
PRINSIP – PRINSIP /
PROSEDUR SEJARAH LISAN
PAPER
diajukan guna melengkapi tugas mata
kuliah Sejarah Lisan
Dosen Pengampu Drs. Marjono, M.Hum
Kelas A
KELOMPOK 4
Oleh:
Achmad Syamsul 150210302028
Fajar Firmansyah 150210302033
Nawang Ayu Sakti 15021030204
PROGAM STUDI
PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN
ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN
DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2018
BAB 2. PEMBAHASAN
2.1 Persiapan
Praktek sejarah lisan dimulai dari kegiatan kerja berupa
persiapan. Peranan Praktek sejarah lisan sangat signifikan dan penting sekali.
Persiapan yang matang diperlukan agar aktivitas penggalian sejarah lisan yang
dilaksankan agar mendapatkan hasil yang sesuai diinginkan. Terdapat delapan
langkah yang sangat memperlukan prioritas perhatian yang meliputi perumusan
topik penelitian , penetapan judul penelitian, pembuatan kerangka penelitian,
pembuatan kendali wawancara, inventarisasi dan seleksi pengkisah, kontak dengan
pengkisah, pegenalan lapangan dan persiapan alat rekam.
1. Perumusan Topik Penelitian
Untuk menentukan topik penelitian terdapat 4 pertimbangan
yang harus dilakukan. Pertama, interested topic, yakni topik menariuntuk
diteliti. Peneliti hariuslah memiliki ketertarikan yang besar terhadaap topik
yang dipilihnya. Dengan adanya ketertarikan peneliti dapat bekerja dengan
nyaman dan sepenuh hati saat melakukan peggalian sejarah lisan.
Kedua, manageable topic, yaitu topik yang diteliti ada
dalam jangkauan kemampuan. Terdapat tiga hal penting yang sangat perlu
dipikirkan untuk mengetahui topik berada dalam jangkauan kemampuan yaitu
kemampuan intelektual, kemampuan finansial, dan kemampuan atau ketersediaan
waktu yang ada. Kemampuan intelektual berhubungan dengan kemampuan akademis
peneliti dalam mengolah dan mengerjakan topik yang akan diteliti. Topik yang
hraus dipilih dengan satu keyakinan awal bahwa topik tersebut sangat mungkin
diteliti karena sesuai dengan kapasitas intelektual yang dimiliki penggali
sejarah lisan. Kemampuan financial tentang kemampuan ekonomi penggali sejarah
lisan dalam mengolah dan menyelesaikan topik yang akan diteliti. Seandainya
kemampuan ekonomi terbatas janganlah mencari topik yang sekiranya akan
memerlukan adanya biaya perjalanan yang tinggi untuk tempat tinggal pengkisah
atau pemilik sejarah lisan. Ketersediaan waktu harus dipahami sebagai adanya
kesesuian antara waktu yang dimiliki penggali sejarah lisan sebagai topik
penelitian yang dipilih (Dienaputra, 2013: 34-35).
Ketiga yaitu obtainable topic adalah sumber atau
pengkisah yang diperlukan untuk melakukan penggalian sejarah lisan yang sesuai
dengan topik yang telahdirumuskan masih hidup dan relatif mudah untuk
dijangkau. Hal ini harus dipikirkan dengan cermat dan cerdat mengenai topik
tersebut sangat memungkinkan digarap dega sumber sejarah yang berupa sejarah
lisan. Rasionalisasi yang sangat penting untuk memungkinkan seterdia tidaknya
sumber yang dimiliki sejarah lisan atau kisah yang berkaitan dengan usia
maksimal manusia umumnya.
Keempat, significance of topic yaitu topik penting untuk
diteliti. Pertimbangan yang terakhir dalam menentukan topik bisa jadi akan
sangat relatif sekali. Untuk mengukur penting tidaknya suatu topik bukanlah hal
yang mudah. Pengukuran kepentingan topik dalam penggalian sejarah lisan bisa
diihat dari nilai rekonstruksi yang akan dihasilkan. Kuntowijoyo (1995)
berpendapat bahwa dalam memilih topik untuk penelitian sejarah hendaknya
didasrkan atas dua pertimbangaan. Pertama,, kedekatan emosional. Kedua,
kedekatan intelektual. Kedekatan emosional terhadap topik penelitian bisa
didasrkan pada berbagai pertimbangan misalnya kedekatan secra geografis (desa,
kelurahan, kecamatan, kabupaten, dll), secara institusional, secara organisasi
maupun kedekatan secara emosional terhadap suatu tokoh atau pemuka agama.
2. Penetapan Judul Penelitian
Setelah merumuskan topik dan berhasil ditetapkan,
berikutnya adalah menetapkan judul bagi penelitian yang dipilih. Judul
merupakan bentuk yang lebih dteliti dan jelas materi yang akan diteliti.
Sebaiknya judul terdiri dari dua variabel yang saling berkaitan misalnya Dampak
Kehadiran Perguruan Tinggi di Jatinangor Terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi
Masyarakat Sekitar atau Respon Mahasiswa Terhadap Kehadiran Taman Bacaan di
Jatinangor. (Dienaputra, 2013: 37)
Untuk menetapkan sekian banyak judul yang dudah
diinventarisir, cermatilah hal hal yang berkaitan dengan ketertarikan peneliti
terhadap judul, ketersediaan sumber untuk mengungkap ataupun merekonstruksi
materi yang tercantum dalam judul, kemampuan intelektual, finansial dan waktu
peneliti untuk menyelesaikan materi penelitian dan nilai penting penelitian.
3. Pemahaman Masalah
Memahami permasalahan yang akan diteliti yang tercermin
dalam judul penelitian perlu dilakukan agar sebelum melakukan penggalian sejarah
lisan, penggali sejarah lisan memiliki bekal awal mengenai peristiwa atau
materi yang akan diteliti. Untuk memahami masalah dapat dilakukan melalui
pendekatan konvensionaldan pendekatan nonkovensional. Dalam melakukan
pendekatan konvensional dengan cara
melacaknya terlebih dahulu melalui sumber sumber tertulis, baik yang terdapat
pada lembaga lembaga kearsipan maupun perpustakaan perpustakaan.
Pendekatan nonkonvensional bisa dilakukan dengan melacak
materi atau peristiwa yang akan diteliti lewat internet. Media internet
menyediakan banyak website yang sarat dengan informasi misalnya www.google.com
4. Pembuatan Kerangka
Penelitian
Pentingnya membuat kerangka penelitian bagi penggalian
sejarah lisan karena dapat menjadi petunjuk tentang informasi sejarah lisan
yang sangat diperlukan. Kerangka peneitian minimal terdiri daari empat bab. Bab
pertama adalah bab pendahuluan dan bab keempat adalah kesimpulan. Bab tiga dan
bab empat adalah yang berisi pembahasan atau inti jawaban penelitian.
5. Pembuatan Kendali Wawancara
Kendali wawancara berfungsi sebagai alat pancing untuk memperoleh informasi
sejarah lisan sesuai yang diinginkan. Kendali wawancara berkaitan erat dengan
kerangka sementara. Sesuatu yang sudah diuraikan dalam kerangka sementara
kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam kendali wawancara.( Dienaputra, 2013: 39)
Kendali wawancara berupa daftar pertanyaan. Pertanyaan
yang dimuat daam kendali wawancara dibuat sederhana mungkin akan tetapi jelas
dan mudah dipahami. Sudah selayaknya pertanyaan pertanyaan yang diajukan
dimulai dengan 5 W (who, what, when, where, why) dan 1 H (how) atau ASDIKAMBA
(apa, siapa, dimana, kapan, mengapa, dan bagaimana. Harus menghindari
pertanyaan yang bersifat tertutup pertanyaan yang memerlukan jawaban ya atau
tidak (Dienaputra, 2013: 39-40)
5. Inventarisasi dan Seleksi
Pengkisah
Inventarisasi dipahami sebagai proses penyusunan daftar
pengkisah sesuai dengan derajat perannya dalam peristiwa sejarah serta
perluasan daftar pengkisah yang akan digali sejarah lisannya. Pengkisah
merupakan saksi hidup yang menceritakan kesaksiannya melalui wawancara yang
direkam dalam alat rekam. Kesaksian lisan daari tagan pertama, bisa peristiwa
tertentu yang dialami sendiri, dirasakan sendiri, didengar sendiri, dilihat
dsendiri atau dipirkan sendiri secara langsung oleh pengkisah.
Setelah selesai melakukan inventarisasi dilakukan seleksi
pengkisah. Seleksi pengkisah menyanngkut dua hal yaitu pertama usia. Seleksi
usia diperlukan untuk mengetahui kesezamanan pengkisah dengan peristiwa yang
akan digali sejarahnya. Usia 15 tahun dapt digunakan sebagai usia minimal yang
dimiliki pengkisah saat peristiwa sejarah terjadi. jika pengkisah bercerita
tentang peristiwa yang terjadi pada tahun 1950, maka pengkisah haruslah orang
yang kelahirannya pada tahun 1935 atau sebelumnya. jika upaya penggalian
sejarah lisan dilakukan pada taahun 2013 berarti pada tahun diadakannya
penggalian sejarah lisan, usianya setidaknya mencapai 78 tahun. Jika pengkisah
pada tahun 2013 baru berusia 60 tahun atau lebih muda dari itu maka
dikesampingkan terlebih dahulu dari daftar pengkisah yang harus digali sejarah
lisannya.
Seleksi yang kedua berkaitan dengan kesehatan mental. Hal
ini berkaitan dengan kemampuan untuk menyampaikaan sejarah lisan tetapi
berkaitan erat dengan kemampuan untuk mengingat peristiwa peristiwa sejarah
terpilih yang ada didalam memorinya. Seleksi pengkisah dapat dilakukan juga
sesuai kebutuhan penelitian maupun kemampuan peneliti, khususnya yang berkaitan
dengan finansial dan waktu penelitian.( Dienaputra, 2013: 41)
6. Kontak Dengan Pengkisah
Ketika setelah memperoleh daftar pengkisah terseleksi,
berikutnya mengadakan kontak dengan pengkisah. Kontak dengan pengkisah
dimaksudkan untuk memperkenalkan diri, menyampaikankan maksud dan tujuan, serta
sekaligus membuat janji wawancara. Pewawncara harus berupaya mengenal terlebih
dahulu profil calon pengkisah, baik melalui orang orang yang menngetahui
tentang jati diri pengkisah maupun melalui bacaan bacaan (Bigalke, 1982). Cara
cara yang dapat dilakukan untuk mengadakankontak awal dengan pengkisah, mulai
dari datang langsung ketempat tinggal pengkisah, mengirim surat berkomunikasi,
berkomunikasi melalui telepon rumah dan handphone, hingga berkomunikasi melalui
SMS atau e-mail. Faktor etikaa dan kesantunan perlu dipertimbangkan ketika akan
menentukan media komunikasi untuk mengkontak pengkisah. Jika pengkisah yang
akan dikontak telah berumur atau lebih tua dari peneliti ada baiknya mendatangi
langsung kediaman pengkisah.
Begitu pentingnya menyampaikan voorspel atau proloog,
yang berupa maksud dan tujuan diadakannya wawancara kepada calon pengkisah.
Kontak awal dengan pengkisah dimaksudkan untuk memperoleh kejelasan tentang
kesediaan pengkisah untuk diwawancarai serta kesepakatan tentang waktu dan
tempat wawancara. Tempat dan waktu wawancara diserahkan kepada keputusan
pengkisah. Tempat wawancara haruslah diupayakan tempat yang tenang jauh dari
kemungkinan munculnya gangguan, termasuk gangguan suara bising,
7. Pengenalan Lapangan
Pengenalan lapangan bertujuan untuk mengenal medan tempat
wawancara dilakukan. Terdapat dua hal yang mendasari perlunya adanya pengenalan
lapangan. Pertama, bila kontak awal dengan pengkisah dilakukan dengan tidak
mendatangi langsung tempat tinggal pengkisah. kedua, ketika kontak awal yang
dilakukan, pengkisah memutuskan bahwa wawancara tidak diadakan ditempat tinggal
pengkisah tetapi ditempat lain yang telah ditentukan misalnya dikantor tempat
engkisah bekerja atau pengkisah seorang petani, wawancara diadakan dipematang
sawah atau dikebunatau jika pengkisah seorang nelayan, wawancara dilakukan
ditempat pelelangan ikan atau diatas perahu. Pengenalan lapangan juga penting
dilakykan untuk mengetahui dengan kondisi prasarana dan sarana lapangan. (Dienaputra,
2013: 43-44)
8. Pengenalan Alat Rekam
Suatu conditio sine qua non bagi penggali sejarah lisan
untuk mempersiapkan dengan baik alat rekam dan segala perangkat pendukungnya
misalnya kaset dan baterai jika penggalian sejarah lisan hendak menggunakan
tape recorder. Kriteria Alat rekam yang baik yaitu alat rekam yang jernih daa
tangkapnya, bentuknya sederhana, mudah dibawa, dan untuk menjalankannya bisa
menggunakan energi listrik maupun baterai. Penggali sejarah lisan melakukan
percobaan terlebih dahulualat rekam dalam berbagai posisidan jarak. Bertujuan
untuk mengetahui kelayakan alat rekam tersebutdan untuk mengetahui seberapa
jauh daya tangkap alat rekam tersebut.
Unsur lain yang juga harus diperhatikan yakni kaset yang
akan digunakan untuk merekam hasil penggaliansejarah lisan. Untuk kepentingan
penggalian sejarah digunakan kaset dengan durasi 60 menit (30 menit tiap sisi)
atau maksimal berdurasi 90 menit (45 menittiap sisi). Seiring perkembangan
teknolgi informasi banyak sekali alat rekam, termasuk diantataranya berbagai
jenis voice recorder yang bentuknya sederhana.
2.2 Pelaksanaan
Terdapat 5 langkah dalam praktek pelaksanaan sejarah
lisan aiitu pembuatan label wawancara, pembukaan wawancara, menjaga suasana
wawancara, membuat catatan, dan mengakhiri wawancara.
1. Membuat Label Waawancara
Fungsi label tidak jauh berbeda dengan fungsi keterangan
pengarang, tahun, judul, tempat terbit, dan enerbit yang ada sebuah buku.
Keterangan yang termuat dalam label wawancara yaitu nama pengkisah, nama
pewawancara, tanggal dan tempat wawancara, waktu wawancara, dan topik atau
judul penelitian. Terdapat 4 jenis label wawancara yang perlu dibuat
pewawancara dalam kegiatan penggalian sejarah lisan. (Dienaputra, 2013: 47)
Pertama, label yang terekam dalam kaset pada awal wawancara.
Misalnya label yang terekat dalam kaset contohnya berbunyi “ Pada hari ini,
Selasa tanggal 29 Januari 2013, saya, Haidir Aulia, mengadakan wawancara dengan
Susilo Bambang Yudhoyono. Wawancara diadakan ditempat kediaman pengkisah di
Cekeas berkaitan dengan penelitian yang judul ‘’ respon Para Menteri Kabinet
terhadap Dekrit Presiden 22 Juli 2001’’ wawancara dimulai pada pukul 16.00 WIB.
Isi wawancaranya ....”. kedua, label Yng terekam dalam kaset pada akhir wawancara. Bunyi label wawancara
diakhir wawancara misalnya, “..... demikian wawancaradengan Susilo Bambang
Yudhoyono, wawancara ini berakhir pada pukul 17.00” atau”...demikian wawancara
pertama dengan Susilo Bambang Yudhoyono, wawancara ini berakhir pada pukul
17.00. wawancara selanjutnya direncanakan berlangsung hari Minggu tanggal 3
Februari 2013”.
Dua label wawancara lainnya berbentuk lisan, yakni yang
tertulis dikulit kaset dan yang tertulis di kertas pembungkus kaset. Kedua
label wawancara yang berbentuk tulisan ii berisis keteranga tentang topik atau
judul penelitian, nama pengkisah, nama pewawancara, tempat wawancara, tanggal
wawancara, waktu wawancara dan isi kaset.
2. Pembukaan Wawancara
Pembukaan wawancara hendaknya dimulai dengan pertanyaan
pertanyaan santai, ringan, dan menyenagkn bagi pengkisah, misalnya tentang
riwayat hidup pengkisah, termasuk didalamnya kenangan kenangan manis pengkisah
semasa kanak kanak, remaja, sampai dewasa. Yang menjadi sasaran utama dalam
pembukaan wawancara yaitu untuk menyegarkan ingatan pengkisah akan peristiwa
peristiwa sejarah terpilih yang terdapat dalam memorinya.
Pewawancara harus memperhatika penampilannya. Penampilan
pewawancara yang sombong, congkak, dan angkuh), yang tidak simpatik atau
penampilan yang seakan akan ingin ngrogohi rempelonya calon yang akan
diwawancarai, otomatis akan memantulkan efek yang afstotend (penolakan atau
penjarakan). Sebaliknya sikap manis, murah senyum, dan diselingi humor akan
menunjang ke arah suksesnya suatu wawancara
3. Menjaga Suasana Wawancara
Membuat rapport atau suasana psikologis berupa saling
percaya dan keterbukaan hubungan antara pewawancara dan pengkisah. Berikanlah
kesempatan pada pengkisah untuk memberikan informasi dan pengetahuan secara
panjang lebar dan hindarkan kesan dalam diri pengkisah bahewa seolah olah ia
tengah diinterogasi. Wawancara semakin hidup karena dapat diisi dengan
pembicaraan yang bersifat pleasantries yaitu kelakar kelakar yang sebagian
adalah nostalgia terhadap pengalaman pada masa silam (Atmakusumah dalam, 50)
Cara untuk membangun rapport
yang baik yaitu:
1)
pertanyaan disampaikan secara
persatu satu dan mulailah pertanyaan dengan kata kata ASDIKAMBA (apa, siapa,
dimana, kapan, mengapa, dan bagaimana)
2)
usahakan pertanyaan tidak
terlalu panjang apalagi berputar putar sehingga membingungkan pengkisah
3)
jangan memotong pembicaraan
pengkisah, meskipun pewawancara menilai bahwa peristiwa yang diceritakan
pengkisah tidak benar
4)
Jadilah pendengar yang baik
selama pengkisah menyampaikan keterangan dan berikanlah pesan yang jelas kepada
pengkisah bahwa pewawancara sangat tertarik pada keterangan keterangannya
5)
apabila keterangan pengkisah
kurang jelas, dapat bertanya kembali untuk memperjelas pemahaman
6)
bersikaplah fleksibel dan
jangan terpaku pada pertanyaan pertanyaan dalam teks atau kendali wawancara
7)
kalau tidak terpaksa sekali,
hindarkan kehadiran pihak ketiga ketika wawancara berlangsung
8)
Hindarkan keterangan off the
record yang bersifat abadi.
4. Membuat Catatan
Membuat catatan ketika wawancara berlangsung dimaksudkan
untuk mencatat kata kata yang kurang jelas atau kata kata yang dianggap penting
misalnya mengenai nama orang, nama tempat, atau istilah istilah tertentu yang
bersumber pada bahasa asing atau bahasa daerah tertentu
5. Mengakhiri Wawancara
Keputusan untuk mengakhiri wawancara ditentukan kejeliaan
pewawancara dalam memahami permasalah serta dalam membaca suasana wawancara.
Ketika data yang dibutuhkan pengkisah sudah terpenuhi sesuai yang ditargetkan
hendaknya wawancarai dihentikan yang bertujuan untuk mencegah masuknya
informasi yang tidak sesuai dengan topik atau judul penelitian. Jika pengkisah
sudah kelihatan lelah atau banyak ngelantur dalam menutrkan kisahnya hendaknya
wawancara dihentikan dan dilanjutkan lain waktu (Dienaputra, 2013: 54) Menurut
Bigalke (1982) dan Willa K. Baum (1982)waktu maksimum untuk melakukan sekali
wawancara dalam penggaliaan sejarah lisan yakni 1,5 jam atau 90 menit.
6. Membuat Surat Pernyataan
Dibuatnya surat pernayataan wawancara bertujuan untuk
memperkuat kredibilitashasil penggalian sejarah lisan sebagai sumber sejarah
dan memberi rasa aman pada kedua belah ihak yang bersangkutan jika terjadi
sesuatu yang tidak diinginkan dikemudian hari misalnya memutar balikkan fakta
pleh pewawancara ataupum pengkisah maupun pengingkaran telah memberikan
keterangan tertentu oleh pengkisah. Terdapat 2 model surat pernyataan wawancara
diantaranya petama, surat pernyataan yang dibuat segera setelah wawancara
dilakukan. Kedua, surat pernayataan yang dibuat setelah pengkisah membaca
dengan seksama hasil transkripsi dibuat
2.3 Indeks dan Transkripsi
1. Pembuatan Indeks
Dalam pembuatan konteks diupayakan memberikan
gambaranyang jelas dan utuh tentang isi kaset hasil penggalian sejarah lisan.
Secara secara teknis terdapat dua
pilihan dalam pembuatan indeks. Pertama, pembuatan indeks yang berdasrkan pada
pembagian waktu atau ke dalam satuan menit dan jam. Kedua, pembuatan indeks
dengan berdasarkan pada digital counter yang ada pada tape (tape counter)
2. Pembuatan Transkripsi
Pengalihan dari bentuk lisan ke bentuk tulisan yang bertujuan
untuk mendapatkan kejernihan (clarity) dan untuk mengampangkan (readability).
Kejernihan yang dimaksud yaitu kejelasan tentang apa yang direkam di dalam
kaset. Pembuatan transkripsi dari hasil penggalian sejafrah lisan diharapkan
bisa mengampangkan proses pengolahan. Dalam bentuk lisan, waktu yang dibutuhkan
untuk mengolahnya bisa jadi sama dengan waktu pelaksanaan penggalian sejarah
lisan. Jika sudah dibuatkan transkripsi maka proses pengolahan akan lebih cepat
dan lebih mudah karena hasil penggalian sejarah lisan dapat dibaca dalam bentuk
tulisan (Dienaputra, 2013: 59-60).
2.4 Faktor yang mempengaruhi
sumber sejarah
Banyak keterangan yang amat penting mengenai masa lampau
masyarakat kita yang tidak tersimpan lagi dalam bentuk tertulis. Pelbagai peristiwa
dan tindakan masa lampau telah mengakibatkan sejumlah bahan tertulis tidak
tersediakan lagi di Indonesia. Di antaranya telah dipindahkan ke luar negeri,
baik sebagai barang rampasan perang maupun sebagai usaha dokumentasi lembaga
luar negeri. Ada juga yang merupakan koleksi perorangan, baik yang didapatkan
sebagai pejabat maupun dengan jalan membeli, juga yang telah musnah karena
dianggap tidak penting, maupun karena kelalaian, sehingga karenanya tidak dapat
digunakan dan dimanfaatkan di Indonesia.
Pada waktu ini banyak keterangan penting masih diingat
oleh sejumlah orang tertentu. Orang-orang itu dengan demikian dapat menjadi
sumber bahan keterangan, yang sangat berharga bila dipindahkan dari ingatan
dalam bentuk yang tidak terikat pada masa hidup orang itu sendiri di waktu
sekarang.
Kemajuan teknologi memungkinkan untuk merekam ingatan
orang-orang itu, yang dapat disimpan untuk kepentingan masa depan penelitian
dan penulisan sejarah. Dengan demikian sumber bahan keterangan di dalam pita
rekaman itu tidak lagi terikat/terbatas pada masa hidup seseorang yang telah
menuangkan ingatannya itu, melalui pemberitaan lisan, telah diawetkan dalam
rekaman.
Kegiatan yang menyertai proses perencanaan dan wawancara,
sampai terdapatnya hasil akhir dalam bentuk pita rekaman itu tercakup dalam
bidang sejarah lisan.
Prosedur mendapatkan keterangan melalui Sejarah Lisan. Hasil
akhir atau the end product suatu wawancara dengan tujuan untuk direkam, apalagi
yang diarahkan untuk kepentingan penyimpanan dan penyediaan sebagai sumber
sejarah tergantung kepada banyak faktor.
Pertama, ialah faktor orang yang akan diminta sebagai
pengkisah pengalamannya, yang di dalam Bahasa Inggris disebut the narrator atau
the interviewer. Calon pengkisah memberikan keterangan untuk direkam. Keadaan
kesehatan pengkisah. Kondisi pengkisah sendiri yang memberikan keterangan
secara jujur. Pengkisah telah menaruh kepercayaan kepada kegunaan Sejarah
Lisan.
Kedua, ialah faktor orang yang akan mengadakan wawancara.
Pewawancara atau interviewer telah cukup pengetahuannya mengenai diri
pengkisah. Perlu di ketahui lebih dulu hal ihwal keadaan zaman pengkisah.
Pengkisah memegang peranan atau tidak. Yang menentukan adalah terutama pribadi
pewawancara sendiri, keluwesan dalam bergaul, kelincahannya dalam pengetahuan
persiapan menghadapi pengkisah.
Ketiga, faktor jaminan hukum. Adalah lazim dalam suatu
wawancara mengenai kehidupan seorang maupun lembaga pengkisah akan memberikan
informasi mengenai perorangan lain maupun pendapatnya mengenai kebijaksanaan
lembaga masyarakat lain. Sebagian dari bahan-bahan keterangan yang diberikan,
tidak dikehendaki untuk digunakan dalam hidup pengkisah atau masa hidup
orang-orang/ lembaga lain. Sampai dimana rahasia yang telah diberikan dapat
dipercayakan untuk didengar oleh pewawancara dan direkam.
Dari ketiga faktor itu, di
samping faktor-faktor yang lain akan terletak apakah kegiatan sejarah lisan
berhasil atau tidak. Yang perlu ditekankan ialah, bahwa bukanlah penggunaan
langsung dari bahan keterangan penting itu dalam bahan yang lebih tahan
DAFTAR PUSTAKA
Dienaputra, D.R. 2013. Sejarah
Lisan Metode Dan Praktek. Bandung: Balatin Pratama.
Surjomihardjo, Abdurachman. 1979. Pembinaan bangsa dan masalah
historiografi. Jakarta:yayasan idayu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar