Sabtu, 13 Oktober 2018

PAPER PRINSIP – PRINSIP / PROSEDUR SEJARAH LISAN






PRINSIP – PRINSIP / PROSEDUR SEJARAH LISAN
PAPER

diajukan guna melengkapi tugas mata kuliah Sejarah Lisan
Dosen Pengampu Drs. Marjono, M.Hum


Kelas A
KELOMPOK 4

Oleh:
Achmad Syamsul        150210302028
Fajar Firmansyah        150210302033
Nawang Ayu Sakti      15021030204
                                   

PROGAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2018




BAB 2. PEMBAHASAN

            2.1 Persiapan
            Praktek sejarah lisan dimulai dari kegiatan kerja berupa persiapan. Peranan Praktek sejarah lisan sangat signifikan dan penting sekali. Persiapan yang matang diperlukan agar aktivitas penggalian sejarah lisan yang dilaksankan agar mendapatkan hasil yang sesuai diinginkan. Terdapat delapan langkah yang sangat memperlukan prioritas perhatian yang meliputi perumusan topik penelitian , penetapan judul penelitian, pembuatan kerangka penelitian, pembuatan kendali wawancara, inventarisasi dan seleksi pengkisah, kontak dengan pengkisah, pegenalan lapangan dan persiapan alat rekam.
1. Perumusan Topik Penelitian
            Untuk menentukan topik penelitian terdapat 4 pertimbangan yang harus dilakukan. Pertama, interested topic, yakni topik menariuntuk diteliti. Peneliti hariuslah memiliki ketertarikan yang besar terhadaap topik yang dipilihnya. Dengan adanya ketertarikan peneliti dapat bekerja dengan nyaman dan sepenuh hati saat melakukan peggalian sejarah lisan.
            Kedua, manageable topic, yaitu topik yang diteliti ada dalam jangkauan kemampuan. Terdapat tiga hal penting yang sangat perlu dipikirkan untuk mengetahui topik berada dalam jangkauan kemampuan yaitu kemampuan intelektual, kemampuan finansial, dan kemampuan atau ketersediaan waktu yang ada. Kemampuan intelektual berhubungan dengan kemampuan akademis peneliti dalam mengolah dan mengerjakan topik yang akan diteliti. Topik yang hraus dipilih dengan satu keyakinan awal bahwa topik tersebut sangat mungkin diteliti karena sesuai dengan kapasitas intelektual yang dimiliki penggali sejarah lisan. Kemampuan financial tentang kemampuan ekonomi penggali sejarah lisan dalam mengolah dan menyelesaikan topik yang akan diteliti. Seandainya kemampuan ekonomi terbatas janganlah mencari topik yang sekiranya akan memerlukan adanya biaya perjalanan yang tinggi untuk tempat tinggal pengkisah atau pemilik sejarah lisan. Ketersediaan waktu harus dipahami sebagai adanya kesesuian antara waktu yang dimiliki penggali sejarah lisan sebagai topik penelitian yang dipilih (Dienaputra, 2013: 34-35).
            Ketiga yaitu obtainable topic adalah sumber atau pengkisah yang diperlukan untuk melakukan penggalian sejarah lisan yang sesuai dengan topik yang telahdirumuskan masih hidup dan relatif mudah untuk dijangkau. Hal ini harus dipikirkan dengan cermat dan cerdat mengenai topik tersebut sangat memungkinkan digarap dega sumber sejarah yang berupa sejarah lisan. Rasionalisasi yang sangat penting untuk memungkinkan seterdia tidaknya sumber yang dimiliki sejarah lisan atau kisah yang berkaitan dengan usia maksimal manusia umumnya.
            Keempat, significance of topic yaitu topik penting untuk diteliti. Pertimbangan yang terakhir dalam menentukan topik bisa jadi akan sangat relatif sekali. Untuk mengukur penting tidaknya suatu topik bukanlah hal yang mudah. Pengukuran kepentingan topik dalam penggalian sejarah lisan bisa diihat dari nilai rekonstruksi yang akan dihasilkan. Kuntowijoyo (1995) berpendapat bahwa dalam memilih topik untuk penelitian sejarah hendaknya didasrkan atas dua pertimbangaan. Pertama,, kedekatan emosional. Kedua, kedekatan intelektual. Kedekatan emosional terhadap topik penelitian bisa didasrkan pada berbagai pertimbangan misalnya kedekatan secra geografis (desa, kelurahan, kecamatan, kabupaten, dll), secara institusional, secara organisasi maupun kedekatan secara emosional terhadap suatu tokoh atau pemuka agama.
2. Penetapan Judul Penelitian
            Setelah merumuskan topik dan berhasil ditetapkan, berikutnya adalah menetapkan judul bagi penelitian yang dipilih. Judul merupakan bentuk yang lebih dteliti dan jelas materi yang akan diteliti. Sebaiknya judul terdiri dari dua variabel yang saling berkaitan misalnya Dampak Kehadiran Perguruan Tinggi di Jatinangor Terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Sekitar atau Respon Mahasiswa Terhadap Kehadiran Taman Bacaan di Jatinangor. (Dienaputra, 2013: 37)
            Untuk menetapkan sekian banyak judul yang dudah diinventarisir, cermatilah hal hal yang berkaitan dengan ketertarikan peneliti terhadap judul, ketersediaan sumber untuk mengungkap ataupun merekonstruksi materi yang tercantum dalam judul, kemampuan intelektual, finansial dan waktu peneliti untuk menyelesaikan materi penelitian dan nilai penting penelitian.
3. Pemahaman Masalah
            Memahami permasalahan yang akan diteliti yang tercermin dalam judul penelitian perlu dilakukan agar sebelum melakukan penggalian sejarah lisan, penggali sejarah lisan memiliki bekal awal mengenai peristiwa atau materi yang akan diteliti. Untuk memahami masalah dapat dilakukan melalui pendekatan konvensionaldan pendekatan nonkovensional. Dalam melakukan pendekatan konvensional  dengan cara melacaknya terlebih dahulu melalui sumber sumber tertulis, baik yang terdapat pada lembaga lembaga kearsipan maupun perpustakaan perpustakaan.
            Pendekatan nonkonvensional bisa dilakukan dengan melacak materi atau peristiwa yang akan diteliti lewat internet. Media internet menyediakan banyak website yang sarat dengan informasi misalnya www.google.com
4. Pembuatan Kerangka Penelitian
            Pentingnya membuat kerangka penelitian bagi penggalian sejarah lisan karena dapat menjadi petunjuk tentang informasi sejarah lisan yang sangat diperlukan. Kerangka peneitian minimal terdiri daari empat bab. Bab pertama adalah bab pendahuluan dan bab keempat adalah kesimpulan. Bab tiga dan bab empat adalah yang berisi pembahasan atau inti jawaban penelitian.
5. Pembuatan Kendali Wawancara
            Kendali wawancara berfungsi sebagai  alat pancing untuk memperoleh informasi sejarah lisan sesuai yang diinginkan. Kendali wawancara berkaitan erat dengan kerangka sementara. Sesuatu yang sudah diuraikan dalam kerangka sementara kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam kendali wawancara.( Dienaputra, 2013: 39)
            Kendali wawancara berupa daftar pertanyaan. Pertanyaan yang dimuat daam kendali wawancara dibuat sederhana mungkin akan tetapi jelas dan mudah dipahami. Sudah selayaknya pertanyaan pertanyaan yang diajukan dimulai dengan 5 W (who, what, when, where, why) dan 1 H (how) atau ASDIKAMBA (apa, siapa, dimana, kapan, mengapa, dan bagaimana. Harus menghindari pertanyaan yang bersifat tertutup pertanyaan yang memerlukan jawaban ya atau tidak (Dienaputra, 2013: 39-40)
5. Inventarisasi dan Seleksi Pengkisah
            Inventarisasi dipahami sebagai proses penyusunan daftar pengkisah sesuai dengan derajat perannya dalam peristiwa sejarah serta perluasan daftar pengkisah yang akan digali sejarah lisannya. Pengkisah merupakan saksi hidup yang menceritakan kesaksiannya melalui wawancara yang direkam dalam alat rekam. Kesaksian lisan daari tagan pertama, bisa peristiwa tertentu yang dialami sendiri, dirasakan sendiri, didengar sendiri, dilihat dsendiri atau dipirkan sendiri secara langsung oleh pengkisah.
            Setelah selesai melakukan inventarisasi dilakukan seleksi pengkisah. Seleksi pengkisah menyanngkut dua hal yaitu pertama usia. Seleksi usia diperlukan untuk mengetahui kesezamanan pengkisah dengan peristiwa yang akan digali sejarahnya. Usia 15 tahun dapt digunakan sebagai usia minimal yang dimiliki pengkisah saat peristiwa sejarah terjadi. jika pengkisah bercerita tentang peristiwa yang terjadi pada tahun 1950, maka pengkisah haruslah orang yang kelahirannya pada tahun 1935 atau sebelumnya. jika upaya penggalian sejarah lisan dilakukan pada taahun 2013 berarti pada tahun diadakannya penggalian sejarah lisan, usianya setidaknya mencapai 78 tahun. Jika pengkisah pada tahun 2013 baru berusia 60 tahun atau lebih muda dari itu maka dikesampingkan terlebih dahulu dari daftar pengkisah yang harus digali sejarah lisannya.
            Seleksi yang kedua berkaitan dengan kesehatan mental. Hal ini berkaitan dengan kemampuan untuk menyampaikaan sejarah lisan tetapi berkaitan erat dengan kemampuan untuk mengingat peristiwa peristiwa sejarah terpilih yang ada didalam memorinya. Seleksi pengkisah dapat dilakukan juga sesuai kebutuhan penelitian maupun kemampuan peneliti, khususnya yang berkaitan dengan finansial dan waktu penelitian.( Dienaputra, 2013: 41)
6. Kontak Dengan Pengkisah
            Ketika setelah memperoleh daftar pengkisah terseleksi, berikutnya mengadakan kontak dengan pengkisah. Kontak dengan pengkisah dimaksudkan untuk memperkenalkan diri, menyampaikankan maksud dan tujuan, serta sekaligus membuat janji wawancara. Pewawncara harus berupaya mengenal terlebih dahulu profil calon pengkisah, baik melalui orang orang yang menngetahui tentang jati diri pengkisah maupun melalui bacaan bacaan (Bigalke, 1982). Cara cara yang dapat dilakukan untuk mengadakankontak awal dengan pengkisah, mulai dari datang langsung ketempat tinggal pengkisah, mengirim surat berkomunikasi, berkomunikasi melalui telepon rumah dan handphone, hingga berkomunikasi melalui SMS atau e-mail. Faktor etikaa dan kesantunan perlu dipertimbangkan ketika akan menentukan media komunikasi untuk mengkontak pengkisah. Jika pengkisah yang akan dikontak telah berumur atau lebih tua dari peneliti ada baiknya mendatangi langsung kediaman pengkisah.
            Begitu pentingnya menyampaikan voorspel atau proloog, yang berupa maksud dan tujuan diadakannya wawancara kepada calon pengkisah. Kontak awal dengan pengkisah dimaksudkan untuk memperoleh kejelasan tentang kesediaan pengkisah untuk diwawancarai serta kesepakatan tentang waktu dan tempat wawancara. Tempat dan waktu wawancara diserahkan kepada keputusan pengkisah. Tempat wawancara haruslah diupayakan tempat yang tenang jauh dari kemungkinan munculnya gangguan, termasuk gangguan suara bising,
7. Pengenalan Lapangan
            Pengenalan lapangan bertujuan untuk mengenal medan tempat wawancara dilakukan. Terdapat dua hal yang mendasari perlunya adanya pengenalan lapangan. Pertama, bila kontak awal dengan pengkisah dilakukan dengan tidak mendatangi langsung tempat tinggal pengkisah. kedua, ketika kontak awal yang dilakukan, pengkisah memutuskan bahwa wawancara tidak diadakan ditempat tinggal pengkisah tetapi ditempat lain yang telah ditentukan misalnya dikantor tempat engkisah bekerja atau pengkisah seorang petani, wawancara diadakan dipematang sawah atau dikebunatau jika pengkisah seorang nelayan, wawancara dilakukan ditempat pelelangan ikan atau diatas perahu. Pengenalan lapangan juga penting dilakykan untuk mengetahui dengan kondisi prasarana dan sarana lapangan. (Dienaputra, 2013: 43-44)
8. Pengenalan Alat Rekam
            Suatu conditio sine qua non bagi penggali sejarah lisan untuk mempersiapkan dengan baik alat rekam dan segala perangkat pendukungnya misalnya kaset dan baterai jika penggalian sejarah lisan hendak menggunakan tape recorder. Kriteria Alat rekam yang baik yaitu alat rekam yang jernih daa tangkapnya, bentuknya sederhana, mudah dibawa, dan untuk menjalankannya bisa menggunakan energi listrik maupun baterai. Penggali sejarah lisan melakukan percobaan terlebih dahulualat rekam dalam berbagai posisidan jarak. Bertujuan untuk mengetahui kelayakan alat rekam tersebutdan untuk mengetahui seberapa jauh daya tangkap alat rekam tersebut.
            Unsur lain yang juga harus diperhatikan yakni kaset yang akan digunakan untuk merekam hasil penggaliansejarah lisan. Untuk kepentingan penggalian sejarah digunakan kaset dengan durasi 60 menit (30 menit tiap sisi) atau maksimal berdurasi 90 menit (45 menittiap sisi). Seiring perkembangan teknolgi informasi banyak sekali alat rekam, termasuk diantataranya berbagai jenis voice recorder yang bentuknya sederhana.

2.2 Pelaksanaan
            Terdapat 5 langkah dalam praktek pelaksanaan sejarah lisan aiitu pembuatan label wawancara, pembukaan wawancara, menjaga suasana wawancara, membuat catatan, dan mengakhiri wawancara.
1. Membuat Label Waawancara
            Fungsi label tidak jauh berbeda dengan fungsi keterangan pengarang, tahun, judul, tempat terbit, dan enerbit yang ada sebuah buku. Keterangan yang termuat dalam label wawancara yaitu nama pengkisah, nama pewawancara, tanggal dan tempat wawancara, waktu wawancara, dan topik atau judul penelitian. Terdapat 4 jenis label wawancara yang perlu dibuat pewawancara dalam kegiatan penggalian sejarah lisan. (Dienaputra, 2013: 47)
            Pertama, label yang terekam dalam kaset pada awal wawancara. Misalnya label yang terekat dalam kaset contohnya berbunyi “ Pada hari ini, Selasa tanggal 29 Januari 2013, saya, Haidir Aulia, mengadakan wawancara dengan Susilo Bambang Yudhoyono. Wawancara diadakan ditempat kediaman pengkisah di Cekeas berkaitan dengan penelitian yang judul ‘’ respon Para Menteri Kabinet terhadap Dekrit Presiden 22 Juli 2001’’ wawancara dimulai pada pukul 16.00 WIB. Isi wawancaranya ....”. kedua, label Yng terekam dalam kaset  pada akhir wawancara. Bunyi label wawancara diakhir wawancara misalnya, “..... demikian wawancaradengan Susilo Bambang Yudhoyono, wawancara ini berakhir pada pukul 17.00” atau”...demikian wawancara pertama dengan Susilo Bambang Yudhoyono, wawancara ini berakhir pada pukul 17.00. wawancara selanjutnya direncanakan berlangsung hari Minggu tanggal 3 Februari 2013”.
            Dua label wawancara lainnya berbentuk lisan, yakni yang tertulis dikulit kaset dan yang tertulis di kertas pembungkus kaset. Kedua label wawancara yang berbentuk tulisan ii berisis keteranga tentang topik atau judul penelitian, nama pengkisah, nama pewawancara, tempat wawancara, tanggal wawancara, waktu wawancara dan isi kaset.
2. Pembukaan Wawancara
            Pembukaan wawancara hendaknya dimulai dengan pertanyaan pertanyaan santai, ringan, dan menyenagkn bagi pengkisah, misalnya tentang riwayat hidup pengkisah, termasuk didalamnya kenangan kenangan manis pengkisah semasa kanak kanak, remaja, sampai dewasa. Yang menjadi sasaran utama dalam pembukaan wawancara yaitu untuk menyegarkan ingatan pengkisah akan peristiwa peristiwa sejarah terpilih yang terdapat dalam memorinya.
            Pewawancara harus memperhatika penampilannya. Penampilan pewawancara yang sombong, congkak, dan angkuh), yang tidak simpatik atau penampilan yang seakan akan ingin ngrogohi rempelonya calon yang akan diwawancarai, otomatis akan memantulkan efek yang afstotend (penolakan atau penjarakan). Sebaliknya sikap manis, murah senyum, dan diselingi humor akan menunjang ke arah suksesnya suatu wawancara
3. Menjaga Suasana Wawancara
            Membuat rapport atau suasana psikologis berupa saling percaya dan keterbukaan hubungan antara pewawancara dan pengkisah. Berikanlah kesempatan pada pengkisah untuk memberikan informasi dan pengetahuan secara panjang lebar dan hindarkan kesan dalam diri pengkisah bahewa seolah olah ia tengah diinterogasi. Wawancara semakin hidup karena dapat diisi dengan pembicaraan yang bersifat pleasantries yaitu kelakar kelakar yang sebagian adalah nostalgia terhadap pengalaman pada masa silam (Atmakusumah dalam, 50)
Cara untuk membangun rapport yang baik yaitu:
1)      pertanyaan disampaikan secara persatu satu dan mulailah pertanyaan dengan kata kata ASDIKAMBA (apa, siapa, dimana, kapan, mengapa, dan bagaimana)
2)      usahakan pertanyaan tidak terlalu panjang apalagi berputar putar sehingga membingungkan pengkisah
3)      jangan memotong pembicaraan pengkisah, meskipun pewawancara menilai bahwa peristiwa yang diceritakan pengkisah tidak benar
4)      Jadilah pendengar yang baik selama pengkisah menyampaikan keterangan dan berikanlah pesan yang jelas kepada pengkisah bahwa pewawancara sangat tertarik pada keterangan keterangannya
5)      apabila keterangan pengkisah kurang jelas, dapat bertanya kembali untuk memperjelas pemahaman
6)      bersikaplah fleksibel dan jangan terpaku pada pertanyaan pertanyaan dalam teks atau kendali wawancara
7)      kalau tidak terpaksa sekali, hindarkan kehadiran pihak ketiga ketika wawancara berlangsung
8)      Hindarkan keterangan off the record yang bersifat abadi.
4. Membuat Catatan
            Membuat catatan ketika wawancara berlangsung dimaksudkan untuk mencatat kata kata yang kurang jelas atau kata kata yang dianggap penting misalnya mengenai nama orang, nama tempat, atau istilah istilah tertentu yang bersumber pada bahasa asing atau bahasa daerah tertentu
5. Mengakhiri Wawancara
            Keputusan untuk mengakhiri wawancara ditentukan kejeliaan pewawancara dalam memahami permasalah serta dalam membaca suasana wawancara. Ketika data yang dibutuhkan pengkisah sudah terpenuhi sesuai yang ditargetkan hendaknya wawancarai dihentikan yang bertujuan untuk mencegah masuknya informasi yang tidak sesuai dengan topik atau judul penelitian. Jika pengkisah sudah kelihatan lelah atau banyak ngelantur dalam menutrkan kisahnya hendaknya wawancara dihentikan dan dilanjutkan lain waktu (Dienaputra, 2013: 54) Menurut Bigalke (1982) dan Willa K. Baum (1982)waktu maksimum untuk melakukan sekali wawancara dalam penggaliaan sejarah lisan yakni 1,5 jam atau 90 menit.
6. Membuat Surat Pernyataan
            Dibuatnya surat pernayataan wawancara bertujuan untuk memperkuat kredibilitashasil penggalian sejarah lisan sebagai sumber sejarah dan memberi rasa aman pada kedua belah ihak yang bersangkutan jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan dikemudian hari misalnya memutar balikkan fakta pleh pewawancara ataupum pengkisah maupun pengingkaran telah memberikan keterangan tertentu oleh pengkisah. Terdapat 2 model surat pernyataan wawancara diantaranya petama, surat pernyataan yang dibuat segera setelah wawancara dilakukan. Kedua, surat pernayataan yang dibuat setelah pengkisah membaca dengan seksama hasil transkripsi dibuat

2.3 Indeks dan Transkripsi
1. Pembuatan Indeks
            Dalam pembuatan konteks diupayakan memberikan gambaranyang jelas dan utuh tentang isi kaset hasil penggalian sejarah lisan. Secara secara teknis  terdapat dua pilihan dalam pembuatan indeks. Pertama, pembuatan indeks yang berdasrkan pada pembagian waktu atau ke dalam satuan menit dan jam. Kedua, pembuatan indeks dengan berdasarkan pada digital counter yang ada pada tape (tape counter)
2. Pembuatan Transkripsi
            Pengalihan dari bentuk lisan ke bentuk tulisan yang bertujuan untuk mendapatkan kejernihan (clarity) dan untuk mengampangkan (readability). Kejernihan yang dimaksud yaitu kejelasan tentang apa yang direkam di dalam kaset. Pembuatan transkripsi dari hasil penggalian sejafrah lisan diharapkan bisa mengampangkan proses pengolahan. Dalam bentuk lisan, waktu yang dibutuhkan untuk mengolahnya bisa jadi sama dengan waktu pelaksanaan penggalian sejarah lisan. Jika sudah dibuatkan transkripsi maka proses pengolahan akan lebih cepat dan lebih mudah karena hasil penggalian sejarah lisan dapat dibaca dalam bentuk tulisan (Dienaputra, 2013: 59-60).

2.4 Faktor yang mempengaruhi sumber sejarah
            Banyak keterangan yang amat penting mengenai masa lampau masyarakat kita yang tidak tersimpan lagi dalam bentuk tertulis. Pelbagai peristiwa dan tindakan masa lampau telah mengakibatkan sejumlah bahan tertulis tidak tersediakan lagi di Indonesia. Di antaranya telah dipindahkan ke luar negeri, baik sebagai barang rampasan perang maupun sebagai usaha dokumentasi lembaga luar negeri. Ada juga yang merupakan koleksi perorangan, baik yang didapatkan sebagai pejabat maupun dengan jalan membeli, juga yang telah musnah karena dianggap tidak penting, maupun karena kelalaian, sehingga karenanya tidak dapat digunakan dan dimanfaatkan di Indonesia.
            Pada waktu ini banyak keterangan penting masih diingat oleh sejumlah orang tertentu. Orang-orang itu dengan demikian dapat menjadi sumber bahan keterangan, yang sangat berharga bila dipindahkan dari ingatan dalam bentuk yang tidak terikat pada masa hidup orang itu sendiri di waktu sekarang.
            Kemajuan teknologi memungkinkan untuk merekam ingatan orang-orang itu, yang dapat disimpan untuk kepentingan masa depan penelitian dan penulisan sejarah. Dengan demikian sumber bahan keterangan di dalam pita rekaman itu tidak lagi terikat/terbatas pada masa hidup seseorang yang telah menuangkan ingatannya itu, melalui pemberitaan lisan, telah diawetkan dalam rekaman.
            Kegiatan yang menyertai proses perencanaan dan wawancara, sampai terdapatnya hasil akhir dalam bentuk pita rekaman itu tercakup dalam bidang sejarah lisan.
            Prosedur mendapatkan keterangan melalui Sejarah Lisan. Hasil akhir atau the end product suatu wawancara dengan tujuan untuk direkam, apalagi yang diarahkan untuk kepentingan penyimpanan dan penyediaan sebagai sumber sejarah tergantung kepada banyak faktor.
            Pertama, ialah faktor orang yang akan diminta sebagai pengkisah pengalamannya, yang di dalam Bahasa Inggris disebut the narrator atau the interviewer. Calon pengkisah memberikan keterangan untuk direkam. Keadaan kesehatan pengkisah. Kondisi pengkisah sendiri yang memberikan keterangan secara jujur. Pengkisah telah menaruh kepercayaan kepada kegunaan Sejarah Lisan.
            Kedua, ialah faktor orang yang akan mengadakan wawancara. Pewawancara atau interviewer telah cukup pengetahuannya mengenai diri pengkisah. Perlu di ketahui lebih dulu hal ihwal keadaan zaman pengkisah. Pengkisah memegang peranan atau tidak. Yang menentukan adalah terutama pribadi pewawancara sendiri, keluwesan dalam bergaul, kelincahannya dalam pengetahuan persiapan menghadapi pengkisah.
            Ketiga, faktor jaminan hukum. Adalah lazim dalam suatu wawancara mengenai kehidupan seorang maupun lembaga pengkisah akan memberikan informasi mengenai perorangan lain maupun pendapatnya mengenai kebijaksanaan lembaga masyarakat lain. Sebagian dari bahan-bahan keterangan yang diberikan, tidak dikehendaki untuk digunakan dalam hidup pengkisah atau masa hidup orang-orang/ lembaga lain. Sampai dimana rahasia yang telah diberikan dapat dipercayakan untuk didengar oleh pewawancara dan direkam.
Dari ketiga faktor itu, di samping faktor-faktor yang lain akan terletak apakah kegiatan sejarah lisan berhasil atau tidak. Yang perlu ditekankan ialah, bahwa bukanlah penggunaan langsung dari bahan keterangan penting itu dalam bahan yang lebih tahan

DAFTAR PUSTAKA

Dienaputra, D.R. 2013. Sejarah Lisan Metode Dan Praktek. Bandung: Balatin Pratama.

Surjomihardjo, Abdurachman. 1979. Pembinaan bangsa dan masalah historiografi. Jakarta:yayasan idayu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar