Sabtu, 13 Oktober 2018

PERBEDAAN SEJARAH LISAN DAN TRADISI LISAN


url

PERBEDAAN SEJARAH LISAN DAN TRADISI LISAN

diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah
Sejarah Lisan

Kelas : A


Dosen Pengampu:
Drs. Marjono, M.Hum






Oleh:
1.      Moh. Aris Rinaldi     (150210302014)
2.      Ajeng Nungky C.      (150210302039)
3.      Tio Wahyu S.             (150210302043)




PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2018

PRAKATA

Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan tugas “Sejarah Lisan” ini dengan sebaik mungkin meskipun di dalamnya mengalami banyak kekurangan. Dan juga kami berterima kasih kepada bapak Drs. Marjono, M.Hum selaku dosen mata kuliah Sejarah Lisan yang telah memberi materi serta tugas makalah ini.
            Kami sangat berharap bahwa makalah ini dapat berguna bagi pembacanya dalam rangka menambah ilmu dan wawasan serta pengetahuan kita tentangPerbedaan Sejarah Lisan dan Tradisi Lisan. Kami juga menyadari bahwa dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Kami berharap adanya kritik dan saran serta usulan yang membangun demi perbaikan makalah yang kami buat di masa yang akan datang.
Sebelum makalah ini kami akhiri, kami memohon maaf atas kata-kata yang kurang berkenan bagi pembaca dan kami memohon atas kritik dan saran serta usulannya yang membangun bagi perbaikan makalah di masa yang akan datang nanti.


Jember, 3 Maret 2018


Penyusun




DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...............................................................................................i



BAB 1. PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Sejarah lisan dapatdiartikan sebagai catatan mengenai suatu tempat, orang atau peristiwa sejarah, kenangan langsung mengenai masa lampau, kisah dari saksi mata, dengan kata lain, peristiwa-peristiwa itu adalah kenangan yang hidup. Sejarah lisan memiliki cara tersendiri untuk mendapatkan data tentang suatu peristiwa melalui para saksi, pelaku, maupun pengkisah. Untuk memperoleh data-data yang akunt dari para pengkisah, perlunya sebagai seorang peneliti yang menggunakan metode sejarah lisan untuk menggali memori yang ada di ingatan manusia.
Indonesia juga memiliki kekayaan tradisi lisan yang tersebar di berbagai daerah di Nusantara (Danandjaja, 1994). Tradisi lisan sebagai kekayaan budaya bangsa merupakan salah satu bentuk ekspresi kebudayaan daerah yang berharga, sebab tidak hanya menyimpan nilai-nilai budaya dari masyarakat tradisional, tetapi juga dapat menjadi akar budaya dari suatu masyarakat baru.
Sejarah lisan dimaksudkan memberi “kebenaran” sejarah seperti yang dituturkan oleh para pelakunya oleh pihak-pihak yang pengalaman sejarah yang bersangkutan. Tradisi lisan tidak harus memiliki “beban” semacam itu karena penutur dapat berkilah dengan mengatakan “kisah didapatkan dari leluhur saya dan mohon maaf bila terdapat kesalahan karena patik sekedar menuturkan kembali”. Proses pewarisan yang telah berjalan secara turun-temurun dan interaksi langsung antara penutur dan masya rakatnya merupakan dua hal pokok dalam proses penciptaan tradisi lisan. Kedua hal ini perlu dibahas lebih lanjut di bawah ini,mengingat keduanya sama-sama memiliki konsep mengenai "kelisanan'', sehingga perlu dibedakan agar dapat mudah di pahami.

1.2  Rumusan Masalah

1.2.1   Bagaimanakah definisi Sejarah Lisan?
1.2.2   Bagaimanakah definisi Tradisi Lisan?
1.2.3   Bagaimanakah perbedaan Sejarah Lisan dan Tradisi Lisan berdasarkan karakteristiknya?
1.2.4   Bagaimanakah perbedaan Sejarah Lisan dan Tradisi Lisan berdasarkan kegunaannya?

1.3  Tujuan dan Manfaat

1.3.1   Untuk mengetahui dan memahami definisi Sejarah Lisan.
1.3.2   Untuk mengetahui dan memahami definisi Tradisi Lisan.
1.3.3   Untuk mengetahui dan memahami perbedaan Sejarah Lisan dan Tradisi Lisan berdasarkan karakteristiknya.
1.3.4   Untuk mengetahui dan memahami perbedaan Sejarah Lisan dan Tradisi Lisan berdasarkan kegunaannya.




BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Definisi Sejarah Lisan

Sejarah lisan merupakan kajian yang dapat menyimpan data masa lampau walaupun tempoh masa dan peristiwa telah berlalu. Ia wujud dalam waktu berlakunya penemuan-penemuan baru dan teknologi modern yang bersesuaian dengan perkara-perkara yang semakin kompleks seperti politik, keuangan, perniagaan, sastra dan kehidupan moden. Kajian sejarah lisan dikatakan sangat menarik kerana penyelidik akan bertemu dengan berbagai pengalaman baru, melihat sejarah dari berbagai aspek, serta mengenali lebih banyak personaliti manusia. Ia merupakan satu bidang kajian yang amat luas meliputi berbagai gologan masyarakat seperti orang biasa, pemimpin masyarakat, gubernur, menteri kabinet, penulis terkenal, pengarang, korporat dan sebagainya (Rozeman dalam Saad, 2012).
Menurut Ahmad (1987), sejarah lisan merupakan satu kaedah atau teknik penyelidikan moden yang bertujuan untuk memelihara pengetahuan-pengetahuan sejarah melalui pengkisahan. Kaedah ini melibatkan proses wawancara dan merekam ke dalam pita tentang keterangan-keterangan orang yang mengetahui sesuatu peristiwa sejarah sama ada melalui penglibatannya secara langsung dalam peristiwa itu atau sekadar menyaksikannya. Pernyataan tersebut turut disokong oleh Starr (1984), yang menyatakan sejarah lisan merupakan kaedah pengumpulan fakta-fakta sejarah yang masih belum lagi dikaji dan direkam semula dan merupakan penerus kepada proses mengumpul data sejarah setelah hilangnya tradisi penulisan sejarah (Saad, 2012: 66).
Sejarah lisan sendiri biasanya mengandung arti catatan mengenai suatu tempat, orang atau peristiwa sejarah, kenangan langsung mengenai masa lampau, kisah dari saksi mata, dengan kata lain, peristiwa-peristiwa itu adalah kenangan yang hidup. Berbagai keunikan inilah yang menjadi keunggulan dari sejarah lisan yaitu dimana sejarah lisan mampu menangkap feeling, ekspresi, dan nuansa bahasa (dialek) yang tidak tertangkap dalam dokumentasi sejarah (Morrison dalam Fauzi, 2014).
Sejarah lisan tidak harus menjadi alat perubahan, melainkan ditentukan oleh semangatnya ketika ia digunakan. Namun demikian, sejarah lisan dapat menjadi sarana untuk mengubah muatan (content) dan tujuan sejarah. Sejarah lisan bisa digunakan untuk mengubah fokus sejarah dan kemudian membuka wilayah-wilayah baru penelitian ia mampu meruntuhkan sekat-sekat antara guru dan murid, antargenerasi, antara lembaga pendidikan dan dunia diluarnya, dan dalam penulisan sejarah sendiri, baik dalam bentuk buku, museum, radio, atau film, sejarah lisan mampu mengembalikan panggung kepada manusia manusia yang membuat dan mengalami sejarah melalui kata-kata mereka sendiri (Thompson, 2012: 2-3).
Sejarah lisan secara implisit tampak adanya keseragaman dalam melihat muatan utama sejarah lisan, yakni memori atau ingatan manusia. Dengan demikian, tanpa adanya ingatan manusia tidak mungkin ada sejarah lisan. Demikian pula sebaliknya, tidak mungkin ada sejarah lisan tanpa ada ingatan manusia. Ketergantungan sejarah lisan terhadap ingatan manusia akan menjadi semakin mudah dipahami manakala ingatan sebagai hasil proses berpikir manusia dalam mengingat masa lalu diartikan tidak hanya sebagai kesatuan dokumen yang ada dikepala manusia tetapi juga dimaknai sepertidokumen yang tersimpan di rak-rak kantor arsip (Dienaputra, 2013: 12).
Menurut Taufik Abdullah (1982) pada dasarnya sejarah lisan dapat dibagi dalam tiga corak, yakni sastra lisan, pengetahuan umum tentang sejarah, dan kenangan pribadi. Sastra lisan meskipun tidak bisa diharapkanterlalu banyak untuk membantu rekonstruksi suatu peristiwa tetapi dengan pengetahuan antropologis yang memadai akan memungkinkan peneliti sejarah untuk mengetahui atau setidaknya menyadari dunia nilai dan dunia makna dari masyarakat yang diteliti. Pengetahuan umum tentang sejarah pada dasarnya merupakan bentuk persepsisosial tentang hari lampau. Dua bentuk paling umum pengetahuan tentang hari lampau ini adalah sejarah asal usul suatu lokalitas atau sejarah asal usul keturunan (genealogi). Kenangan pribadi adalah corak sejarah lisan yang relatif paling memenuhi syarat sebagai sumber sejarah atau dengan kata lain merupakan sejarah lisan yang otentik, yang akan lebih langsung membantu peneliti sejarah saat melakukan rekonstruksi. Dengan demikian, dari ketiga corak sejarah lisan tersebut, kenangan pribadi merupakan corak sejarah lisan yang paling penting.
Kualitas kenangan pribadi sebagai corak utama sejarah lisan memiliki keterkaitan erat dengan kualitas ingatan individu yang memilikinya. Ingatan adalah suatu proses, bukan keadaan menetap. Sebagai suatu proses, ingatan pada dasarnya dimulai ketika sesuatu yang akan diingat itu dipelajari atau dialami. Setelah itu baru terjadi proses penyimpanan (storage). Dalam kaitannya denganpenggalian sejarah lisan, ingatan yang tersimpan dalam storage itulah yang kemudian harus dikeluarkan, dikisahkan atau dikenang secara aktif (retrieval atau recollection). Kegagalan ingatan bisa diartikan sebagai kegagalan sumber atau bila itu diibaratkan dengan sumber tertulis, kegagalan ingatan bisa pula diartikan sebagai sumbertertulis yang telah hilang atau telah hancur (Dienaputra, 2013: 16).

2.2 Definisi Tradisi Lisan

Kata “tradisi” berasal dari bahasa Latin, yaitu tradition yang berarti diteruskan atau kebiasaan. Dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi baik tertulis maupun lisan. Tanpa adanya hal itu, suatu tradisi akan punah (Pudentia dalam Nggawu, dalam Anton, 2015).
Tradisi lisan adalah segala wacana yang disampaikan secara lisan mengikuti cara atau adat istiadat yang telah dalam suatu masyarakat. Kandungan isi wacana tersebut dapat meliputi berbagai hal berbagai jenis cerita ataupun berbagai jenis ungkapan seremonial dan ritual. Cerita-cerita yang disampaikan secara lisan itu bervariasi mulai dari uraian genealogis, mitos, legenda, dongeng, hingga berbagai cerita kepahlawanan (Sedyawati dalam Duija, 2005: 113).
Dalam tradisi lisan tidak termasuk kesaksian mata yang merupakan data lisan. Juga di sini tidak termasuk rerasan masyarakat yang meskipun lisan tetapi tidak ditularkan dari satu generasi ke generasi yang lain. Tradisi lisan dengan demikian terbatas di dalam kebudayaan lisan dari masyarakat yang belum mengenal tulisan. Sama seperti dokumen dalam masyarakat yang sudah mengenal tulisan, tradisi tidak lisan merupakan sumber sejarah yang merekam masa lampau. Namun kesejarahan tradisi lisan barulah sebagian dari isi tradisi lisan itu. Selain itu mengandung kejadian nilai-nilai moral, keagamaan, adat-istiadat, cerita-cerita khayali, peribahasa, nyanyian, mantra (Kuntowijoyo, 1994:21).
Tradisi lisan dapat ditinjau dari dua aspek, yaitu aspek proses dan aspek produk. Sebagai produk, tradisi lisan merupakan pesan lisan yang didasarkan pada pesan generasi sebelumnya. Sedangkan sebagai proses, berupa pewarisan pesan melalui mulut ke mulut sepanjang waktu hingga hilangnya pesan itu (Endruswara, 2005:4).
Perkembangan tradisi lisan yang terjadi dari mulut ke mulut juga menimbulkan banyak versi cerita. Menurut Hutomo (1991), tradisi lisan itu mencakup beberapa hal, yakni (1) yang berupa kesusastraan lisan, (2) yang berupa teknologi tradisional, (3) yang berupa pengetahuan folk di luar pusat-pusat istana dan kota metropolitan, (4) yang berupa unsur-unsur religi dan kepercayaan folk di luar batas formal agama-agama besar, (5) yang berupa kesenian folk di luar pusat-pusat istana dan kota metropolitan, dan (6) yang berupa hukum adat (Duija, 2005: 113).
Dalam pengertiannya seperti diatas, jelaslah bahwa sejarah lisan pada dasarnya merupakan rekonstruksi visual atas berbagai peristiwa sejarah yang benar-benar pernah terjadi yang terdapat dalam memori setiap individu manusia. Pengertian inilah yang secara otomatis membedakan sejarah lisan dengan tradisi lisan (oral tradition). Tradisi lisan dipahami sebagai kesaksian lisan yang dituturkan secara verbal dari satu generasi kegenerasi berikutnya. Kesaksian lisan dimaksud pada umumnya bukanlah kesaksian tentang peristiwa sejarah yang benar-benar terjadi tetapi bisa jadi hanyalah tentang tradisi tradisi yang berkembang di tengah masyarakat (Dienaputra, 2013:13).

2.3 Perbedaan Karakteristik Sejarah Lisan dan Tradisi Lisan

Karakteristik sejarah lisan diantaranya yakni (1) bergantung pada ingatan manusia, artinya sebuah peristiwa akan menjadi semakin mudah dipahami manakala ingatan sebagai hasil proses berpikir manusia dalam mengingat masa lalu, (2) berbentuk rekonstruksi visual atas berbagai peristiwa sejarah yang benar-benar pernah terjadi yang terdapat dalam memori setiap individu manusia (Dienaputra, 2013: 12-13), (3) tidak didapatkan tetapi dicari dengan kesengajaan (Kuntowijoyo, 2003: 26), (4) dapat menyimpan data masa lampau walaupun tempoh masa dan peristiwa telah berlalu (Rozeman, 2004).
Sedangkan karakteristik tradisi lisan yaitu: (1) tak reliabel, artinya tradisi lisan itu cenderung berubah-ubah, tak ajeg, dan rentan perunahan, (2) berisi kebenaran terbatas, tradisi lisan hanya memuat kebenaran intern, dan tak haru bersifat universal, (3) memuat aspek-aspek hitoris masa lalu. Dengan kata lain, tradisi lisan akan terjadi apabila ada kesaksian seseorang secara lisan terhadap peristiwa. Kesaksian itu diteruskan orang lain secara lisan pula, sehingga menyebar kemana saja. Keterulangan kesaksian peristiwa inilah yang menciptakan sebuah tradisi lisan (Endruswara, 2005:4).

2.4 Perbedaan Kegunaan Sejarah Lisan dan Tradisi Lisan

            Berdasarkan kegunaannya, sejarah lisan dan tradisi lisan tentunya memiliki kegunaan yang berbeda-beda, untuk lebih jelasnya berikut pemaparannya.
A.    Sejarah Lisan
1)      Sebagai sumber pelengkap
Sejarah lisan dalam kaitannya dengan rekonstruksi sejarah, sejarah lisan dapat berguna sebagai sumber pelengkap di antara sumber-sumber sejarah lainnya. Guna sejarah lisan sebagai sumber pelengkap ini biasanya terjadi manakala sumber tertulis tersedia cukup memadai untuk melakukan suatu rekonstruksi sejarah. Peran khas sejarah lisan muncul manakala keberadaanya sebagai sumber pelengkap mampu menjadikan sebuah rekonstruksi sejarah menjadi lebih hidup. Menurut Taufik Abdullah (1982), bila dikerjakan dengan baik, sejarah lisan tidak saja akan mampu mengisi kekurangandari sumber tertulis dalam usaha merekonstruksi suatu peristiwa tetapi juga akan mampu memberi suasana (sphere) dari periode yang diteliti. Dengan cara itu, humanisasi studi sejarah dapat dilanjutkan (Dienaputra, 2013:20)
2)      Sebagai rekontruksi sejarah
Guna kedua sejarah lisan dalam kaitannya dengan rekonstruksi sejarah, sejarah lisan dapat menjadi sumber sejarah satu-satunya. Guna ini dapat dimainkan sejarah lisan tidakhanya manakala sumber tertulis kurang memadai tetapi juga manakala sumber tertulis tidak tersedia sama sekali. Dengan demikian, seiring dengan kemajuan teknologi, sejarah lisan dapat menjadi sumber sejarah satu-satunya dalam melakukan rekonstruksi sejarah. Saat sejarah lisan tampil sebagai sumber sejarah satu-satunya tentu peluang untuk menjadikan hasil rekonstruksi sejarah sebagai milik masyarakat menjadi terbuka jauh lebih lebar. Berbagai lapis bawah peristiwa dapat diungkap secara optimal. Namun demikian pula, keberadaan sejarahlisan sebagai sumber sejarah satu-satunya dalam melakukan rekonstruksi sejarah tentu harus disikapi secara jauh lebih kritis (Dienaputra  2013:21).
3)      Sebagai pengembangan penelitian
Sejarah lisan mampu memberikan semacam ruang kepada sejarawan untuk mengembangkan penelitian di masa depan. Realitas perkembangan kontemporer telah memperlihatkan semakin berkurangnya tradisi tulis di tengah masyarakat serta budaya tulis di atas media kertas. Sebagai gantinya, masyarakat menjadi jauh lebih akrab dengan media komunikasi elektronik, baik yang disampaikan langsung dalam bentuk komunikasi lisan maupun tulisan. Perbedaan tradisi tulis dengan era sebelumnya, pesan disampaikan menjadi jauh lebih pendek yang secara otomatis akan mengurangi kapasitas atau kebiasaan menulis dan tentunya hasilnya pun tidak terdokumentasikan dalam bentuk tulisan (Dienaputra, 2013:21).
B.     Kegunaan Tradisi Lisan
1)      Sebagai sumber sejarah
Tradisi lisan dapat digunakan sebagai sumber sejarah untuk tujuan dan kepentingan tertentu serta setelah melalui proses kritik yang sangat ketat. Dalam bahasa James Danandjaja (1997), legenda sebagai salah satu bentuk tradisi lisan jika hendak digunakan untuk merekonstruksi sejarah suatu folk maka mau tidak mauharus membersihkan terlebih dahulu bagian-bagiannya yangmengan dung sifat-sifat folklor. Sementara itu, berkaitan dengan penggunaan tradisi lisan di kalangan sejarawan, Kuntowijoyo (1994) mengatakan bahwa usaha untuk menarik minat sejarawan terhadap pemanfaatan tradisi lisan sebagai sumber sejarah telah digelar secara khusus saat berlangsung Seminar Sejarah Nasional III, dalam panel tentang etno-histori.
2)      Sebagai sumber penulisan
Tradisi lisan menjadi sumber penulisan bagi antropolog dan sejarawan. Dalam ilmu antropologi tradisi lisan sebagai sumber data bagi penelitian sudah dipergunakan sejak awal timbulnya ilmu itu, tetapi dalam ilmusejarah penggunaan tradisi lisan masih merupakan hal yang baru (Kuntowijoyo, 1994:21).
  

BAB 3.PENUTUP

3.1  Simpulan

Sejarah lisan merupakan satu kaedah atau teknik penyelidikan moden yang bertujuan untuk memelihara pengetahuan-pengetahuan sejarah melalui pengkisahan. Kaedah ini melibatkan proses wawancara dan merekam ke dalam pita tentang keterangan-keterangan orang yang mengetahui sesuatu peristiwa sejarah sama ada melalui penglibatannya secara langsung dalam peristiwa itu atau sekadar menyaksikannya.
Sejarah lisan tidak harus menjadi alat perubahan, melainkan ditentukan oleh semangatnya ketika ia digunakan. Namun demikian, sejarah lisan dapat menjadi sarana untuk mengubah muatan (content) dan tujuan sejarah. Sejarah lisan bisa digunakan untuk mengubah fokus sejarah dan kemudian membuka wilayah-wilayah baru penelitian ia mampu meruntuhkan sekat-sekat antara guru dan murid, antargenerasi, antara lembaga pendidikan dan dunia diluarnya, dan dalam penulisan sejarah sendiri, baik dalam bentuk buku, museum, radio, atau film, sejarah lisan mampu mengembalikan panggung kepada manusia manusia yang membuat dan mengalami sejarah melalui kata-kata mereka sendiri (Thompson, 2012: 2-3).
Sedangkan Kata “tradisi” berasal dari bahasa Latin, yaitu tradition yang berarti diteruskan atau kebiasaan. Dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi baik tertulis maupun lisan. Tanpa adanya hal itu, suatu tradisi akan punah (Pudentia dalam Nggawu, dalam Anton, 2015).
Tradisi lisan dapat ditinjau dari dua aspek, yaitu aspek proses dan aspek produk. Sebagai produk, tradisi lisan merupakan pesan lisan yang didasarkan pada pesan generasi sebelumnya. Sedangkan sebagai proses, berupa pewarisan pesan melalui mulut ke mulut sepanjang waktu hingga hilangnya pesan itu (Endruswara, 2005:4).


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik. 1978. Sejarah Lokal di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Dienaputra, Reiza. 2013. Sejarah Lisan: Metode dan Praktek. Bandung: Penerbit Balatin.
Endraswara, Suwardi. 2005. Tradisi Lisan Jawa: Warisan Abadi Budaya Leluhur. Yogyakarta: Narasi.
Kuntowijoyo. 1994. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.
Anton & Marwati. 2015. Ungkapan Tradisional dalam Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Bajo di Pulau Balu Kabupaten Muna Barat. Jurnal Humanika. Vol. 3 (15).
Duija, I Nengah. 2005. Tradisi Lisan, Naskah, dan Sejarah (Sebuah Catatan Politik Kebudayaan). Wacana. Vol. 7 (2).
Fauzi, Rizal. 2014. Pemanfaatan Sejarah Lisan Sebagai Pengembangan Bahan Ajar pada pembelajaran Sejarah Kelas X SMA Negeri 3 Tegal Tahun Ajaran 2012/2013. Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang.
Saad, Mohamad, Jaafar dan Jan. 2012. Penukilan Ilmu Baharu Melalui Sejarah Lisan. Jurnal PPM. Vol. 6.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar