
KONDISI SOSIAL DAN
BUDAYA BANGSA INDONESIA
PADA MASA PERGERAKAN
NASIONAL INDONESIA
MAKALAH
Oleh
Muhardin
NIM 140210302038
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2015
Dek bukunya sudah?:-)KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang
telah memberikan nikmat Serta hidayah-Nya, terutama nikmat kesempatan dan
kesehatan sehingga kami dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Sejarah Nasional
Indonesia III dengan judul Kondisi Sosial dan Budaya Bangsa Indonesia Pada Masa
Pergerakan Nasional Indonesia sesuai batas waktu yang telah ditentukan.
Kemudian Sholawat serta Salam kita sampaikan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW yang telah memberikan pedoman hidup yakni, Al-Qur’an dan As-Sunnah
untuk keselamatan di Dunia dan Akhirat.
Kemudian, ucapan terima kasih kami
sampaikan kepada Ibu Dr.Nurul Umamah, M.Pd. selaku Dosen pengampu
mata kuliah Sejarah Nasional Indonesia III, teman-teman, serta semua pihak yang
telah memberikan bimbingan serta arahan selama pembuatan makalah ini.
Makalah ini merupakan salah satu
tugas mata kuliah Sejarah Nasional Indonesia III di program studi
Pendidikan Sejarah Universitas Jember. Semoga
makalah ini bisa bermanfaat untuk kita semua sebagai bahan tambahan
belajar.
Selanjut kami sangat mengharapkan
kritik dan saran dari pembaca sehingga akan menumbuhkan rasa Syukur kami kepada
Allah SWT. Dalam perbaikan makalah ini kedepannya. Akhir kata kami ucapkan terima kasih.
Jember,
September 2015
Penyusun
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Awal abad ke-20 dalam sejarah Indonesia dikenal
sebagai periode Kebangkitan Nasional. Hal itu ditandai dengan banyak
berdiri organisasi-organisasi secara modern yang berjuang untuk perbaikan taraf
hidup bangsa Indonesia yang lebih baik, semua itu disebabkan karena rasa tidak
puas terhadap keaadaan masyarakat di bidang sosial, ekonomi, maupun budaya pada
saat itu.
Selama masa pemerintahan
kolonial kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya Indonesia sangatlah
memperihatikan. Bangsa penjajah bersifat sewenang-wenang terhadap rakyat
pribumi. Para penjajah tidak memperhatikan keadaan sosial dan ekonomi rakyat
Indonesia, serta mereka sudah tidak menghormati tradisi dan budaya masyarakat
saat itu.
Pemerintah kolonial selama
di Indonesia lebih mengutamakan keuntungan yang hendak dikumpulkan dalam waktu
sesingkat-singkatnya. Para penjajah hidup ditengah kemewahan dan sikapnya yang
semakin tertutup dan menjauhkan mereka dari rakyat pribumi. Dengan latar
belakang ini mulai dilontarkan permasalahan tentang hubungan-hubungan antara
kedua bangsa itu, dalam susunan masyarakat yang bagaimana bisa dapat hidup
bersama, bagaimana kedudukan politik masing-masing, serta nilai-nilai budaya
mana yang akan menjadi pegangan masyarakat itu. Konkretnya, golongan-golongan
politik mulai memperjuangkan kehidupan bangsa Indonesia dalam suatu negara yang
merdeka.
Berdasarkan ulasan singkat tersebut penulis tertarik untuk
memahami dan mengkaji lebih dalam tentang kondisi sosial dan budaya bangsa
Indonesia pada masa pergerakan nasional Indonesia. Melalui makalah ini penulis mencoba menjelaskan garis besar kondisi sosial dan budaya bangsa
Indonesia pada masa pergerakan nasional Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah berdasarkan latar
belakang tersebut sebagai berikut:
1) bagaimana kondisi sosial bangsa
Indonesia pada masa pergerakan nasional?
2) bagaimana kondisi budaya bangsa
Indonesia pada masa pergerakan nasional?
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di
atas, maka ada beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam tulisan ini, yaitu:
1) untuk mengetahui kondisi sosial
bangsa Indonesia pada masa pergerakan nasional;
2) untuk mengetahui kondisi budaya
bangsa Indonesia pada masa pergerakan nasional.
1.4 Manfaat
Penulisan makalah ini diharapkan
mampu memperluas wawasan pembaca dalam memahami kondisi sosial dan budaya
bangsa Indonesia pada masa pergerakan nasional. Sehingga diharapkan generasi
mendatang dapat belajar dari apa yang telah dialami bangsa Indonesia.
Bagi
penulis, makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas matakuliah Sejarah
Indonesia III yang diampu oleh Dr. Nurul Umamah, M.Pd.
BAB II. PEMBAHASAN
2.1 Kondisi
Sosial Bangsa Indonesia Pada Masa Pergerakan Nasional
Pengertian pergerakan nasional
secara menyeluruh yaitu suatu perjuangan yang dilakukan dengan
organisasi-organisasi secara modern kearah perbaikan taraf hidup bangsa
Indonesia yang disebabkan karena rasa tidak puas terhadap keaadaan masyarakat
di bidang sosial, ekonomi, maupun budaya pada saat itu.
Pergerakan di Indonesia
berawal dari abad ke-20 yaitu berkisar antara tahun 1900-1942. Awal abad ke-20 dalam sejarah Indonesia dikenal
sebagai periode Kebangkitan Nasional. Pertumbuhan kesadaran yang menjiwai
proses itu menurut bentuk manifestasinya telah melalui langkah-langkah yang
wajar, yaitu mulai dari lahirnya ide emansipasi dan liberal dari status serba
terbelakang, baik yang berakar pada tradisi maupun yang tercipta oleh situasi
kolonial.
2.1.1 Kondisi
Sosial Dalam Bidang Pendidikan
Pendidikan pada masa Pergerakan Barat
lebih didominasi oleh pendidikan barat. Sebagian besar golongan masyarakat
bumiputera yang memperoleh pendidikan Barat. Pada tahun 1928, 45% golongan dari
bumiputera yang setidaknya memperoleh pendidikan rendah pada sekolah-sekolah
bergaya Barat, dipekerjakan sebagai pegawai-pegawai negeri. Pendidikan Barat
adalah karena dengan mengenyam pendidikan ini maka seseorang dapat mendapatkan
prioritas untuk memperoleh posisi-posisi sebagai pengawasan dan pemegang
kekuasaan. Maka tidak mengherankan,
apabila pendidikan Barat menjadi
idam-idaman orang dan orang menghargai mereka yang berpendidikan Barat tanpa
mengingat asal-usul mereka. Meskipun demikian, pada mulanya pendidikan Barat
sangat terbatas, hanya tersedia bagi anak priyayi
tinggi. Selain dari pada itu pengetahuan mengenai Bahasa Belanda di
wajibkan dalam pendidikan Barat, sehingga pengetahuan itu lambat laun hampir
identik dengan lambang status yang tinggi.
Dalam
perkembangan selanjutnya, basis dari pendidikan Barat ini lebih diperluas lagi
dan pada prinsipnya
menjadi lebih terbuka, yang sebelumnya bersifat tertutup untuk kalangan
masyarakat kolonial pada umumnya. Pendidikan Barat ini terbuka baik bagi mereka
yang berbakat maupun berbangsa. Meskipun demikian, pada sasarannya pendidikan
Barat ini masih dibatasi, oleh karena itu pada dasarnya pendidikan ini tidak
sepenuhnya bersifat terbuka, dan relatif hanya segelintir masyarakat kolonial
yang dapat mengirimkan anak-anaknya untuk memperoleh pendidikan pada
sekolah–sekolah bergaya Barat.
Pada
abad ke – 20, pemerintah kolonial Belanda berhasil memadamkan perlawanan
bersenjata di berbagai tempat di Indonesia. Hal ini mengakibatkan Belanda
memulai kekuasaanya di Indonesia secara politis. Karena hal itu, perlawanan
bangsa Indonesia pun mengalami perubahan yang ditentukan oleh perkembangan
pendidikan Indonesia. Masalah
pendidikan mendapat perhatian yang agak besar dari pemerintah kolonial. Hal itu
juga berkaitan dengan dilaksanakannya politik etis. Tujuannya adalah untuk
mendidik anak – anak Indonesia agar dapat dipekerjakan sebagai pegawai
rendahan dengan gaji kecil di instansi pemerintah atau perusahaan swasta.
Setelah
mereka dapat membaca berbagai macam buku, wawasan mereka bertambah luas. Mereka
dapat mengetahui dan membandingkan perkembangan Barat serta ide – ide yang
berkembang di Barat, seperti demokrasi dan hak rakyat dalam pemerintahan dengan
keadaan Indonesia saat itu.
Seiring
dengan kebutuhan tenaga terdidik & terampil, pemerintah kolonial
menyelenggarakan pendidikan, yaitu sebagai berikut :
Ø Europese Lagere School ( ELS ). Untuk anak keturunan Eropa
Ø Sekolah Kelas Dua ( Angka Loro ). Untuk anak pribumi
kelas bawah
Ø Sekolah Kelas Satu ( Angka Siji ). Untuk anak pribumi kelas atas
Dengan meningkatnya kebutuhan pegawai terdidik, pemerintah kolonial Belanda
mengembangkan pendidikan untuk anak pribumi, yaitu sebagai berikut :
Ø Anak pribumi kalangan bawah
Didirikan sekolah rakyat ( Volkschool ) yang berlangsung selama 3 tahun
dengan penekanan pada kemampuan membaca, menulis, dan berhitung. Murid yang
pandai memperoleh kesempatan belajar di sekolah lanjutan ( Vervolgschool) selama dua tahun.
Ø Anak pribumi kalangan menengah
Didirikan sekolah dasar Hollands Inlandsche School ( HIS ). Menggunakan
bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Pendidikan berlangsung selama 7 tahun.
Murid yang pandai dapat melanjutkan pendidikan ke sekolah lanjutan tingkat
pertama / Meer Uitgebried Lagere Onderwijs ( MULO ) lalu ke sekolah tingkat
atas / Algemene Middlebare School ( AMS ).
Ø Anak pribumi kalangan atas
Setelah selesai HIS mereka dapat melanjutkan ke Hogere Burgerschool ( HBS )
selama 5 tahun. Selain sekolah umum, anak pribumi kalangan atas juga
dapat melanjutkan ke sekolah kejuruan, seperti sekolah guru ( Kweekschool ) dan
sekolah pamong praja.
Sejak tahun 1920, pribumi dapat mengikuti pendidikan tinggi dalam negeri.
Seperti bidang hukum Rechts Hoge School ( RHS ), bidang teknik Tecnische
Hoge School ( THS ), dan bidang kedokteran sekolah Sekolah Tot Opleiding
Voor Inlandsche Aartsen ( STOVIA ).
Selain sekolah dari pemerintah kolonial, muncul juga sekolah yang
diselenggarakan oleh bangsa Indonesia sendiri yaitu Perguruan Kebangsaan yang
terbuka bagi semua rakyat pribumi. Karena sekolah dari pemerintah
kolonial hanya untuk kaum bangsawan dan orang yang mampu dalam segi ekonomi.
2.1.2 Kondisi
Sosial Dalam Perbedaan Ras
Selain dalam kondisi sosial pendidikan di Indonesia, kondisi sosial bangsa
Indonesia pada awal abad ke – 20 juga menghadapi praktik diskriminasi
dari kolonial Belanda. Diskriminasi itu berdasarkan ras, golongan dalam
masyarakat, dan suku bangsa.
Dalam diskriminasi ras, warna kulit seseorang menentukan statusnya. Bahkan
diadakan pula perbedaan gaji antara serdadu pribumi yang berlainan suku. Dalam
hal ini, suku Jawa paling disayangi pemerintah kolonial karena dianggap
penurut. Belanda juga melakukan pembagian kelas sosial. Pembagian status sosial
pada zaman kolonial Belanda ditetapkan dalam aturan ketatanegaraan Hindia
Belanda ( Indische Staatsregeling ) tahun 1927 yang berisi :
Ø Belanda kulit putih atau Eropa dan yang disamakan.
Mereka terdiri atas bangsa Belanda dan bangsa Eropa lainnya, serta bangsa lain
( bukan Eropa ) yang telah disamakan dengan bangsa Eropa karena kekayaannya,
keturunan bangsawan, dan orang yang berpendidikan.
Ø Golongan timur asing. Terdiri atas orang Cina,
Arab, India, dan Pakistan yang merupakan lapisan menengah.
Ø Golongan pribumi, yaitu bangsa Indonesia asli (
pribumi ) yang berada pada lapisan bawah.
Sedangkan pelapisan sosial dalam masyarakat pribumi yaitu sebagai berikut :
Ø Lapisan bawah. Rakyat jelata yang merupakan
penduduk terbesar dan hidup melarat.
Ø Lapisan
menengah. Para pedagang kecil dan menengah, petani kaya dan pegawai.
Ø Lapisan Atas. Keturunan bangsawan atau kerabat raja yang memerintah suatu daerah. Lapisan
ini terbagi lagi dalam tingkatan dan gelar sesuai dengan kedekatan hubungan
darah mereka dengan raja. Golongan itu disebut elite tradisional dan elite
daerah.Selain itu, ada juga golongan elite agama. Mereka adalah para
pemuka agama seperti ulama dan kiayi.
Dengan keadaan yang seperti ini, mengakibatkan kondisi sosial masyarakat
Indonesia kurang terjalin dengan
lancar. Kurangnya hubungan antara masyarakat, antar penjajah. Hal ini berakibat
didaerah-daerah terjadi pemisahan hubungan antar manusia.
Diskriminasi berdasarkan ras hampir terjadi di seluruh sendi kehidupan
sosial. Pembatasan-pembatasan jabatan yang tajam ditentukan atas dasar rasial
dan mobilitasnya ke atas ditentukan batas-batasnya sampai pada tingkat-tingkat
tertentu. Diskriminasi ras ini ditandai dengan kaum bumiputra yang berkutat
pada jabatan-jabatan rendah dan pada lapisan atas yang tipis terdiri atas
golongan Eropa. Perbedaan status ekonomi antara golongan kecil penduduk kulit
putih dan masyarakat bumiputra di bagian yang paling bawah.
Selain itu, adanya pembatasan-pembatasan pergaulan sosial antara ras-ras.
Tidak adanya kontak sosial dan adanya pemisahan-pemisahan fisik yang sangat
mencolok. Masyarakat Jawa dengan keras dilarang memasuki
perkumpulan-perkumpulan, lapangan-lapangan olahraga, sekolah-sekolah,
tempat-tempat umum dan daerah tempat dimana kediaman bangsa Belanda. Bentuk
lahiriah wilayah Indonesia pada saat ini masih menjadi bukti adanya
pemisahan-pemisahan pada zaman kolonial itu. Anggota-anggota sosial yang
dominan yang sebagian besar terdiri dari orang-orang Eropa, di kota–kota mereka
mempunyai daerah-daerah tempat tinggal yang khusus dan di bagian kota yang
baik. Karena pergaulan hidup antara golongan-golongan itu tertutup, maka
apabila tidak ada kontak yang perlu, golongan-golongan itu berusaha menjauhkan
diri satu sama lainnya. Dapat dinyatakan lebih konkrit, mereka hidup, bekerja
dan membangun pada jalan yang sama sekali berbeda, dan mereka mempunyai
kepentingan-kepentingan, kemampuan-kemampuan dan ideal-ideal yang tidak sama.
Hanya pada hubungan-hubungan formal, seperti hubungan majikan dengan buruh atau
hubungan tuan dengan hamba, terjadilah kontak tetapi kontak yang menunjukan
ketidaksamaan tersebut. Bilamana kontak sosial tidak dapat di hindari, maka
jarak sosial itu diterbitkan dan di lambangi dengan berbagai macam etiket dan
berbagai macam mekanisme untuk melindungi diri sendiri. Semua bentuk pemisahan yang mencolok itu di institusionalisasikan
untuk mencegah kontak sosial pada tingkat - tingkatan dimana ada kesamaan
sosial atau keakraban. Dilihat dari segi ini, maka masyarakat kolonial itu
sunggun -sungguh menyerupai masyarakat yang berkasta.
Tahun 1930 jumlah seluruh penduduk bumiputra di Jawa hampir mendekati
41.000.000 sedangkan untuk jumlah penduduk Eropa hampir 200.000. Berarti jumlah
penduduk Eropa hanya sebesar 0,5% dari penduduk bumiputra. Penduduk yang
sedikit banyak boleh dikatakan penduduk kota hanya 3.500.000 atau 8,5% dari
seluruh penduduk Jawa. Dari jumlah itu golonga Eropa seluruhnya berjumlah
650.000. 64,5%. dalam waktu 30 tahun jumlah mereka bertambah tiga kalilipat.
Kenaikan jumlah masyarakat Eropa ini dikarenakan karena adanya perluasan
aparatur pemerintah dan perusahaan-perusahaan Barat. Sesuatu hal yang menarik
perhatian bahwa pada periode itu juga pendudukan dan pekerjan terbuka lebih
besar bagi bangsa Indonesia. Meskipun bagsa Indonesia dapat diangkat pada
fungsi-fungsi taraf menengah, tapi bagian-bagian tingginya sebagian diisi oleh
orang-orang Eropa, yaitu Indo Eropa atau mereka yang di datangkan ke Jawa dari
negeri Belanda. Dari sini dapat ditemukan adanya prinsip diskriminasi ras.
Statistik 1938 menunjukan pertalian dari proporsi itu, dimana Panitia studi
perubahan - perubahan politik membuat suatu gambaran diantaranya adalah :
ü 92,2% dari pegawai-pegawai tinggi pada dinas-dinas
pemerintah adalah orang Eropa. Pada berbagai cabang fungsi-fungsi golongan
administratif golongan Eropa menjadi mayoritasnya, misalnya 77% dalam staf
teknis, 83% dalam staf pengawasan, dan 67% dalam sataf keuangan.
ü Sedangkan 6,4% bangsa Indonesia.
2.1.3 Kondisi
Sosial Dalam Tipe Tempat Tinggal
Selain digolongkan berdasarkan kriteria diskriminasi ras, stratifikasi
sosial yang terjadi dalam kalangan masyarakat kolonial ini dapat digolongkan
berdasarkan tipe tempat tinggal. Tahun 1930 jumlah penghuni rumah rata-rata 4
orang bagi golongan Eropa dan 4,7 orang bagi bangsa Jawa. Dan hanya 2% dari
penduduk Eropa di Jawa yang berdiam di rumah yang dibuat dari material yang
tidak permanen, sedangkan untuk golongan bumiputra 40%. Jumlah rumah batu yang
didiami golongan Eropa berjumlah 35.890 buah, sedangkan yang didiami golongan
bumuputra berjumlah 352.353 buah.
Rumah dengan gaya modern juga menjadi tanda status kehidupan yang tinggi.
Lokasi rumah yang khusus, ukuran besarnya, struktur dan susunannya. Semua itu
secara langsung menunjukan status pemiliknya. Rumah-rumah priyayi tinggi
berukuran besar, dibuat dari batu seperti halnya rumah-rumah pegawai menengah
dan pegawai tinggi sedangkan pegawai-pegawai rendahan bertempat tinggal di
rumah-rumah kayu dan penduduk-penduduk desa di rumah -rumah bambu. Namun
mengenai hal ini belum dapat dibuat anilisis statistik dari data sosial ekonomi
mengenai unsur kebudayaan ini.
2.1.4 Kondisi
Sosial dalam Segi Jabatan
Salah satu hal yang khas dari masyarakat kolonial adalah adanya perbedaan
pokok antara pekerjaan-pekerjaan Eropa dan non-Eropa. Pengangkatan-pengangkatan
yang terjadi dalam kategori pekerjaan-pekerjaan Eropa erat kaitannya dengan
skala gaji khusus, yang dicocokan dengan taraf hidup yang tinggi dari golongan
Eropa. Hal ini yang dinamakan dengan golongan penghasilan skala C, untuk skala
B pengetahuan tentang bahasa Belanda diwajibkan, sedangkan skala A meliputi
beberapa pekerjaan dimana bahasa Belanda diwajibkan, dan beberapa pekerjaan
bagi mereka yang berpendidikan dasar dengan bahasa bumiputra. Selain itu juga
ditemui golongah upahan yang tergolong dalam skala upahan bumiputra. Posisi
pada dinas-dinas pemerintah di mana bahasa Belanda diwajibkan berjumlah 19.6%
sedang pada perusahaan partikelir 17%.
Sejak diberlakukannya peraturan kepegawaian yang berdasar pada background
pendidikan, dalam hal ini dilihat pada sekolah-sekolah model Barat pada umumnya,
dan pengetahuan mereka tentang bahasa Belanda khususnya, maka pembagian jabatan
menunjukan gambaran sebagai berikut:
1)
Pertama
golongan yang bergaji kurang dari f 50 yang termasuk golongan Eropa hanya 0.49%
dan 92,61% adalah golongan bumiputra, sedang kategori pegawai dengan gaji f 250
atau lebih golongan Eropanya meliputi 82,65% dan golongan bumiputranya hanya
7,35%.
2)
Kedua,
dintara 8.303 orang pejabat pada dinas-dinas pemerintah hanya ada 189 orang
bumiputra.
3)
Ketiga,
personel administrasi dari kelas B prosentase pegawai-pegawai bumiputra makin
keatas makin menurun.
Berdasarkan data tersebut, 66,9% dari pos-pos tulis kelas dua diduduki oleh
golongan bumiputra, 52% pada pos-pos
juru tulis kelas satu, 47% pada pos-pos ajung-komis, 30,2% pos komis kelas satu, 0,7% pada komis tingkat
kepala, dan tidak ada sama sekali pada pos kepala kantor. Angka-angka yang
menunjukan prosentase pegawai Eropa sebaliknya, yaitu menanjak keatas dari 31%
dan berakhir pada 100%.
Secara umun dapat disimpulkan bahwa, aspek pembedaan penghasilan itu
sebaian besar disesuaikan dengan dengan perbedaan ras, dengan pengolongan
rata–rata sedikit golongan Eropa di bagian atas dan banyak sekali golongan
bumiputra di bagian bawah. Terpencarnya golongan bumiputra di dalam
stratifikasi jabatan pada masyarakat Jawa dan diteruskan pembedaan warna dapat
digambarkan dengan suatu diagram yang berbentuk limas. Diagram ini
mengambarkan, bahwa terdapat ketidak seimbangan pada penempatan masyarakat
kolonial Jawa, dikarenakan diskriminasi ras dan faktor pendidikan yang minim
pada masyarakat kolonial Jawa. Dalam stratifikasi sosial tersebut juga pada
lapisan tengahnya terlampau sedikit atau tidak ada sama sekali dari masyarakat
kolonial. Apalagi pada lapisan atas, tidak ditemukannya masyarakat dari
golongan kolonial Jawa.Lapisan atas dan tengah cenderung diduduki oleh
masyarakat Belanda dan Indo Belanda.Baru pada lapisan bawah banyak ditemui
masyarakat kolonial Jawa.
2.3 Kondisi
Budaya Bangsa Indonesia Pada Masa Pergerakan Nasional
Ketika memasuki masa pergerakan
nasional pada abad 20 kondisi
bangsa Indonesia masih dipengaruh budaya barat yang dibawa oleh para
penjajah.Hal ini bisa terjadi karena bangsa penjajah masih ingin menguasai
Indonesia untuk menghasilkan keuntungan yang bear untuk bangsanya. Di Indonesia
terdapat beberapa budaya, baik itu budaya asli bangsa Indonesia maupun budaya
barat. Namun pada masa Pergerakan Nasional budaya asli Indonesia mengalami
keterburukan, Budaya bangsa Indonesia tidak digunakan di seluruh Indonesia
melainkan budaya Baratlah yang menjadi penguasa di Indonesia. Misalnya saja
budaya bahasa Melayu, di Indonesia hanya sedikit diberlakukannya bahasa Melayu,
lebih banyak menggunakan bahasa Belanda dalam berkomunikasi. Jadi, kondisi
budaya bangsa Indonesia pada masa Pergerakan Nasional mengalami keterbatasan.
2.3.1 Budaya Dalam
Segi Bahasa
Pada masa Pergerakan Nasional, Indonesia masih dipengaruhi oleh budaya
barat. Dalam segi bahasa, bahasa melayu yang merupakan bahasa Indonesia pada
saat itu tidak digunakan sepenuhnya di wilayah Indonesia, melainkan Bahasa
Belanda yang banyak digunakan. Karena pada saat pergerakan nasional bangsa
Belandalah yang masih berkuasa di Indonesia. Masyarakat Indonesia dalam
berkomunikasi lebih dominan berbahasa Belanda, apalagi jika berkomunikasi
dengan orang Belanda harus menggunakan bahasa Belanda. Bahasa melayu hanya
diberlakukan oleh masyarakat-masyarakat tertentu, misalnya oleh masyarakat di
daerah pedesaan yang jauh dari kota. Jadi budaya bahasa asli Indonesia
mengalami keterbelakangan pada masa pergerakan nasional.
2.3.2 Budaya Dalam
Segi Bangunan di Kota-Kota
Selain bahasa juga pada model
bangunan-bangunannya, memasuki abad
ke-20 bangunan tidak berbeda jauh dari sebelumnya, hanya saja
bangunan-bangunannya sudah rapat satu sama lain. Dengan berkembangnya penduduk
Eropa, yang bersamaan dengan meluasnya system pemerintah colonial beserta
birokrasinya, bangunan-bangunan sudah mulai berupa gedung-gedung
pemerintahan dan kediaman pejabat. Kabupaten menghadap alun-alun dan
disekitarnya terdapat rumah asisten residen dan kontrolir, gedung pengadilan,
rumah penjara, gudang garam, kantor pos, dan telepon serta rumah-rumah pejabat.
Gedung-gedung sekolah juga sudah mulai dibangun. Bangunan rumah sakit, lapangan
olahraga, dan lain sebagainya juga sudah ada.
Memasuki abad ke-20 pola pemukiman kota menunjukkan jelas sifat pluralistis
masyarakat Indonesia. Kompleks rumah tembok atau (loji) dengan halam luas
dipemukiman digolongan Eropa dan elite di bumi, pecinan dengan bangunan yang
padat dan rapat satu sama lain, kemudian kampung terutama kaum pribumi tinggal,
yang biasanya merupakan kontras dengan daerah lainnya, baik kualitas
bangunannya maupun system sanitasinya.
Berdasarkan cacah jiwa dari tahun 1920 kira-kira 7,63% dari penduduk. Jawa
dan Madura tinggal di kota yaitu pusat pemukiman yang berpenduduk lebih kurang
10.000 keatas. Pada tahun 1930 jumlah itu naik menjadi 8,51%.
Diantara 77 kota yang diukur pertumbuhannya dari 1920 sampai 1930 ternyata
kenaikannya hanya 6,63% menjadi 7,63%, jadi naik kurang lebih 1%. Dengan
demikian, laju urbanisasi tidak terlalu cepat, antara lain karena tidak ada
industrialisasi yang berarti pada satu pihak dan mobilisasi pelayanan yang
sangat terbatas pada pihak lain.
Disamping mencerminkan pluralism masyarakat Indonesia, pola pemukiman di
kota-kota juga menunjukkan stratifikaso social masyarakat colonial dimana
mengelompokkan menurut garis warna sangat mencolok. Pecinan sebagai pusat
perdagangan merupakan enclave, dimana bangsa Cina dan warga timur asing lainnya
tinggal. Dikota-kota tipe tersebut diatas pada umumnya jumlah bangsa Eropa
terbatas. Pada umumnya mereka tinggal dimana terdapat garnisun militer colonial
atau didekat perkebunan yang sekaligus menjadi pesanggrahan karena iklimnya
yang sejuk. Hanya elite atas local sajalah yang bertempat tinggal diloji
beredekatan dengan golongan Eropa itu. Kampung-kampung menjadi tempat tinggal
kaum pribumi saja, dimana perumahannya lazim bergaya pribumi dengan kebun dan
halaman yang masih penuh dengan pohon dan tanaman rindang, sehingga memberi
wajah setengah pedesaan. Adapun penduduknya adalah campuran dari golongan atau
kelas menengah dan kelas bawah, serta antara penghuni lama dan pendatang. Perlu
disebut tempat-tempat umum seperti pasar, kantor-kantor, stasiun kereta api dan
bus, masjid dan greja serta klenteng, lapangan olahraga, balai pertemuan.
Jaringan social memberi titik kontak social bagi penduduk kota, meskipun
terbatas pada golongan pribumi, yang disebabkan karena diskriminasi ras dan
etnik masih sangat ketat.
Dengan pemukiman (wijk) Eropa secara fisik menunjukkan perbedaan yang
mencolok dengan kampong atau pecinan, lagi pula lokasinya lebih banyak
diperiveri kota, dimana lingkungan belum terkenal polusi kota. Bangunan rumah
pada umumnya termasuk tipe fila, yang oleh rakyat disebut loji atau loge. Tata
ruang disesuaikan dengan iklim panas, ruangan-ruangan berdinding tinggi, dan
pintu serta candela-cendela besar-besar dan tinggi. Keteduhan dijaga dengan
adanya halaman dan kebun disekitar gedung. Daerah ini dihuni eksklusif bangsa
Eropa dan apabila terdapat penghuni pribumi, maka hal itu merupakan kekecualian
dan mereka lazimnya termasuk kelas atas. Kebersihan kota dijaga ketat sehingga
menambah keindahan wilayah.
2.3.3 Budaya Dalam
Segi Berpakaian
Perkembangan gaya berpakaian di
kalangan masyarakat Indonesia pada masa
pergerakan menimbulkan pengaruh yang
cukup besar bagi kehidupan masyarakat. Tidak hanya golongan priyayi tetapi juga
bagi kaum elit baru yang menginginkan perubahan dan persamaan hak dalam
berbagai hal kehidupan terutama kehidupan bergaya Eropa yang bebas dan tanpa
aturan tradisional dalam melakukan aktivitasnya. Selain itu juga, pendobrakan
terhadap diskriminasi yang diciptakan oleh pemerintah kolonial Belanda dan
Kraton melalui budaya politik pakaian yang telah dilakukan sejak jaman VOC hingga
politik Etis dilaksanakan. Kaum pergerakan melakukan perlawanan terhadap
diskriminasi ini.
Pakaian sejak lama telah menjadi
bentuk pembeda dari bermacam-macam golongan masyarakat di berbagai belahan
dunia. Pakaian menjadi simbol strukturasi dan pembagian kelas dalam masyarakat.
Masyarakat dapat dilihat secara jelas melalui cara berpakaian, bahan pakaian
serta mode pakaian yang digunakan, berasal dari kelas mana individu itu berada.
Pakaian menjadi simbol kekayaan dalam pembagian struktur masyarakat.
Sebelum Belanda (VOC) datang ke
Indonesia dan membangun koloninya di berbagai daerah di Jawa, pakaian di
dominasi oleh pengaruh budaya Islam dan tentunya Jawa sebagai budaya lokal.
Dengan kedatangan bangsa Belanda, kompetisi dalam bidang “mode” menjadi tiga pihak.
Pada masa VOC pakaian Belanda merupakan penanda yang jelas tentang kebudayaan
dan agama para tuan tanah asing. Pada awalnya Belanda ingin mempertahankan
pakaian Eropa untuk diri mereka sendiri. Orang-orang Indonesia yang
diperbolehkan memakai pakaian gaya Eropa di daerah-daerah yang dikendalikan
oleh VOC adalah penganut Kristiani. Pelengkap khas pakaian bagi Kristiani
non-Eropa terdiri atas topi gaya Eropa, kaus kaki dan sepatu.
Pelengkap-pelengkap berpakaian ini tampaknya menjadi simbol yang menunjukkan
bahwa seseorang berasal dari suatu kelas masyarakat yang telah menjembatani
jarak antara para tuan tanah Belanda dan penduduk pribumi. Kadang-kadang mereka
bahkan menjadi tanda peralihan dari perbudakan ke kebebasan. Di Hindia
pakaian-pakaian Eropa ini merupakan bagian dari pakaian para Madijker,
budak-budak bebas dari Afrika atau tempat-tempat lain di Nusantara dan
keturunan-keturunannya.
Topi, celana, dan, hingga taraf yang
lebih sempit, yakni sepatu, berfungsi untuk membedakan orang-orang ini dari
orang-orang Indonesia lainnya di Batavia, yang diwajibkan untuk setia pada
pakaian tradisional dan tutup kepala mereka. Orang-orang Indonesia
non-Kristiani tidak diperbolehkan berpakaian seperti orang Eropa. Mereka
diperintahkan, setidaknya selama mereka tinggal di Batavia, untuk tetap
mengenakan pakaian daerah atau pakaian “nasional” mereka. Beberapa kali
peraturan yang sama di ulang bahwa masing-masing kelompok etnis memiliki tempat
tinggal tersendiri di Batavia dan bahwa para anggotanya tidak boleh memakai pakaian
adat kelompok etnik Indonesia lain mana pun.
Pemakaian pakaian gaya Eropa walaupun
di kalangan masyarakat umum tidak diperbolehkan tetapi hal ini tidak berlaku
bagi para penguasa-penguasa di Jawa terutama Surakarta. Raja, pangeran, hingga
para Bupati telah mengadopsi gaya berpakaian gaya Eropa dengan jas model
terbuka dan pentalon gaya militer Eropa. Hal ini banyak diungkapkan dalam Babad
Tanah Jawa, cara berpakaian gaya Eropa telah menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari beberapa kostum yang dipakai di Jawa. Pakaian-pakaian Eropa
ini dikenakan untuk peristiwa-peristiwa publik. Pada upacara-upacara istana
mereka tetap menggunakan kebudayaan Jawa. Meskipun mengadopsi elemen-elemen
kebudayaan Barat dan Muslim tertentu, istana tidak pernah mengabaikan peran
mereka sebagai penjaga kebudayaan Jawa.
Kalangan elit kerajaan di Surakarta
contohnya penuh dengan peraturan dan larangan dalam pemakaian kostum masyarakat
. Ada aturan tentang pakaian yang harus dikenakan oleh raja, sentana, abdi
dalem, dan rakyat biasa. Raja adalah puncak keindahan, kemahalan, dan
kemewahan. Koran lokal Darmo Konda memberitakan apa yang dipakai
oleh raja waktu bertahta di Bangsal Pangrawit Pagelaran dalam upacara pemberian
payung Srinugraha sebanyak lima belas macam, mulai dari atas berupa mahkota
kanigara (kuluk) intan sampai sepatu neledu hitam dengan kaos kaki biru
tua. Aturan-aturan pemakaian busana yang dikeluarkan oleh Kasunanan terutama
diperuntukan bagi abdi dalem kerajaan dalam rangka hirarki dalam kerajaan. Hal
ini terlihat dalam audiensi raja dengan abdi dalem, hari penobatan raja, hari
lahir raja, baik sipil (wedono, kliwon, penewu, mantri) maupun militer (colonel,
letnan colonel, major, kapitein, opsir, kader, onder-opsir, onder adjuntant)
memakai pakaian yang berbeda sesuai dengan pangkatnya.
Memasuki abad ke-20 ketika dunia modern dan semangat liberalisasi
sepenuhnya hadir ke dalam alam masyarakat Indonesia, masalah busana menjadi
bagian terpenting dari perdebatan-perdebatan tentang kebudayaan. Semakin
banyaknya masayarakat Jawa yang menginginkan pemakaian busana bergaya Eropa
terbendung oleh larangan-larangan yang dimunculkan oleh pemerintah kolonial
Belanda. Larangan-larangan ini sebagai bagian upaya pihak pemerintah kolonial
dalam menjalankan politik diskriminasi rasialnya dalam rangka menegaskan
perbedaan kelas atau status sosial antara golongan penguasa dengan golongan
yang dikuasai.
Pemakaian busana terutama busana
Eropa bagi penduduk pribumi hingga awal abad ke-20 masih dilarang oleh
pemerintah kolonial Belanda. Pemerintah kolonial Belanda masih menginginkan
masyarakat berbagai etnis tetap terus memakai kostum identitas “nasional”
mereka. Tetapi sesuai perkembangan jaman kemajuan masuknya ide-ide
liberalisasi, nasionalisme melalui pendidikan gaya Barat perlahan dan pasti
pelarangan-pelarangan pemakaian busana gaya Eropa oleh masyarakat pribumi
terkikis habis. Masyarakat kota Solo mulai memakai pakaian gaya Eropa sebagai
simbol jaman kemajuan.
Perkembangan modernisasi kota juga
diikuti dengan perkembangan kesadaran bagi kaum elit pribumi dengan membentuk
organisasi-organisasi pergerakan nasional. Dengan organisasi ini, tuntutan akan
kesetaraan keras dibunyikan dan ditujukan terhadap pemerintah kolonial Belanda.
Mas Marco Kartodikromo salah satu anggota Sarekat Islam Solo dengan lantang
menyuarakan protesnya terhadap larangan berpakaian Eropa dan bersikap
kebarat-baratan. Seperti diungkapkannya dalam Doenia Bergerak, sebuah
surat kabar milik Inlandsche Journalisten Bond Solo:
“Toean Marco Redacteur
Doenia Bergerak di Solo Seringkali kami membatja dalam roeangan Doenia
Bergerak bahwa roepa-roepanja Toean-toean pembatja bangsa boemipoetra banjak
jang dapat rintangan dari chef-chefnja lantaran berpakaian tjara Eropa.”.
Diskriminasi ini banyak ditentang
oleh banyak kalangan kaum pergerakan nasional walaupun terdapat juga
perdebatan-perdebatan mengenai baik dan buruknya menggunakan pakaian bergaya
Eropa. Bagi pria, pakaian Eropa, termasuk dasi yang ditakuti, menjadi mode.
Alasan bagi hal ini dapat segera ditemukan dalam gagasan yang kemudian muncul
bahwa pendidikan dan ilmu pengetahuan Barat merupakan kunci menuju kemajuan.
Modernitas dan kemajuan harus diinginkan bukan ditolak. Berpakaian gaya Eropa
menjadi suatu indikasi bahwa seseorang mendukung perkembangan ide-ide progresif.
Ini menunjukkan bahwa seseorang menjadi bagian dari suatu gerakan modern baru
bukan saja untuk menuntut kebebasan politikyang lebih besar dari Belanda,
melainkan juga memprotes tata krama dan etiket kaum elit masyarakatnya sendiri.
Dalam sebuah biogafi tentang Tirto
Adhisoerjo, Pramoedya Ananta Toer mendeskripsikan bagaimana para pelajar
STOVIA, Sekolah Pelatihan Dokter-Dokter Pribumi, pada akhir abad kesembilan
belas masih diwajibkan memakai kostum tradisional mereka yang terdiri dari
pakaian gaya Jawa dengan kain batik sebagai bawahan. Memasuki abad ke-20 semua
berubah ketika para pelajar STOVIA memakai pakaian jas putih dengan celana
panjang putih serta berdasi dan benar-benar necis.
Berpakaian gaya Eropa, atau Belanda,
merupakan tanda emansipasi dan tentangan terhadap Belanda beserta aturan-aturan
berpakaian yang ingin mereka paksakan. Tidak semua orang setuju dengan
kecenderungan baru mengadopsi pakaian modern, bahkan tidak dalam gerakan
nasionalis, karena ini menyerahkan identitas diri sendiri kepada bangsa lain,
meniru gaya hidup tuan tanah asing. R.M. Soetatmo Soeriokoesoemo menghimbau
para nasionalis untuk kembali pada pakaian tradisional, ia berdalih bahwa orang
Jawa memakai pakaian Eropa hanya akan diperlakukan lebih baik oleh orang
Belanda dan menghindari cemoohan. Pria-pria Belanda hanya menghormati celana
panjang dan bersikap sedikit lebih baik terhadap orang Jawa yang memakai celana
panjang daripada terhadap saudara-saudara mereka yang masih memakai sarung.
Belanda bukan satu-satunya yang telah
melakukan kejahatan dalam memaksa bangsa Indonesia untuk memilih pakaian Barat
dan bersikap diskriminatif terhadap orang Indonesia yang berpakaian gaya Barat
dibandingkan mereka yang memilih setia berpakaian tradisional. Orang-orang
Indonesia juga bersalah atas perilaku yang sama. Dalam Kaoem Moeda 25
September 1917, Keok, seorang penulis tetap di surat kabar tersebut,
mengisahkan bagaimana ia diperlakukan dengan tidak menyenangkan di gedung
bioskop ketika memesan minuman dan makanan. Ketika datang dengan berpakaian
“pribumi”, ia meminta segelas air jeruk kepada pelayan. Akan tetapi, si pelayan
mengatakan bahwa dia terlalu sibuk dan melanjutkan melayani orang-orang Eropa.
Ketika Keok mengunjungi gedung bioskop itu untuk kedua kalinya, kini dengan
berpakaian Eropa, ia langsung dilayani. Ketika ia bertanya mengapa dulu ia
tidak dilayani, si pelayan menjawab, hampir memberi kesan bahwa dengan
mengganti pakaian maka seseorang juga berganti ras, bahwa dia menyangka Keok
orang Jawa. Dengan memakai pakaian Barat, Keok telah memasuki alam Eropa, ia
menjadi tidak dapat dibedakan apakah ia orang Eropa asli atau Indo-Eropa, yang
menurut hukum –namun tidak selalu secara sosial– memiliki status yang sama.
Namun demikian, di dalam komunitas
Islam yang sangat taat, kaum Muslim menjadi cemas tentang pemakaian celana,
dasi dan gaya-gaya rambut baru. Keraguan juga muncul mengenai celana pendek
yang dipakai oleh pramuka, yang memperlihatkan lutut, karena hukum Islam
mengharuskan tubuh seseorang pria tertutup dari pusar hingga lutut. Dalam surat
kabar Islam Bergerak yang dikaitkan dengan gerakan Islam berhaluan
komunis, Haji Misbach seorang anggota Sarekat Islam Solo dan pemimpin redaksi Islam
Bergerak berpakaian gaya Barat serba putih yang mengingatkan masyarakat
pada pria Belanda. Pakaian modern tentu saja tidak ditolak, bahkan disokong.
Tekanan diletakkan pada kenyataan bahwa Islam tidak melarang pemakaian jas
ataupun dasi, tidak pula melarang pengguntingan rambut menurut gaya Barat.
Nasionalisme hanya setengahnya saja
diterjemahkan ke dalam pakaian. Simbol nasionalisme tidak tertanam pada tipe
pakaian khusus, tetapi pada tutup kepala yang disebut peci. Sukarno menyebut
peci sebagai “ciri khas saya…simbol nasionalisme kami”. Menurutnya, pertentangan
antara elit berorientasi Barat yang baru, muda, serta agak egois, dan
ideal-ideal tentang suatu barisan nasionalis yang menaruh perhatian utama pada
keadaan rakyat, memainkan peran utama dalam mengangkat peci sebagai simbol
nasionalisme. Sukarno menceritakan bahwa ia sendirilah yang menganugerahi peci
dengan arti khusus. Ide tersebut diluncurkan pada suatu pertemuan Jong Java di
Surabaya sebelum ia berangkat ke Bandung pada Juni 1921. Ketika itu ia masih
sedih karena “diskusi panas antara pihak yang disebut cendikiawa, yang membenci
kain penutup kepala yang dipakai oleh para pria Jawa sebagai pasangan sarung
mereka, serta pitji yang dipakai para pengemudi betjak dan rakyat
biasa lainnya. Ia memutuskan bahwa memakai peci merupakan cara untuk menunjukkan
solidaritasnya kepada rakyat biasa setelah melihat “rekan-rekan senegaranya
yang congkak berbaris melintas di jalan dengan kepala rapi tanpa mengenakan
tutup kepala. Dalam pertemuan Jong Java Sukarno berkata tentang peci hitam:
“Kita memerlukan sebuah simbol bagi kepribadian Indonesia. Topi jenis ini,
sama dengan yang dipakai oleh para pekerja biasa bangsa Melayu, asli untuk
rakyat kita… Marilah kita menegakkan kepala tinggi-tinggi mengemban topi
sebagai simbol Indonesia Merdeka”.
Benarlah kiranya bahwa pakaian mampu
mengubah sebuah status seseorang yang memakainya walaupun secara mendalam tidak
demikian. Pakaian juga dapat dipakai sebagai identitas nasionalisme dengan
meniru apa yang dipakai oleh rakyat kecil tetapi pada umumnya pakaian gaya
Eropa pada awal abad ke-20 diyakini oleh masyarakat elit Surakarta merupakan
sebuah pintu gerbang modernitas.
2.3.4 Budaya
Dari Segi Gaya Hidup
Perubahan penggunaan pakaian dari
tradisional kepada penggunaan pakaian gaya Eropa bagi kalangan masyarakat
Surakarta pada awal abad ke-20 secara tidak langsung mengubah gaya hidup.
Berpakaian gaya Eropa menunjukkan sebuah kemajuan, modernitas bagi seseorang
yang memakainya. Ia memiliki status sosial yang tinggi karena dapat mengikuti
gaya hidup bangsa Eropa. Terlebih kota Surakarta telah menjadi kota
kosmopolitan pada pada awal abad ke-20 dengan tumbuhnya pembangunan pusat-pusat
hiburan maupun pusat gaya hidup baru kaum modern.
Pengaruh gaya hidup Eropa yang ditiru
oleh kaum pribumi tidak terlepas dari masyarakat kulit putih Eropa yang
bermukim di kota Surakarta dengan membawa bentuk-bentuk kesenian kota, hiburan
serta berbagai macam bentuk rekreasi yang bersifat modern. Bentuk-bentuk
kesenian, hiburan atau rekreasi baru yang dibawa itu berhasil menjadi
kecenderungan baru yang juga digemari dan disukai oleh masyarakat pribumi,
terutama golongan menengah ke atas. Siklus kehidupan sehari-hari yang telah
berubah karena disiplin waktu yang dituntut dalam pekerjaan-pekerjaan modern di
kota-kota besar, ikut memicu terbentuknya minat yang baru terhadap
bentuk-bentuk seni hiburan ataupun rekreasi yang sesuai kelonggaran waktu
masyarakat perkotaan. Maka bentuk-bentuk kesenian atau hiburan agraris
tradisional yang banyak menyita waktu dalam menikmatinya seperti wayang kulit,
ketoprak, tari-tari klasik tradisional mulai mendapat pesaing baru yaitu
kesenian atau hiburan modern kota yang bersifat popular, komersial dan
dipertunjukkan dengan waktu singkat seperti film bioskop, musik modern, opera,
sirkus, dan sebagainya.
Ikatan-ikatan baru yang bersifat
asosional di kalangan masyarakat elit kota-kota besar, melahirkan suatu bentuk
organisasi social yang bersifat rekreatif dan informal yang menjadi mode zaman
itu yaitu Societeit atau Soos. Societeit merupakan pusat
pertemuan yang bersifat informal bagi kalangan elit Eropa atau elit pribumi
yang banyak dimanfaatkan sebagai forum menjalin lobby, forum komunikasi, tempat
rekreasi (pesta dansa atau minum-minuman keras) serta menikmati kesenian atau
hiburan modern yang bersifat elistis dan eksklusif. Dalam societeit ini
sering diselenggarakan pagelaran konser-konser musik klasik Barat, baik yang
dimainkan oleh kelompok-kelompok simponi Eropa maupun korps musik keraton
Surakarta.
Di Societeit Harmonie yang merupakan
klub terbesar di Surakarta pada tanggal 4 Januari 1908 diselenggarakan konser
dari Korps Musik Kepatihan dengan repertoire-repertoir komposisi musik klasik
Barat. Pengunjung diberi kesempatan untuk berdansa dengan irama musik Waltz.
Kaum elit Eropa yang tinggal di Jawa khususnya kota Surakarta beserta
keluarganya biasanya terdiri dari golongan terpelajar dan para profesional
seperti dokter, insinyur, sarjana hukum, ilmuwan, administrator, ekonom dan
lain sebagainya. Tingkat pendidikan dan penghasilan yang tinggi memungkinkan
mereka mempunyai daya apresiasi yang tinggi pula terhadap ekspresi kesenian
ataupun hiburan yang dikonsumsinya. Kalangan elit Eropa yang banyak
mempengaruhi selera elit pribumi. Kemampuan ekonomi golongan elit Eropa telah
memungkinkan mereka untuk memindahkan suasana lingkungan budaya borjuasi Eropa
tempat asal mereka, ke dalam lingkungan baru di tanah jajahan Jawa. Maka pada
masa itu dibangunlah infrastruktur yang mendukung kebutuhan hiburan seperti
gedung teater, gedung opera, gedung bioskop, dan klub-klub ekslusif seperti societeit
dan gedung billiard (kamar bola) dan juga hotel oleh pemerintah Hindia Belanda.
Sebuah novel karya Mas Marco
Kartodikromo yang berjudul Student Hidjo dengan jelas menggambarkan
bagaimana pengaruh gaya hidup Barat dilakukan oleh kaum pribumi. Hidjo tokoh
dalam novel tersebut mengajak kekasihnya, Raden Ajeng Biroe, untuk pergi plesir
(bersenang-senang) ke Taman Sriwedari. Hidjo memakai pakaian jas bukak,
celana, dasi, dan sepatu baru sedangkan Raden Ajeng Biroe mengenakan baju sutra
kuning, kain yang bagus, subang berlian, selop model baru dan
tentunya berbicara dengan bahasa campuran antara bahasa Belanda dan Melayu
sebagai bentuk dari jaman modern.
Novel ini juga menggambarkan
bagaimana suasana di Taman Sriwedari yang gemerlap dengan lampu-lampu listrik.
Orang-orang yang akan memasuki pusat hiburan tersebut harus membayar karcis
terlebih dahulu. Orang-orang yang berada di Taman Sriwedari sudah berkumpul
sesuai selera masing-masing. Ada yang melihat wayang orang, ada yang melihat bioscoop
dan ada yang duduk-duduk di restoran sambil omong-omongan satu dengan yang
lain. Raden Ajeng Biroe mengajak Hidjo untuk menonton salah satu pertunjukan,
ia berkata:
“Djo, mari melihat bioscoop atau wayang orang!” kata raden Ajeng
sambil tangannya memegang tangan Hidjo.
“Nee, Lieve.” Kata Hidjo dengan suara yang tidak begitu keras… kita mencari
restoran dan mengobrol di situ!”
Dialog-dialog tersebut menunjukkan
bagaimana pakaian Eropa yang dipakai berkaitan erat dengan gaya hidup,
rekreasi, penggunaan bahasa Belanda, dan yang lebih memperjelas adalah ketika
bagian akhir dari novel ini menunjukkan bahwa akhirnya Hidjo, Raden Ajeng
Biroe, dan pasangan masing-masing merayakan berkumpulnya mereka di sebuah taman
di Solo, kota Kerajaan kuno di Jawa. Mereka berkeliling dengan mobil,
mengklakson, minum lemonade dan menonton kongres bersejarah Sarekat
Islam.
Gaya hidup modern Barat juga banyak
dilakukan oleh priyayi-priyayi Surakarta yang memiliki gedung societeit
sendiri yaitu Gedung Abipraya. Gedung Abipraya merupakan pusat budaya priyayi,
selain tempat pertemuan, gedung ini juga dipakai sebagai tempat pelelangan.
Keluarga orang yang meninggal atau mereka yang akan berpindah tempat yang
kebanyakan orang Belanda bias menjual harta mereka kepada umum melalui gedung
Abipraya, dalam sebuah pelelangan umum yang dipimpin oleh seorang vendumeester
Belanda. Gedung ini juga tempat di mana musik Barat dan gamelan Jawa dimainkan.
Pada saat pergelaran para priyayi diharuskan berpakaian resmi, yaitu baju sikepan,
bebed, dan kuluk. Dalam peristiwa-peristiwa penghormatan terhadap
raja yang diselenggarakan di gedung Abipraya selalu diikuti dengan pesta-pesta
dengan tarian tayuban, minuman alkohol, musik orkestra, dan sebagai
kelompok yang paling beruntung dalam masyarakat Surakarta, priyayi tentunya
mampu mengkonsumsi berbagai hal yang disediakan oleh budaya kota yang
berkembang itu, misalnya makanan mewah, bioskop, komidi stambul, sirkus,
cerutu, dan lain-lain.
Gaya hidup lain yang menjadi keasyikan
para priyayi terutama raja adalah olahraga berburu. Dengan adanya kebebasan
pemilikan senjata api modern (tidak perlu ijin khusus) sehingga senjata api
dijual di pasaran umum, maka kegiatan berburu di kalangan elit Eropa dan
tentunya para priyayi semakin marak. Begitu bergengsinya olahraga berburu
dengan senapan modern ini, sehingga Susuhunan Paku Buwana X seringkali
melakukan berburu dengan membawa iringan yang besar dan megah, dan dengan
mengenakan kostum model tentara kavaleri Belanda lengkap dengan topi panamanya.
Hal lain adalah dengan adanya
pembagian waktu dan kondisi dalam berpakaian maka gaya hidup masyarakat
Surakarta diperkenalkan dengan acara jamuan makan malam yang mewah lengkap
dengan penggunaan peralatan makan sendok, garpu, dan pisau. Jamuan makan malam
ini biasanya dilakukan oleh istana kerajaan Kasunanan maupun Mangkunegaran
dalam menyambut pajabat-pejabat penting pemerintah Hindia Belanda maupun
sebaliknya ketika para pejabat pemerintah Hindia Belanda menyambut kunjungan
para raja Surakarta. Seperti halnya jamuan makan malam yang dilakukan oleh
istana Mangkunegaran untuk menghormati kedatangan Gubernur Jendral M.B. van der
Jagt tahun 1930.
Gaya hidup priyayi yang penuh dengan
hedonisme menimbulkan dampak buruk dengan timbulnya kejahatan-kejahatan yang
dilakukan priyayi, misalnya mengadu jago, berjudi, walau pemerintah Surakarta
telah melarang semua itu bagi priyayi. Kritikan mengenai tingkah laku yang
buruk dari priyayi datang dari berbagai pihak. Mas Marco Kartodikromo melalui
surat kabar Doenia Bergerak mengkritik tingkah laku ini.
“He’ toean-toean: boekankah telah
oemoem segala bangsa apa sadja, baek jang kaja, baik jang miskin, hal berjoedi
itoe dianggap kesenangan jang loemrah…
Tapi kan sering dengar, baek membatja
di soerat kabar, baik dari kabar orang, banjak joega bangsa kapitalisten jang
jatoeh miskin lantaran diserang penjakit berjordi itoe.”
Dalam majalah Pemimpin sebuah
majalah milik Perserikatan Prijaji Binnenlandsche Bestuur juga
mengharapkan agar tingkah laku para priyayi menjaga perilaku yang baik agar
rakyat tetap mendukung mereka. Alam kebudayaan modern yang penuh dengan
persaingan dalam berbagai hal diharapkan tidak membuat para priyayi bestuursambtenaar
bumiputra tidak mabuk jabatan dan kekuasaan dan harus tetap memperhatikan
rakyat.
Pengaruh-pengaruh Eropa dalam gaya
hidup telah membawa masyarakat kota Surakarta mengalihkan perhatian tentang
rekreasi yang tadinya bersifat mistik dengan pagelaran wayang, tarian sakral,
pada awal abad ke-20 beralih kepada rekreasi yang bersifat modern, populer yang
menumbuhkan simbol dan status baru sebagai manusia modern. Manusia modern dalam
pikiran masyarakat Surakarta awal abad ke-20 adalah sesorang dengan pakaian
gaya Eropa, terlibat dalam klub-klub rekreasi, bergaya hidup Eropa dan tentunya
hal ini adalah sebuah hal yang dituju oleh masyarakat pada saat itu. Begitu
besarnya pengaruh perkembangan pakaian di kota Surakarta sehingga mampu
mempengaruhi gaya hidup masyarakat Surakarta pada awal abad ke-20.
BAB III. PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Dari uraian materi tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulan
sebagai berikut:
1) Kondisi sosial bangsa Indonesia pada
masa pergerakan nasional dapat dibagi menjadi empat, yaitu kondisi sosial dalam
bidang pendidikan, kondisi sosial dalam perbedaan ras, kondisi sosial dalam tipe tempat tinggal, dan kondisi sosial dalam segi jabatan;
2)
kondisi sosial dalam bidang pendidikan di dominasi
pendidikan Barat, bahasa Belanda di wajibkan dalam pendidikan Barat, dan pada mulanya hanya
tersedia bagi anak priyayi tinggi;
3)
kondisi sosial dalam perbedaan ras dapat dilihat dari diskriminasi ras, warna kulit seseorang menentukan statusnya. bahkan
diadakan pula perbedaan gaji antara serdadu pribumi yang berlainan suku;
4)
kondisi sosial dalam tipe tempat tinggal dilihat
dari rumah-rumah priyayi tinggi
berukuran besar, dibuat dari batu seperti halnya rumah-rumah pegawai menengah
dan pegawai tinggi. Sedangkan
pegawai-pegawai rendahan bertempat tinggal di rumah-rumah kayu dan
penduduk-penduduk desa di rumah -rumah bambu;
5)
kondisi sosial dalam segi jabatan adanya pembagian pekerjaan antara keturunan Eropa dengan non-Eropa, dimana orang Eropa mendapatkan gaji yang lebih
tinggi dan pembagian pekerjaan berdasarkan background pendidikan;
6)
kondisi
budaya bangsa Indonesia pada masa pergerakan
nasional dapat dibagi menjadi empat, yaitu budaya dalam segi bahasa, budaya
dalam segi bangunan di kota-kota, budaya dalam segi berpakaian, dan budaya dari segi gaya hidup;
7)
budaya
dalam segi bahasa mengalami keterbelakangan, karena masyarakat
Indonesia dalam berkomunikasi lebih dominan berbahasa Belanda, apalagi jika
berkomunikasi dengan orang Belanda harus menggunakan bahasa Belanda.
8)
budaya
dalam segi bangunan di kota-kota banyak berupa gedung-gedung
pemerintahan dan kediaman pejabat. Kabupaten menghadap alun-alun dan
disekitarnya terdapat rumah asisten residen dan kontrolir, gedung pengadilan,
rumah penjara, gudang garam, kantor pos, dan telepon serta rumah-rumah pejabat;
9)
budaya
dalam segi berpakaian bagi orang-orang Indonesia hanya diperbolehkan memakai
pakaian gaya Eropa di daerah-daerah yang dikendalikan oleh VOC adalah penganut
Kristiani. Pelengkap khas pakaian bagi Kristiani non-Eropa terdiri atas topi
gaya Eropa, kaus kaki dan sepatu. Pemakaian pakaian gaya Eropa walaupun di
kalangan masyarakat umum tidak diperbolehkan tetapi hal ini tidak berlaku bagi
para penguasa-penguasa di Jawa terutama Surakarta;
10) budaya dari
segi gaya hidup mengalami perkembangan, banyak rakyat Indonesia mulai mengikuti
gaya Berpakaian Eropa karena
modernitas bagi seseorang yang memakainya. Ia memiliki status sosial yang
tinggi karena dapat mengikuti gaya hidup bangsa Eropa. Banyak masyarakat
meninggalkan hiburan agraris tradisional, karena banyak menyita waktu dalam
menikmatinya seperti wayang kulit, ketoprak, tari-tari klasik tradisional dan
mulai mendapat pesaing baru yaitu kesenian atau hiburan modern kota yang
bersifat popular, komersial dan dipertunjukkan dengan waktu singkat seperti
film bioskop, musik modern, opera, sirkus, dan sebagainya. Serta juga banyak
msyarakat mulai menggunakan gaya hidup orang Eropa, misalnya makanan mewah,
bioskop, komidi stambul, sirkus, cerutu, dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
Kartodirjo, Sartono, 1990, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional Dari
Kolonialisme sampai Nasionalisme Jilid 2, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama
Hajati, Dra. Chusnul, dkk, 1997, Sejarah
Indonesia, Jakarta: Universitas Terbuka
Poesponegoro,
Marwati Djoened. Notosusanto, Nugroho, 2008, Sejarah Nasional Indonesia V, Jakarta: Balai Pustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar