini
penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1.
Dosen pembimbing
2.
Kedua orang tua kami tercinta, dan
3. Para
sivitas akademika di Universitas Jember
Penulis
menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan
saran dari pihak yang bersifat membangun selalu penulis harapkan demi
kesempurnaan makalah ini. Akhir kata penulis sampaikan terima kasih kepada
semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal
sampai akhir.Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala urusaha kita.Amin.
Jember, Agustus 2014 Penulis
BAB 1.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Memasuki
abad ke-19 di kepulauan Indonesia terjadi perubahan politik. Perusahaan Dagang
Hindia Timur (VOC) bubar pada tanggal 31 Desember 1799. Berbagai sebab menjadi latar
belakang keruntuhan itu, seperti mutu pegawai yang merosot, manajemen yang
jelek, pengeluaran yang sangat besar terutama pembiayaan intervensi politiknya,
sistem monopoli yang sudah tidak sesuai lagi, dan yang terpenting adalah
korupsi yang merajalela.
Meluasnya
pengaruh perusahaan dagang Inggris hingga ke ranah politik dengan
perebutan-perebutan hegemoni dan wilayah turut serta meredupkan eksistensi VOC
di nusantara. Pada masa itu sebagai akibat dari pergolakan politik di Eropa
berupa perluasan Revolusi Perancis oleh Napoleon Bonaparte, persaingan keduanya
menjadi lebih sengit.
Demi
mempertahankan hasil positif yang telah dicapai VOC, negara Belanda melalui
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mengeksploitasi sumber daya nusantara lebih
besar lagi. Hal ini menimbulkan reaksi penduduk pribumi yang menentang
kebijakan pemerintah kolonial, karena dianggap menindas mereka. Mulailah muncul
pergerakan-pergerakan nasional dalam rangka menunjukkan perlawanan penduduk
pribumi terhadap bentuk-bentuk penjajahan asing.
Pemerintah
kolonial memandang pergerakan ini cukup membahayakan keberadaan mereka. Mereka
mengambil kebijakan-kebijakan yang bertujuan untuk meminimalisir atau bahkan
menghilangkan pengaruh organisasi pergerakan nasional terhadap cara berpikir
penduduk pribumi.
Berdasarkan
berbagai realitas diatas, penulis mengangkat judul “Kebijakan-Kebijakan
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda pada Masa Pergerakan Nasional” dalam
penulisan karya ini. Kehidupan politik pemerintah kolonial Hindia Belanda dalam
menghadapi pergerakan nasional akan menjadi esensi makalah penulis.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Bagaiman konsep
negara kolonial dan masyarakat kolonial Hindia Belanda?
2.
Bagaimana
inovasi-inovasi pemerintah kolonial Hindia Belanda dalam masa pergerakan
nasional?
3.
Bagaimana langkah
politik penguasa dalam mempertahankan posisi serta kedudukan mereka dari
ancaman pergerakan nasional?
1.3 Tujuan
1.
Mengkaji konsep
negara kolonial serta masyarakat kolonial Hindia Belanda.
2.
Mengidentifikasi
inovasi-inovasi pemerintah kolonial Hindia Belanda serta dampaknya bagi
masyarakat luas.
3.
Mengkaji langkah
politik penguasa Hindia Belanda dalam mempertahankan posisi serta kedudukan
mereka dari ancaman pergerakan nasional.
1.4 Manfaat
Penulisan
makalah ini diharapkan mampu memperluas wawasan pembaca dalam memahami
langkah-langkah pemerintah kolonial Hindia Belanda dalam mempertahankan posisi
serta kedudukan mereka dari ancaman pergerakan nasional. Sehingga diharapkan
generasi mendatang dapat belajar dari apa yang telah dialami bangsa Indonesia.
Bagi
penulis, makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas matakuliah Sejarah
Indonesia III yang diampu oleh: Dr. Nurul Umamah, M.Pd.
BAB 2.
PEMBAHASAN
2.1 Negara Kolonial Hindia Belanda
Setelah
runtuhnya VOC pada tanggal 31 Desember 1799, Pemerintah Kerajaan Belanda
mengambil alih seluruh wilayah kekuasaannya, terutama di nusantara yang
berpusat di Batavia, Pulau Jawa. Raja Belanda mengutus Marsekal Lodewijk
Napoleon untuk menangani peralihan tersebut. Marsekal Napoleon menyusun kembali
sistem pemerintahan dan membangun pertahanan. Tindakan-tindakan utamanya adalah
membangun suatu birokrasi dan tentara yang professional meniru model Revolusi
Perancis, mengubah sistem politik tradisional dan melakukan wajib militer.
Pada
akhir abad ke-19 Negara Kolonial Hindia-Belanda hampir berhasil menaklukkan
seluruh kerajaan dan masyarakat politik di kepulauan Indonesia. Perlawanan
hebat dan sengit dihadapi di sejumlah tempat. Sementara itu di Papua Barat
politik Hindia Belanda masih dalam bentuk eksplorasi dan penjelajahan awal
kolonialisme.
2.2 Masyarakat Kolonial
Masyarakat
Indonesia pada masa pemerintahan Kolonial Hindia Belanda berada dalam kehidupan
politik yang terbagi menjadi 2 bentuk, yakni kerajaan (kesultanan) dan bukan
kerajaan. Masyarakat kerajaan lebih tersusun atas jabatan dan kekuasaan yang
hampir seluruhnya menerima pengaruh Islam. Mereka bersifat hierarkis yang
mengakui garis keturunan raja dan ningrat dengan hak politik turun-temurun.
Berbagai segi kehidupan masyarakat kerajaan sangat bergantung pada kebijakan
raja meskipun tidak terintegrasi sepenuhnya. Oleh karenanya, apabila ada
kebijakan raja yang tidak dapat mereka terima, dapat beralih pindah wilayah
atau kerajaan lainnya.
Pada
masyarakat yang berada dalam kehidupan politik bukan kerajaan, tidak ada
jenjang kekuasaan yang berpusat pada raja. Penentu kebijakan ada pada hasil
musyawarah beberapa pemimpin suku yang mereka pilih berdasarkan
keunggulan-keunggulan tertentu atau primus
inter pares. Namun demikian, pemimpin-pemimpin tersebut tidak memiliki
kekuasaan nyata atas anggota kelompoknya, tetapi lebih berfungsi sebagai
penyelaras dan panutan kehidupan masyarakatnya.
Ketika
negara Hindia Belanda mulai menanamkan kekuasaannya, berlangsung beberapa
perubahan besar dalam tatanan politik yang telah ada. Bentuk-bentuk perubahan
yang terjadi sangat dirasakan oleh masyarakat di Pulau Jawa. Pamor kekuasaan
kerajaan mulai merosot. Kerajaan yang menjadi bagian dari pemerintahan kolonial
kehilangan kekuasaan politik dan menjadi tidak lebih sebagai simbol budaya
masyarakat.
2.3 Gagasan-Gagasan Baru Pemerintah
Kolonial
2.3.1 Politik Etis
Perubahan
haluan politik kolonial juga dipercepat oleh perkembangan ekonomi sekitar tahun
1900. Perkebunan gula dan kopi mengalami kerugian besar karena terserang hama.
Industri perkebunan yang mengalami kemajuan pesat sejak tahun 1870 dan karena
perbaikan teknis dapat mengatasi krisis dan wabah penyakit tebu sehingga
politik kolonial liberal mencapai hasil baik dengan keuntungan-keuntungan yang
cukup besar. Dalam keadaan itu banyak modal asing ditanamkan secara
besar-besaran. Dibalik semua kesuksesan tersebut, pada kenyataannya kemakmuran
rakyat terancam karena perusahaan pribumi tidak mampu bersaing.
Kejadian-kejadian yang mendadak,
antara lain, panen yang gagal, penyakit ternak, dan bencana alam, mendesak agar
segera ada pertolongan. Sementara itu, keuangan negeri Belanda mundur sekali.
Pada tahun 1901, ditegaskan usaha-usaha apakah yang dilakukan untuk
menanggulangi keadaan ekonomi itu:
1) Pembentukan Panitia Kemunduran Kesejahteraan untuk
menyelidiki sebab-sebab kemunduran itu. Hasilnya akan dipergunakan sebagai
landasan politik praktis. Laporan yang lengkap baru selesai diterbitkan pada
tahun 1911.
2) Untuk memajukan perusahaan pribumi perlu dihidupkan
kembali baik usaha-usaha agraris maupun industrial.
3) Diadakan peraturan-peraturan atau usaha-usaha untuk
mencegah kemunduran lebih lanjut, antara lain dengan mengadakan pinjaman tidak
berbunga sebesar 30 juta gulden yang dikembalikan dalam waktu 5-6 tahun;
pemberian sebagai hadiah uang sebesar 40 juta gulden.
4)
Beberapa
penyelidikan keadaan ekonomis seperti yang tercantum dalam karya van Deventer,
J.D Kielstra, dan Fock, semuanya memberi gambaran bahwa rakyat di pedesaan
sangat miskin; hidup tertekan dari hari ke hari; hasil minimum dari tanah yang
telah terpecah-pecah; dan upah kerja yang sangat rendah
Dari
berbagai permasalahan yang terjadi, semua golongan menginginkan bahwa negeri
Belanda harus memerhatikan kepentingan pribumi dan membantu Indonesia dalam
masa kesulitan. Politik etis mulai mulai dilaksanakan dengan pemberian bantuan
sebesar 40 juta gulden, suatu pemberian yang telah bertahun-tahun diperjuangkan
oleh kaum etisi yang semuanya menuntut pengembalian jutaan yang telah diambil
oleh Belanda.
Politik
etis mengubah pandangan dalam politik kolonial yang beranggapan Indonesia tidak
lagi sebagai wingewest (daerah yang
menguntungkan) menjadi daerah yang perlu dikembangkan sehingga dapat dipenuhi
keperluannya, dan ditingkatkan budaya rakyat pribumi.
Selama periode tahun 1900-1925
banyak kemajuan serta perubahan dan bangunan-bangunan besar telah dijalankan
kesemuanya merupakan keharusan dalam kemajuan yang tidak dapat dielakkan.
Diantaranya, ialah:
1) desentralisasi,
2) perubahan-perubahan pemerintahan,
3) perbaikan kesehatan rakyat dan emigrasi,
4) perbaikan pertanian dan peternakan,
5)
pembangunan
irigasi dan lalu lintas.
Usaha-usaha
pembangunan itu dijalankan untuk mengikuti perkembangan yang tidak dapat
dielakkan lagi, antara lain, sebagai akibat politik kolonial sebelumnya, ialah
komersialisasi dan birokratisasi. Yang
pada gilirannya memerlukan komunikasi yang lebih luas dan cepat. Edukasi
yang lebih terbuka dan mempertinggi kehidupan ekonomi rakyat pada umumnya.
Biaya untuk melaksanakan pembangunan itu diperjuangkan di parlemen agar
dibebankan pada pemerintah Belanda meliputi jumlah sebesar 40 juta gulden yang
diberikan sebagai hadiah.
2.3.2 Emigrasi
Penduduk
di Jawa dan Madura pada tahun 1865 berjumlah 14 juta dan pada tahun 1900 telah
berlipat dua. Daerah yang subur tanahnya menjadi yang padat penduduknya. Di
daerah itu pada umunya sudah tidak ada lagi tanah kosong, bahkan tanah
persawahan juga digunakan untuk penanaman tanaman ekspor, seperti tebu dan
tembakau. Dalam abad ke-19 terjadi migrasi dari Jawa tengah ke Jawa Timur, berhubung
dengan perluasan tanaman tebu. Perusahaan gula ini memberi pencairan baru di
daerah di mana perkembangan penduduk lebih cepat daripada perluasan tanah
pertanian. Dari tahun 1885 sampai tahun 1900 penduduk bertambah hanya bertambah
5,7 % dan tanah pertanian 16 %.
Emigarasi
ke daerah luar Jawa disebabkan
permintaan besar akan tenaga kerja di daerah-daerah perkebunan Sumatra
Utara, khususnya di Deli, sedang emigrasi ke Lampung mempunyai tujuan untuk
menetap.
2.3.3 Edukasi
Pengajaran
diberikan di sekolah kelas I kepada anak-anak pegawai negeri dan orang-orang
yang berkedudukan atau berharta, di sekolah kelas II kepada anak-anak pribumi
pada umumnya. Sekolah jenis pertama didirikan menurut Stb. 1893 no. 128, di ibu
kota karasidenan, afdeling, dan onderafdeling atau kota pusat kerajinan
dan perdagangan. Pada tahun 1903 terdapat 14 sekolah kelas I di ibu kota
karasidenan dan 29 di ibu kota afdeling. Mata
pelajaran yang diajarkan adalah membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi, ilmu
alam, sejarah, dan menggambar. Pada tahun 1903 di Jawa dan madura terdapat 245
sekolah kelas II negeri, 326 sekolah partikelir. Jumlah murid pada tahun 1892
ada sekitar 50 ribu, 35 ribu diantaranya di sekolah negeri. Pada tahun 1902 ada
1623 orang anak pribumi yang belajar pada sekolah Eropa. Perbandingan di Jawa
dan Madura antara jumlah anak yang bersekolah dengan jumlah penduduk adalah 1 :
523.
Untuk
mendidik calon pamong praja ada 3 sekolah OSVIA, masing-masing di Bandung,
Magelang, dan Probolinggo dengan 60 murid setiap sekolah. Ada 3 sekolah guru
yaitu di Bandung, Yogyakarta, dan Probolinggo, satu sekolah dokter pribumi di
Jakarta yang mengeluarkan 18 dokter setiap tahun, sepertiganya diperuntukkan
bagin luar Jawa. Untuk Jawa dan Madura ada 1 dokter untuk 100.000 jiwa. Pada
tahun 1902 dibuka sekolah pertanian di Bogor.
2.3.4 Sistem Kredit
Untuk
memberantas sistem kredit yang memberi bunga riba mencapai 15%, pemerintah
kolonial mendirikan rumah pegadaian pada tahun 1900. Kredit yang diberikan oleh
pegadaian bersifat produktif karena diperuntukkan sebagai modal membeli benih
ataupun berdagang.
Pada
tahun 1904 didirikan bank kredit rakyat yang bertugas memberikan petunjuk
penggunaan kredit serta menyalurkan kredit itu sendiri. Lumbung desa didirikan
dengan sumbangan rakyat itu sendiri. Petani dapat meminjam padi dan
dikembalikan waktu habis panen dengan ditambah bunganya.
2.3.5 Perubahan
Pemerintahan/Administrasi
Untuk penyesuaian dengan perkembangan perusahaan bebas
sejak tahun 1870, administrasi perlu diubah berdasarkan prinsip persamaan dan
ekonomi. Reorganisasi bertujuan mempertinggi efisiensi dan memperbesar otonomi,
maka untuk keperluan itu diambil sebagai contoh lembaga-lembaga otonom yang
telah didesentralisasikan di negara Belanda. Desentralisasi mencakup tiga hal
yaitu
1) delegasi kekuasaan dari pusat pemerintahan ke
pemerintahan di Hindia Belanda, dari pemerintahan ini ke depatemen, pejabat
lokal, dan dari pejabat Belanda ke pejabat pribumi;
2) menciptakan lembaga-lembaga otonom yang mengatur
urusan sendiri;
3)
pemisahahan keuangan
negeri dari keuangan pribadi.
Undang-Undang
desentralisasi dari tahun 1903 menciptakan dewan-dewan lokal, baik dewan
karasidenan maupun dewan kota sebagai lembaga hukum yang memiliki wewenang
membuat peraturan-peraturan tentang pajak, urusan-urusan bangunan-bangunan umum
seperti jalan-jalan, taman-taman, jembatan-jembatan. Jumlah dewan kota pada
tahun 1901 ada 32 di Jawa dan 13 di luar Jawa, yang menjadi ketua adalah wakil
kota. Menjelang akhir abad ke-19 perkembangan administrasi sangat pesat karena
banyak pelayanan yang perlu diselenggarakan oleh pemerintah.
Dalam
rangka pelaksanaan desentralisasi, secara berangsur-angsur akan dibentuk
provinsi dan kemudian kabupaten sebagai daerah otonom. Di daerah-daerah
provinsi belum terbentuk tetap berlaku pelaksanaan undang-undang tahun 1903.
Menjelang
akhir abad ke-19 perkembangan administrasi sangat pesat karena banyak
pelayanan-pelayanan publik yang perlu diselenggarakan oleh pemerintah. Berikut
penjelasannya secara rinci:
Tabel 2.1 Perkembangan Pelayanan Publik
Tahun
|
Keterangan
|
1897
|
Dibentuk Departemen Pemerintahan yang bertugas mengurusi urusan
hutan-hutan
|
1899
|
Dibentuk Departemen Pemerintahan yang bertugas mengurusi urusan
pertambangan
|
1900
|
Didirikan lembaga negara yang bertugas menyusun regulasi terkait dengan
penyaluran kredit oleh bank
|
1901
|
Dibentuk secara berturut-turut Dinas Pertanian, Perikanan, Kerajinan, dan
pengembangan Dinas Kesehatan dan Peternakan
|
1904
|
Dibentuk Departemen Negara Bidang Pertanian
|
1907
|
Dibentuk Departemen Perusahaan-Perusahaan Negara
|
1911
|
Penggabungan beberapa instansi pemerintahan menjadi Departemen Pertanian,
Industri, dan Perdagangan
|
Marwati,
DP & Nugroho N. Sejarah Nasional Indonesia V.
hal: 33
2.3.6 Undang-Undang Dasar
Undang-Undang
baru negeri Belanda memuat gagasan-gagasan seperti yang disarankan oleh panitia
perubahan. Hindia Belanda diakui sebagai bagian integral dari kerajaan Belanda.
Pemerintah tertinggi Hindia Belenda ada pada raja sedangkan pemerintahan umum
dipegang oleh seorang Gubernur Jendral seperti yang atur dalam Undang-Undang.
Konstitusi
ditetapkan oleh badan Undang-Undang di negeri Belanda dengan memperhatikan
pendapat dari perwakilan lokal. Namun raja memiliki hak-hak khusus untuk
menetapkan konstitusi pada bidang-bidang tertentu. Semua peraturan yang
ditetapkan oleh badan-badan lokal yang bertentangan dengan peraturan kerajaan
dapat ditiadakan dengan undang-undang.
2.3.7 Tata Negara 1925
Munculnya
pergerakan nasional, tidak hanya kesadaran rakyat yang memuncak, tetapi
kegiatan untuk mencapai kemajuan dilakukan oleh pihak pribumi sendiri. Dengan
demikian, tujuan politik etis, yang antara lain membangkitkan kesadaran rakyat
menyelenggarakan perkembangan, telah diambil alih oleh pihak kaum pribumi sendiri.
Politik
kolonial dan tindakan Belanda berjalan diatas garis yang telah dibuat oleh
Komisi Mandat sesuai dengan prinsip-prinsip sistem Mandat Rangkap secara
berturut-turut Belanda berusaha mengadakan perubahan-perubahan dibidang
pemerintahan dalam negeri, memajukan kesehatan, pendidikan dan syarat-syarat
kerja, dan memberi fasilitas-fasilitas yang diperlukan bagi pengembangan
sumber-sumber alam.
Pernyatan
tersebut tidak sesuai dengan realitas-realitas kolonial yang ada. Telah
terdapat jurang yang lebar memisahkan kata-kata pada rumus politik yang
muluk-muluk atau Ideologi Kolonial dari tindakan kolonial sehari-hari.
Pembentukan
Dewan Rakyat seakan-akan memberi kesan bahwa prinsip menuntukan nasib sendiri
dan pemerintahan sendiri telah dilaksanakan. Tetapi karna fungsi dan
komposisinya, Dewan Rakyat tidak dapat diharapkan untuk bertindak, baik
sebagai perwakilan maupun sebagai
pemerintahan sendiri yang bertangguung jawab. Sementara itu, Belanda mengadakan
perlawanan terhadap kaum naionalis dengan anggapan merekalah yang tidak
mewakili rakyat.
Cara
Belanda memecahkan masalah sistem Mandat Rangkap yang tidak mungkin
dipersatukan menunjukkan bawa kepentingan penduduk pribumi ditempatkan
ditempatkan dibawah kepentingan dunia luar pada umumnya dan negeri induk pada
khususnya. Di dalam politik kolonialnnya Belanda tidak mau dengan senang hati
memberi tanggung jawab kepada kaum nasionalis karena kepentingan penduduk
pribumi tidak pernah dipandang sebagai faktor yang penting. Sebaliknya,
kepentingan kapitalislah yang menuntut jaminan bagi usaha mereka di
nusantara, lebih didahulukan daripada
keperluan penduduk pribumi.
2.4 Pandangan Baru dalam Politik
Kolonial Belanda
Lahirnya
pergerakan nasional juga memberi arah kepada politik kolonial terutama sebagai
kekuatan yang sadar akan nilai dan kekuatan sendiri, serta yang mempunyai
cita-cita untuk hidup bebas. Faktor yang membuat gerakan ini kemudian menjadi
lebih radikal ialah karena oposisi yang dilakukan ditandai oleh perbedaan
golongan.
2.4.1
Politik Kemakmuran
Perekonomian
yang dualistis pada satu pihak memberi kesempatan bagi industri perkebunan
untuk bereksploitasi dengan tanah dan tenaga murah. Pada pihak lain taraf
kehidupan masyarakat masih rendah. Kondisi hidup rakyat pribumi meskipun ada
ditengah-tengah kemajuan pesat industri perkebunan masih mempunyai ciri sebagai
berikut: makanan sangat sederhana, pakaian yang sederhana, dan perumahan yang
tidak kokoh.
Untuk
menaikkan tingkat kehidupan rakyat diusulkan agar dibentuk semacam koperasi
yang dimulai dari rakyat sendiri dengan bantuan dari pemerintah. Beberapa
permasalahan yang memerlukan pemecahan ialah: jumlah penduduk, irigasi,
keribaan, sistem kredit, masalah kesehatan rakyat, masalah candu, pemadatan,
dan masalah perburuhan.
2.4.2 Politik Asosiasi
Kenyataan
di lapangan menunjukkan adanya kecenderungan para penguasa khususnya Gubernur
Jenderal keragu-raguan bahkan kekhawatiran. Kepentingan dan keperluan mereka
menjadi faktor penentu bagi sikap politiknya terhadap gerakan nasional.
Budi
Utomo yang menjelmakan gagasan untuk mencapai kemajuan dan perkembangan yang
harmonis di Hindia Belanda serta memusatkan perhatian kepada perluasan
pengajaran, perkembangan teknik dan industri, serta revivalisme budaya pribumi,
tidak merupakan ancaman politik terhadap pemerintahan kolonial.
Sarekat
Islam yang dasarnya agama, mempunyai potensi luar biasa untuk menghimpun
pengikut diantara rakyat kebanyakan. Meskipun tujuannya mencakup kegiatan
sosial-ekonomi, menertibkan kehidupan keagamaan, mempertinggi taraf kehidupan
rakyat pada umumnya, juga menganjurkan kepatuhan kepada pemerintah, penguasa
kolonial menyadari sepenuhnya kekuatan organisasi massa itu sehingga
berkeberatan untuk menyutujui pendirian Sarekat Islam selaku organisasi
nasional. Pemerintah kolonial hanya menyutujui Sarekat Islam selaku organisasi lokal
yang berdiri sendiri-sendiri.
Tindakan
pemerintah kolonial terhadap Indische Partij yang dipimpin oleh tiga serangkai,
Douwes Dekker, Soewardi Soeryaningrat, dan Tjipto Mangunkusumo lebih tegas
lagi. Aksi politik radikal yang dilancarkan oleh Indische Partij
terang-terangan menghendaki agar pemerintah kolonial harus diakhiri dan
dibubarkan. Para pemimpinnya dibuang dan organisasinya dibubarkan.
Melihat
perkembangan pergerakan nasional yang semakin menjadi-jadi, maka pemerintah
kolonial menganggap politik asosiasi paling tepat untuk diterapkan menghadapi
situasi yang demikian. Tujuan politik asosiasi adalah hendak menyalurkan dan
menjembatani paham yang berlawanan, tiruan, atau penyesuaian. Masyarakat perlu
memiliki sikap saling menghormati dan menghargai dalam perspektif Belanda. Alat
yang sangat utama untuk mencapai tujuan ini ialah melalui pengajaran.
2.4.3 Politik Konservatif
Dengan
memuncaknya pergerakan nasional yang bersifat radikal, timbullah reaksi
diantara golongan eropa yang menyusun organisasi politik yakni partai Vaderlandsche Club (VC). Tujuannya
terutama memperjuangkan stabilisasi masyarakat Hindia Belanda, termasuk menolak
status dengan hak berdiri. VC mnginginkan agar hubungan Belanda dengan Hindia
Belanda semakin dipererat. Mereka mengakui bahwa kepentingan khusus Belanda
tidak boleh menggerus kepentingan rakyat pribumi.
Pendirian VC dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1. menolak pergerakan nasional yang hendak menggulingkan pemerintah Belanda;
2. di Hindia Belanda tidak ada kesatuan sejarah, budaya,
dan bahasa, sehingga tidak ada dasar untuk berdiri sendiri selaku kesatuan;
3. kepentingan umum yang perlu dibela adalah kepentingan
negeri Belanda;
4.
Hindia Belanda dan
Belanda perlu dicakup dalam lingkungan besar yang disebut Nederland Raya.
Jelaslah
bahwa VC bersikap sangat konservatif karena kepentingan para anggotanya selaku
pengusaha hanya dapat didukung apabila status quo dapat dipertahankan. Ini berarti bahwa pimpinan dan kekuasaan
Belanda perlu dipertahankan pula.
2.4.4 Politik Penindasan
Pengaruh
modal besar terhadap pemerintah Hindia Belanda semakin besar pada masa
pemerintahan Gubernur Jenderal Fock. Sebagai pemimpin gaya lama, ia memerintah
secara otokratis dengan mengabaikan kekuatan rakyat yang sedang berkembang.
Tambahan pula, Fock mendapat tugas untuk menghemat. Di pihak lain, ia harus
mampu menambah penghasilan pemerintah.
Data
berikut menunjukkan kebijakan Fock yang dianggap menindas rakyat:
Grafik 2.1 Pendapatan Negara dai Pajak Rakyat (juta
Gulden)

Marwati,
DP & Nugroho N. Sejarah Nasional Indonesia V.
hal: 61
Dari
data diatas dapat dilihat telah terjadi kenaikan yang cukup signifikan
pendapatan negara dari pungutan pajak rakyat. Menurut laporan Mayer
Ranneftuender, selama pemerintahan Fock tekanan pajak terhadap penduduk Jawa
dan Madura naik sebesar 40%
Politik
penindasan yang diterapkan oleh Gubernur Jenderal Fock memicu kaum nasionalis
untuk menggalakkan pergerakan nasional. Kongres Al-Indie tokoh-tokoh pergerakan
nasional menguraikan pandangan dan cita-citanya. Selain itu, sebuah tim
delegasi menghadap Gubernur Jenderal untuk mengecam dan menegaskan tuntutan
mereka.
2.5 Tanggapan Pemerintah
Kolonial terhadap Pergerakan Nasional
Pihak
Indonesia yang dipelopori oleh pemimpin-pemimpin organisasi pergerakan nasional
mengambil kesimpulan bahwa Indonesia akan menjadi daerah jajahan untuk
selama-lamanya. Tokoh-tokoh pergerakan nasional melancarkan proppaganda
seluas-luasnya di kalangan rakyat untuk melaksanakan cita-cita negara kesatuan
Indonesia yang didasarkan atas demokrasi dan sistem parlementer dengan
pemilihan umumnya.
Melihat
berbagai perkembangan yang dirasa membahayakan kedudukannya, pada akhir tahun
1940 pemerintah kolonial menyatakan bahwa setiap pembicaraan tentang
kemerdekaan Indonesia perlu diitolak, karena akan membuat perkembangan
ketatanegaraan yang sudah demokratis berubah menjadi perjuangan kekuasaan.
BAB
3. SIMPULAN
Dari pembahasan yang telah penulis ulas pada bab
sebelumnya, dapat diambil beberapa simpulan sebagai berikut.
1.
Setelah runtuhnya
VOC pada tanggal 31 Desember 1799, Pemerintah Kerajaan Belanda mengambil alih
seluruh wilayah kekuasaannya, terutama di nusantara yang berpusat di Batavia,
Pulau Jawa. Selanjutnya dibentuk pemerintahan Hindia Belanda yang menjadi
penguasa nusantara.
2.
Masyarakat
Indonesia pada masa pemerintahan Kolonial Hindia Belanda berada dalam kehidupan
politik yang terbagi menjadi 2 bentuk, yakni kerajaan (kesultanan) dan bukan
kerajaan.
3.
Politik etis mulai
mulai dilaksanakan dengan pemberian bantuan sebesar 40 juta gulden, suatu
pemberian yang telah bertahun-tahun diperjuangkan oleh kaum etisi yang semuanya
menuntut pengembalian jutaan yang telah diambil oleh Belanda.
4.
Emigarasi ke
daerah luar Jawa disebabkan permintaan
besar akan tenaga kerja di daerah-daerah perkebunan Sumatra Utara, khususnya di
Deli, sedang emigrasi ke Lampung mempunyai tujuan untuk menetap.
5.
Edukasi diberikan
di sekolah kelas I kepada anak-anak pegawai negeri dan orang-orang yang
berkedudukan atau berharta, di sekolah kelas II kepada anak-anak pribumi pada
umumnya.
6.
Pada tahun 1904
didirikan bank kredit rakyat yang bertugas memberikan petunjuk penggunaan
kredit serta menyalurkan kredit itu sendiri. Lumbung desa juga didirikan dengan
sumbangan rakyat itu sendiri.
7.
Untuk penyesuaian
dengan perkembangan perusahaan bebas sejak tahun 1870, administrasi perlu
diubah berdasarkan prinsip persamaan dan ekonomi. Reorganisasi bertujuan
mempertinggi efisiensi dan memperbesar otonomi, maka untuk keperluan itu
diambil sebagai contoh lembaga-lembaga otonom yang telah didesentralisasikan di
negara Belanda.
8.
Undang-Undang baru
negeri Belanda memuat gagasan-gagasan seperti yang disarankan oleh panitia
perubahan. Hindia Belanda diakui sebagai bagian integral dari kerajaan Belanda.
Pemerintah tertinggi Hindia Belenda ada pada raja sedangkan pemerintahan umum
dipegang oleh seorang Gubernur Jendral seperti yang atur dalam Undang-Undang.
9.
Politik kolonial
dan tindakan Belanda berjalan diatas garis yang telah dibuat oleh Komisi Mandat
sesuai dengan prinsip-prinsip sistem Mandat Rangkap secara berturut-turut
Belanda berusaha mengadakan perubahan-perubahan dibidang pemerintahan dalam
negeri, memajukan kesehatan, pendidikan dan syarat-syarat kerja, dan memberi
fasilitas-fasilitas yang diperlukan bagi pengembangan sumber-sumber alam.
10. Untuk menaikkan tingkat kehidupan rakyat diusulkan
agar dibentuk semacam koperasi yang dimulai dari rakyat sendiri dengan bantuan
dari pemerintah. Beberapa permasalahan yang memerlukan pemecahan ialah: jumlah
penduduk, irigasi, keribaan, sistem kredit, masalah kesehatan rakyat, masalah
candu, pemadatan, dan masalah perburuhan.
11. Melihat perkembangan pergerakan nasional yang semakin
menjadi-jadi, maka pemerintah kolonial menganggap politik asosiasi paling tepat
untuk diterapkan menghadapi situasi yang demikian. Tujuan politik asosiasi
adalah hendak menyalurkan dan menjembatani paham yang berlawanan, tiruan, atau
penyesuaian.
12. Politik konservatif dianggap perlu untuk diterapkan
karena kepentingan para anggotanya selaku pengusaha hanya dapat didukung
apabila status quo dapat
dipertahankan. Ini berarti bahwa pimpinan dan kekuasaan Belanda perlu
dipertahankan pula.
13. Politik penindasan yang diterapkan oleh Gubernur
Jenderal Fock memicu kaum nasionalis untuk menggalakkan pergerakan nasional.
Kongres Al-Indie tokoh-tokoh pergerakan nasional menguraikan pandangan dan
cita-citanya. Selain itu, sebuah tim delegasi menghadap Gubernur Jenderal untuk
mengecam dan menegaskan tuntutan mereka.
14.
Melihat
berbagai perkembangan yang dirasa membahayakan kedudukannya, pada akhir tahun
1940 pemerintah kolonial menyatakan bahwa setiap pembicaraan tentang
kemerdekaan Indonesia perlu diitolak, karena akan membuat perkembangan
ketatanegaraan yang sudah demokratis berubah menjadi perjuangan kekuasaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar