KEBIJAKAN-KEBIJAKAN KOLONIAL BELANDA
PADA ZAMAN PERGERAKAN NASIONAL
TUGAS
MAKALAH
Oleh
Bagus Adi Prasetyo
NIM 140210302029
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
SEJARAH
UNIVERSITAS JEMBER
2015
Alhamdulillah saya sampaikan kepada Tuhan YME, karena berkat rahmat-Nya
tugas yang berjudul “Kebijakan-Kebijakan
Kolonial Belanda Pada Zaman Pergerakan Nasional” selesai dengan tepat waktu.
Tujuan saya dalam membuat makalah ini, untuk menyelesaikan salah satu
tugas dari mata kuliah Sejarah Nasional Indonesia III pada semester tiga program studi Pendidikan
Sejarh di Universitas Jember. Dan semoga makalah ini bisa menambah wawasan
kepada para pembaca khusunya bagi mahasiswa-mahasiswi Universitas Jember.
Jember,
22 Agustus 2015
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Judul
Kata Pengantar
…………………………………………………… i
Daftar Isi ……………………………………………....…………. ii
BAB 1. PENDAHULUAN
……………………………………… 1
1.1 Latar Belakang
……………………………………………….. 1
1.2 Rumusan Masalah
…………………………………………….. 2
1.3 Tujuan
…………………………………………………………. 2
BAB 2. PEMBAHASAN
………………………………………… 3
2.1 Latar Belakang Pelaksanaan Kebijakan Politik
Kolonial Belanda …………...................................................... 3
2.2 Pelaksanaan
Politik Kolonial Belanda di Indonesia …..……… 5
2.2.1 Politik Kolonial Belanda di Indonesia
........……..……. 5
2.2.2 Gagasan-Gagasan
Baru Tentang Fungsi
Jajahan Kolonal
Belanda….............................................. 10
2.3 Dampak Pelaksanaan Politik
Kolonial di Indonesia ..……........ 33
BAB 3. SIMPULAN
........................................................................ 35
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………... 36
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Nasionalisme Indonesia mencapai titik puncaknya setelah Perang Dunia II.
Indonesia dan negara-negara lain di Asia mengalami penjajahan dan secara
serempak membangkitkan nasionalismenya sehingga tercipta negara yang merdeka. Pemerintah
kolonial menjalankan “indirect rule” yaitu pemerintahan yang tidak langsung. Masyarakat
pribumi dijadikan objek pengurasan atau
pemerasan bahan dasar bagi industrinya dan sebaliknya dijadikan pasar bagi
barang-barangnya.
Masa inilah yang digunakan dan dimobilisasikan sebagai kekuatan
nasionalisme. Dalam hal ini nasionalisme ingin mengembalikan “the human dignity” yaitu harga diri
manusia yang hilang karena kolonialisme dan imperialisme. Semangat kebangsaan
yang merupakan “psychological state of
mind” harus selalu dibangkitkan dan dihidupkan, karena itulah nasionalisme
yang harus dipupuk setiap saat.
Interdepedensi antara kolonialisme dengan politiknya dan nasionalisme
yang sedang tumbuh tidak dapat dihindari karena nasionalisme merupakan collective conscience untuk menghadapi
kondisi sosio-politik yang buruk, yaitu dengan jalan mengadakan reaksi sesuai
dengan posisi kelompok itu. Situasi kolonial menjadi tantangan bagi rakyat
tanah jajahan untuk secara kolektif mempersatukan diri untuk mengubah situasi
sosio-politik ke arah kebebasan secara global
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, saya dapat menemukan beberapa rumusan
masalah sebagai berikut:
- Apa Latar Belakang Pelaksanaan
Kebijakan Politik Kolonial Belanda ?
- Bagaimana
sistim Pelaksanaan Politik Kolonial Belanda di Indonesia ?
- Bagaimanakah
Dampak dari Kebijakan Politik Kolonial Belanda bagi Bangsa Indonesia ?
1.2 Tujuan
- Untuk
mengetahui
bagaimana latar belakang diberlakukannya sistim Politik Kolonial Belanda
di Indonesia.
- untuk mengetahui mengatahui proses
pelaksanaan Politik Kolonial Belanda di Indonesia.
- untuk
memahami dampak-dampak yang terjadi akibat di laksanakannya Politik
Kolonial Belanda di Indonesia.
BAB 2. PEMBAHASAN
2.1
Latar Belakang Pelaksanaan Kebijakan Politik Kolonial Belanda
Politik Imperialisme yang dijalankan oleh Belanda pada tahun 1850 sampai
1900, mengandung berbagai macam pengertian. Dalam tulisan ini “imperalisme”
berarti perluasan kontrol politik ke daerah seberang dan bersinonim dengan
ekspansi kolonial. Abad ke-19 merupakan suatu periode baru bagi imperialisme
Belanda yang ditandai oleh politik kolonial. Semula kepentingan-kepentingan
Belanda terbatas pada perdagangan, maka dalam periode ini Belanda mulai
mengutamakan kepentingan politik. Keinginan memonopoli mendorong VOC untuk
mengkonsentrasikan perdagangan rempah-rempah bergeser menjadi mengembangkan
perkebunan-perkebunan besar. Sistem
eksploitasi dan monopoli masih bertahan sewaktu pemerintah Belanda mengambil
alih administrasi VOC.
Eksponen-eksponen interpretasi ekonomis menyatakan bahwa, imperialisme
itu adalah akibat mutlak dari bentuk produksi kapitalis. Dalam hubungan ini ada
dua soal yang perlu diterangkan. Pertama, dalam periode sebelum tahun 1850
ekspansi Belanda dapat disamakan dengan kolonialisme dalam arti marxistis,
karena ada akumulasi modal dan kelebihan produksi di Negeri Belanda. Kedua, politik
kolonial Belanda sesudah tahun 1850 harus diterangkan tidak hanya dari segi
motif ekonomi saja, tetapi sebabnya juga dipelajari dari segi perluasan
militer, perluasan pegawai, perluasan politik, dan agama.
Dalam mencari faktor-faktor yang menentukan imperalisme Belanda, perlu
pula memperhatikan faktor komplementernya. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa
liberalisme, humaniterisme, kristianisme, ikut serta dalam membentuk politik
kolonial Belanda. Pendekatan multidimensional sangat diperlukan dalam studi
tentang imperialisme Belanda.
Sifat-sifat pokok dari politik kolonial Belanda dapat dicari dengan
menggunakan ukuran analitis dengan jalan membandingkan sistem imperalisme yang
digunakan oleh negara-negara Eropa lainnya. Belanda membutuhkan hasil-hasil
daerah tropis dan mendapatkannya secara pemungutan upeti, sebaliknya orang-orang
Inggris menjual kain-kain tenun sebagai hasil dari Revolusi Industri. Di Asia
dapat diperjual belikannya dengan harga yang lebih murah daripada kain tenun
buatan penduduk pribumi.
Bagi Inggris perdagangan lebih menguntungkan dari pemungutan upeti, dan
tanah-tanah jajahannya di anggap sebagai pasar yang menguntungkan. Setelah
didominasi Perancis, Belanda tidak mempunyai industri dan modal. Tanah
jajahannya dianggap sebagai penghasil barang-barang ekspor yang dibutuhkan
untuk perdagangannya. Pada akhir abad ke-19 politik ini diganti dengan Politik
Kesejahteraan, karena kepentingan perdagangan ingin menciptakan suatu pasar
tanah jajahan dengan daya beli yang cukup besar.
Dari keterangan tersebut jelas bahwa kepentingan Indonesia sebagai tanah
jajahan tergantung pada negeri induk. Memorandum tahun 1851 menegaskan politik
Belanda bahwa “daerah-daerah taklukan harus memberi keuntungan material bagi
Belanda, keuntungan yang memang menjadi tujuan penaklukannya”. Orang
beranggapan bahwa surplus yang besar bagi perbendaharaan negeri induk adalah
sesuai dengan kepentingan yang pokok dan permanen dari tanah-tanah jajahan. Ideologi
politik di Eropa pada abad ke-19 sangat berpengaruh pada imperialisme dan
politik kolonial.
Liberalisme mulai berkembang di Negari Belanda pada periode sesudah
Napoleon. Dalam masa 40 tahun berikutnya lahirlah politik kolonial yang lazim
disebut Politik Kolonial Liberal. Sosialisme tumbuh sebagai kekuatan baru dalam
politik kolonial Belanda dan segera tampil sebagai pendekar antikolonialisme. Ketidaktahuan
rakyat tentang tanah-tanah jajahan bukanlah hal yang sangat aneh dan orang
tidak boleh berharap bahwa mereka akan menaruh perhatian kepada negeri-negeri
asing yang ada diluar pengetahuannya. Kita khusus hanya akan memperhatikan
golongan idealis dan golongan rakyat yang mempunyai kepentingan di tanah-tanah
jajahan yang mempunyai pengaruh politik, karena ikut menentukan sebagian besar
bentuk politik kolonial.
Oleh karena periode ini dapat dibedakan dan masing-masing ditandai oleh
politik yang berbeda, maka akan membuat batasan-batasan menurut titik-titik
perubahan yang pokok, yaitu tahun 1830, 1848, 1870, 1901. Sewaktu politik
kolonial liberal setapak demi setapak menggantikan sistem perdagangan lama yang
disertai monopoli dan eksploitasi tenaga kerja dan tanah pribumi. Pada bagian
kedua abad ke-19 sedikit demi sedikit terjadi pergeseran dari periode yang tak
berketentuan ke suatu periode pembaharuan kepentingan pollitik kolonial.
Perubahan ini terwujud dalam tumbuhnya perkebunan-perkebunan, tumbuhnya
jaringan-jaringan kereta api, berdirinya bank, ekspedisi-ekspedisi militer, dan
penyebaran agamaKristen secara intensif.
Pada imperialisme Belanda terdapat beberapa unsur atau faktor yang
penting, tetapi faktor manakah yang menjadi faktor penentu belum dapat
dipecahkan dengan pasti. Akan lebih tepat bila membahas kecenderungan dan
pola-pola kolonialisme atau imperialisme Belanda daripasa membahas sebab-sebab
dan dorongan atau motifnya. Istilah kecenderungan atau pola mencakup
kompleksitas faktor-faktor yang menentukan fenomena historis yang disebut
imperialisme. Tekanan akan diletakkan pada korelasi antara tingkat perkembangan
ekonomi di Negeri Belanda dan perubahan di dalam politik kolonial yang akan
timbul kemudian.
2.2 Pelaksanaan Politik Kolonial Belanda di
Indonesia
2.2.1 Politik
Kolonial Belanda di Indonesia
Memasuki abad ke-19 di Indonesia terjadi perubahan politik. Perusahaan
Dagang Hindia Timur yang disebut VOC dibubarkan pada tanggal 31 Desember 1799. Setelah
runtuhnya VOC, Pemerintah Kerajaan Belanda mengambil alih seluruh kekuasaannya,
dengan melanjutkan Politik Tradisional Kumpeni yang bertujuan memperoleh penghasilan
sebagai upeti dan laba perdagangan, semuanya demi keuntungan kerajaan. Seperti
politik dan administrasi Kumpeni dijalankanlah suatu sistem pemerintahan tidak
langsung, pembesar pribumi tetap ditugaskan untuk mengawasi perkara-perkara
pribumi dan agen-agen Belanda ditugaskan untuk mengawasi tanam wajib yang
hasilnya untuk pasaran Eropa.
Marsekal Lodewijk (Louis) atau Napoleon dikirim ke Batavia untuk menjadi
Gurbernur. Dan Marsekal Wilhem Deandels segera melakukan tugasnya untuk
menyusun kembali sistem pemerintahan dan membangun pertahanan. Tindakan-tindakan
utamanya adalah membangun suatu birokrasi dan tentara yang profesional,
mengubah sistem politik tradisional dan melakukan pengerahan tenaga misili
(wajib militer). Namun, masa pemerintahan Deandles tidak berlangsung lama
terutama karena timbul berbagai penolakan atas kebijakan yang dilancarkannya.
Ia digantikan oleh Gurbernur Jendral Jansen yang harus menyerahkan Kepulauan
Indonesia kepada Inggris.
Sitem liberal memperoleh kesempatan untuk pertama kalinya pada zama
Raffles, selama Interregnum Inggris. Pemerintahan
Letnan Gurbernur Jendral Thomas Stafford Rafflles (1811-1816) mengadakan suatu
sistem administrasi yang sejajar dengan doktrin-doktrin liberal. Hal yang khas
dari zaman pemerintahannya adalah hal pajak tanah. Ia menerapkan beberapa
kebijakan baru dengan mengubah hubungan politik dan ekonomi dalam sistem politik
tradisional dengan menghapus penyerahan wajib hasil penanaman dan kerja wajib
untuk para bupati. Raffles juga menyatakan semua tanah adalah milik Raja
Inggris.
Politik Raffles juga mempertunjukkan aspek ideal, yaitu usaha
mempraktekan beberapa prinsip humaniter. Rakyat harus dibebaskan dari pemerasan
para penguasanya dan harus pula dijamin keamanan, keadilan, dan pendidikannya.
Perubahan politik kolonialmyang dibuat Raffles itu, akhirnya kandas atau
dihapus oleh Belanda sebelum waktu berlakunya habis. Sebagian besar kegagalan
ini disebabkan adanya perbedaan yang besar antara idealisme liberal dan kondisi
sosio-kultural dari masyarakat tradisional Jawa.
Di sejumlah tempat kebijakan Raffles memperoleh perlawanan. Raffles
selanjutnya hanya menjadi penjabat kolonial dengan wilayah yang lebih sempit di
daerah Bengkulu. Pada tahun 1824 berdasarkan Perjanjian London, ia menyerahkan
Bengkulu sebagai ganti Pulau Tumasik dan Malaka. Di tempat ini Raffles juga berhasil
membangun sebuah kota pelabuhan perdagangan transito yang dikenal dengan nama
Singapura yang berdiri sejak tahun 1819.
Setelah menerima kemmbali Kepulauan Indonesia dari Inggris, pemerintah
Kolonial Belanda menyuruh sejumlah komisaris jendral yang bertugas untuk
memusatkank perhatian pada penataan dan pemulihan kembali kolonialisasi di
Pulau Jawa. Sejumlah utusan dikirim untuk membuat kembali perjanjian yang
diperbaruhi pengakuan terhadap kekuasaan kolonial Belanda. Seorang Pangeran
Kraton Yogyakarta melakukan perlawanan yang banyak menguras keuangan pemerintah
Belanda. Akibat pembiayaan meredam Perlawanan Diponegoro (1825-1830) dan Perang
Belgia (1831) keadaan keuangan jajahan menjadi kosong. Dan Belanda terdorong
kembali untuk malakukan politik Kumpeni.
Pada tahun 1788 Inggris menemukan dan mulai mengeksploitasi suatu benua
baru disebelah selatan yang disebut Australia. Kapal-kapal Inggris banyak
mengambil keuntungan dari pelayaran ke Australia. Sebagai akibat sistem yang
menjunjung tinggi kebebasan ekonomi dan perusahaan barat yang kapitalisme, dan yang
dapat memberi keuntungan disingkirkan karena memberi kesempatan kepada Inggris
untuk memonopoli perdagangan di Indonesia, sedang Belandalah yang harus memikul
biaya pemerintahan. Sistem pajak tanah mengakibatkan kekacauan-kekacauan sosial
di dalam masyarakat Indonesia.
Di kalangan elite politik di negeri Belanda timbul perdebatan mengenai cara
mengisi keuangan yang kosong. Sejumlah kalangan berpendapat bahwa perdagangan
laut dapat dikembangkan lagi untuk menghasilkan keuntungan seperti di masa
sebelumnya. Raja Belanda adalah Johanes Van Den Bosch segera berangkat ke Pulau
Jawa untuk mewujudkan pemikiran tentang pola atau sitem penanaman (Cultuurstelsel 1830-1870). Hakikat
Cultuurstelsel adalah bahwa penduduk sebagai ganti membayar pajak tanah
sekaligus harus menyediakan sejumlah hasil bumi yang nilainya sama dengan pajak
itu. Pemikiran itu terkenal dengan istilah Sistem Tanam Paksa, yang merupakan
perpaduan antara Sistem Priangan (Preangerstelsel) masa VOC dan pengerahan
tenaga kerja.
Dengan dijalankannya Cultuurstelsel, maka sistem akan lebih disesuaikan
dengan adat kebiasaan pribumi yang telah ada. Berati kaum bangsawan feodal
harus dikembalikan pada posisinya yang lama, untuk menggerakkan rakyat,
memperbesar produksi, dan menjalankan pekerjaan-pekerjaan yang diminta oleh
pemerintah. Disinilah menjumpai suatu sistem pemerintahan tidak langsung.
Politik ini dapat disamakan dengan prinsip non-akulturasi yang dijalankan
sampai berakhirnya rezim Belanda.
Kehidupan Perdesaan di Pulau Jawa mengalami perubahan. Sejumlah kebijakan
baru di perkenalkan dan di terapkan. Para bupati dan jajaran bawahannya menjadi
penentu pelaksanaan sistem ini dengan menjamin kelancaran pengerahan tenaga
kerja dan hasil penanaman. Sistem ini di jalankan dengan penerapan pemberian
insentif dan pengenaan sangsi atau hukuman. Di bidang politik dan pemerintahan,
daerah di Pulau Jawa direorganisasi dalam suatu struktur birokrasi.
Jajaran pemerintahan kolonial adalan Gurbernur Jendral yang dibantu oleh
Dewan Hindia (Raad Van Indie) sebagai
penasehat beserta departemen-departemennya. Penerapan sistem Tanam Paksa
berhasil memulihkan keungan pemerintahan dan menghidupkan kembali perekonomian
Negeri Belanda. Pelayaran dan perdagangan Belanda kembali mengambil peran dalam
lalu lintas pemasok komoditi untuk pasar internasional di Eropa yang dijalankan
oleh sebuah perusahaan dagang Nederlandsche
Handelsmaatschappij (NHM). NHM juga berfungsi sebagai badan perbankan yang
melayani kebutuhan keuangan pemerintahan dan menyidiakan modal untuk perusahaan
perkebunan.
Setelah pertengahan abad ke-19, penerapan Sistem Tanam Paksa mulai
memperlihatkan penyimpangan-penyimpangan. Dalam upaya mengejar keuntungan dari
persentase penanaman, para pelaksana penanaman sering melakukan pemaksaan. Apalagi,
pemikiran humanisme mulai melanda kehidupan masyarakat dan budaya Eropa.
Gagasan humantarian yang membela harkat manusia secara universal membingkai
kritik terhadap Sistem Tanam Paksa.
Penolakan itu tampak menguat di kalangan para penulis, pegawai, menteri, pengusaha,
dan sebagian besar kolonialis kawakan yang menghendaki liberalisasi
perekonomian negeri jajahan. Pada tahun 1870 terbentuk peraturan tentang
pertanahan secara bertahap mulai dihapuskan. Pada tahun itu pula suatu
peraturan pertanahan dicanangkan, yakni peraturan Agraria tahun1870, yang
mengatur kepemilikan tanah negara (Domein
Verklaring) seraya memberikan peluang untuk masuknya modal swasta.
Disejumlah tempat penerapan Domein Verklaring itu mendapatkan protes dan
perlawanan.
Setelah Sistem Tanam Paksa dihapuskan, perekonomian negeri jajahan mulai
mengenal modal-modal swasta baik di negeri Belanda maupun di negeri lainnya,
seperti Inggris, Amerika, dan China. Penemuan listrik dan penerangan mengubah
pola kehidupan dan perekonomian masyarakat. Mesin uap mulai ketinggalan zaman
sebagai sumber tenaga penggerak atau tenaga mesin. Teknologi menjadi unsur yang
tidak dapat dikesampingkan dalam dunia usaha da perekonomian kapitalistik.
Kemajuan tersebut menjadi penunjang daya tarik penanaman modal asing.
Pada akhir adab ke-19 negara kolonial Belanda hampir berhasil menaklukkan
seluruh kerajaan dan masyarakat politik di Kepulauan Indonesia. Sementara di
pulau barat politik Hindia Belanda masih dalam bentuk eksplorasi dan
penjelajahan awal kolonialisme. Selain itu jaringan perdagangan internasional
tetap berkembang ditengah-tengah perkembangan imperialisme modern yang
memunculkan bangsa-bangsa penjajah baru, seperti Amerika Serikat, Jerman, dan
kemudian Jepang.
Perkembangan internasional makin memperlihatkan peran dan pengaruh yang
mendalam dalam dinamika kehidupan suatu bangsa. Perekonomian dunia mulai
mengenal suatu bentuk monopoli dan suatu persaingan baru yang lebih rumit
melalui sistem kapitalisme yang mencari daerah eksploitasi dan pasar bebas untuk
dikuasai melalui Hegemoni. Ditengah-tengah itu falsafah politik yang menganut azas liberalisme, laissez, faire, laissezpasse, mulai mendapat tantangan terutama
menyangkut peran pemerintah atau negara. Perkembangan dunia diparuh pertama
abad ke-20 makin memperjelas bagaimana negara atau pemerintah perlu meninjau
perannya terutama dalam bidang perekonomian.
2.2.2
Gagasan-Gagasan Baru Tentang Fungsi Jajahan Kolonial Belanda
Politik
kolonial bertujuan untuk menguasai daerah-daerah produksi bahan- bahan mentah
bagi kepentingan modal, baik dari Nederland maupun negara-negara besar lainnya
yang tidak mungkin lagi ditolak oleh Indonesia. Kekuasaan modal perdagangan dan
perusahaan ingin mempertahankan kedudukannya yang pertama untuk tetap bisa
membuka pasarnya, sedang yang kedua untuk tetap memperoleh hasil perusahaannya ialah
bahan-bahan mentah.
Menjelang
pergantian abad semakin bertambah besar kesadaran akan pentingnya arti Indonesia
bagi Negeri Belanda, disebabkan oleh perebutan
daerah kekuasaan negara besar imperialistis yang secara berlomba-lomba mencari
daerah jajahan dari Afrika dan Asia.
- Politik Etis
Politik kolonial pertama diucapkan
secara resmi oleh van Dedem sebagai anggota parlemen. Pada tahun 1891, diutarakannya keharusan
untuk memisahkan keuangan Indonesia dari Negeri
Belanda. Diperjuangkan (juga kemajuan rakyat antara lain, dengan membuat
bangunan umum) desentralisasi, kesejahteraan rakyat, dan ekspansi yang pada
umumnya menuju kesuatuan
politik yang konstruktif. Kesejahteraan
rakyat, serta efisiensi, kemudian terkenal dengan politik etis. Dari kalangan
kaum liberal muncul van Deventer sebagai pendukung ide politik kolonial baru.
Program
kolonial dari kaum liberal
terutama “memajukan perkembangan bebas perusahaan swasta” tidak disetujuinya
karena ia lebih mengutamakan kesejahteraan materiil dan moril kaum pribumi,
desentralisasi pemerintah serta penggunaan tenaga pribumi dalam administrasi.
Van Deventer mempunyai pengaruh besar karena karangannya hutang kehormatan pada
tahun 1899. Ia mengecam politik
kolonial Belanda yang
tidak mau memisahkan keuangan negeri induk
dari negeri jajahan. Pemisahan itu dapat dilakukan sejak tahun 1867, dan
dinyatakan bahwa selama periode antara tahun 1867 sampai dengan tahun 1878 yang dinamakan politik Batig Slot.
Perubahan
politik kolonial juga dipercepat
oleh perkembangan ekonomi sekitar tahun 1900. Perkebunan gula dan kopi
mengalami kerugian yang besar karena terserang hama, panen yang gagal, penyakit
ternak, dan bencana alam mendesak agar segera ada pertolongan. Usaha-usaha yang dilakukan
untuk menanggulangi keadaan
ekonomi yaitu:
1.
Pembentukan Panitia
Kemunduran Kesejahteraan untuk menyelidiki sebab-sebab kemunduran itu. Hasilnya
akan dipergunakan sebagai landasan politik praktis.
2.
Untuk memajukan
perusahaan pribumi perlu dihidupkan kembali baik usaha-usaha agraris maupun
yang industrial.
3.
Diadakan
peraturan-peraturan atau usaha-usaha untuk mencegah kemunduran lebih lanjut,
antara lain dengan mengadakan pinjaman tidak berbunga sebesar 30 juta gulden
yang dikembalikan dalam waktu 5-6 tahun; pemberian sebagai hadiah sebesar 40
juta gulden.
4.
Beberapa penyelidikan
keadaan ekonomis seperti yang tercantum dalam karya van Deventer, J.D Keilstra,
dan Fock, semua member gambaran bahwa rakyat di pedesaan sangat miskin; hidup
tertekan dari hari ke hari; hasil minimum dari tanah yang telah terpecah-pecah;
dan upah kerjanya sangat rendah.
Dalam
politik “kewajiban moril” yang telah didukung oleh semua golongan dinyatakan
bahwa Negeri Belanda harus
memperhatikan kepentingan pribumi dan membantu Indonesia dalam masa kesulitan
politik etis mulai dilaksanakan dengan pemberian bantuan sebesar f.40 juta
gulden.
Politik
etis merubah pandangan dalam politik kolonial
yang beranggapan Indonesia tidak lagi sebagai
wingewest (daerah
yang menguntungkan) menjadi daerah yang perlu dikembangkan sehingga dapat
dipenuhi keperluannya dan ditingkatkan budaya rakyat pribumi. Kapitalisme kolonialis
pada awal abad ke-20 mengalami perkembangan sangat pesat; aliran emas bagi
Indonesia semakin besar. Begitu juga hasil-hasil dari perkebunan teh, karet,
tembakau, lada, beras, kapuk, dan timah. Politik “pintu terbuka”
membawa akibat denasionalisasi hubungan perdagangan dan lebih bergerak ke arah
internasionalisasi.
Untuk
menjaga kepentingan modal, ditempuh oleh Belanda suatu politik yang mengambil
sikap berdamai dengan
gerakan emansipasi yang hendak mewujudkan aspirasi nasional, suatu politik yang
terkenal dengan nama “politik asosiasi” dan diharapkan oleh kaum etisi dapat
memperkuat sistem
kolonial.
Selama
periode antara tahun 1900-1914 ditunjukkan pengertian terhadap cita-cita rakyat
Indonesia yang mulai
bergerak ke arah emansipasi dan kemerdekaan. Dicarinya bentuk pemerintahan kolonial yang merupakan
suatu sistem di mana Barat dan
Timur dapat hidup berdampingan dan mempersatukan kedua
unsur dalam suatu kesatuan politik. Selama periode tahun 1900-1925 banyak kemajuan
serta perubahan dan bangunan-bangunan besar telah dijalankan, di antaranya, ialah:
1.
Desentralisasi
2.
Perubahan-Perubahan Pemerintah
3.
Perbaikan Kesehatan Rakyat dan Emigrasi
4.
Perbaikan Pertanian dan Peternakan
5.
Pembangunan Irigasi dan Lalu lintas
Sejak
tahun 1883-1898 telah dibuat bangunan-bangunan produktif, seperti jalan kereta
api sebesar f.231 juta, pelabuhan
f.61 juta, dan pengairan f.49 juta. Sebagian besar dari pembiayaan dapat ditutup dengan
pajak-pajak terutama dari perusahaan dan perkebunan dan dengan
pinjaman-pinjaman baru. Usaha-usaha
lain untuk meningkatkan kehidupan rakyat juga dilakukan pendirian bank
simpanan, regi candu, rumah gadai negeri, pengawasan, pengerahan tenaga kerja
ke daerah seberang, pembelian kembali tanah-tanah partikelir (swasta), dan
emigrasi (transmigrasi).
Sisa-sisa
Sistem Tanam Paksa, tanaman kopilah yang masih dipertahankan di beberapa daerah seperti
di Minahasa. Dalam penanaman tebu banyak terjadi tekanan-tekanan dari kepala
daerah untuk penyewaan-penyewaan tanah dan pengerahan tenaga kerja, sedangkan
dalam pembagian air kebun-kebun tebu di dahulukan. Keadaan yang
sangat menyedihkan, yaitu kekejaman yang dilakukan terhadap “kuli” yang
dikerahkan untuk bekerja di perkebunan di Deli, seperti dilukiskan dalam buku De
millioenen uit Deli. Sebagai usaha untuk melindungi rakyat, herendiensten
mulai dikurangi dan pembelian kembali tanah-tanah partikelir. Sejak tahun 1836
para tuan tanah diberi kekuasaan feudal terhadap penghuni tanahnya, hak yang
makin lama menimbulkan keadaan yang makin buruk. Baru mulai tahun 1909 tersedia
uang untuk melaksanakan pembelian itu.
- Emigrasi
Penduduk di Jawa dan Madura pada tahun 1865 berjumlah 14
juta dan pada tahun 1900 telah berlipat dua. Daerah yang subur tanahnya menjadi
padat penduduknya. Di daerah itu umumnya sudah tidak ada lagi tanah kosong,
bahkan tanah persawahan juga digunakan untuk penanaman tanaman ekspor, seperti
tebu dan tembakau. Dalam abad ke-19 terjadi migrasi dari Jawa Tengah ke Jawa
Timur. Perusahaan gula ini memberi pencahairan baru di mana perkembangan
penduduknya akan lebih cepat daripada perluasan tanah pertanian. Dari tahun
1885 sampai tahun 1900 penduduk bertambah 30%, sawah pengairan hanya bertambah
5,7% dan tanah pertanian 16%. Emigrasi ke daerah luar Jawa disebabkan
permintaan besar akan tenaga kerja di daerah perkebunan Sumatra Utara,
khususnya di Deli, sedang emigrasi ke Lampung mempunyai tujuan untuk menetap.
- Edukasi
Pengajaran diberikan di sekolah kelas I kepada anak-anak
pegawai negeri dan orang yang berkedudukan atau bertahta, di sekolah kelas II
kepada anak-anak pribumi pada umumnya. Sekolah jenis pertama menurut Stb. 1893
no. 128, dirikan di ibu kota keresidenan, afdeling,
dan onderafdeling atau kota pusat
perdagangan dan kerajinan. Pada tahun 1903 terdapat 14 sekolah kelas I di ibu
kota keresidenan dan 29 kota di ibukota afdeling.
Mata pelajaran yang diberikan ialah membaca, menulis,
berhitung, ilmu bumi, ilmu alam, sejarah dan menggambar.
Pada
tahun 1903 di Jawa dan Madura
terdapat 245 sekolah kelas II negeri, 326 sekolah partikelir, diantaranya 63
dari zending. Jumlah murid pada tahun 1892 ada 50.000, diantaranya 35.000
sekolah negeri dan 15000 di sekolah swasta. Pada tahun 1902 ada 1.623 orang
anak pribumi yang belajar pada sekolah Eropa. Perbandingan di Jawa dan Madura
antara jumlah anak yang bersekolah dengan jumlah penduduk adalah 1:523 dan biaya yang
dikeluarkan untuk setiap anak hanya f.0.035.
Untuk mendidik anak pamong praja ada 3 sekolah OSVIA, masing-masing ada 3
sekolah guru, yaitu di Bandung, Yogyakarta, dan Probolinggo, satu sekolah
dokter pribumi di Jakarta yang mengeluarkan 18 dokter setiap tahun,
sepertiganya diperuntukkan bagi luar Jawa. Untuk Jawa dan Madura ada 1 dokter
untuk 100.000 penduduk. Pada tahun 1902 dibuka sekolah pertanian di Bogor.
- Politik Kemakmuran
Dengan perkembangan pesat perusahaan perkebunan timbullah keperluan atau
tuntutan untuk menciptakan prasarana baik jasa maupun lembaga yang sesuai
dengan tingkat perkembangan ekonomi ini. Perekonomian yang dualistis pada satu
pihak memberi kesempatan bagi industri perkebunan untuk bereksploitasi dengan
tanah dan tenaga yang murah karena belum dikenal di kalangan rakyat kontrak
dalam arti yang sebenarnya, di pihak lain taraf kehidupan rakyat masih rendah
keterampilannya, pendidikannya, organisasinya, sehingga tidak dapat maju dalam
menghadapi kesatuan ekonomi yang kuat, malahan merosot kedudukannya dari
petani-petani menjadi pekerja di pabrik.
Di
Jawa tidak mudah untuk timbul
kelas menengah yang kuat yang dapat menyaingi bangsa Arab, Cina, dan Eropa. Di
luar Jawa kondisi pertumbuhan golongan itu lebih baik karena jumlah penduduk
tidak banyak dan mudah mengambil bagian dalam perkembangan ekonomi. Penetrasi
ekonomi-keuangan belum berhasil menghilangkan sikap tradisional sehingga
perubahan-perubahan negara yang dituntut oleh perkembangan industri dan modernisasi. Untuk
itu perlu diadakan gerakan koperasi
yang dimulai dari rakyat sendiri dengan bantuan pemerintah. Beberapa permasalahan
yang memerlukan pemecahan ialah : masalah penduduk, irigasi, keribaan, sistem kredit, masalah
kesehatan rakyat, masalah
candu, pemadatan, dan perburuhan.
- Sistem Kredit
Permintaan akan kredit sangat besar di kalangan rakyat
yang kebanyakan hidup dengan hutang. Kredit di berikan oleh China, Arab, dan
orang pribumi umumnya memberi bunga dengan riba yang mencapai 15% sebulan. Pada
tahun 1904 didirikan bank kredit rakyat yang memberi petunjuk kepada rakyat
mengenai penggunaan kredit. Lumbung desa didirikan dengan sumbangan rakyat
sendiri. Petani dapat meminjam padi dan dikembalikan waktu habis panen dengan
ditambah bunganya. Dengan
demikian dapat dicegah kemerosotan harga beras sehabis panen.
Pada
tahun 1917 jumlah bank padi ada 11.000, akan tetapi dengan perbaikan
pengangkutan serta kemajuan ekonomi, keuangan, modal rata-rata setiap bank pada
tahun 1917
ialah 243 pikul, jumlah peminjaman rata-rata 125-182. Di samping bank padi juga
didirikan bank desa yang
memberikan pinjaman kecil untuk petani setempat. Bunga mula-mula 10% kemudian
diturunkan menjadi 6% dan 8%. Pada
tingkat kabupaten didirikan bank kredit rakyat yang memberi kredit untuk memajukan
industri dengan bunga 18% setahun pada 1929, kemudian
diturunkan menjadi 15%-12% pada
tahun 1929.
Pinjaman
diberikan selama 10-20 bulan tahun itu ada 89 bank meliputi 960.000 peminjaman
dan penabungan. Usaha
melaksanakan koperasi pada umumnya mengalami kegagalan karena berbagai faktor yang menghalangi,
antara lain masyarakat desa belum sepenuhnya mencakup dalam ekonomi keuangan, tidak ada kelas menengah
pribumi yang menjadi penggeraknya, masih kuat rasa komunal di desa sehingga tidak ada
dorongan mencari kemajuan. Banyak
koperasi yang menjadi bagian dari Pergerakan
Nasioanal berdiri karena hasrat kaum pribumi untuk menghindari dan menandingi
dominasi China.
Pada
tahun 1880 Ordonansi Kuli dijalankan
untuk mengerahkan tenaga buruh ke
daerah-daerah di mana penduduk sangat jarang, maka pengusaha dizinkan membuat
kontrak dengan kaum buruh dengan
sanksi hukuman. Ordonansi Sumatra Timur hendak
melindungi buruh yang
didatangkan dari Jawa dan China.
Seluruhnya meliputi jumlah kira-kira 450.000 orang. Inspeksi perburuhan
mengawasi pelaksanaan kontrak-kontrak tersebut. Dengan adanya kontrak buruh berdasarkan
sanksi hukuman, pengusaha di Sumatra Utara mendapat tenaga cukup murah,
meskipun jauh lebih mahal daripada buruh di Jawa. Jumlah tenaga buruh yang
dikerahkan terbatas untuk menjaga agar tidak timbul situasi di mana tanah untuk
perkebunan berkurang oleh keperluan tanah pertanian bagi pendatang bagi Jawa.
Karena
aksi ILO yang mempersoalkan jenis buruh itu dan Undang-Undang Tarif di Amerika
Serikat dari tahun 1930 yang menolak hasil perkebunan yang menggunakan tenaga kontrak
itu, perkebunan tembakau melepaskan hak-haknya atas dasar sanksi hukuman itu
dengan menggunakan buruh bebas. Pada tahun 1931 dan 1936 berlaku
undang-undang yang menghapuskan kuli kontrak itu secara bertahap.
f.
Perubahan
Pemerintahan atau Administrasi
Lama sebelum tahun 1900 telah terasa bahwa pemerintahan mengalami
desentralisasi. Sejak tahun 1854 parlemen mempunyai hak mengawasi pemerintahan
Hindia Belanda dan kepentingan yang ada dibawah politik di negeri Belanda.
Untuk penyesuaian dengan perkembangan perusahaan bebas sejak tahun 1870,
administrasi perlu diubah berdasarkan prinsip persamaan dan ekonomi. Desentralisasi
mencakup tiga hal, yaitu:
- Delegasi
kekuasaan dari pusat pemerintahan ke pemerintahan di Hindia Belanda, dari
pemerintahan ini ke departemen, pejabat lokal, dan dari pejabat Belanda ke
pejabat pribumi,
- Menciptakan
lembaga-lembaga otonom yang mengatur urusan sendiri,
- Pemisahan
keuangan negeri dari keuangan pribadi.
Pada tahun 1903 didirikan Dewan Kota di daerah Batavia, Meester Cornelis
(Jatinegara), dan Buitenzorg (Bogor), setahun kemudian di beberapa tempat di
Jawa dan diluar Jawa. Semua anggota dipilih, meskipun mayoritas masih dipegang
oleh golongan Belanda. Ini disebabkan oleh batasan hak memilih, antara lain
dengan pajak pendapatan yang sedikit-dikitnya f.300. Anggota dewan harus paham
Bahasa Belanda.
Menjelang akhir abad ke-19 perkembangan administrasi sangat pesat karena
banyak pelayanan yang perlu diselenggarakan oleh pemerintah: tahun 1897 urusan
hutang-hutang, tahun 1899 urusan pertambangan, sekitar tahun 1900 urusan bank
kredit, kemudian secara berturut-urut diadakan dinas pertanian, perikanan,
kerajinan, sedang dinas kesehatan dan peternakan diperluas sejak tahun 1907
pengajaran juga diperluas.
Sehubungan dengan ekspansi aktivitas negara pada tahun 1904 didirikan
Departemen Pertanian, tahun 1907 Departemen Perusahaan-perusahaan Negara yang
pada tahun 1911 bergabung menjadi Departemen Pertanian, Industri, dan
Perdagangan. Pada tahun 1914 diajukan suatu rencana perubahan pemerintahan
tetapi ditolak, pada tahun 1918, diterima peraturan Ontvoogding (pembebasan dari perwalian) dari pamong praja dan pada
tahun 1922 sistem baru pemerintahan (Bestuurshervorming).
Berdasarkan Undang-Undang Perubahan (Bestuurshervorming)
tahun 1922, Hindia Belanda dibagi atas beberapa provinsi. Selaras dengan
perubahan tersebut, dewan-dewan keresidenan dihapus dan pada tahun 1925
dewan-dewan kabupaten dibentuk. Selain itu dibentuk pula dewan provinsi,
dewan-dewan kota, dan diluar Jawa ada juga dewan-dewan lokal. Dewan kabupaten
berjumlah 76 di Jawa dan diketuai oleh bupati. Didalam sidang umumnya ada
pembagian atas komisi, antara lain yang mengurus pekerjaan umum, pasar,
peraturan-peraturan, sedangkan pekerjaan rutin ada di tangan dewan komisaris-komisaris.
Dalam pelaksanaan desentralisasi, secara berangsur-angsur akan dibentuk provinsi
dan kemudian kabupaten sebagai daerah otonom. Di daerah provinsi-provinsi belum
terbentuk pelaksanaan undang-undang tahun 1903.
- Undang-Undang Dasar
Perubahan pemerintahan mencakup juga rencana memperbesar kekuasaan kepada
pejabat pribumi. Pada umumnya ontvoogding
tidak dapat berjalan lancar karena
ada kekhawatiran bahwa pejabat Belanda akan kehilangan hubungan dengan rakyat
sama sekali. Salah satu bentuk pelaksanaan pemberian otonomi kepada hindia
Belanda adalah persiapan-persiapan mendirikan Dewan Rakyat. Volksraad atau Dewan Rakyat menjadi
dewan perwakilan beranggotakan 39 orang, diantaranya 19 orang diangkat. Badan
ini mempunyai kekuasaan legislatif hanya memberi advis antara lain mengenai
keuangan.
Pada tahun 1920 jumlah anggota menjadi 49 orang, di antaranya 24 dipilih
dan 14 di angkat, termasuk 8 pribumi. Anggota Dewan Rakyat mempunyai kebebasan
untuk mengecam aturan-aturan pemerintah. Dengan pecahnya Perang Dunia I timbul
suasana yang lebih demokratis. Dalam dewan boleh menggunakan Bahasa Indonesia,
debat persidangan permulaan sangat bersemangat, bahkan sering revolusioner,
mengandung banyak kecaman terhadap pemerintah dan banyak kekecewaan-kekecewaan,
semua melahirkan perasaan antikolonialisme, anti-Belanda, dan antikapitalisme.
Perasaan ini meluap waktu di Negeri Belanda ada pergolakan pada akhir
Perang Dunia I, sehingga Gurbernur Jenderal mengumumkan janji untuk melakukan
perubahan-perubahan sosial. Janji itu segera disusul dengan pembentukan Panitia
Perubahan. Panitia ini dibentuk pada tahun 1919 dan mencakup wakil-wakil dari
berbagai kepentingan politik. Dewan Rakyat perlu diberi kekuasaan legislatif,
dan masih banyak lagi usul-usul yang sangat maju.
Undang-Undang Dasar baru Negeri Belanda dari tahun 1922 memuat
gagasan-gagasan seperti yang disarankan oleh Panitia Perubahan. Hindia Belanda
diakui sebagai bagian intergal dari kerajaan Belanda. Pemerintahan tertinggi
Hindia Belanda ada pada Mahkota, sedang pemerintahan umum dijalankan oleh
Gurbernur Jenderal (seperti) yang diatur dalam undang-undang, kecuali untuk
kekuasaan yang menjadi hak Mahkota (art. 60). Manurut artikel 61 konstitusi
ditetapkan oleh badan undang-undang di Negeri Belanda, badan perwakilan lokal
perlu didengar terlebih dahulu, kecuali hal-hal yang menjadi hak Mahkota
peraturan-peraturan tentang urusan Hindia Belanda perlu ditetapkan oleh
badan-badan lokal. Menurut artikel 62 semua peraturan oleh badan-badan lokal
yang bertentangan dengan Mahkota dan kepentingan umum dapat ditiadakan dengan
undang-undang.
- Tata Negara 1925
Perubahan-perubahan dalam UUD mengaharuskan perubahan-perubahan besar
dalam konstitusi Hindia Belanda. Regeerings
Reglement 1854 diubah menurut usulan Fock pada tahun 1922. Kemudian De
Graff menyusul perubahan dari Regeerings
Reglement 1854 itu yang diterima oleh Staten
General sebagai konstitusi (Staatsinrichting)
pada tahun 1925. Rencana perubahan yang diusulkan De Graff menimbulkan banyak
ketidakpuasan baik dikalangan nasionalis maupun Belanda yang progresif. Mereka
membentuk panitia untuk merumuskan suatu kenyataan tentang sistem politik di
Hindia Belanda, ketuanya Oppenheim dan anggota-anggotanya adalah
Carpentier-Alting, Dr. Kleintjes ahli dalam hukum konstitusi, van Vollenhoven
ahli hukum adat, dan Snouck Hurgronje ahli dalam hukum islam. Dalam kesimpulan
laporan mereka dilancarkan kecaman terhadap usul resmi dari Panitia Perubahan
yang hanya mementingkan perubahan undang-undang dan bukan penyerahan pemerintahan.
Pada tahun 1928 timbul aliran pembaharuan dalam pemerintahan yang juga
terkenal sebagai gerakan ootvoogding (pendewasaan)
pamong praja pribumi. Dasar politik ini ialah prinsip protektorat, yaitu yang
hendak membiarkan penduduk pribumi ada di bawah pimpinan kepalanya sendiri baik
yang diakui maupun yang diangkat oleh pemerintahan Hindia Belanda. Telah menjadi kenyataan bahwa
spesialisasi memperkuat peran pamong praja. Tidak lama setelah dilaksanakan
perubahan tahun 1926 mengenai pembagian atas daerah-daerah sangat kepincangan
serta kesulitan-kesuliatan yang timbul dikalangan pamong praja, sehinggan pada
tahun 1931 perlu diadakan perubahan lagi.
Dalam susunan pamong praja yang baru, seorang residen bertugas mengawasi
pemerintahan kabupaten serta mengkoordinasikan berbagai dinas kesejahteraan dan
pemimpin pelaksana perencanaan. Bupati mempunyai kedudukan yang ganda, ia
menjadi kepala kabupaten, baik sebagai kesatuan administrasi maupun sebagai
daerah otonom. Tugasnya antara lain pemimpin umum dalam pekerjaan umum, pegawas
keuangan, dan sebagai dewan kabupaten. Pada umumnnya para bupati mempunyai
kecakapan untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan baru itu.
Kedudukan asisten residen diturunkan, oleh karena ia bukan lagi atasan
dari bupati, tetapi seorang “saudara muda” yang mendampinginya dalam
pemerintahan sehari-hari. Di samping itu, ia masih juga menjadi anggota dewan
kabupaten dan dewan harian. Para kontrolir mempunyai pekerjaan yang sama dengan
kepalanya, yaitu asisten residen. Ia bertugas untuk lebih banyak membuat
hubungan dengan anggota-anggota pamong praja bawahan dan lebih mengalami
kehidupan di desa-desa. Para wedana dan asisten wedana yang sebagai unsur
terbawah dari hierarki birokrasi ternyata menjadi dasar bagi pemerintahan. Pada
merekalah terletak kewajiban yang berat untuk melaksanakan peraturan-peraturan
di daerah pedesaan. Didaerah luar Jawa perkembangan pemerintahan menunjukkan
perbedaan.
Rencana pemerintahan Hindia Belanda untuk mengembangkan pemerintahannya
sendiri (zelfbestuur) baru mulai
dilaksanakan beberapa tahun sebelum Perang Dunia II, yaitu dengan memulihkan
pemerintahan sendiri di Sulawesi dan Bali. Dari perkembangan pemerintahan dalam
abad ke-20 nyatalah bahwa pemerintahan tidak lagi bersifat patriarkhal, tetapi
belumlah dapat dikatakan bahwa demokratisasi telah berkembang dengan pesat. Di
luar Jawa perubahan administrasi menunjukkan perbedaan yang mencolok dengan
berkembangnya sejak tahun 1900. Diciptakan birokrasi yang ada di bawah hegemoni
pamong praja Eropa.
Desentralisasi bertujuan untuk menghapus sisa-sisa dari masyarakat
tradisional yang menghalang-halangi perkembangan administrasi modern, seperti
masyarakat-masyarakat adat. Kemudian diciptakan di Jawa bagian-bagian
teritorial yang setengah otonom, sedang di luar Jawa pengurangan “daerah
pemerintahan sendiri” sejak tahun 1914. Dengan diciptakannya masyarakat
kelompok (groepgemeenschap) pada
tahun 1936 sebagai unit administratif dihidupkan kembali kesatuan-kesatuan lama
yang sepenuhnya ada di bawah kekuasaan pamong praja Belanda. Semboyan
modernnsasi dalam administrasi dibungkam dengan menghidupkan kembali prinsip
Belanda yang terkenal sebagai pemerintahan tidak langsung. Anakronisme feodal
ini dibenarkan oleh pemerintah kolonial dengan menunjukkan prinsip etnisitas (kesukuan)
sebagai dasar pemerintahan dan bukan prinsip teritorial.
Menjelang Perang Dunia II kekuasaan kolonial sangat kuat, pemimpin pusat
semakin ketat, maka menjadi semakin samar-samar gambaran masa depan Hindia
Belanda. Hal ini dengan nyata sekali dapat dilihat dari pernyataan Gurbernur
Jenderal De Jonge pada tahun 1936, yang menggambarkan bahwa suatu otonomi baru
dapat diberiakan kira-kira tiga ratus tahun kemudian. Baik segi sistem
pemerintahan tidak langsung maupun dari segi dualisme sebagai hakikat masyarakat
kolonial, dibidang hukum dan peradilan di Hindia Belanda juga terdiri atas dua
bagian yang masing-masing mencakup lingkungan yang berbeda sekali. Pada satu
pihak ada pengadilan gubernemen yang dimasukkan oleh pemerintah kolonial dan
dijalankan oleh pegawai pemerintahan menurut peraturan-peraturan hukum. Dan di
pihak lain pengadilan pribumi yang dilakukan menurut hukum adat yang pada
umumnya tidak tertulis.
Pada tahun 1819 didirikan Mahkamah Agung (Hoog-Gerecht-schoff) antara kekuasaan pemerintahan dan pengadilan.
Pada tahun 1848 Mahkamah Agung mendapat kekuasaan mengawasi pengadilan di Jawa
dan baru pada tahun 1869 berdasarkan keputusan raja para pegawai pamong praja
dibebaskan dari pengadilan pribumi meskipun kekurangan tenaga ahli hukum, dan
baru pada tahun 1891 semua pengadilan negeri diketuai oleh ahli hukum. Secara
resmi pada tahun 1918 berlaku hukum pidana Hindia Belanda yang didasarkan atas
satu kitab undang-undang baik orang Eropa maupun orang pribumi.
Perkembangan sosial – politik sejak kebangunan
nasional dan pecahnya perang dunia I menimbulkan situasi politik yang sangat
melemahkan tujuan
seperti termaktub dalam politik etis itu. Pada tahun1916 orang telah mengatakan
bahwa politik itu mengalami kebangkrutan dan kemajuan yang dicapai bukanlah
jasa haluan etis. Etika kristenlah yang meningkatkan kegiatan zending dan misi
dalam bidang pengajaran, kesehatan, dan spiritual penduduk terbatas pada
tindakan–tindakan terpaksa dijalankan saja, antara lain perluasan pengajaran relative sedikit. Dengan munculnya
pergerakan nasional, tidak hanya kesadaran rakyat yang memuncak, tetapi
kegiatan untuk mencapai kemajuan
dilakukan oleh pihak rakyat pribumi sendiri.
Dalam hubungan politik
etis humanistis seperti diperjuangkan oleh Snouck Hurgronje hendak mengalihkan
budaya barat berdasarkan gagagsan asosiasi. Selanjutnya dapat dikatakan bahwa
politik kolonial dan
tindakan Belanda
berjalan diatas garis yang telah dibuat oleh Komisi Soal-Soal Mandat. Sesuai dengan
prinsip-prinsip Mandat Rangkap, secara berturut-turut Belanda berusaha
mengadakan perubahan-perubahan
dibidang pemerintahan dalam negeri, memajukan kesehatan, pendidikan dan syarat-
syarat kerja, dan memberi fasilitas- fasilitas yang diperlukan bagi
pengembangan sumber-sumber
alam. Cara belanda memecahkan masalah sistem Mandat Rangkap yang tidak mungkin
dipersatukan menunjukan bahwa kepentingan penduduk pribumi ditempatkan di bawah
kepentingan dunia luar pada umumnya dan negeri induk pada khususnya. Akhirnya dapat
ditunjukkan bahwa likuidasi kolonialisme Belanda disebabkan oleh dua kekuatan
utama setelah Perang Dunia II masalah kolonial menjadi masalah dunia
internasional, nasionalisme dapat menggerakkan kekuatannya untuk melawan
kembalinya kolonialisme.
2.3 Dampak
dari Kebijakan Politik Kolonial Belanda bagi Bangsa Indonesia
Pelaksanaan politik
etis di Indonesia yang dilatar belakangi oleh munculnya kaum humanisme,
yang pada dasarnya merupakan program balas budi dari pihak Belanda atas
pengorbanan Bangsa Indonesia yang telah dirampas kekayaannya oleh Belanda.
Dengan adanya politik etis, Rakyat Indonesia mendapatkan kesempatan untuk
memperoleh pendidikan. Program tersebut telah melahirkan benih-benih kaum
terpelajar yang kelak akan memelopori pergerakan kebangsaan Indonesia. Dari
sinilah muncul kesadaran rakyat Indonesia, bahwa untuk mengusir penjajahan,
mereka harus menggalang persatuan dan kesatuan bangsa.
Penderitaan
Rakyat Indonesia akibat berbagai kebijakan yang diterapkan dalam sistem
kolonialisme yang berupa monopoli perdagangan, tanam paksa, dan kerja paksa
sudah tidak dapat ditolelir lagi. Sumber kekayaan alam Indonesia terus dieksploitasi untuk
mengisi kas keuangan Belanda. Rakyat Indonesia depekerjakan tanpa upah atau
diperlakukan secara tidak layak. Kenyataan tersebut sungguh ironis, Rakyat Indonesia
yang bekerja keras, sedangkan Belanda yang menikmatinya.
Penderitaan yang
dialami Bangsa Indonesia telah menimbulkan reaksi, baik dari pihak Bangsa
Indonesia sendiri maupun dari pihak Belanda, terutama orang orang Belanda yang
menaruh simpati terhadap penderitaan Bangsa Indonesia, yang disebut dengan
golongan liberalis dan humanis. Mereka menentang
sistem tanam paksa yang berlaku pada saat itu. Sistem tanam
paksa merupakan sistem yang menindas, mengeksploitasi dan memperlakukan rakyat
Indonesia secara tidak adil.
- Kebijakan Pemerintah Kolonial Portugis
a) Berusaha
menanamkan kekuasaan di Maluku.
b) Menyebarkan
agama Katolik di daerah-daerah yang dikuasai.
c) Mengembangkan
bahasa dan seni musik keroncong Portugis.
d) Sistem
monopoli perdagangan cengkih dan pala di Ternate.
Pengaruh yang ditimbulkan dari kebijakan-kebijakan Portugis:
a) Terganggu
dan kacaunya jaringan perdagangan.
b) Banyaknya
orang-orang beragama Katolik di daerah pendudukan Portugis.
c) Rakyat
menjadi miskin dan menderita.
d) Tumbuh
benih rasa benci terhadap kekejaman Portugis.
e) Munculnya
rasa persatuan dan kesatuan rakyat Maluku untuk menentang Portugis.
f) Bahasa
Portugis turut memperkaya perbendaharaan kata/ kosakata dan nama keluarga
seperti da Costa, Dias, de Fretes, Mendosa, Gonzalves, da Silva, dan lain-lain.
g) Seni
musik keroncong yang terkenal di Indonesia sebagai peninggalan Portugis adalah
keroncong Morisco.
h) Banyak
peninggalan arsitektur yang bercorak Portugis dan senjata api atau meriam di
daerah pendudukan.
- Dampak dari kebijakan VOC
a) Bangsa
Indonesia mengalami kerugian dan penderitaan.
b) Kekuasaan raja menjadi
berkurang atau bahkan didominasi secara keseluruhan oleh VOC.
c) Wilayah kerajaan
terpecah-belah dengan melahirkan kerajaan dan penguasa baru dibawah kendali VOC.
d) Hak Octroi (istimewa) VOC, membuat masyarakat Indonesia menjadi
miskin, menderita, mengenal ekonomi uang, mengenal sistem pertahanan benteng,
etika perjanjian dan prajurit bersenjata modern (senjata api, meriam).
e) Pelayaran Hongi, bagi
penduduk Maluku khususnya, dapat dikatakan sebagai suatu perampasan,
perampokan, pemerkosaan, perbudakan, dan pembunuhan.
f) Hak Ekstirpasi bagi rakyat merupakan ancaman
matinya suatu harapan atau sumber penghasilan yang bisa berlebih.
- Dampak
dari kebijakan Deandles
Dalam upaya mempertahankan
Pulau Jawa, Daendels melakukan hal-hal berikut:
a) Membangun
ketentaraan, pendirian tangsi-tangsi atau benteng, pabrik mesiu atau senjata di
Semarang dan Surabaya serta rumah sakit tentara.
b) Membuat
jalan pos dari Anyer sampai Panarukan dengan panjang sekitar 1.000 km.
c) Membangun
pelabuhan di Anyer dan Ujung Kulon untuk kepentingan perang.
d) Memberlakukan
kerja rodi atau kerja paksa untuk membangun pangkalan tentara.
Kebijakan-kebijakan yang diberlakukan Daendels
terhadap kehidupan rakyat:
a)
Semua pegawai pemerintah menerima
gaji tetap dan mereka dilarang melakukan kegiatan perdagangan.
b)
Melarang penyewaan desa,
kecuali untuk memproduksi gula, garam, dan sarang burung.
c)
Melaksanakan contingenten yaitu
pajak dengan penyerahan hasil bumi.
d)
Menetapkan verplichte
leverantie, kewajiban menjual hasil bumi hanya kepada pemerintah dengan harga
yang telah ditetapkan.
e)
Menerapkan sistem kerja paksa
(rodi) dan membangun ketentaraan dengan melatih orang-orang pribumi.
f)
Membangun jalan pos dari Anyer
sampai Panarukan sebagai dasar pertimbangan pertahanan.
g)
Membangun pelabuhan-pelabuhan
dan membuat kapal perang berukuran kecil.
h)
Melakukan penjualan tanah
rakyat kepada pihak swasta (asing).
i)
Mewajibkan Prianger stelsel,
yaitu kewajiban rakyat Priangan untuk menanam kopi.
Langkah-langkah kebijakan Daendels yang
memeras dan menindas rakyat menimbulkan:
a)
kebencian yang mendalam baik
dari kalangan penguasa daerah maupun rakyat,
b)
Munculnya tanah-tanah partikelir yang dikelola oleh pengusaha swasta,
c)
Pertentangan/perlawanan penguasa maupun rakyat,
d)
Kemiskinan dan penderitaan yang berkepanjangan,
e)
Pencopotan Daendels.
Pada tahun 1810, Kaisar Napoleon menganggap bahwa tindakan Daendels
sangat otoriter. Pada tahun 1811 Daendels ia ditarik kembali ke Negeri Belanda dan
digantikan oleh Gubernur Jenderal Janssens. Ternyata Janssens tidak secakap dan
sekuat Daendels dalam melaksanakan tugasnya. Ketika Inggris menyerang Pulau
Jawa, ia menyerah dan harus menandatangani perjanjian di Tuntang pada tanggal
17 September 1811.
4.
Dampak kebijakan Raffles
Raffles bermaksud menerapkan
politik kolonial seperti yang dijalankan oleh Inggris di India. Kebijakan
Daendels yang dikenal dengan nama Contingenten diganti dengan sistem sewa tanah
(Landrent). Sistem sewa tanah disebut juga sistem pajak tanah. Rakyat atau para
petani harus membayar pajak sebagai uang sewa, karena semua tanah dianggap
milik negara. Pokok-pokok sistem Landrent:
a) Penyerahan wajib dan wajib kerja dihapuskan.
b) Hasil pertanian dipungut langsung oleh pemerintah
tanpa perantara bupati.
c) Rakyat harus menyewa tanah dan membayar pajak
kepada pemerintah sebagai pemilik tanah.
Dalam pelaksanaannya, sistem Landrent di
Indonesia mengalami kegagalan, karena:
a) Sulit menentukan besar
kecilnya pajak untuk pemilik tanah yang luasnya berbeda,
b) Sulit menentukan luas
sempit dan tingkat kesuburan tanah,
c) Terbatasnya jumlah
pegawai, dan
d) Masyarakat pedesaan belum
terbiasa dengan sistem uang.
Tindakan yang dilakukan oleh Raffles berikutnya
adalah membagi wilayah Jawa menjadi 16 daerah karesidenan. Hal ini mengandung
maksud untuk mempermudah pemerintah melakukan pengawasan terhadap daerah-daerah
yang dikuasai. Setiap karesidenan dikepalai oleh seorang residen dan dibantu
oleh asisten residen. Thomas Stamford Raffles juga memberi sumbangan positif bagi
Indonesia yaitu:
a) Membentuk susunan baru
dalam pengadilan yang didasarkan pengadilan Inggris,
b) Menulis buku yang berjudul
History of Java,
c) Menemukan bunga
Rafflesia-arnoldii, dan
d) Merintis adanya Kebun Raya
Bogor.
5.
Dampak Cultuurstelsel atau Sistem Tanam Paksa
Cultuurstelsel dalam bahasa Inggris
adalah Cultivation System yang memiliki arti sistem tanam. Namun di Indonesia
cultuurstelsel lebih dikenal dengan istilah tanam paksa. Ini cukup beralasan
diartikan seperti itu karena dalam praktiknya rakyat dipaksa untuk bekerja dan
menanam tanaman wajib tanpa mendapat imbalan. Tanaman wajib adalah tanaman
perdagangan yang laku di dunia internasional seperti kopi, teh, lada, kina, dan
tembakau. Cultuurstelsel diberlakukan dengan tujuan memperoleh pendapatan
sebanyak mungkin dalam waktu relatif singkat. Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam sistem tanam paksa:
a) Tanah yang harus diserahkan rakyat cenderung
melebihi dari ketentuan 1/5.
b) Tanah yang ditanami tanaman wajib tetap ditarik
pajak.
c) Rakyat yang tidak punya tanah garapan ternyata
bekerja di pabrik atau perkebunan lebih dari 66 hari atau 1/5 tahun.
d) Kelebihan hasil tanam dari jumlah pajak ternyata
tidak dikembalikan.
e) Jika terjadi gagal panen ternyata ditanggung
petani.
Adanya berita kelaparan
menimbulkan berbagai reaksi, baik dari rakyat Indonesia maupun orang-orang
Belanda. Rakyat selalu mengadakan perlawanan tetapi tidak pernah berhasil.
Penyebabnya bergerak sendiri-sendiri secara sporadis dan tidak terorganisasi
secara baik. Reaksi dari Belanda sendiri yaitu adanya pertentangan dari golongan
liberal dan humanis terhadap pelaksanaan sistem tanam paksa. Pada tahun 1860,
Edward Douwes Dekker yang dikenal dengan nama samaran Multatuli menerbitkan
sebuah buku yang berjudul “Max Havelar”.
Buku ini berisi tentang keadaan
pemerintahan kolonial yang bersifat menindas dan korup di Jawa. Di samping
Douwes Dekker, juga ada tokoh lain yang menentang tanam paksa yaitu Baron van
Hoevel, dan Fransen van de Putteyang menerbitkan artikel “Suiker Contracten”
(perjanjian gula). Menghadapi berbagai reaksi yang ada, pemerintah Belanda
mulai menghapus sistem tanam paksa, namun secara bertahap. Sistem tanam paksa
secara resmi dihapuskan pada tahun 1870 berdasarkan UU Landreform (UU Agraria).
Meskipun tanam paksa sangat memberatkan rakyat, namun di sisi lain juga memberikan
pengaruh yang positif terhadap rakyat. Dampak positif tanam paksa:
a) Terbukanya lapangan pekerjaan,
b) Rakyat mulai mengenal tanaman-tanaman baru, dan
c) Rakyat mengenal cara menanam yang baik.
BAB 3. SIMPULAN
Dari pembahasan makalah di atas maka kesimpulannya adalah sebagai berikut :
Politik Imperialisme yang dijalankan oleh Belanda pada tahun 1850 sampai
1900, mengandung berbagai macam pengertian. Abad ke-19 merupakan suatu periode
baru bagi imperialisme Belanda yang ditandai oleh politik kolonial. Semula
kepentingan-kepentingan Belanda terbatas pada perdagangan, maka dalam periode
ini Belanda mulai mengutamakan kepentingan politik. Belanda membutuhkan
hasil-hasil daerah tropis dan mendapatkannya secara pemungutan upeti,
sebaliknya orang-orang Inggris menjual kain-kain tenun sebagai hasil dari
Revolusi Industri.
Sitem liberal memperoleh kesempatan untuk pertama kalinya pada zama
Raffles, selama Interregnum Inggris. Pemerintahan Letnan Gurbernur Jendral
Thomas Stafford Rafflles (1811-1816) mengadakan suatu sistem administrasi yang
sejajar dengan doktrin-doktrin liberal. Raja Belanda adalah Johanes Van Den
Bosch segera berangkat ke Pulau Jawa untuk mewujudkan pemikiran tentang pola
atau sitem penanaman (Cultuurstelsel
1830-1870). Gagasan-gagasan baru mengenai fungsi jajahan:
a.
Politik Etis
b.
Emigras
c.
Edukasi
d.
Politik Kemakmuran
e.
Perubahan Pemeintahan atau administrasi
f.
UUD
g.
Tata Negara 1925
Pelaksanaan politik
etis di Indonesia yang dilatar belakangi oleh munculnya kaum humanisme,
yang pada dasarnya merupakan program balas budi dari pihak Belanda atas
pengorbanan Bangsa Indonesia yang telah dirampas kekayaannya oleh Belanda.
Penderitaan yang dialami Bangsa Indonesia telah menimbulkan reaksi, baik dari
pihak Bangsa Indonesia sendiri maupun dari pihak Belanda, terutama orang orang
Belanda yang menaruh simpati terhadap penderitaan Bangsa Indonesia, yang
disebut dengan golongan liberalis dan humanis.
DAFTAR PUSTAKA
Nugroho
Notosusanto, Marwati Djoened Poesponegoro. 1993. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta
: Balai Pustaka.
Pringgodigdo,
A.K. 1964. Sejarah Pergerakan Rakyat
indonesia. Jakarta : Pustaka Rakyat.
Suhartono. 2001.
Sejarah Pergerakan Nasional “dari
Budi Utomo sampai Proklamasi Kemerdekaan 1908-1945”. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.