PERAN SEJARAH LISAN DALAM PENULISAN SEJARAH
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Sebagaimana
telah dikemukakan, sejarah lisan adalah pencarian sumber-sumber yang
berdasarkan pada sumber lisan atau disebut dengan oral history. Metode
sejarah lisan sesungguhnya sudah lama digunakan. Orang yang pertama kali
menggunakan metode ini adalah Herodotus sejarawan Yunani yang pertama.
Penggunaaan sejarah lisan di Indonesia, sebenarnya juga sudah lama dilakukan.
Hal ini dapat dilihat dalam historiografi tradisional.
Sejarah
lisan menjadi suatu metode mengalami perkembangan. Metode ini kembali dilihat
oleh para ahli terutama di Amerika Serikat pada abad ke-20. Penggunaan sejarah
lisan mulai diperhatikan kembali oleh para sejarawan karena adanya kekhawatiran
orang-orang yang masih hidup dan menyaksikan peristiwa akan meninggal,
sedangkan mereka sendiri tidak membuat catatan-catatan tertulis.
Hal
terpenting dari sejarah lisan adalah untuk mencari informasi-informasi yang
luput atau lolos dari sumber tertulis. Banyak pembicaraan yang tidak terekam
dalam sumber tertulis. Penemuan-penemuan teknologi memberikan bantuan penting
terhadap metode sejarah lisan, misalnya telepon. Barangkali ada
kebijakan-kebijakan pemerintah yang berangkat dari pembicaraan-pembicaraan
telepon dan tidak tercatat dalam arsip resmi. Pembicaraan-pembicaraan ini,
kalau terekam, tentu akan menjadi sumber lisan yang berharga.
Perkembangan
teknologi sangat menunjang terhadap perkembangan sejarah lisan. Penemuan
teknologi tersebut seperti ditemukannya alat perekam (phonograph) pada
tahun 1877. Perkembangan alat perekam pada tahun 1960, dengan ditemukannya tape
recorder, semakin memudahkan untuk menyimpan data atau sumber lisan.
1.2 Rumusan
Masalah
Berdasarkan
apa yang dikemukakan dalam latar belakang maka penulis akan membuat rumusan
masalah sebagai berikut :
1.
Apa sajakah kegunaan sejarah lisan dalam penulisan
sejarah?
2.
Apa sajakah sumbangan sejarah lisan dalam penulisan
sejarah?
1.3 Tujuan
Berdasarkan
rumusan masalah di atas, maka terdapat tujuan penulisan dalam pembahasan ini
sebagai berikut:
1. Dapat
menganalisis kegunaan sejarah lisan dalam penulisan sejarah;
2. Dapat
menganalisis sumbangan sejarah lisan dalam penulisan sejarah.
BAB 2. PEMBAHASAN
2.1
Kegunaan Sejarah Lisan dalam Penulisan Sejarah
Guna sejarah lisan menurut Kuntowijoyo
(1995) mengatakan bahwa sejarah memiliki guna intrinsik dan guna ekstrinsik.
Guna intrinsik sejarah mencangkup empat hal, sejarah sebagai ilmu, sejarah
sebagai cara mengetahui masa lampau, sejarah sebagai pernyataan pendapat, dan
sejarah sebagai profesi. Sementara itu, guna ekstrinsik sejarah juga mencangkup
empat hal, yakni, fungsi pendidikan (moral, penalaran, politik, kebijakan,
perubahan, masa depan, keindahan, dan ilmu bantu), latar belakang, rujukan dan
bukti (Dienaputra, Reiza D. 2013: 19).
Dalam kaitanya dengan kepentingan
rekonstruksi sejarah secara langsung, pada dasarnya sejarah lisan juga memiliki
kegunaan tersendiri, yang mana kegunaan tersebut sebagian diantaranya bisa jadi
merupakan kegunaan khas sejarah lisan. Guna pertama sejarah lisan dalam
kaitanya dengan rekonstruksi sejarah, sejarah lisan dapat bergunai sebagai
sumber pelengkap diantara sumber-sumber sejarah lainya. Guna sejarah lisan
sebagai sumber pelengkap ini biasanya terjadi manakala sumber tertulis tersedia
cukup memadai untuk melakukan suatu rekonstruksi sejarah. Peran khas sejarah
lisan muncul manakala keberadaanya sebagai sumber pelengkap mampu menjadikan
sebuah rekonstruksi sejarah menjadi lebih hidup. Dalam bahasa Taufik Abdullah
(1982), bila dikerjakan dengan baik, sejarah lisan tidak saja akan mampu
mengisi kekurangan dari sumber-sumber tertulis dalam usaha merekonstruksi suatu
peristiwa tetapi juga akan mampu memberi suasana (sphere) dari periode yang diteliti.
Dengan cara itu, humanisasi studi sejarah dapat dilanjutkan (Dienaputra, Reiza
D. 2013: 20).
Selain itu sejarah lisan masih mempunyai
banyak kegunaan, diantaranya yaitu sejarah lisan sebagai metode dapat
dipergunakan secara tunggal dan dapat pula sebagai bahan dokumenter (Kuntowijoyo,
2003: 26).
Sebagai metode tunggal, sejarah lisan
tidak kurang pentingnya jika dilakukan dengan cermat. Banyak sekali
permasalahan sejarah, bahkan dalam zaman modern ini yang tidak tertangkap dalam
dokumen-dokumen. Dokumen hanya menjadi saksi dari kejadian-kejadian penting
menurut kepentingan pembuat dokumen dan zamannya, tetapi tidak melestarikan
kejadian-kejadian individual dan yang unik yang dialami oleh seseorang atau
segolongan. Apalagi minat dan perhatian sejarawan akan berbeda dengan minat dan
perhatian pembuat dokumen sehingga sejarawan masih harus mencari sendiri cara
untuk mendapatkan keterangan, dengan teknik wawancara yang benar keabsahan
keterangan-keterangan lisan pun dapat dipertanggungjawabkan (Kuntowijoyo,
2003: 27).
Sebagai metode pelengkap terhadap bahan
dokumenter, sejarah lisan sudah lama dipergunakan, juga di Indonesia. Hampir
semua penulis sejarah mempergunakannya dengan kadar yang berbeda. Dalam
penulisan biografi metode ini sudah sangat banyak dipakai. Sejarawan akademis
yang mempunyai kesempatan terhadap bahan-bahan dokumenter dan sumber lisan
dapat diharapkan akan menulis biografi dengan corak lain karena perspektif
kesejarahannya akan sanggup menampilkan pelaku-pelaku sejarah di tengah-tengah masyarakat
dan zamannya. Dalam hal ini, yaitu dalam penulisan sejarah kontemporer terutama
sejak 1945, penulis-penulis sejarah, baik sejarah militer, sejarah dinas,
sejarah perang, dan sejarah yang ditulis untuk skripsi, semuanya telah
menggunakan sejarah lisan sebagai pelengkap dari bahan dokumenter. Untuk
menyusun daftar kegiatan ini saja tentulah memerlukan waktu (Kuntowijoyo,
2003: 28).
Selain sebagai metode, sejarah lisan dapat
dipergunakan sebagai sumber sejarah. Kegiatan penyediaan sumber berbeda dengan
sejarah lisan sebagai metode dalam hal bahwa yang pertama kegiatan dilakukan
secara terpisah dari penulisan, sedangkan dalam hal yang kedua pemakai sejarah
lisan ialah pewawancara sendiri. (Kuntowijoyo, 2003: 28-29).
Di Indonesia kegiatan sejarah lisan sebagai
penyediaan sumber dimulai oleh Arsip Nasional RI sejak 1973.
Penataran-penataran untuk melatih pewawancara sudah sering diadakan.
Pengumpulan sumber sejarah lisan mempunyai teknik-teknik dan prasarana
tersendiri. Pekerjaan yang terpenting, yang langsung mengenai pengumpulan
sejarah lisan ialah wawancara, menyalin, dan menyunting. Selanjutnya sebagai
sumber, sama halnya dengan bahan arsip atau perpustakaan ialah sebagaimana
dapat memberikan pelayanan kepada peminat dan publik. Tidak diragukan lagi sejarawanlah
yang paling beruntung dengan tersedianya bahan-bahan itu (Kuntowijoyo,
2003: 29).
2.2
Sumbangan Sejarah lisan dalam Penulisan Sejarah
Sejarah lisan dengan kekayaan materinya
yang lebih membumi dan lebih manusiawi dapat memberikan sumbangan berupa
rekonstruksi lapis bawah peristiwa atau penulisan sejarah dari bawah , yang
pada umumnya kekuatan ini jarang sekali dimiliki oleh sumber tertulis.
Tegasnya, bila sumber tertulis umumnya hanya mencatat peristiwa-peristiwa besar
atau peran orang-orang besar maka sejarah lisan dapat mewarnainya dengan kisah
peristiwa lainya yang dianggap tidak besar padahal turut menentukan terjadinya
peristiwa besar tersebut atau mewarnainya dengan kisah peristiwa lainya yang
dianggap tidak besar padahal turut memainkan peran penting dalam melahirkan
tindakan-tindakan penting yang dilakukan orang besar. Sejarah lisan menjadikan
sejarah menjadi lebih memasyarakat dan dimiliki banyak orang atau dalam bahasa
Paul Thomspson (1978), sejarah lisan mampu mengembalikan sejarah kepada
masyarakat serta menjadikan sejarah lebih demokratis (Dienaputra, Reiza D.
2013: 20-21).
Guna kedua sejarah lisan dalam kaitanya
dengan rekonstruksi sejarah, sejarah lisan dapat menjadi sumber sejarah
satu-satunya guna ini dapat dimainkan sejarah lisan tidak hanya manakala sumber
tertulis kurang memadai tetapi juga manakala sumber tertulis tidak tersedia
sama sekali. Dengan demikian, seiring dengan kemajuan teknologi, sejarah lisan
dapat menjadi sumber sejarah satu-satunya dalam melakukan rekonstruksi sejarah.
Saat sejarah lisan tampil sebagai sumber sejarah satu-satunya peluang untuk
menjadikan hasil rekonstruksi sejarah sebagai milik masyarakat menjadi terbuka
jauh lebih lebar. Berbagi lapis bawah peristiwa dapat diungkap secara optimal.
Namun demikian pula, keberadaan sejarah lisan sebagi sumber sejarah
satu-satunya dalam melakukan rekonstruksi sejarah tentu harus disikapi secara
jauh lebih kritis (Dienaputra, Reiza D. 2013: 21).
Guna ketiga sejarah lisan adalah
memberikan semacam discovery atau ruang kepada sejarawan untuk mengembangkan
penelitian di masa depan. Realitas perkembangan kontenporer telah
memperlihatkan semakin berkurangnya tradisi tulis di tengah masyarakat serta
budaya tulis di atas media kertas. Berkurangnya popularitas kantor pos dan kantor
telegram menjadi bukti tak terbantahkan tentang berkurangnya tradisi tulis dan
budaya tulis di atas media kertas. Sebagai gantinya, masyarakat menjadi jauh
lebih akrab dengan media komunikasi elektronik, baik yang disampaikan langsung
dalam bentuk komunikasi lisan maupun tulisan. Perbedaan tradisi tulis dengan
era sebelumnya, pesan disampaikan menjadi jauh lebih pendek yang secara
otomatis akan mengurangi kapasitas atau kebiasaan menulis dan tentunya hasilnya
pun tidak erdokumentasikan dalam bentuk tulisan (Dienaputra, Reiza D. 2013:
21).
Perkembangan kontemporer yang semakin
menjauh dari tradisi tulis dan bahkan bukan tidak mungkinakan menumpas budaya
kertas (paper culture) jelas secara perlahan tapi pasti akan menjadi musibah
besar bagi sejarah. Sejarah sepertinya akan kehilangan jati dirinya karena bisa
jadi akan kehilangan sumber tertulis sebagai bahan utama rekonstruksinya.
Padahal, sumber tertulis begitu lekat dengan sejarah dan ketiadaan sumber
tertulis bagi sebagian orang dapat berarti berakhirnya usia sejarah. Semua
kekhawatiran tersebut jelas tidak perlu dan tidak akan terjadi karena sejarah
masih memiliki sumber lainya yang terandalkan yakni sejarah lisan. Sejarah
lisan dengan demikian akan mampu menjawab segala tantangan yang akan terjadi di
masa depan, terutama berkaitan dengan semakin berkurangnya keberadaan sumber
tertulis. Kapasitas sejarah lisan untuk membuat sejarah tetap eksis memiliki
peluang sangat besar. (Dienaputra, Reiza D. 2013: 22).
Sejarah lisan mempunyai sumbangan yang
besar dalam mengembangkan substansi penulisan sejarah. Pertama, dengan sifatnya
yang kontemporer sejarah lisan memberikan kemungkinan yang hampir-hampir tak
terbatas untuk menggali sejarah dari pelaku-pelakunya. Kedua, sejarah lisan
dapat mencapai pelaku-pelaku sejarah yang tidak disebutkan dalam dokumen.
Dengan kata lain, dapat mengubah citra sejarah yang elitis kepada citra sejarah
yang egalitarian. Ketiga, sejarah lisan memungkinkan perluasan permasalahan
sejarah, karena sejarah tidak lagi dibatasi kepada adanya dokumen tertulis (Kuntowijoyo,
2003: 29-30).
Sumbangan sejarah lisan dalam penulisan
sejarah yang lebih egalitarian tampak dalam kemampuannya untuk menjangkau
pelaku-pelaku dengan peranan kecil. Sampai sekarang sejarah yang kita kenal
hanyalah sejarah dari tokoh-tokoh dan kelompok yang karena posisinya dapat
terjangkau oleh dokumen resmi. Sejarah hanya akan berbuat adil jika mampu
mengungkapkan gambaran total tentang masa lampau termasuk sejarah revolusi.
Sejarah, seperti sastra, mampu menciptakan sebuah epos revolusi tidak melalui
imajinasi, tetapi melalui fakta (Kuntowijoyo, 2003: 31-32).
Sejarah lisan juga mempunyai sumbangan dalam
penulisan sejarah keluarga. Sejarah keluarga mempunyai dua arti. Pertama,
sebagai sejarah kelembagaan, sejarah keluarga meneliti kelembagaan keluarga
sebagai unit sosial ekonomi dan perubahannya dari waktu ke waktu. Kedua,
sehubungan dengan perkembangan masyarakat Indonesia akhir-akhir ini, sejarah
keluarga dapat berarti sejarah trah. Dalam kedua-duanya sejarah lisan amat penting.
Di sini dibicarakan sejarah keluarga dalam arti yang kedua sambil mengenalkan
kemungkinan baru dalam penulisan sejarah di Indonesia. Cara yang dipakai untuk
meneliti satu persatu anggota trah ialah dengan mengedarkan pertanyaan tertulis
digabungkan dengan wawancara. Untuk mengukur mobilitas sosial dapat digunakan
pendekatan kuantitatif seperti pemakaian komputer dalam menganalisis data
keluarga. Dalam sejarah keluarga ini sejarah lisan jelas diperlukan, baik
sebagai pengganti maupun sebagai tambahan dari dokumen (Kuntowijoyo, 2003: 35).
Demikian juga sejarah desa memerlukan sejarah
lisan. Desa-desa kita tidak banyak yang menyimpan dokumen lebih tua dari 1950.
Kekurangan itu tentu harus diisi oleh sejarah lisan. Perubahan-perubahan sosial
di desa tidak sampai dicatat oleh statistik di kelurahan. Misalnya kita akan
menulis sejarah agraria di desa: pembagian tanah, pemilikan tanah, peralihan
tanah, jual-beli, dan gadai. Dalam soal-soal semacam itu penelitian berdasarkan
daftar di catatan agraria saja tentu tidak cukup. Masih ada kebiasaan di desa
dengan pemilikan tanah secara bersama oleh keluarga meskipun dalam bentuk pajak
hanya tercantum satu nama saja. Sejarah lisan akan sanggup memverifikasikan hal
semacam itu. Masih terjadi di Jenggawah yang merupakan peristiwa diungkapkan
semata-mata dari dokumen. Demikian juga masalah desa yang lain seperti
terbentuknya desa-desa yang lain di daerah transmigrasi masih banyak yang bisa
dikerjakan oleh sejarawan dengan peralatan sejarah lisan. Lebih makro sebuah sejarah,
lebih banyak ia memerlukan sumber lisan. (Kuntowijoyo, 2003: 35-36).
Sama seperti sejarah desa, sejarah kota
memerlukan jasa sejarah lisan. Sejarah geografi tempat tinggal, demografi, dan
fisik kota mungkin dapat ditemukan dalam dokumen dinas-dinas kota. Tetapi
sejarah sosial budaya kontemporer kota barangkali dapat dilihat terutama
melalui ingatan warga kotanya. Bahan-bahan seperti koran, majalah, dan
buku-buku tidak dapat sepenuhnya memberi kesaksian tentang kehidupan kota yang
kompleks. Kota-kota tradisional seperti Surakarta dan Yogyakarta masih
menyimpan sisa-sisa masyarakat masa lampau ketika kerajaan masih jaya. Hubungan
sosial antar bangsawan, antar status, dan antar kelas sosial di masa lampau,
pergeseran dari bendara ke priyai pegawai negeri hanya dapat ditangkap melalui
kesaksian-kesaksian. Demikian pula hubungan sosial antara penduduk Belanda
dengan pribumi. Juga keadaan kota di zaman Jepang banyak dijumpai dalam sumber
lisan. Setiap orang, setiap kelompok sosial, dan setiap kurun sejarah akan
melihat kotanya dengan pandangan berbeda. Bagaimana warga kota di masa lalu
memandang lingkungan hidupnya merupakan pertanyaan penting yang mungkin dapat
mempengaruhi kebijaksanaan pengembangan kota. Apalagi jika mengingat sebuah
kota tradisional akan menarik wisatawan lebih banyak pastilah citra kota di
masa lalu mendapat tempat kembali dalam perencanaan retradisionalisasi kota
kalau mungkin. Di sini belum lagi kita melihat kota sebagai unit penelitian
sejarah politik, ekonomi, kesenian, intelektual, dan budaya yang tertentu memerlukan
begitu banyak wawancara (Kuntowijoyo, 2003: 36-37).
BAB 3. PENUTUP
3.1
Simpulan
Guna sejarah lisan memiliki guna intrinsik
dan guna ekstrinsik. Guna intrinsik sejarah mencangkup empat hal, sejarah
sebagai ilmu, sejarah sebagai cara mengetahui masa lampau, sejarah sebagai
pernyataan pendapat, dan sejarah sebagai profesi. Sementara itu, guna
ekstrinsik sejarah juga mencangkup empat hal, yakni, fungsi pendidikan (moral,
penalaran, politik, kebijakan, perubahan, masa depan, keindahan, dan ilmu
bantu), latar belakang, rujukan dan bukti. Selain itu sejarah lisan masih
mempunyai banyak kegunaan, diantaranya yaitu sejarah lisan sebagai metode dapat
dipergunakan secara tunggal dan dapat pula sebagai bahan dokumenter. Sedangkan
sumbangan sejarah lisan dalam penulisan sejarah
diantaranya yaitu sejarah lisan mempunyai sumbangan yang besar dalam
mengembangkan substansi penulisan sejarah. Pertama, dengan sifatnya yang
kontemporer sejarah lisan memberikan kemungkinan yang hampir-hampir tak
terbatas untuk menggali sejarah dari pelaku-pelakunya. Kedua, sejarah lisan
dapat mencapai pelaku-pelaku sejarah yang tidak disebutkan dalam dokumen.
Dengan kata lain, dapat mengubah citra sejarah yang elitis kepada citra sejarah
yang egalitarian. Ketiga, sejarah lisan memungkinkan perluasan permasalahan
sejarah, karena sejarah tidak lagi dibatasi kepada adanya dokumen tertulis.
DAFTAR PUSTAKA
Kuntowijiyo. 2003. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: P.T
Tiara Wacana Yogya.
Dienaputra,
Reiza D. 2013. Sejarah Lisan: Metode dan
Praktek. Bandung: Balatin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar