Sabtu, 13 Oktober 2018

Perbedaan Sejarah Lisan Dengan Tradisi Lisan



logo unej.jpeg




MAKALAH

Perbedaan Sejarah Lisan Dengan Tradisi Lisan
 (disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Lisan)

Dosen Pengampu Mata Kuliah :
                                                     Drs. Marjono, M. Hum

Oleh

                                    Danang Setyo Nugroho                      140210302001
                                    Danis Novila Intan Ditikta                  150210302018
                                    Alifianto R.                                         1502103020



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2018







KATA PENGANTAR


Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah Swt atas segala limpah rahmat dan hidayah-Nya sehingga makalah yang berjudul “Perbedaan Sejarah Lisan dengan Tradisi Lisan ” dapat diselesaikan dengan tepat waktu.
Adapun penulisan ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Lisan. Selain itu kami juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. Marjono, M.Hum. selaku dosen pengampu. Namun kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami mohon maaf jika ada hal-hal yang kurang berkenan dan kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk menjadikan ini lebih sempurna. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.



Jember, 10 Maret 2018

                                                                                                               Penulis










Daftar Isi




BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penulisan sejarah nasional Indosnesia telah menempuh berbagai jalan. Pertama, adanya keinginan untuk menuliskan sejarah Indonesia yang nasionalistik sebagaimana dicanangkan dalam Seminar Sejarah Nasional I di Yogyakarta pada tahun 1957. (Kuntowijoyo, 2003: 23). Keinginan itu telah banyak melahirkan, terutama buku-buku pelajaran yang sesuai dengan cita-cita kemerdekaan nasionalisme. Bersamaan dengan kecenderungan ke arah dekolonisasi dalam penulisan sejarah Indonesia itu, di kalangan penulis-penulis sejarah tentang Indonesia timbul gagasan untuk berpindah dari penulisan sejarah yang “Europe centric” ke sejarah yang “Asia-centric”. Kedua, keinginan untuk adanya suatu sejarah Indonesia yang ilmiah seperti dinyatakan dalam Seminar Nasional Indonesia II di Yogyakarta pada tahun 1970. Keinginan itu telah memperluas ruang lingkup penulisan sejarah dengan masuknya pendekatan-pendekatan baru Ketiga, masih dalam dekade 1970-an, ada usaha untuk menyelenggarakan suatu program sejarah lisan yang dikelola oleh Arsip Nasional bekerja sama dengan para sejarawan dan perguruan tinggi. Hasil dari usaha terakhir ini sudah tampak sekalipun belum banyak benar (Kuntowijoyo, 2003: 24).
Dengan demikian penulisan sejarah mencoba memperluas dimensi-dimensi yang disoroti, sehingga istilah sejarah multidimensional hampir-hampir tercatat dalam setiap tesis mahasiswa sejarah. Jalan ketiga yang berupa pembaharuan dalam metode sebenarnya masih membuka kemungkinan-kemungkinan baru. Menurut Kuntowijoyo, sejarah kuantitatif sama sekali belum mendapat perhatian dari penulis-penulis sejarah.
Keterbatasan kebanyakan penulis sejarah dalam pengetahuan statistik masih melangkakan kemajuan di bidang ini. Berbeda dengan tradisi lisan, sejarah lisan tidak didapatkan tetapi dicari dengan kesenjangan. Penggalian sumber sejarah melalui teknik wawancara sudah lama dikenal, bahkan Herodotus pada abad ke-5 SM telah menggunakan saksi-saksi mata dengan menanya hilang mereka. Sejarah lisan sebagai teknik da metode kemudian juga digunakan oleh penulis-penulsi sejarah dari zaman Romawi, zaman Pertengahan, dan zaman Modern (Kuntowijoyo, 2003: 26).


1.2 Rumusan Masalah

            1. Apa yang dimaksud dengan sejarah lisan?
            2. Apa yang dimaksud dengan tradisi lisan ?
            3. Bagaimana perbedaan sejarah lisan dan tradisi lisan?

1.3 Tujuan

            1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan sejarah lisan.
            2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan tradisi lisan.
            3. Untuk mengetahui apa perbedaan dari sejarah lisan dengan tradisi lisan.















BAB 2. PEMBAHASAN


2.1 Pengertian Sejarah Lisan

Menurut Thompson dalam Kuntowijoyo, 2003: 26 pada pertengahan pertama abad ke-19 sejarah lisan mendapat kritikan tajam dari Leopold von Ranke yang mementingkan kesaksian-kesaksian dokumenter. Meskipun demikian penggunaan sejarah lisan masih terus berjalan. Dalam abad ke-20 ini sejarah lisan memperoleh kembali kekuatannya setelah adanya teknologi baru dalam perekaman suara dengan munculnya pita tape. Dengan teknologi baru ini menjadi mudahlah pencatatan wawancara. Kesulitan teknik dalam merekam dan menyimpan sumber lisan sudah teratasi.
Menurut Ahmad (1987) dalam Saad Dan Mohammad, 2012: 64 menyatakan bahwa sejarah lisan merupakan kajian yang dapat menyimpan data masa lampau walupun tempuh masa dan peristiwa telah berlalu. Kajian sejarah lsan dikatakan snagat menarik karena penyelidik akan bertemu dengan pelbagai pengalaman baru, melihat sejarah dari aspek yaang berbeda, serta mengenali lebih banya personality manusia. selain itu juga sejarah lisan merupakan satu kaedah atau teknik penyelidikan modern yang bertujuan untuk memelihara pengetahuan-pengetahuan sejarah melalui pengkisahan. Kaedah yang dimaksud disisni adalah dengan penggunaan proses wawancara dan merekam tentang keterangan-keterangan orang yang mengetahui suatu peristiwa itu serta terlibat dalam peristiwa tersebut atau sekedar menyaksikan secara langsung peristwa itu terjadi.
Menurut Star (1984) dalam Saad dan Mohamma, 2012: 66 menyatakan bahwa sejarah lisan merupakan kaedah pengumpulan fakta-fakta sejarah yang masih belum lagi dikaji dan dirakam semula dan merupakan penerus kepada proses mengumpul data sejarah setelah hilangnya tradisi penulisan sejarah. Ianya dikatakan bermula sejak berlakunya sesuatu peristiwa sejarah itu sendiri.
Sejarah lisan mempunyai banyak kegunaan. Abdi-abdi dalem kerajaan kejawen misalnya, masing-masing mempunyai kenangan tentang masa lampau pekerjaannya, keahliannya, hubungan sosialnya, kehidupan ekonominya. Untuk menulis sebuah sejarah mengaenai sebuah istana dan sejarah sosial pada umunya, sejarah lisan dari lingkungan terdekat akan sangat bermanfaat. Selain ketepatan dan kejelasan keterangan, sejarah lisan juga dapat dengan cermat melukiskan kandungan emosional dari penutur sejarah. Bagaiamana seorang kemit di istana masa yang lalu merasakan hidupnya, pekerjaannya, dan pengabdiannya kepada istana tentulah tak dapat dilukiskan dengan dokumen.
Sebagaimana halnya pengertian sejarah, tentu banyak pula pengertian tentang sejarah lisan. Sartono Kartodirdjo (1991) merumuskan sejarah lisan sebagai cerita-cerita tentangpengalaman kolektif yang disampaikan secara lisan. Cullom Davis,et. al. (1977) mengartikan sejarah lisan sebagai a branch of historical research. A. Adaby Darban (1988) mengartikan sejarah lisan sebagai sumber sejarah yang terdapat di kalangan manusia yang mengikuti kejadian atau menjadi saksi atas suatu kejadian masa lampau, diuraikan dengan lisan (Dianeputra, 2013: 11).

2.1.1 Kegunaan Sejarah Lisan Sebagai Metode

Sejarah lisan sebagai metode dapat dipergunakan secara tunggal dan dapat pula sebagai bahan dokumenter. Sebagai gambaran, banyak sekali ditemukan jenis pekerjaan yang di masa yang lampau merupakan pekerjaan penting tetapi sekarang sudah punah (Kuntowijoyo, 2003: 27).
Sebagai metode pelengkap terhadap bahan dokumenter, sejarah lisan sudah lama dipergunakan, juga di Indonesia. Hampir semua penulis sejarah mempergunakannya dengan kadar yang berdeda. Dalam penulisan biorafi metode ini sudah banyak dipakai. Sayang bahwa kalangan sejarawan sendiri belum melahirkan penulis biografi atauotobiografi”sebagai diceritakan-kepada”. Para jurnalislah, seperti Soebagjo IN, yang sempat menulis banyak buku dengan menggunakan bahan-bahan dokumenter dan lisan. (Kuntowijoyo: 2003: 28).  Sejarawan akademis yang mempunyai kesempatan terhadap bahan-bahan dokumenter dan sumber lisan dapat diharapkan akan menulis biografi dengan corak lain karena prespektif kesejrahannya akan sanggup menampilkan pelaku-pelaku sejarah ditengah-tengah masyarakat dan zamannya. Dalam hal ini, yaitu dalam penulisan sejarah kontemporer terutama sejak 1945, penulis-penulis sejarah, baik sejarah militer, sejarah dinas, sejarah perang, dan sejrah yang ditulis untuk skripsi, semuanya telah menggunakan sejarah lisan sebagai pelengkap dari bahan dokumenter. Untuk penyusun daftar kegiatan ini saja tentulah memerlukan waktu.
Selain sebagai metode, sejarah lisan dapat dipergunakan sebagai sumber sejarah. Kegiatan sejarah lisan sebagai usaha untuk menyiadakan sumber bagi peniliti sejarah sudah mendapatkan tempat di Amerika sejak 1948 ketika Allan Nevins mendirikan “The Oral History Project” di Columbia Universtiy, New York. Hasil wawancara lembaga ini disediakan dalam bentuk tape atau transkrip. Koleksi Sejarah Lisan Columbia merupkan pusat penelitian penting bagi penerbitan di berbagai bidang, seperti sastra, seni, usaha, sejarah, hubungan internasional, jurnalistik, ilmu politik, dan penelitian kota (Kuntowijoyo, 2003: 28).
Sebagai metode  sejarah lisan tidak kurang pentingnya jika dilakukan dengan cermat. Banyak sekali permasalahan sejarah, bahkan dalam zaman modern ini yang tidak tertangkap dalam dokumen-dokumen. Dokumen hanya menjadi saksi dari kejadian-kejadian penting menurut kepentingan pembuat dokumen dan zamannya, tetapi tidak melestarikan kejadian-kejadian individual dan yang unik yang dialami oleh seseorang atau segolongan. Apalagi minat dan perhatian sejarawan akan berbeda dengan minat dan perhatian pembuat dokumen sehingga sejarawan masih harus mencari sendiri cara untuk mendapatkan keterangan, dengan teknik wawancara yang benar keabsahan keterangan-keterangan lisan pun dapat dipertanggungjawabkan.
Keinginan penyediaan sumber berbeda dengan sejarah lisan sebagai metode dalam hal bahwa yang pertama kegiatan dilakukan secara terpisah dari penulisan, sedangkan dalam hal yang kedua pemakai sejarah lisan ialah pewawancara sendiri. Untuk membantu pengadaan tenaga pewawancara di Universitas Columbia tersebut, sebuah mata kuliah sejarah lisan diberikan di lingkungan ilmu perpustakaan. Rupa-rupanya sekalipun cita-cita mendirikan pusat sejarah lisan ini datang dari seorang sejarawan, jangkauannya tertuju ke bidang yang sangat luas(Kuntowijoyo, 2003: 29). Di Indonesia kegiatan sejarah lisan sebagai penyediaan sumber dimulai oleh Arsip Nasioal RI sejak 1973. Penataran-penataran untuk melath pewawancara sudah seering diadakan. Pengumpulan sumber sejarah lisan mempunyai teknik-teknik dan prasarana tersendiri. Pekerjaan yang terpenting, yang langsung mengenai pengumpulan sejarah lisan ialah wawancara, menyalin dan menyunting. Selanjutnya sebagai sumber, sama halnya dengan bahan arsip atau perpustakaan ialah sebagaimana dapat memberikan pelayanan kepada peminat dan publik. Tidak diragukan lagi sejarawanlah yang paling beruntung dengan tersedianya bahan-bahan itu.
            Guna sejarah lisan dalam kaitannya dengan rekonstruksi sejarah, sejarah lisan dapat berguna sebagai sumber pelengkap diantara sumber-sumber sejarah lainnya. Guna sejarah lisan sebagai sumber pelengkap ini biasanya terjadi manakala sumber tersedia cukup memadai untuk melakukan rekontruksi sejarah (Dienaputra, 2013: 19). Sejarah lisan dapat menjadi sumber sejarah satu-satunya. Guna ini dapat dimainkan sejarah lisan tidak hanya manakala sumber tertulis kurang memadai tetapi juga manakala sumber tertulis tidak tersedia sama sekali. Dengan demikian, seiring dengan kemajuan teknologi, sejarah lisan dapat menjadi sumber sejarah satu-satunya dalam melakukan rekonstruksi sejarah. Saat sejarah lisan tampil sebagai sumber sejarah satu-satuya tentu peluang untuk menjadikan hasil rekontruksi sejarah sebagai milik masyarakat menjadi terbuka jauh lebih lebar. Berbagai peristiwa dapat dungkap secara optimal. Namun demikian pula, keberadaan sejarah lisan sebagai sumber sejarah dalam melakukan rekonstruksi sejarah tentu harus disikapi secara jauh lebih kritis.  Sejarah lissan juga memberikan semacam discovery atau ruang kepada sejarawan untuk mengembangkan penelitian di masa depan. Realitas perkembangan kontemporer telah memperlihatkan semakin berkurangnya tradisi tulis di tengah masyarakat serta budaya tulis di media kertas.

2.1.2 Kegunaan Sejarah Lisan Sebagai Sumber Primer dan Sekunder

Selain sebagai metode dan penyediaan sumber, sejarah lisan mempunyai sumbangan yang besar dalam mengembangkan substansi penulisan sejarah. Pertama, dengan sifatnya yang kontemporer sejarah lisan memberikan kemungkinan yang hampir-hampir tak terbatas untuk menggali sejarah dari pelaku-pelaku sejarah yang tidak disebutkan dalam dokumen. Dengan kata lain, dapat mengubah citra sejarah yang elitis kepada citra sejarah yang egalitarian. Ketiga, sejarah lisan memungkinkan perluasan permasalahan sejarah, karena sejarah tidak lagi dibatasi kepada adanya dokumen tertulis.
Sejarah lisan merupakan salah satu jenis sumber penelitian. Sumber lisan lain di luar sejarah lisan adalah tradisi lisan dan rekaman suara. Di antara ketiga sumber lisan tersebut, tidak pelak lagi sejarah lisan menempati kedudukan paling penting. Berbeda dengan dua jenis sumber lisan lainnya, sejarah lisan dapat dikatakan lebih memiliki nilai sejarah karena di dalamnya memuat langsung peristiwa sejarah, termasuk di dalamnya yang paling penting, dapat mengungkap makna, pandangan, dan perasaan orang-orang yang mengalami peristiwa sejarah (Dienaputra, 2013: 23).

Sejarah lisan dapat dikategorikan sebagai sumber primer dan juga sumber sekunder. Sejarah lisan menjadi sumber primer manakala secara substansial peristiwa yang terkandung dalam sejarah lisan merupakan peristiwa yang dialami, dilihat, dirasakan, atau dipikirkan secara langsung oleh si pemilik sejarah lisan (pengkisah). Dengan kata lain, peristiwa yang menjadi materi sejarah lisan sebagaimana disampaikan pengkisah merupakan peristiwa yang langsung dialami atau disaksikannya dan bukannya peristiwa yang diperoleh pemilik sejarah lisan dari orang atau pihak lain, maka hal tersebut dapat disebut sebagai sumber sejarah lisan.
Sejarah lisan dapat dikatan sebagai sumber sekunder apabila, keterangan yang disampaikan pengkisah bukan merupakan peristiwa yang dialami atau disaksikannya secara langsung. Tetapi ia memperoleh informasi tentang peristiwa tersebut dari tangan orang ketiga. Dengan demikian, kisah yang disampaikan si pengkisah lebih merupakan perpanjangan lidah dari kisah yang dimiliki orang lain atau pihak lain. Keberadaan sejarah lisan, baik sebagai sumber primer dan terlebih sebagai sumber sekunder jelas perlu disikapi secara cermat dan cerdas, terlebih manakala sejarah lisan menjadi sumber sejarah satu-satunya (Dienaputra, 2013: 24).
            Sejarah Indonesia kontemporer, terutama dimasa revolusi 1945-1950, banyak yang masih tersimpan dalam ingatan para pelakunya. Doukumen-dokumen sejarah hanya meliputi bagian kecil dari sejarah perjuangan kemerdekaan yaitu mengenai diplomasi, kepartaian, perubahan kabinet, kemiliteran. Di balik itu seolah-olah segalanya masih gelap, padahal masih begitu banyak yang belum dituliskan. Badan-badan perjuangan, perebutan kekuasaan dari Jepang, pertempuran-pertemputan di daerah-daerah belum diungkapkan. Dalam hal ini tampaknya ada usaha keras dari pelaku sendiri untuk menuliskan kenang-kenangan di masa perjuangan, namun buku-buku sejenis Laporan dari Banaran oleh T.B. Simatupang belum lagi menampakkan peristiwa-peristiwa di luar jangkauan penulis. Dokumen perang revolusi dari pihak Belanda sudah sebagian diterbitkan sebagao Officiele Bescheiden Betreffende de Nederlands Indonesische Betrekkingen 1945-1950, tetapi masih lebih banyak lagi dokumen yang tertimbun di arsip Den Haag (Kuntowijoyo, 2003: 30)
 Dengan sejarah lisan akan banyak sekali keterangan-keterangan baru diungkapkan sekitar para pelaku, peristiwa, kegiatan, badan-badan perjuangan. Salah satu contoh mutakhir, bagaimana sejarah lisan membantu sekali untuk mengungkapkan sejarah revolusi tentang peristiwa Tiga Daerah, suatu revolusi sosial di zaman kemerdekaan. Kejadian-kejadian dalam peristiwa itu tidak terungkap dalam dokumen-dokumen resmi, tetapi masis  tersimpan dalam ingatan perilakunya.
            Sumbangan sejarah lisan dalam penulisan sejarah yang lebih egalitarian tampak dalam kemampuannya untuk menjngkau pelaku-pelaku dengan peranan kecil. Sampai sekarang sejarah yang kita kenal hanyalah sejarah dari tokoh-tokoh dan kelompok yang karena posisinya dapat terjangkau oleh dokumen resmi. Dengan hanya menyuguhkan sejarah tingkat atas tidak akan menjelaskan bagaimana rakyat bergerak di zaman revolusi membantu penyediaan “nuk” atau makanan untuk makan para pejuang. (Kuntowijoyo, 2003: 31).  Tugas-tugas palang merah, dapur merah, mata-mata, cegatan, dan puluhan lainnya yang dapat dibayangkan tidak dapat tertangkap oleh dokumen. Untuk memberikan perlakuan yang sewajarnya kepada para pejuang itu, sejarah lisan dapat berbuat banyak. Sejarah “dari bawah ke atas” ini berlaku pula untuk tokoh-tokoh kecil. Tokoh “jago” ternyata mempunyai andil dalam sejarah revolusi – apa pun juga peranan yang dimainkannya.
Kita tak pernah tahu bagaimana sebuah desa mengalami revolusi, perubahan-perubahan apa yang terjadi. Sejarah samapai sekarang hanya bergerak di tingkat nasional atau semujur-mujurnya di tingkat daerah propinsi. Desa yang sering disebut dengan basis gerilya, petani yang selalu disebut sebagai kawan seperjuangan gerilyawan, ibu-ibu yang mengirimkan anaknya ke medan perang perlu mendapat perhatian. Sejarah hanya akan berbuat adil jika mampu mengungkapkan gambaran total tentang masa lampau – termasuk sejaraj revolusi. Sejarah, seperti sastra, mampu menciptakan sebuah epos revolusi – tidak melalui imajinasi, tetapi melalui fakta.
            Menurut Kuntowijoyo menyatakan bahwa, dalam memperluas ruang lingkup telaah sejarah, sejarah lisan tidak berdiri sendiri. Pendekatan-pendekatan baru dalam sejarah seperti sejarah kejiwaan (psychohistory), biografi kolektif (prosoprography), sejarah keluarga, sejarah desa, sejarah kota – untuk menyebut beberapa saja – tentulah memerlukan sejarah lisan pada waktunya. Dengan bekal kerangka teoritis, sejarawan dapat menggunakan wawancara supaya lebih sempurna. Daftar pertanyaan yang menjadi pegangan sejarawan pewawancara dipersiapkan sesuai dalam kerangka. Tentu harus diingat ketentuan-ketentuan tentang yang benar. Disini wawancara dapat sebagai metode tuggal, dapat pula sebagai metode tambahan.
Dibandingkan dengan sejarah kuantitatif, sejarah lisan dapat dipastikan akan mendapatkan pasaran yang lebih luas. Wawancara sebagai sebuah kecakapan tampaknya tidak banyak memerlukan kenjlimetan berpikir. Teknik ini dipakai hampir-hampir oleh semua cabang ilmu sosial, termasuk jurnalistik.

2.2  Pengertian Tradisi Lisan

Tradisi lisan adalah segala wacana yang disampaikan secara lisan, mengikuti cara atau adat istiadat yang telah dimulai dalam suatu masyarakat. Kandungan dalam wacana tradisi lisan tersebut dapat meliputi berbagai jenis cerita maupun jenis ungkapan seremonial dan ritual. Cerita-cerita yang disampaikan secara lisan itu bervariasi yakni antara lain, genealogis, mitos, legenda, dongeng hingga berbagai cerita kepahlawanan. Menurut Sendyawati dalam Duija, 2005:113 menyatakan bahwa perkembangan tradisi lisan terjadi dari mulut ke mulut sehingga menimbulkan banyak versi cerita. Tradisi lisan mencakup beberapa hal yakni: 1) yang berupa kesusastraan lisan, 2) yang berupa teknologi tradisional, 3) yang berupa pengetahuan/ folk diluar pusat-pusat istana dan kota metropolitan, 4) yang berupa unsur-unsur religi dan kepercayaan diluar batas formal agama-agama besar, 5) yan berupa kesenian folk dan 6) berupa hukum adat.
Tradisi lisan atau oral tradition mencakup segala hal yang berhubungan engan sastra bhasa, sejarah, biografi dan berbagai pengetahuan serta jenis kesenian lain yang disampaikan dari mulut ke mulut. Tradisi lisan tidak hanya mencakup ceritera rakyat, teka-teki, pribahasa maupun nyanyian rakyat, mitologi, dan legenda sebagaimana umumnya diduga oleh kalangan masyarakat, tetapi tradisi lisan juga berkaitan dengan sistem kognitif kebudayaan seerti, sejara, hukum dan pengobatan. Tradisi lisan merupakan segala wacana yang diucapkan atau disampaikan secara turun temurun secara lisan (Pudentia, 1999: 32 dalam Duija, 2005: 114).
Tradisi lisan merupakan salah satu  bentuk pelestarian terhadap nilai-nilai yang dianggap penting untuk diteruskan kepada generasi berikutnya. Tradisi lisan tidak harus memiliki beban‖ semacam itu karena penutur dapat berkilah dengan mengatakan, “kisah ini didapatkan dari leluhur saya dan mohon maaf bila terdapat kesalahan karena patik sekedar menuturkan kembali.” Proses pewarisan yang telah berjalan secara turun-temurun dan adanya interaksi langsung antara penutur dan masyarakatnya merupakan dua hal pokok dalam proses penciptaan tradisi lisan (Irwanto, 2012: 124).
Tradisi lisan dipahami sebagai kesaksian lisan yang dituturkan secara verbal dari satu generasi ke generasi berikutnya. Artinya bukan hanya kesaksian lisan yang benar-benar terjadi pada peristiwa sejarah, akan tetapi bisa jadi hanyalah tentang tradisi-tradisi yang berkembang di tengah masyarakat. Tradisi lisan demikian dalam batas-batas tertentu dapat diidentikan dengan folklor, khususnya folklor lisan (verbal folklor) dan folklor sebagian lisan (partly verbal folklor). Menurut Jan Vansina dlm Kuntowijoyo, 2003:25 tradisi lisan adalah “oral testimony transmitted verbally, from one generation to the next one or more”. Maksudnya sejarah diwariskan secara turun-temurun dari generasi satu ke generasi yang selanjutnya, hal yang diwariskan tersebut biasanya berisi tentang petuah, nilai, norma dan juga adat istiadat.
Tradisi lisan dengan demikian terbatas di dalam kebudayaan lisan dari masyarakat yang belum mengenal tulisan. Sama seperti dokumen dalam masyarakat yang sudah mengenal tulisan, tradisi lisan merupakan sumber sejarah yang merekam masa lampau. Namun kesejarahan tradisi lisan barulah sebagian dari isi tradisi lisan itu. Selain itu mengandung kejadian nilai moral-moral, keagamaan, adat-isitadat, cerita-cerita khayali, peribahasa, nyanyian, mantra.
Tradisi lisan, dengan demikian, menjadi sumber penulisan bagi antropolog dan sejarawan. Dalam ilmu antropologi tradisi lisan sebagai sumber data bagi penelitian sudah dipergunakan sejak awal timbulnya ilmu itu, tetapi dalam ilmu sejarah penggunaan tradisi lisan masih masih merupakan hal yang baru. Usaha untuk menarik minat kepada penulisan sejarah dengan memakai sumber tradisi lisan dalam Seminar Sejarah Nasional III digarap secara khusus dalam Panel Etno-histori, sehingga dalam tulisan ini tidak akan dibahas lagi.
Tradisi Lisan memiliki fungsi yaitu: mewariskan nilai-nilai moral, keagamaan, adat istiadat kepada generasi selanjutnya.
Tradisi lisan memiliki karakteristik, antara lain:
a)      Terbatas di dalam kebudayaan lisan dari masyarakat yg belum mengenal tulisan.
b)      Penutur bukanlah seorang pelaku atau saksi mata dalam suatu peristiwa sejarah.
Tradisi lisan mengandung nilai-nilai moral, keagamaan, adat istiadat, cerita khayal, mantra, nyanyian dan menunjukkan suatu ciri khas tertentu.

2.3 Perbedaan Tradisi Lisan dengan Sejarah Lisan

KOMPONEN
SEJARAH LISAN
TRADISI LISAN
Pengertian
Sejarah lisan adalah satu kaedah yang penting dalam merakam peristiwa lampau yang pernah ditempuhi oleh seseorang
Tradisi lisan adalah pesan atau kesaksian yang disampaikan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pesan atau kesaksian itu disampaikan melalui ucapan, pidato, nyanyian, dan dapat berbentuk pantun, cerita rakyat, nasihat, balada, atau lagu.
Berdasakan kegunaannya
M 1. Metode tunggal, sebab banyak sekali permasalahan sejarah yang tidak tertangkap dalam dokumen-dokumen.
2.     2. Gambaran, dapat melukiskan kandungan emosional dari penutur sejarah.
3.     3.Metodepelengkap dokumenter. 4. Sebagai sumber sejarah.

  1. Sebagai pewarisan dan perekaman terhadap apa yang terjadi pada masa lalu menurut pandangan suatu kelompok masyarakat.
  2. Sebagai salah satu ciri khas dari suatu daerah tertentu (dari perspektif kebudayaan).
  3. Sebagai alat pendidik anak.
  4. Sebagai alat pemaksa atau pengawas agar norma-norma sosial dapat dipatuhi.


KOMPONEN
SEJARAH LISAN
TRADISI LISAN
Ciri-ciri
  1. Tidak diperoleh dengan sendirinya, tetapi dicari dengana sengaja melalui teknik wawancara .
  2. Basanya sejarah lisan banyak digunakan oleh para peneliti terutama peneliti peristiwa sejarah.
  3. Hanya orang tertentu yang menjadi sumber bagi sejarah lisan.
1.       Pesan-pesan disampaikan secara lisan (ucapan, nyanyian maupun musik).
2.        Tradisi lisan berasal dari generasi sebelumnya.












BAB 3. PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Menurut Ahmad (1987) dalam Saad Dan Mohammad, 2012: 64 menyatakan bahwa sejarah lisan merupakan kajian yang dapat menyimpan data masa lampau walupun tempuh masa dan peristiwa telah berlalu. Kajian sejarah lsan dikatakan snagat menarik karena penyelidik akan bertemu dengan pelbagai pengalaman baru, melihat sejarah dari aspek yaang berbeda, serta mengenali lebih banya personality manusia. selain itu juga sejarah lisan merupakan satu kaedah atau teknik penyelidikan modern yang bertujuan untuk memelihara pengetahuan-pengetahuan sejarah melalui pengkisahan.
Tradisi lisan atau oral tradition mencakup segala hal yang berhubungan engan sastra bhasa, sejarah, biografi dan berbagai pengetahuan serta jenis kesenian lain yang disampaikan dari mulut ke mulut. Tradisi lisan tidak hanya mencakup ceritera rakyat, teka-teki, pribahasa maupun nyanyian rakyat, mitologi, dan legenda sebagaimana umumnya diduga oleh kalangan masyarakat, tetapi tradisi lisan juga berkaitan dengan sistem kognitif kebudayaan seperti, sejarah, hukum dan pengobatan.
Perbedaaan antara sejarah lisan dengan tradisi lisan dapat dibedakan berdasarkan pengertian, kegunaan serta ciri-ciri dari sejarah lisan maupun tradisi lisan.


DAFTAR PUSTAKA


Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Penelitian Sejarah. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.
Diena, Putra D. 2013. Sejarah Lisan (Metode dan Praktek). Bandung: Balatin Putra.
Irwanto, Dedi. 2012. Kendala Dan Alternatif Penggunaan Tradisi Lisan Dalam Penulisan           Sejarah Lokal Di Sumatera Selatan. Jurnal Forum Sosial, Vol. V, No. 02.
Duija, I Nengah. 2005. Tradisi Lisan, Naskah dan Sejarah (Sebuah Catatan Politik Dan   Kebudayaan). Vol. 7 No.2 (111-124).
Saad, Mohammad. 2012. Penulisan Ilmu Baru Melalui Sejarah Lisan. Jurnal PPM Vol. 6,            2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar