
PERBEDAAN SEJARAH
LISAN DAN TRADISI LISAN
diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah
Sejarah Lisan
Kelas : A
Dosen
Pengampu:
Drs. Marjono, M.Hum
Oleh:
1.
Moh. Aris Rinaldi (150210302014)
2.
Ajeng Nungky C. (150210302039)
3.
Tio Wahyu S. (150210302043)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2018
PRAKATA
Puji syukur atas
kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan
tugas “Sejarah Lisan” ini dengan sebaik mungkin meskipun di dalamnya mengalami
banyak kekurangan. Dan juga kami berterima kasih kepada bapak Drs. Marjono,
M.Hum selaku dosen mata kuliah Sejarah Lisan yang telah memberi materi serta
tugas makalah ini.
Kami sangat berharap bahwa makalah
ini dapat berguna bagi pembacanya dalam rangka menambah ilmu dan wawasan serta
pengetahuan kita tentangPerbedaan Sejarah Lisan dan Tradisi Lisan. Kami juga
menyadari bahwa dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata
sempurna. Kami berharap adanya kritik dan saran serta usulan yang membangun
demi perbaikan makalah yang kami buat di masa yang akan datang.
Sebelum
makalah ini kami akhiri, kami memohon maaf atas kata-kata yang kurang berkenan
bagi pembaca dan kami memohon atas kritik dan saran serta usulannya yang
membangun bagi perbaikan makalah di masa yang akan datang nanti.
Jember,
3 Maret 2018
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...............................................................................................i
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Sejarah lisan dapatdiartikan sebagai catatan mengenai
suatu tempat, orang atau peristiwa sejarah, kenangan langsung mengenai masa
lampau, kisah dari saksi mata, dengan kata lain, peristiwa-peristiwa itu adalah
kenangan yang hidup. Sejarah lisan memiliki cara tersendiri untuk mendapatkan
data tentang suatu peristiwa melalui para saksi, pelaku, maupun pengkisah.
Untuk memperoleh data-data yang akunt dari para pengkisah, perlunya sebagai
seorang peneliti yang menggunakan metode sejarah lisan untuk menggali memori
yang ada di ingatan manusia.
Indonesia juga memiliki kekayaan tradisi lisan yang
tersebar di berbagai daerah di Nusantara (Danandjaja, 1994). Tradisi lisan
sebagai kekayaan budaya bangsa merupakan salah satu bentuk ekspresi kebudayaan
daerah yang berharga, sebab tidak hanya menyimpan nilai-nilai budaya dari
masyarakat tradisional, tetapi juga dapat menjadi akar budaya dari suatu
masyarakat baru.
Sejarah lisan dimaksudkan memberi “kebenaran” sejarah
seperti yang dituturkan oleh para pelakunya oleh pihak-pihak yang pengalaman
sejarah yang bersangkutan. Tradisi lisan tidak harus memiliki “beban” semacam
itu karena penutur dapat berkilah dengan mengatakan “kisah didapatkan dari
leluhur saya dan mohon maaf bila terdapat kesalahan karena patik sekedar
menuturkan kembali”. Proses pewarisan yang telah berjalan secara turun-temurun
dan interaksi langsung antara penutur dan masya rakatnya merupakan dua hal
pokok dalam proses penciptaan tradisi lisan. Kedua hal ini perlu dibahas lebih
lanjut di bawah ini,mengingat keduanya sama-sama memiliki konsep mengenai
"kelisanan'', sehingga perlu dibedakan agar dapat mudah di pahami.
1.2 Rumusan
Masalah
1.2.1
Bagaimanakah
definisi Sejarah Lisan?
1.2.2
Bagaimanakah
definisi Tradisi Lisan?
1.2.3
Bagaimanakah
perbedaan Sejarah Lisan dan Tradisi Lisan berdasarkan karakteristiknya?
1.2.4
Bagaimanakah
perbedaan Sejarah Lisan dan Tradisi Lisan berdasarkan kegunaannya?
1.3 Tujuan
dan Manfaat
1.3.1
Untuk mengetahui
dan memahami definisi Sejarah Lisan.
1.3.2
Untuk mengetahui
dan memahami definisi Tradisi Lisan.
1.3.3
Untuk mengetahui
dan memahami perbedaan Sejarah Lisan dan Tradisi Lisan berdasarkan
karakteristiknya.
1.3.4
Untuk mengetahui
dan memahami perbedaan Sejarah Lisan dan Tradisi Lisan berdasarkan kegunaannya.
BAB 2. PEMBAHASAN
2.1 Definisi Sejarah Lisan
Sejarah
lisan merupakan kajian yang dapat menyimpan data masa lampau walaupun tempoh
masa dan peristiwa telah berlalu. Ia wujud dalam waktu berlakunya
penemuan-penemuan baru dan teknologi modern yang bersesuaian dengan
perkara-perkara yang semakin kompleks seperti politik, keuangan, perniagaan,
sastra dan kehidupan moden. Kajian sejarah lisan dikatakan sangat menarik
kerana penyelidik akan bertemu dengan berbagai pengalaman baru, melihat sejarah
dari berbagai aspek, serta mengenali lebih banyak personaliti manusia. Ia
merupakan satu bidang kajian yang amat luas meliputi berbagai gologan
masyarakat seperti orang biasa, pemimpin masyarakat, gubernur, menteri kabinet,
penulis terkenal, pengarang, korporat dan sebagainya (Rozeman dalam Saad,
2012).
Menurut
Ahmad (1987), sejarah lisan merupakan satu kaedah atau teknik penyelidikan
moden yang bertujuan untuk memelihara pengetahuan-pengetahuan sejarah melalui
pengkisahan. Kaedah ini melibatkan proses wawancara dan merekam ke dalam pita
tentang keterangan-keterangan orang yang mengetahui sesuatu peristiwa sejarah
sama ada melalui penglibatannya secara langsung dalam peristiwa itu atau
sekadar menyaksikannya. Pernyataan tersebut turut disokong oleh Starr (1984),
yang menyatakan sejarah lisan merupakan kaedah pengumpulan fakta-fakta sejarah
yang masih belum lagi dikaji dan direkam semula dan merupakan penerus kepada
proses mengumpul data sejarah setelah hilangnya tradisi penulisan sejarah
(Saad, 2012: 66).
Sejarah
lisan sendiri biasanya mengandung arti catatan mengenai suatu tempat, orang
atau peristiwa sejarah, kenangan langsung mengenai masa lampau, kisah dari
saksi mata, dengan kata lain, peristiwa-peristiwa itu adalah kenangan yang
hidup. Berbagai keunikan inilah yang menjadi keunggulan dari sejarah lisan
yaitu dimana sejarah lisan mampu menangkap feeling, ekspresi, dan nuansa bahasa
(dialek) yang tidak tertangkap dalam dokumentasi sejarah (Morrison dalam Fauzi,
2014).
Sejarah
lisan tidak harus menjadi alat perubahan, melainkan ditentukan oleh semangatnya
ketika ia digunakan. Namun demikian, sejarah lisan dapat menjadi sarana untuk
mengubah muatan (content) dan tujuan sejarah. Sejarah lisan bisa digunakan
untuk mengubah fokus sejarah dan kemudian membuka wilayah-wilayah baru
penelitian ia mampu meruntuhkan sekat-sekat antara guru dan murid,
antargenerasi, antara lembaga pendidikan dan dunia diluarnya, dan dalam
penulisan sejarah sendiri, baik dalam bentuk buku, museum, radio, atau film,
sejarah lisan mampu mengembalikan panggung kepada manusia manusia yang membuat
dan mengalami sejarah melalui kata-kata mereka sendiri (Thompson, 2012: 2-3).
Sejarah
lisan secara implisit tampak adanya keseragaman dalam melihat muatan utama
sejarah lisan, yakni memori atau ingatan manusia. Dengan demikian, tanpa adanya
ingatan manusia tidak mungkin ada sejarah lisan. Demikian pula sebaliknya,
tidak mungkin ada sejarah lisan tanpa ada ingatan manusia. Ketergantungan
sejarah lisan terhadap ingatan manusia akan menjadi semakin mudah dipahami
manakala ingatan sebagai hasil proses berpikir manusia dalam mengingat masa
lalu diartikan tidak hanya sebagai kesatuan dokumen yang ada dikepala manusia
tetapi juga dimaknai sepertidokumen yang tersimpan di rak-rak kantor arsip
(Dienaputra, 2013: 12).
Menurut Taufik Abdullah (1982) pada dasarnya sejarah
lisan dapat dibagi dalam tiga corak, yakni sastra lisan, pengetahuan umum
tentang sejarah, dan kenangan pribadi. Sastra lisan meskipun tidak bisa
diharapkanterlalu banyak untuk membantu rekonstruksi suatu peristiwa tetapi
dengan pengetahuan antropologis yang memadai akan memungkinkan peneliti sejarah
untuk mengetahui atau setidaknya menyadari dunia nilai dan dunia makna dari
masyarakat yang diteliti. Pengetahuan umum tentang sejarah pada dasarnya
merupakan bentuk persepsisosial tentang hari lampau. Dua bentuk paling umum
pengetahuan tentang hari lampau ini adalah sejarah asal usul suatu lokalitas
atau sejarah asal usul keturunan (genealogi). Kenangan pribadi adalah corak
sejarah lisan yang relatif paling memenuhi syarat sebagai sumber sejarah atau
dengan kata lain merupakan sejarah lisan yang otentik, yang akan lebih langsung
membantu peneliti sejarah saat melakukan rekonstruksi. Dengan demikian, dari
ketiga corak sejarah lisan tersebut, kenangan pribadi merupakan corak sejarah
lisan yang paling penting.
Kualitas kenangan pribadi sebagai corak utama sejarah
lisan memiliki keterkaitan erat dengan kualitas ingatan individu yang
memilikinya. Ingatan adalah suatu proses, bukan keadaan menetap. Sebagai suatu
proses, ingatan pada dasarnya dimulai ketika sesuatu yang akan diingat itu
dipelajari atau dialami. Setelah itu baru terjadi proses penyimpanan (storage).
Dalam kaitannya denganpenggalian sejarah lisan, ingatan yang tersimpan dalam
storage itulah yang kemudian harus dikeluarkan, dikisahkan atau dikenang secara
aktif (retrieval atau recollection). Kegagalan ingatan bisa diartikan sebagai
kegagalan sumber atau bila itu diibaratkan dengan sumber tertulis, kegagalan
ingatan bisa pula diartikan sebagai sumbertertulis yang telah hilang atau telah
hancur (Dienaputra, 2013: 16).
2.2 Definisi Tradisi Lisan
Kata
“tradisi” berasal dari bahasa Latin, yaitu tradition yang berarti diteruskan
atau kebiasaan. Dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang
telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok
masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang
sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang
diteruskan dari generasi baik tertulis maupun lisan. Tanpa adanya hal itu,
suatu tradisi akan punah (Pudentia dalam Nggawu, dalam Anton, 2015).
Tradisi
lisan adalah segala wacana yang disampaikan secara lisan mengikuti cara atau
adat istiadat yang telah dalam suatu masyarakat. Kandungan isi wacana tersebut
dapat meliputi berbagai hal berbagai jenis cerita ataupun berbagai jenis
ungkapan seremonial dan ritual. Cerita-cerita yang disampaikan secara lisan itu
bervariasi mulai dari uraian genealogis, mitos, legenda, dongeng, hingga berbagai
cerita kepahlawanan (Sedyawati dalam Duija, 2005: 113).
Dalam
tradisi lisan tidak termasuk kesaksian mata yang merupakan data lisan. Juga di
sini tidak termasuk rerasan masyarakat yang meskipun lisan tetapi tidak
ditularkan dari satu generasi ke generasi yang lain. Tradisi lisan dengan
demikian terbatas di dalam kebudayaan lisan dari masyarakat yang belum mengenal
tulisan. Sama seperti dokumen dalam masyarakat yang sudah mengenal tulisan,
tradisi tidak lisan merupakan sumber sejarah yang merekam masa lampau. Namun kesejarahan tradisi lisan barulah sebagian dari
isi tradisi lisan itu. Selain itu mengandung kejadian nilai-nilai moral,
keagamaan, adat-istiadat, cerita-cerita khayali, peribahasa, nyanyian, mantra (Kuntowijoyo,
1994:21).
Tradisi
lisan dapat ditinjau dari dua aspek, yaitu aspek proses dan aspek produk.
Sebagai produk, tradisi lisan merupakan pesan lisan yang didasarkan pada pesan
generasi sebelumnya. Sedangkan sebagai proses, berupa pewarisan pesan melalui
mulut ke mulut sepanjang waktu hingga hilangnya pesan itu (Endruswara, 2005:4).
Perkembangan
tradisi lisan yang terjadi dari mulut ke mulut juga menimbulkan banyak versi
cerita. Menurut Hutomo (1991), tradisi lisan itu mencakup beberapa hal, yakni
(1) yang berupa kesusastraan lisan, (2) yang berupa teknologi tradisional, (3)
yang berupa pengetahuan folk di luar pusat-pusat istana dan kota metropolitan,
(4) yang berupa unsur-unsur religi dan kepercayaan folk di luar batas formal
agama-agama besar, (5) yang berupa kesenian folk di luar pusat-pusat istana dan
kota metropolitan, dan (6) yang berupa hukum adat (Duija, 2005: 113).
Dalam
pengertiannya seperti diatas, jelaslah bahwa sejarah lisan pada dasarnya
merupakan rekonstruksi visual atas berbagai peristiwa sejarah yang benar-benar
pernah terjadi yang terdapat dalam memori setiap individu manusia. Pengertian
inilah yang secara otomatis membedakan sejarah lisan dengan tradisi lisan (oral
tradition). Tradisi lisan dipahami sebagai kesaksian lisan yang dituturkan
secara verbal dari satu generasi kegenerasi berikutnya. Kesaksian lisan
dimaksud pada umumnya bukanlah kesaksian tentang peristiwa sejarah yang
benar-benar terjadi tetapi bisa jadi hanyalah tentang tradisi tradisi yang
berkembang di tengah masyarakat (Dienaputra, 2013:13).
2.3 Perbedaan Karakteristik Sejarah
Lisan dan Tradisi Lisan
Karakteristik
sejarah lisan diantaranya yakni (1) bergantung pada ingatan manusia, artinya
sebuah peristiwa akan menjadi semakin mudah dipahami manakala ingatan sebagai
hasil proses berpikir manusia dalam mengingat masa lalu, (2) berbentuk
rekonstruksi visual atas berbagai peristiwa sejarah yang benar-benar pernah
terjadi yang terdapat dalam memori setiap individu manusia (Dienaputra, 2013:
12-13), (3) tidak didapatkan tetapi dicari dengan kesengajaan (Kuntowijoyo,
2003: 26), (4) dapat menyimpan data masa lampau walaupun tempoh masa dan
peristiwa telah berlalu (Rozeman, 2004).
Sedangkan
karakteristik tradisi lisan yaitu: (1) tak reliabel, artinya tradisi lisan itu
cenderung berubah-ubah, tak ajeg, dan rentan perunahan, (2) berisi kebenaran
terbatas, tradisi lisan hanya memuat kebenaran intern, dan tak haru bersifat
universal, (3) memuat aspek-aspek hitoris masa lalu. Dengan kata lain, tradisi
lisan akan terjadi apabila ada kesaksian seseorang secara lisan terhadap
peristiwa. Kesaksian itu diteruskan orang lain secara lisan pula, sehingga
menyebar kemana saja. Keterulangan kesaksian peristiwa inilah yang menciptakan
sebuah tradisi lisan (Endruswara, 2005:4).
2.4 Perbedaan Kegunaan Sejarah Lisan
dan Tradisi Lisan
Berdasarkan kegunaannya, sejarah
lisan dan tradisi lisan tentunya memiliki kegunaan yang berbeda-beda, untuk
lebih jelasnya berikut pemaparannya.
A.
Sejarah Lisan
1) Sebagai sumber pelengkap
Sejarah lisan dalam kaitannya dengan rekonstruksi
sejarah, sejarah lisan dapat berguna sebagai sumber pelengkap di antara
sumber-sumber sejarah lainnya. Guna sejarah lisan sebagai sumber pelengkap ini
biasanya terjadi manakala sumber tertulis tersedia cukup memadai untuk
melakukan suatu rekonstruksi sejarah. Peran khas sejarah lisan muncul manakala
keberadaanya sebagai sumber pelengkap mampu menjadikan sebuah rekonstruksi
sejarah menjadi lebih hidup. Menurut Taufik Abdullah (1982), bila dikerjakan
dengan baik, sejarah lisan tidak saja akan mampu mengisi kekurangandari sumber
tertulis dalam usaha merekonstruksi suatu peristiwa tetapi juga akan mampu
memberi suasana (sphere) dari periode
yang diteliti. Dengan cara itu, humanisasi studi sejarah dapat dilanjutkan
(Dienaputra, 2013:20)
2) Sebagai rekontruksi sejarah
Guna kedua sejarah lisan dalam kaitannya dengan
rekonstruksi sejarah, sejarah lisan dapat menjadi sumber sejarah satu-satunya.
Guna ini dapat dimainkan sejarah lisan tidakhanya manakala sumber tertulis
kurang memadai tetapi juga manakala sumber tertulis tidak tersedia sama sekali.
Dengan demikian, seiring dengan kemajuan teknologi, sejarah lisan dapat menjadi
sumber sejarah satu-satunya dalam melakukan rekonstruksi sejarah. Saat sejarah
lisan tampil sebagai sumber sejarah satu-satunya tentu peluang untuk menjadikan
hasil rekonstruksi sejarah sebagai milik masyarakat menjadi terbuka jauh lebih
lebar. Berbagai lapis bawah peristiwa dapat diungkap secara optimal. Namun
demikian pula, keberadaan sejarahlisan sebagai sumber sejarah satu-satunya
dalam melakukan rekonstruksi sejarah tentu harus disikapi secara jauh lebih
kritis (Dienaputra 2013:21).
3) Sebagai pengembangan penelitian
Sejarah lisan mampu memberikan semacam ruang kepada
sejarawan untuk mengembangkan penelitian di masa depan. Realitas perkembangan
kontemporer telah memperlihatkan semakin berkurangnya tradisi tulis di tengah
masyarakat serta budaya tulis di atas media kertas. Sebagai gantinya,
masyarakat menjadi jauh lebih akrab dengan media komunikasi elektronik, baik
yang disampaikan langsung dalam bentuk komunikasi lisan maupun tulisan.
Perbedaan tradisi tulis dengan era sebelumnya, pesan disampaikan menjadi jauh
lebih pendek yang secara otomatis akan mengurangi kapasitas atau kebiasaan
menulis dan tentunya hasilnya pun tidak terdokumentasikan dalam bentuk tulisan
(Dienaputra, 2013:21).
B.
Kegunaan Tradisi Lisan
1)
Sebagai sumber
sejarah
Tradisi
lisan dapat digunakan sebagai sumber sejarah untuk tujuan dan kepentingan
tertentu serta setelah melalui proses kritik yang sangat ketat. Dalam bahasa
James Danandjaja (1997), legenda sebagai salah satu bentuk tradisi lisan jika
hendak digunakan untuk merekonstruksi sejarah suatu folk maka mau tidak
mauharus membersihkan terlebih dahulu bagian-bagiannya yangmengan dung
sifat-sifat folklor. Sementara itu, berkaitan dengan penggunaan tradisi lisan
di kalangan sejarawan, Kuntowijoyo (1994) mengatakan bahwa usaha untuk menarik
minat sejarawan terhadap pemanfaatan tradisi lisan sebagai sumber sejarah telah
digelar secara khusus saat berlangsung Seminar Sejarah Nasional III, dalam
panel tentang etno-histori.
2)
Sebagai sumber
penulisan
Tradisi lisan
menjadi sumber penulisan bagi antropolog dan sejarawan. Dalam ilmu antropologi
tradisi lisan sebagai sumber data bagi penelitian sudah dipergunakan sejak awal
timbulnya ilmu itu, tetapi dalam ilmusejarah penggunaan tradisi lisan masih
merupakan hal yang baru (Kuntowijoyo, 1994:21).
BAB 3.PENUTUP
3.1 Simpulan
Sejarah lisan merupakan satu kaedah
atau teknik penyelidikan moden yang bertujuan untuk memelihara
pengetahuan-pengetahuan sejarah melalui pengkisahan. Kaedah ini melibatkan
proses wawancara dan merekam ke dalam pita tentang keterangan-keterangan orang
yang mengetahui sesuatu peristiwa sejarah sama ada melalui penglibatannya
secara langsung dalam peristiwa itu atau sekadar menyaksikannya.
Sejarah
lisan tidak harus menjadi alat perubahan, melainkan ditentukan oleh semangatnya
ketika ia digunakan. Namun demikian, sejarah lisan dapat menjadi sarana untuk
mengubah muatan (content) dan tujuan sejarah. Sejarah lisan bisa digunakan
untuk mengubah fokus sejarah dan kemudian membuka wilayah-wilayah baru
penelitian ia mampu meruntuhkan sekat-sekat antara guru dan murid,
antargenerasi, antara lembaga pendidikan dan dunia diluarnya, dan dalam
penulisan sejarah sendiri, baik dalam bentuk buku, museum, radio, atau film,
sejarah lisan mampu mengembalikan panggung kepada manusia manusia yang membuat
dan mengalami sejarah melalui kata-kata mereka sendiri (Thompson, 2012: 2-3).
Sedangkan Kata “tradisi” berasal dari
bahasa Latin, yaitu tradition yang berarti diteruskan atau kebiasaan. Dalam
pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan sejak lama
dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari
suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Hal yang paling mendasar
dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi baik
tertulis maupun lisan. Tanpa adanya hal itu, suatu tradisi akan punah (Pudentia
dalam Nggawu, dalam Anton, 2015).
Tradisi
lisan dapat ditinjau dari dua aspek, yaitu aspek proses dan aspek produk.
Sebagai produk, tradisi lisan merupakan pesan lisan yang didasarkan pada pesan
generasi sebelumnya. Sedangkan sebagai proses, berupa pewarisan pesan melalui
mulut ke mulut sepanjang waktu hingga hilangnya pesan itu (Endruswara, 2005:4).
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,
Taufik. 1978. Sejarah Lokal di Indonesia.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Dienaputra, Reiza. 2013. Sejarah Lisan: Metode dan Praktek.
Bandung: Penerbit Balatin.
Endraswara,
Suwardi. 2005. Tradisi Lisan Jawa: Warisan
Abadi Budaya Leluhur. Yogyakarta: Narasi.
Kuntowijoyo.
1994. Metodologi Sejarah. Yogyakarta:
PT. Tiara Wacana Yogya.
Anton & Marwati. 2015. Ungkapan
Tradisional dalam Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Bajo di Pulau Balu
Kabupaten Muna Barat. Jurnal Humanika.
Vol. 3 (15).
Duija, I Nengah. 2005. Tradisi
Lisan, Naskah, dan Sejarah (Sebuah Catatan Politik Kebudayaan). Wacana. Vol. 7 (2).
Fauzi,
Rizal. 2014. Pemanfaatan Sejarah Lisan
Sebagai Pengembangan Bahan Ajar pada pembelajaran Sejarah Kelas X SMA Negeri 3
Tegal Tahun Ajaran 2012/2013. Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Malang.
Saad,
Mohamad, Jaafar dan Jan. 2012. Penukilan Ilmu Baharu Melalui Sejarah Lisan. Jurnal PPM. Vol. 6.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar