Sabtu, 13 Oktober 2018

PERAN SEJARAH LISAN DALAM PENULISAN SEJARAH


PERAN SEJARAH LISAN DALAM PENULISAN SEJARAH

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Sebagaimana telah dikemukakan, sejarah lisan adalah pencarian sumber-sumber yang berdasarkan pada sumber lisan atau disebut dengan oral history. Metode sejarah lisan sesungguhnya sudah lama digunakan. Orang yang pertama kali menggunakan metode ini adalah Herodotus sejarawan Yunani yang pertama. Penggunaaan sejarah lisan di Indonesia, sebenarnya juga sudah lama dilakukan. Hal ini dapat dilihat dalam historiografi tradisional.
Sejarah lisan menjadi suatu metode mengalami perkembangan. Metode ini kembali dilihat oleh para ahli terutama di Amerika Serikat pada abad ke-20. Penggunaan sejarah lisan mulai diperhatikan kembali oleh para sejarawan karena adanya kekhawatiran orang-orang yang masih hidup dan menyaksikan peristiwa akan meninggal, sedangkan mereka sendiri tidak membuat catatan-catatan tertulis.
Hal terpenting dari sejarah lisan adalah untuk mencari informasi-informasi yang luput atau lolos dari sumber tertulis. Banyak pembicaraan yang tidak terekam dalam sumber tertulis. Penemuan-penemuan teknologi memberikan bantuan penting terhadap metode sejarah lisan, misalnya telepon. Barangkali ada kebijakan-kebijakan pemerintah yang berangkat dari pembicaraan-pembicaraan telepon dan tidak tercatat dalam arsip resmi. Pembicaraan-pembicaraan ini, kalau terekam, tentu akan menjadi sumber lisan yang berharga.
Perkembangan teknologi sangat menunjang terhadap perkembangan sejarah lisan. Penemuan teknologi tersebut seperti ditemukannya alat perekam (phonograph) pada tahun 1877. Perkembangan alat perekam pada tahun 1960, dengan ditemukannya tape recorder, semakin memudahkan untuk menyimpan data atau sumber lisan.

1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan apa yang dikemukakan dalam latar belakang maka penulis akan membuat rumusan masalah sebagai berikut :
1.      Apa sajakah kegunaan sejarah lisan dalam penulisan sejarah?
2.      Apa sajakah sumbangan sejarah lisan dalam penulisan sejarah?

1.3  Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka terdapat tujuan penulisan dalam pembahasan ini sebagai berikut:
1.      Dapat menganalisis kegunaan sejarah lisan dalam penulisan sejarah;
2.      Dapat menganalisis sumbangan sejarah lisan dalam penulisan sejarah.





















BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Kegunaan Sejarah Lisan dalam Penulisan Sejarah
Guna sejarah lisan menurut Kuntowijoyo (1995) mengatakan bahwa sejarah memiliki guna intrinsik dan guna ekstrinsik. Guna intrinsik sejarah mencangkup empat hal, sejarah sebagai ilmu, sejarah sebagai cara mengetahui masa lampau, sejarah sebagai pernyataan pendapat, dan sejarah sebagai profesi. Sementara itu, guna ekstrinsik sejarah juga mencangkup empat hal, yakni, fungsi pendidikan (moral, penalaran, politik, kebijakan, perubahan, masa depan, keindahan, dan ilmu bantu), latar belakang, rujukan dan bukti (Dienaputra, Reiza D. 2013: 19).
Dalam kaitanya dengan kepentingan rekonstruksi sejarah secara langsung, pada dasarnya sejarah lisan juga memiliki kegunaan tersendiri, yang mana kegunaan tersebut sebagian diantaranya bisa jadi merupakan kegunaan khas sejarah lisan. Guna pertama sejarah lisan dalam kaitanya dengan rekonstruksi sejarah, sejarah lisan dapat bergunai sebagai sumber pelengkap diantara sumber-sumber sejarah lainya. Guna sejarah lisan sebagai sumber pelengkap ini biasanya terjadi manakala sumber tertulis tersedia cukup memadai untuk melakukan suatu rekonstruksi sejarah. Peran khas sejarah lisan muncul manakala keberadaanya sebagai sumber pelengkap mampu menjadikan sebuah rekonstruksi sejarah menjadi lebih hidup. Dalam bahasa Taufik Abdullah (1982), bila dikerjakan dengan baik, sejarah lisan tidak saja akan mampu mengisi kekurangan dari sumber-sumber tertulis dalam usaha merekonstruksi suatu peristiwa tetapi juga akan mampu memberi suasana (sphere) dari periode yang diteliti. Dengan cara itu, humanisasi studi sejarah dapat dilanjutkan (Dienaputra, Reiza D. 2013: 20).
Selain itu sejarah lisan masih mempunyai banyak kegunaan, diantaranya yaitu sejarah lisan sebagai metode dapat dipergunakan secara tunggal dan dapat pula sebagai bahan dokumenter (Kuntowijoyo, 2003: 26).
Sebagai metode tunggal, sejarah lisan tidak kurang pentingnya jika dilakukan dengan cermat. Banyak sekali permasalahan sejarah, bahkan dalam zaman modern ini yang tidak tertangkap dalam dokumen-dokumen. Dokumen hanya menjadi saksi dari kejadian-kejadian penting menurut kepentingan pembuat dokumen dan zamannya, tetapi tidak melestarikan kejadian-kejadian individual dan yang unik yang dialami oleh seseorang atau segolongan. Apalagi minat dan perhatian sejarawan akan berbeda dengan minat dan perhatian pembuat dokumen sehingga sejarawan masih harus mencari sendiri cara untuk mendapatkan keterangan, dengan teknik wawancara yang benar keabsahan keterangan-keterangan lisan pun dapat dipertanggungjawabkan (Kuntowijoyo, 2003: 27).
Sebagai metode pelengkap terhadap bahan dokumenter, sejarah lisan sudah lama dipergunakan, juga di Indonesia. Hampir semua penulis sejarah mempergunakannya dengan kadar yang berbeda. Dalam penulisan biografi metode ini sudah sangat banyak dipakai. Sejarawan akademis yang mempunyai kesempatan terhadap bahan-bahan dokumenter dan sumber lisan dapat diharapkan akan menulis biografi dengan corak lain karena perspektif kesejarahannya akan sanggup menampilkan pelaku-pelaku sejarah di tengah-tengah masyarakat dan zamannya. Dalam hal ini, yaitu dalam penulisan sejarah kontemporer terutama sejak 1945, penulis-penulis sejarah, baik sejarah militer, sejarah dinas, sejarah perang, dan sejarah yang ditulis untuk skripsi, semuanya telah menggunakan sejarah lisan sebagai pelengkap dari bahan dokumenter. Untuk menyusun daftar kegiatan ini saja tentulah memerlukan waktu (Kuntowijoyo, 2003: 28).
Selain sebagai metode, sejarah lisan dapat dipergunakan sebagai sumber sejarah. Kegiatan penyediaan sumber berbeda dengan sejarah lisan sebagai metode dalam hal bahwa yang pertama kegiatan dilakukan secara terpisah dari penulisan, sedangkan dalam hal yang kedua pemakai sejarah lisan ialah pewawancara sendiri. (Kuntowijoyo, 2003: 28-29).
Di Indonesia kegiatan sejarah lisan sebagai penyediaan sumber dimulai oleh Arsip Nasional RI sejak 1973. Penataran-penataran untuk melatih pewawancara sudah sering diadakan. Pengumpulan sumber sejarah lisan mempunyai teknik-teknik dan prasarana tersendiri. Pekerjaan yang terpenting, yang langsung mengenai pengumpulan sejarah lisan ialah wawancara, menyalin, dan menyunting. Selanjutnya sebagai sumber, sama halnya dengan bahan arsip atau perpustakaan ialah sebagaimana dapat memberikan pelayanan kepada peminat dan publik. Tidak diragukan lagi sejarawanlah yang paling beruntung dengan tersedianya bahan-bahan itu (Kuntowijoyo, 2003: 29).

2.2 Sumbangan Sejarah lisan dalam Penulisan Sejarah
Sejarah lisan dengan kekayaan materinya yang lebih membumi dan lebih manusiawi dapat memberikan sumbangan berupa rekonstruksi lapis bawah peristiwa atau penulisan sejarah dari bawah , yang pada umumnya kekuatan ini jarang sekali dimiliki oleh sumber tertulis. Tegasnya, bila sumber tertulis umumnya hanya mencatat peristiwa-peristiwa besar atau peran orang-orang besar maka sejarah lisan dapat mewarnainya dengan kisah peristiwa lainya yang dianggap tidak besar padahal turut menentukan terjadinya peristiwa besar tersebut atau mewarnainya dengan kisah peristiwa lainya yang dianggap tidak besar padahal turut memainkan peran penting dalam melahirkan tindakan-tindakan penting yang dilakukan orang besar. Sejarah lisan menjadikan sejarah menjadi lebih memasyarakat dan dimiliki banyak orang atau dalam bahasa Paul Thomspson (1978), sejarah lisan mampu mengembalikan sejarah kepada masyarakat serta menjadikan sejarah lebih demokratis (Dienaputra, Reiza D. 2013: 20-21).
Guna kedua sejarah lisan dalam kaitanya dengan rekonstruksi sejarah, sejarah lisan dapat menjadi sumber sejarah satu-satunya guna ini dapat dimainkan sejarah lisan tidak hanya manakala sumber tertulis kurang memadai tetapi juga manakala sumber tertulis tidak tersedia sama sekali. Dengan demikian, seiring dengan kemajuan teknologi, sejarah lisan dapat menjadi sumber sejarah satu-satunya dalam melakukan rekonstruksi sejarah. Saat sejarah lisan tampil sebagai sumber sejarah satu-satunya peluang untuk menjadikan hasil rekonstruksi sejarah sebagai milik masyarakat menjadi terbuka jauh lebih lebar. Berbagi lapis bawah peristiwa dapat diungkap secara optimal. Namun demikian pula, keberadaan sejarah lisan sebagi sumber sejarah satu-satunya dalam melakukan rekonstruksi sejarah tentu harus disikapi secara jauh lebih kritis (Dienaputra, Reiza D. 2013: 21).
Guna ketiga sejarah lisan adalah memberikan semacam discovery atau ruang kepada sejarawan untuk mengembangkan penelitian di masa depan. Realitas perkembangan kontenporer telah memperlihatkan semakin berkurangnya tradisi tulis di tengah masyarakat serta budaya tulis di atas media kertas. Berkurangnya popularitas kantor pos dan kantor telegram menjadi bukti tak terbantahkan tentang berkurangnya tradisi tulis dan budaya tulis di atas media kertas. Sebagai gantinya, masyarakat menjadi jauh lebih akrab dengan media komunikasi elektronik, baik yang disampaikan langsung dalam bentuk komunikasi lisan maupun tulisan. Perbedaan tradisi tulis dengan era sebelumnya, pesan disampaikan menjadi jauh lebih pendek yang secara otomatis akan mengurangi kapasitas atau kebiasaan menulis dan tentunya hasilnya pun tidak erdokumentasikan dalam bentuk tulisan (Dienaputra, Reiza D. 2013: 21).
Perkembangan kontemporer yang semakin menjauh dari tradisi tulis dan bahkan bukan tidak mungkinakan menumpas budaya kertas (paper culture) jelas secara perlahan tapi pasti akan menjadi musibah besar bagi sejarah. Sejarah sepertinya akan kehilangan jati dirinya karena bisa jadi akan kehilangan sumber tertulis sebagai bahan utama rekonstruksinya. Padahal, sumber tertulis begitu lekat dengan sejarah dan ketiadaan sumber tertulis bagi sebagian orang dapat berarti berakhirnya usia sejarah. Semua kekhawatiran tersebut jelas tidak perlu dan tidak akan terjadi karena sejarah masih memiliki sumber lainya yang terandalkan yakni sejarah lisan. Sejarah lisan dengan demikian akan mampu menjawab segala tantangan yang akan terjadi di masa depan, terutama berkaitan dengan semakin berkurangnya keberadaan sumber tertulis. Kapasitas sejarah lisan untuk membuat sejarah tetap eksis memiliki peluang sangat besar. (Dienaputra, Reiza D. 2013: 22).
Sejarah lisan mempunyai sumbangan yang besar dalam mengembangkan substansi penulisan sejarah. Pertama, dengan sifatnya yang kontemporer sejarah lisan memberikan kemungkinan yang hampir-hampir tak terbatas untuk menggali sejarah dari pelaku-pelakunya. Kedua, sejarah lisan dapat mencapai pelaku-pelaku sejarah yang tidak disebutkan dalam dokumen. Dengan kata lain, dapat mengubah citra sejarah yang elitis kepada citra sejarah yang egalitarian. Ketiga, sejarah lisan memungkinkan perluasan permasalahan sejarah, karena sejarah tidak lagi dibatasi kepada adanya dokumen tertulis (Kuntowijoyo, 2003: 29-30).
Sumbangan sejarah lisan dalam penulisan sejarah yang lebih egalitarian tampak dalam kemampuannya untuk menjangkau pelaku-pelaku dengan peranan kecil. Sampai sekarang sejarah yang kita kenal hanyalah sejarah dari tokoh-tokoh dan kelompok yang karena posisinya dapat terjangkau oleh dokumen resmi. Sejarah hanya akan berbuat adil jika mampu mengungkapkan gambaran total tentang masa lampau termasuk sejarah revolusi. Sejarah, seperti sastra, mampu menciptakan sebuah epos revolusi tidak melalui imajinasi, tetapi melalui fakta (Kuntowijoyo, 2003: 31-32).
Sejarah lisan juga mempunyai sumbangan dalam penulisan sejarah keluarga. Sejarah keluarga mempunyai dua arti. Pertama, sebagai sejarah kelembagaan, sejarah keluarga meneliti kelembagaan keluarga sebagai unit sosial ekonomi dan perubahannya dari waktu ke waktu. Kedua, sehubungan dengan perkembangan masyarakat Indonesia akhir-akhir ini, sejarah keluarga dapat berarti sejarah trah. Dalam kedua-duanya sejarah lisan amat penting. Di sini dibicarakan sejarah keluarga dalam arti yang kedua sambil mengenalkan kemungkinan baru dalam penulisan sejarah di Indonesia. Cara yang dipakai untuk meneliti satu persatu anggota trah ialah dengan mengedarkan pertanyaan tertulis digabungkan dengan wawancara. Untuk mengukur mobilitas sosial dapat digunakan pendekatan kuantitatif seperti pemakaian komputer dalam menganalisis data keluarga. Dalam sejarah keluarga ini sejarah lisan jelas diperlukan, baik sebagai pengganti maupun sebagai tambahan dari dokumen (Kuntowijoyo, 2003: 35).
Demikian juga sejarah desa memerlukan sejarah lisan. Desa-desa kita tidak banyak yang menyimpan dokumen lebih tua dari 1950. Kekurangan itu tentu harus diisi oleh sejarah lisan. Perubahan-perubahan sosial di desa tidak sampai dicatat oleh statistik di kelurahan. Misalnya kita akan menulis sejarah agraria di desa: pembagian tanah, pemilikan tanah, peralihan tanah, jual-beli, dan gadai. Dalam soal-soal semacam itu penelitian berdasarkan daftar di catatan agraria saja tentu tidak cukup. Masih ada kebiasaan di desa dengan pemilikan tanah secara bersama oleh keluarga meskipun dalam bentuk pajak hanya tercantum satu nama saja. Sejarah lisan akan sanggup memverifikasikan hal semacam itu. Masih terjadi di Jenggawah yang merupakan peristiwa diungkapkan semata-mata dari dokumen. Demikian juga masalah desa yang lain seperti terbentuknya desa-desa yang lain di daerah transmigrasi masih banyak yang bisa dikerjakan oleh sejarawan dengan peralatan sejarah lisan. Lebih makro sebuah sejarah, lebih banyak ia memerlukan sumber lisan. (Kuntowijoyo, 2003: 35-36).
Sama seperti sejarah desa, sejarah kota memerlukan jasa sejarah lisan. Sejarah geografi tempat tinggal, demografi, dan fisik kota mungkin dapat ditemukan dalam dokumen dinas-dinas kota. Tetapi sejarah sosial budaya kontemporer kota barangkali dapat dilihat terutama melalui ingatan warga kotanya. Bahan-bahan seperti koran, majalah, dan buku-buku tidak dapat sepenuhnya memberi kesaksian tentang kehidupan kota yang kompleks. Kota-kota tradisional seperti Surakarta dan Yogyakarta masih menyimpan sisa-sisa masyarakat masa lampau ketika kerajaan masih jaya. Hubungan sosial antar bangsawan, antar status, dan antar kelas sosial di masa lampau, pergeseran dari bendara ke priyai pegawai negeri hanya dapat ditangkap melalui kesaksian-kesaksian. Demikian pula hubungan sosial antara penduduk Belanda dengan pribumi. Juga keadaan kota di zaman Jepang banyak dijumpai dalam sumber lisan. Setiap orang, setiap kelompok sosial, dan setiap kurun sejarah akan melihat kotanya dengan pandangan berbeda. Bagaimana warga kota di masa lalu memandang lingkungan hidupnya merupakan pertanyaan penting yang mungkin dapat mempengaruhi kebijaksanaan pengembangan kota. Apalagi jika mengingat sebuah kota tradisional akan menarik wisatawan lebih banyak pastilah citra kota di masa lalu mendapat tempat kembali dalam perencanaan retradisionalisasi kota kalau mungkin. Di sini belum lagi kita melihat kota sebagai unit penelitian sejarah politik, ekonomi, kesenian, intelektual, dan budaya yang tertentu memerlukan begitu banyak wawancara (Kuntowijoyo, 2003: 36-37).

























BAB 3. PENUTUP

3.1 Simpulan
Guna sejarah lisan memiliki guna intrinsik dan guna ekstrinsik. Guna intrinsik sejarah mencangkup empat hal, sejarah sebagai ilmu, sejarah sebagai cara mengetahui masa lampau, sejarah sebagai pernyataan pendapat, dan sejarah sebagai profesi. Sementara itu, guna ekstrinsik sejarah juga mencangkup empat hal, yakni, fungsi pendidikan (moral, penalaran, politik, kebijakan, perubahan, masa depan, keindahan, dan ilmu bantu), latar belakang, rujukan dan bukti. Selain itu sejarah lisan masih mempunyai banyak kegunaan, diantaranya yaitu sejarah lisan sebagai metode dapat dipergunakan secara tunggal dan dapat pula sebagai bahan dokumenter. Sedangkan sumbangan sejarah lisan dalam penulisan sejarah  diantaranya yaitu sejarah lisan mempunyai sumbangan yang besar dalam mengembangkan substansi penulisan sejarah. Pertama, dengan sifatnya yang kontemporer sejarah lisan memberikan kemungkinan yang hampir-hampir tak terbatas untuk menggali sejarah dari pelaku-pelakunya. Kedua, sejarah lisan dapat mencapai pelaku-pelaku sejarah yang tidak disebutkan dalam dokumen. Dengan kata lain, dapat mengubah citra sejarah yang elitis kepada citra sejarah yang egalitarian. Ketiga, sejarah lisan memungkinkan perluasan permasalahan sejarah, karena sejarah tidak lagi dibatasi kepada adanya dokumen tertulis.









DAFTAR PUSTAKA

Kuntowijiyo. 2003. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: P.T Tiara Wacana Yogya.
Dienaputra, Reiza D. 2013. Sejarah Lisan: Metode dan Praktek. Bandung: Balatin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar