
MAKALAH
Perbedaan Sejarah Lisan Dengan Tradisi Lisan
(disusun
guna memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Lisan)
Dosen Pengampu Mata Kuliah :
Drs. Marjono, M. Hum
Oleh
Danang
Setyo Nugroho 140210302001
Danis Novila
Intan Ditikta 150210302018
Alifianto R. 1502103020
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2018
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah,
puji syukur kehadirat Allah Swt atas segala limpah rahmat dan hidayah-Nya
sehingga makalah yang berjudul “Perbedaan Sejarah Lisan dengan Tradisi Lisan ” dapat
diselesaikan dengan tepat waktu.
Adapun
penulisan ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Lisan. Selain
itu kami juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs.
Marjono, M.Hum. selaku dosen pengampu. Namun kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, kami mohon maaf jika ada hal-hal yang kurang
berkenan dan kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk
menjadikan ini lebih sempurna. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.
Jember,
10 Maret 2018
Penulis
Daftar Isi
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penulisan
sejarah nasional Indosnesia telah menempuh berbagai jalan. Pertama, adanya
keinginan untuk menuliskan sejarah Indonesia yang nasionalistik sebagaimana
dicanangkan dalam Seminar Sejarah Nasional I di Yogyakarta pada tahun 1957. (Kuntowijoyo,
2003: 23). Keinginan itu telah banyak melahirkan, terutama buku-buku pelajaran yang
sesuai dengan cita-cita kemerdekaan nasionalisme. Bersamaan dengan
kecenderungan ke arah dekolonisasi dalam penulisan sejarah Indonesia itu, di
kalangan penulis-penulis sejarah tentang Indonesia timbul gagasan untuk
berpindah dari penulisan sejarah yang “Europe
centric” ke sejarah yang “Asia-centric”. Kedua, keinginan untuk adanya
suatu sejarah Indonesia yang ilmiah seperti dinyatakan dalam Seminar Nasional
Indonesia II di Yogyakarta pada tahun 1970. Keinginan itu telah memperluas
ruang lingkup penulisan sejarah dengan masuknya pendekatan-pendekatan baru
Ketiga, masih dalam dekade 1970-an, ada usaha untuk menyelenggarakan suatu
program sejarah lisan yang dikelola oleh Arsip Nasional bekerja sama dengan para
sejarawan dan perguruan tinggi. Hasil dari usaha terakhir ini sudah tampak
sekalipun belum banyak benar (Kuntowijoyo, 2003: 24).
Dengan
demikian penulisan sejarah mencoba memperluas dimensi-dimensi yang disoroti,
sehingga istilah sejarah multidimensional hampir-hampir tercatat dalam setiap
tesis mahasiswa sejarah. Jalan ketiga yang berupa pembaharuan dalam metode
sebenarnya masih membuka kemungkinan-kemungkinan baru. Menurut Kuntowijoyo, sejarah
kuantitatif sama sekali belum mendapat perhatian dari penulis-penulis sejarah.
Keterbatasan
kebanyakan penulis sejarah dalam pengetahuan statistik masih melangkakan
kemajuan di bidang ini. Berbeda dengan tradisi lisan, sejarah lisan tidak
didapatkan tetapi dicari dengan kesenjangan. Penggalian sumber sejarah melalui
teknik wawancara sudah lama dikenal, bahkan Herodotus pada abad ke-5 SM telah
menggunakan saksi-saksi mata dengan menanya hilang mereka. Sejarah lisan
sebagai teknik da metode kemudian juga digunakan oleh penulis-penulsi sejarah
dari zaman Romawi, zaman Pertengahan, dan zaman Modern (Kuntowijoyo, 2003: 26).
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan sejarah lisan?
2. Apa yang dimaksud dengan tradisi
lisan ?
3. Bagaimana perbedaan sejarah lisan
dan tradisi lisan?
1.3 Tujuan
1.
Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan sejarah lisan.
2. Untuk mengetahui apa yang
dimaksud dengan tradisi lisan.
3. Untuk mengetahui apa perbedaan
dari sejarah lisan dengan tradisi lisan.
BAB 2. PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Sejarah Lisan
Menurut
Thompson dalam Kuntowijoyo, 2003: 26 pada pertengahan pertama abad ke-19
sejarah lisan mendapat kritikan tajam dari Leopold von Ranke yang mementingkan
kesaksian-kesaksian dokumenter. Meskipun demikian penggunaan sejarah lisan
masih terus berjalan. Dalam abad ke-20 ini sejarah lisan memperoleh kembali
kekuatannya setelah adanya teknologi baru dalam perekaman suara dengan
munculnya pita tape. Dengan teknologi baru ini menjadi mudahlah pencatatan
wawancara. Kesulitan teknik dalam merekam dan menyimpan sumber lisan sudah
teratasi.
Menurut
Ahmad (1987) dalam Saad Dan Mohammad, 2012: 64 menyatakan bahwa sejarah lisan
merupakan kajian yang dapat menyimpan data masa lampau walupun tempuh masa dan
peristiwa telah berlalu. Kajian sejarah lsan dikatakan snagat menarik karena
penyelidik akan bertemu dengan pelbagai pengalaman baru, melihat sejarah dari
aspek yaang berbeda, serta mengenali lebih banya personality manusia. selain
itu juga sejarah lisan merupakan satu kaedah atau teknik penyelidikan modern
yang bertujuan untuk memelihara pengetahuan-pengetahuan sejarah melalui
pengkisahan. Kaedah yang dimaksud disisni adalah dengan penggunaan proses
wawancara dan merekam tentang keterangan-keterangan orang yang mengetahui suatu
peristiwa itu serta terlibat dalam peristiwa tersebut atau sekedar menyaksikan
secara langsung peristwa itu terjadi.
Menurut
Star (1984) dalam Saad dan Mohamma, 2012: 66 menyatakan bahwa sejarah lisan
merupakan kaedah pengumpulan fakta-fakta sejarah yang masih belum lagi dikaji
dan dirakam semula dan merupakan penerus kepada proses mengumpul data sejarah
setelah hilangnya tradisi penulisan sejarah. Ianya dikatakan bermula sejak
berlakunya sesuatu peristiwa sejarah itu sendiri.
Sejarah
lisan mempunyai banyak kegunaan. Abdi-abdi dalem kerajaan kejawen misalnya,
masing-masing mempunyai kenangan tentang masa lampau pekerjaannya, keahliannya,
hubungan sosialnya, kehidupan ekonominya. Untuk menulis sebuah sejarah
mengaenai sebuah istana dan sejarah sosial pada umunya, sejarah lisan dari
lingkungan terdekat akan sangat bermanfaat. Selain ketepatan dan kejelasan
keterangan, sejarah lisan juga dapat dengan cermat melukiskan kandungan
emosional dari penutur sejarah. Bagaiamana seorang kemit di istana masa yang
lalu merasakan hidupnya, pekerjaannya, dan pengabdiannya kepada istana tentulah
tak dapat dilukiskan dengan dokumen.
Sebagaimana halnya pengertian
sejarah, tentu banyak pula pengertian tentang sejarah lisan. Sartono
Kartodirdjo (1991) merumuskan sejarah lisan sebagai cerita-cerita
tentangpengalaman kolektif yang disampaikan secara lisan. Cullom Davis,et. al.
(1977) mengartikan sejarah lisan sebagai a branch of historical research. A.
Adaby Darban (1988) mengartikan sejarah lisan sebagai sumber sejarah yang
terdapat di kalangan manusia yang mengikuti kejadian atau menjadi saksi atas
suatu kejadian masa lampau, diuraikan dengan lisan (Dianeputra, 2013: 11).
2.1.1 Kegunaan Sejarah Lisan Sebagai Metode
Sejarah
lisan sebagai metode dapat dipergunakan secara tunggal dan dapat pula sebagai
bahan dokumenter. Sebagai gambaran, banyak sekali ditemukan jenis pekerjaan
yang di masa yang lampau merupakan pekerjaan penting tetapi sekarang sudah
punah (Kuntowijoyo, 2003: 27).
Sebagai
metode pelengkap terhadap bahan dokumenter, sejarah lisan sudah lama
dipergunakan, juga di Indonesia. Hampir semua penulis sejarah mempergunakannya
dengan kadar yang berdeda. Dalam penulisan biorafi metode ini sudah banyak
dipakai. Sayang bahwa kalangan sejarawan sendiri belum melahirkan penulis
biografi atauotobiografi”sebagai diceritakan-kepada”. Para jurnalislah, seperti
Soebagjo IN, yang sempat menulis banyak buku dengan menggunakan bahan-bahan
dokumenter dan lisan. (Kuntowijoyo: 2003: 28). Sejarawan akademis yang mempunyai kesempatan
terhadap bahan-bahan dokumenter dan sumber lisan dapat diharapkan akan menulis
biografi dengan corak lain karena prespektif kesejrahannya akan sanggup
menampilkan pelaku-pelaku sejarah ditengah-tengah masyarakat dan zamannya. Dalam
hal ini, yaitu dalam penulisan sejarah kontemporer terutama sejak 1945,
penulis-penulis sejarah, baik sejarah militer, sejarah dinas, sejarah perang,
dan sejrah yang ditulis untuk skripsi, semuanya telah menggunakan sejarah lisan
sebagai pelengkap dari bahan dokumenter. Untuk penyusun daftar kegiatan ini
saja tentulah memerlukan waktu.
Selain
sebagai metode, sejarah lisan dapat dipergunakan sebagai sumber sejarah.
Kegiatan sejarah lisan sebagai usaha untuk menyiadakan sumber bagi peniliti
sejarah sudah mendapatkan tempat di Amerika sejak 1948 ketika Allan Nevins
mendirikan “The Oral History Project” di Columbia Universtiy, New York. Hasil
wawancara lembaga ini disediakan dalam bentuk tape atau transkrip. Koleksi
Sejarah Lisan Columbia merupkan pusat penelitian penting bagi penerbitan di
berbagai bidang, seperti sastra, seni, usaha, sejarah, hubungan internasional,
jurnalistik, ilmu politik, dan penelitian kota (Kuntowijoyo, 2003: 28).
Sebagai
metode sejarah lisan tidak kurang
pentingnya jika dilakukan dengan cermat. Banyak sekali permasalahan sejarah,
bahkan dalam zaman modern ini yang tidak tertangkap dalam dokumen-dokumen.
Dokumen hanya menjadi saksi dari kejadian-kejadian penting menurut kepentingan
pembuat dokumen dan zamannya, tetapi tidak melestarikan kejadian-kejadian
individual dan yang unik yang dialami oleh seseorang atau segolongan. Apalagi minat
dan perhatian sejarawan akan berbeda dengan minat dan perhatian pembuat dokumen
sehingga sejarawan masih harus mencari sendiri cara untuk mendapatkan
keterangan, dengan teknik wawancara yang benar keabsahan keterangan-keterangan
lisan pun dapat dipertanggungjawabkan.
Keinginan
penyediaan sumber berbeda dengan sejarah lisan sebagai metode dalam hal bahwa
yang pertama kegiatan dilakukan secara terpisah dari penulisan, sedangkan dalam
hal yang kedua pemakai sejarah lisan ialah pewawancara sendiri. Untuk membantu
pengadaan tenaga pewawancara di Universitas Columbia tersebut, sebuah mata
kuliah sejarah lisan diberikan di lingkungan ilmu perpustakaan. Rupa-rupanya
sekalipun cita-cita mendirikan pusat sejarah lisan ini datang dari seorang
sejarawan, jangkauannya tertuju ke bidang yang sangat luas(Kuntowijoyo, 2003:
29). Di Indonesia kegiatan sejarah lisan sebagai penyediaan sumber dimulai oleh
Arsip Nasioal RI sejak 1973. Penataran-penataran untuk melath pewawancara sudah
seering diadakan. Pengumpulan sumber sejarah lisan mempunyai teknik-teknik dan
prasarana tersendiri. Pekerjaan yang terpenting, yang langsung mengenai
pengumpulan sejarah lisan ialah wawancara, menyalin dan menyunting. Selanjutnya
sebagai sumber, sama halnya dengan bahan arsip atau perpustakaan ialah
sebagaimana dapat memberikan pelayanan kepada peminat dan publik. Tidak
diragukan lagi sejarawanlah yang paling beruntung dengan tersedianya
bahan-bahan itu.
Guna
sejarah lisan dalam kaitannya dengan rekonstruksi sejarah, sejarah lisan dapat
berguna sebagai sumber pelengkap diantara sumber-sumber sejarah lainnya. Guna
sejarah lisan sebagai sumber pelengkap ini biasanya terjadi manakala sumber
tersedia cukup memadai untuk melakukan rekontruksi sejarah (Dienaputra, 2013:
19). Sejarah lisan dapat menjadi sumber sejarah satu-satunya. Guna ini dapat
dimainkan sejarah lisan tidak hanya manakala sumber tertulis kurang memadai
tetapi juga manakala sumber tertulis tidak tersedia sama sekali. Dengan
demikian, seiring dengan kemajuan teknologi, sejarah lisan dapat menjadi sumber
sejarah satu-satunya dalam melakukan rekonstruksi sejarah. Saat sejarah lisan
tampil sebagai sumber sejarah satu-satuya tentu peluang untuk menjadikan hasil
rekontruksi sejarah sebagai milik masyarakat menjadi terbuka jauh lebih lebar.
Berbagai peristiwa dapat dungkap secara optimal. Namun demikian pula,
keberadaan sejarah lisan sebagai sumber sejarah dalam melakukan rekonstruksi
sejarah tentu harus disikapi secara jauh lebih kritis. Sejarah lissan juga memberikan semacam discovery atau ruang kepada sejarawan
untuk mengembangkan penelitian di masa depan. Realitas perkembangan kontemporer
telah memperlihatkan semakin berkurangnya tradisi tulis di tengah masyarakat
serta budaya tulis di media kertas.
2.1.2 Kegunaan Sejarah Lisan Sebagai Sumber Primer
dan Sekunder
Selain
sebagai metode dan penyediaan sumber, sejarah lisan mempunyai sumbangan yang
besar dalam mengembangkan substansi penulisan sejarah. Pertama, dengan sifatnya
yang kontemporer sejarah lisan memberikan kemungkinan yang hampir-hampir tak
terbatas untuk menggali sejarah dari pelaku-pelaku sejarah yang tidak
disebutkan dalam dokumen. Dengan kata lain, dapat mengubah citra sejarah yang
elitis kepada citra sejarah yang egalitarian. Ketiga, sejarah lisan
memungkinkan perluasan permasalahan sejarah, karena sejarah tidak lagi dibatasi
kepada adanya dokumen tertulis.
Sejarah lisan merupakan salah satu jenis sumber penelitian.
Sumber lisan lain di luar sejarah lisan adalah tradisi lisan dan rekaman suara.
Di antara ketiga sumber lisan tersebut, tidak pelak lagi sejarah lisan
menempati kedudukan paling penting. Berbeda dengan dua jenis sumber lisan
lainnya, sejarah lisan dapat dikatakan lebih memiliki nilai sejarah karena di
dalamnya memuat langsung peristiwa sejarah, termasuk di dalamnya yang paling
penting, dapat mengungkap makna, pandangan, dan perasaan orang-orang yang mengalami
peristiwa sejarah (Dienaputra, 2013: 23).
Sejarah lisan dapat dikategorikan sebagai sumber primer dan
juga sumber sekunder. Sejarah lisan menjadi sumber primer manakala secara
substansial peristiwa yang terkandung dalam sejarah lisan merupakan peristiwa
yang dialami, dilihat, dirasakan, atau dipikirkan secara langsung oleh si
pemilik sejarah lisan (pengkisah). Dengan kata lain, peristiwa yang menjadi materi
sejarah lisan sebagaimana disampaikan pengkisah merupakan peristiwa yang
langsung dialami atau disaksikannya dan bukannya peristiwa yang diperoleh
pemilik sejarah lisan dari orang atau pihak lain, maka hal tersebut dapat
disebut sebagai sumber sejarah lisan.
Sejarah lisan dapat dikatan sebagai sumber sekunder apabila,
keterangan yang disampaikan pengkisah bukan merupakan peristiwa yang dialami
atau disaksikannya secara langsung. Tetapi ia memperoleh informasi tentang
peristiwa tersebut dari tangan orang ketiga. Dengan demikian, kisah yang
disampaikan si pengkisah lebih merupakan perpanjangan lidah dari kisah yang
dimiliki orang lain atau pihak lain. Keberadaan sejarah lisan, baik sebagai
sumber primer dan terlebih sebagai sumber sekunder jelas perlu disikapi secara
cermat dan cerdas, terlebih manakala sejarah lisan menjadi sumber sejarah
satu-satunya (Dienaputra, 2013: 24).
Sejarah Indonesia kontemporer,
terutama dimasa revolusi 1945-1950, banyak yang masih tersimpan dalam ingatan
para pelakunya. Doukumen-dokumen sejarah hanya meliputi bagian kecil dari
sejarah perjuangan kemerdekaan yaitu mengenai diplomasi, kepartaian, perubahan
kabinet, kemiliteran. Di balik itu seolah-olah segalanya masih gelap, padahal
masih begitu banyak yang belum dituliskan. Badan-badan perjuangan, perebutan
kekuasaan dari Jepang, pertempuran-pertemputan di daerah-daerah belum
diungkapkan. Dalam hal ini tampaknya ada usaha keras dari pelaku sendiri untuk
menuliskan kenang-kenangan di masa perjuangan, namun buku-buku sejenis Laporan
dari Banaran oleh T.B. Simatupang belum lagi menampakkan peristiwa-peristiwa di
luar jangkauan penulis. Dokumen perang revolusi dari pihak Belanda sudah
sebagian diterbitkan sebagao Officiele
Bescheiden Betreffende de Nederlands Indonesische Betrekkingen 1945-1950,
tetapi masih lebih banyak lagi dokumen yang tertimbun di arsip Den Haag
(Kuntowijoyo, 2003: 30)
Dengan sejarah lisan akan banyak sekali
keterangan-keterangan baru diungkapkan sekitar para pelaku, peristiwa,
kegiatan, badan-badan perjuangan. Salah satu contoh mutakhir, bagaimana sejarah
lisan membantu sekali untuk mengungkapkan sejarah revolusi tentang peristiwa
Tiga Daerah, suatu revolusi sosial di zaman kemerdekaan. Kejadian-kejadian
dalam peristiwa itu tidak terungkap dalam dokumen-dokumen resmi, tetapi masis tersimpan dalam ingatan perilakunya.
Sumbangan sejarah lisan dalam
penulisan sejarah yang lebih egalitarian
tampak dalam kemampuannya untuk menjngkau pelaku-pelaku dengan peranan kecil.
Sampai sekarang sejarah yang kita kenal hanyalah sejarah dari tokoh-tokoh dan
kelompok yang karena posisinya dapat terjangkau oleh dokumen resmi. Dengan
hanya menyuguhkan sejarah tingkat atas tidak akan menjelaskan bagaimana rakyat
bergerak di zaman revolusi membantu penyediaan “nuk” atau makanan untuk makan
para pejuang. (Kuntowijoyo, 2003: 31). Tugas-tugas palang merah, dapur merah,
mata-mata, cegatan, dan puluhan lainnya yang dapat dibayangkan tidak dapat
tertangkap oleh dokumen. Untuk memberikan perlakuan yang sewajarnya kepada para
pejuang itu, sejarah lisan dapat berbuat banyak. Sejarah “dari bawah ke atas”
ini berlaku pula untuk tokoh-tokoh kecil. Tokoh “jago” ternyata mempunyai andil
dalam sejarah revolusi – apa pun juga peranan yang dimainkannya.
Kita
tak pernah tahu bagaimana sebuah desa mengalami revolusi, perubahan-perubahan
apa yang terjadi. Sejarah samapai sekarang hanya bergerak di tingkat nasional
atau semujur-mujurnya di tingkat daerah propinsi. Desa yang sering disebut
dengan basis gerilya, petani yang selalu disebut sebagai kawan seperjuangan
gerilyawan, ibu-ibu yang mengirimkan anaknya ke medan perang perlu mendapat
perhatian. Sejarah hanya akan berbuat adil jika mampu mengungkapkan gambaran
total tentang masa lampau – termasuk sejaraj revolusi. Sejarah, seperti sastra,
mampu menciptakan sebuah epos revolusi – tidak melalui imajinasi, tetapi
melalui fakta.
Menurut Kuntowijoyo menyatakan
bahwa, dalam memperluas ruang lingkup telaah sejarah, sejarah lisan tidak
berdiri sendiri. Pendekatan-pendekatan baru dalam sejarah seperti sejarah kejiwaan
(psychohistory), biografi kolektif (prosoprography), sejarah keluarga,
sejarah desa, sejarah kota – untuk menyebut beberapa saja – tentulah memerlukan
sejarah lisan pada waktunya. Dengan bekal kerangka teoritis, sejarawan dapat
menggunakan wawancara supaya lebih sempurna. Daftar pertanyaan yang menjadi
pegangan sejarawan pewawancara dipersiapkan sesuai dalam kerangka. Tentu harus
diingat ketentuan-ketentuan tentang yang benar. Disini wawancara dapat sebagai
metode tuggal, dapat pula sebagai metode tambahan.
Dibandingkan
dengan sejarah kuantitatif, sejarah lisan dapat dipastikan akan mendapatkan
pasaran yang lebih luas. Wawancara sebagai sebuah kecakapan tampaknya tidak
banyak memerlukan kenjlimetan berpikir. Teknik ini dipakai hampir-hampir oleh
semua cabang ilmu sosial, termasuk jurnalistik.
2.2 Pengertian Tradisi Lisan
Tradisi
lisan adalah segala wacana yang disampaikan secara lisan, mengikuti cara atau
adat istiadat yang telah dimulai dalam suatu masyarakat. Kandungan dalam wacana
tradisi lisan tersebut dapat meliputi berbagai jenis cerita maupun jenis
ungkapan seremonial dan ritual. Cerita-cerita yang disampaikan secara lisan itu
bervariasi yakni antara lain, genealogis, mitos, legenda, dongeng hingga
berbagai cerita kepahlawanan. Menurut Sendyawati dalam Duija, 2005:113
menyatakan bahwa perkembangan tradisi lisan terjadi dari mulut ke mulut
sehingga menimbulkan banyak versi cerita. Tradisi lisan mencakup beberapa hal
yakni: 1) yang berupa kesusastraan lisan, 2) yang berupa teknologi tradisional,
3) yang berupa pengetahuan/ folk
diluar pusat-pusat istana dan kota metropolitan, 4) yang berupa unsur-unsur
religi dan kepercayaan diluar batas formal agama-agama besar, 5) yan berupa
kesenian folk dan 6) berupa hukum adat.
Tradisi
lisan atau oral tradition mencakup
segala hal yang berhubungan engan sastra bhasa, sejarah, biografi dan berbagai
pengetahuan serta jenis kesenian lain yang disampaikan dari mulut ke mulut.
Tradisi lisan tidak hanya mencakup ceritera rakyat, teka-teki, pribahasa maupun
nyanyian rakyat, mitologi, dan legenda sebagaimana umumnya diduga oleh kalangan
masyarakat, tetapi tradisi lisan juga berkaitan dengan sistem kognitif
kebudayaan seerti, sejara, hukum dan pengobatan. Tradisi lisan merupakan segala
wacana yang diucapkan atau disampaikan secara turun temurun secara lisan
(Pudentia, 1999: 32 dalam Duija, 2005: 114).
Tradisi
lisan merupakan salah satu bentuk
pelestarian terhadap nilai-nilai yang dianggap penting untuk diteruskan kepada
generasi berikutnya. Tradisi lisan tidak harus memiliki beban‖ semacam itu
karena penutur dapat berkilah dengan mengatakan, “kisah ini didapatkan dari
leluhur saya dan mohon maaf bila terdapat kesalahan karena patik sekedar
menuturkan kembali.” Proses pewarisan yang telah berjalan secara turun-temurun
dan adanya interaksi langsung antara penutur dan masyarakatnya merupakan dua
hal pokok dalam proses penciptaan tradisi lisan (Irwanto, 2012: 124).
Tradisi lisan dipahami
sebagai kesaksian lisan yang dituturkan secara verbal dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Artinya bukan hanya kesaksian lisan yang benar-benar
terjadi pada peristiwa sejarah, akan tetapi bisa jadi hanyalah tentang
tradisi-tradisi yang berkembang di tengah masyarakat. Tradisi lisan demikian
dalam batas-batas tertentu dapat diidentikan dengan folklor, khususnya folklor
lisan (verbal folklor) dan folklor sebagian lisan (partly verbal
folklor). Menurut Jan Vansina dlm Kuntowijoyo, 2003:25 tradisi lisan
adalah “oral testimony transmitted verbally, from one generation to the next
one or more”. Maksudnya sejarah diwariskan secara turun-temurun dari generasi
satu ke generasi yang selanjutnya, hal yang diwariskan tersebut biasanya berisi
tentang petuah, nilai, norma dan juga adat istiadat.
Tradisi
lisan dengan demikian terbatas di dalam kebudayaan lisan dari masyarakat yang
belum mengenal tulisan. Sama seperti dokumen dalam masyarakat yang sudah
mengenal tulisan, tradisi lisan merupakan sumber sejarah yang merekam masa
lampau. Namun kesejarahan tradisi lisan barulah sebagian dari isi tradisi lisan
itu. Selain itu mengandung kejadian nilai moral-moral, keagamaan,
adat-isitadat, cerita-cerita khayali, peribahasa, nyanyian, mantra.
Tradisi
lisan, dengan demikian, menjadi sumber penulisan bagi antropolog dan sejarawan.
Dalam ilmu antropologi tradisi lisan sebagai sumber data bagi penelitian sudah
dipergunakan sejak awal timbulnya ilmu itu, tetapi dalam ilmu sejarah
penggunaan tradisi lisan masih masih merupakan hal yang baru. Usaha untuk
menarik minat kepada penulisan sejarah dengan memakai sumber tradisi lisan
dalam Seminar Sejarah Nasional III digarap secara khusus dalam Panel
Etno-histori, sehingga dalam tulisan ini tidak akan dibahas lagi.
Tradisi Lisan memiliki
fungsi yaitu: mewariskan nilai-nilai moral, keagamaan, adat istiadat kepada
generasi selanjutnya.
Tradisi lisan memiliki
karakteristik, antara lain:
a) Terbatas
di dalam kebudayaan lisan dari masyarakat yg belum mengenal tulisan.
b) Penutur
bukanlah seorang pelaku atau saksi mata dalam suatu peristiwa sejarah.
Tradisi
lisan mengandung nilai-nilai moral, keagamaan, adat istiadat, cerita khayal,
mantra, nyanyian dan menunjukkan suatu ciri khas tertentu.
2.3 Perbedaan Tradisi Lisan dengan Sejarah Lisan
KOMPONEN
|
SEJARAH LISAN
|
TRADISI LISAN
|
Pengertian
|
Sejarah
lisan adalah satu kaedah yang penting dalam merakam peristiwa lampau yang
pernah ditempuhi oleh seseorang
|
Tradisi
lisan adalah pesan atau kesaksian yang disampaikan secara turun-temurun dari
satu generasi ke generasi berikutnya. Pesan atau kesaksian itu disampaikan
melalui ucapan, pidato, nyanyian, dan dapat berbentuk pantun, cerita rakyat,
nasihat, balada, atau lagu.
|
Berdasakan
kegunaannya
|
M 1. Metode tunggal, sebab banyak
sekali permasalahan sejarah yang tidak tertangkap dalam dokumen-dokumen.
2. 2.
Gambaran, dapat melukiskan kandungan emosional dari penutur sejarah.
3. 3.Metodepelengkap
dokumenter. 4. Sebagai sumber sejarah.
|
|
KOMPONEN
|
SEJARAH LISAN
|
TRADISI LISAN
|
Ciri-ciri
|
|
1.
Pesan-pesan disampaikan secara
lisan (ucapan, nyanyian maupun musik).
2.
Tradisi lisan berasal dari generasi
sebelumnya.
|
BAB 3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Menurut Ahmad (1987) dalam Saad Dan
Mohammad, 2012: 64 menyatakan bahwa sejarah lisan merupakan kajian yang dapat
menyimpan data masa lampau walupun tempuh masa dan peristiwa telah berlalu.
Kajian sejarah lsan dikatakan snagat menarik karena penyelidik akan bertemu
dengan pelbagai pengalaman baru, melihat sejarah dari aspek yaang berbeda,
serta mengenali lebih banya personality manusia. selain itu juga sejarah lisan
merupakan satu kaedah atau teknik penyelidikan modern yang bertujuan untuk
memelihara pengetahuan-pengetahuan sejarah melalui pengkisahan.
Tradisi lisan atau oral tradition mencakup segala hal yang berhubungan engan sastra
bhasa, sejarah, biografi dan berbagai pengetahuan serta jenis kesenian lain
yang disampaikan dari mulut ke mulut. Tradisi lisan tidak hanya mencakup
ceritera rakyat, teka-teki, pribahasa maupun nyanyian rakyat, mitologi, dan
legenda sebagaimana umumnya diduga oleh kalangan masyarakat, tetapi tradisi
lisan juga berkaitan dengan sistem kognitif kebudayaan seperti, sejarah, hukum
dan pengobatan.
Perbedaaan antara sejarah lisan dengan
tradisi lisan dapat dibedakan berdasarkan pengertian, kegunaan serta ciri-ciri
dari sejarah lisan maupun tradisi lisan.
DAFTAR PUSTAKA
Kuntowijoyo.
2003. Metodologi Penelitian Sejarah. Yogyakarta:
PT. Tiara Wacana Yogya.
Diena,
Putra D. 2013. Sejarah Lisan (Metode dan
Praktek). Bandung: Balatin Putra.
Irwanto,
Dedi. 2012. Kendala Dan Alternatif Penggunaan
Tradisi Lisan Dalam Penulisan Sejarah
Lokal Di Sumatera Selatan. Jurnal Forum
Sosial, Vol. V, No. 02.
Duija, I Nengah. 2005. Tradisi Lisan, Naskah dan Sejarah (Sebuah Catatan Politik Dan Kebudayaan). Vol. 7 No.2 (111-124).
Saad,
Mohammad. 2012. Penulisan Ilmu Baru
Melalui Sejarah Lisan. Jurnal PPM Vol. 6,
2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar