Sabtu, 13 Oktober 2018

MAKALAH PERJUANGAN MENGARAH KE PERSATUAN DAN KESATUAN SELAMA MASA PERGERAKAN NASIONAL INDONESIA


 




PERJUANGAN MENGARAH KE PERSATUAN DAN KESATUAN SELAMA MASA PERGERAKAN NASIONAL INDONESIA
 (Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Nasional Indonesia III)



Dosen Pengampu:
 Dr. Nurul Umamah, M.Pd



Oleh
Diana Kusuma Widyastutik
140210302006 / A





PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2015

KATA PENGANTAR

            Puji syukur kehadirat Allah swt yang telah melimpahkan rahmat, taufik, serta hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan pengerjaan makalah yang berjudul Perjuangan Mengarah Ke Persatuan dan Kesatuan Selama Masa Pergerakan Nasional Indonesia”. Makalah  ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Nasional Indonesia III.
            Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
            Saya sebagai penyusun menyadari bahwa dalam penulisan makalah  ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
            Semoga makalah ini dapat memberikan informasi dan bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

                                                                                   
Jember, 4 November 2015













DAFTAR ISI

halaman












BAB. 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada masa kolonial Belanda, rakyat Indonesia sangat menderita. Penderitaan rakyat tersebut diakibatkan oleh kebijakan-kebijakan kolonial yang merugikan rakyat. Sebagai rakyat kecil yang ditindas oleh penjajah, tentu rakyat Indonesia ingin memberontak, demikian pula para mahasiswa dan pemuda masa itu.
Penderitaan itu menjadikan rakyat Indonesia muncul kesadaran nasionalnya dan mulai memahami perlunya menggalang persatuan. Atas prakarsa para kaum intelektual, persatuan itu dapat diwujudkan dalam bentuk perjuangan yang bersifat modern. Perjuangan tidak lagi menggunakan kekuatan senjata tetapi dengan menggunakan organisasi-organisasi pemuda. Berkembangnya sistem pendidikan Barat melahirkan golongan terpelajar. Adanya diskriminasi dalam pendidikan kolonial dan tidak adanya kesempatan bagi penduduk pribumi untuk mengenyam pendidikan, mendorong kaum terpelajar untuk mendirikan sekolah untuk kaum pribumi. Sekolah ini juga dikenal sebagai sekolah kebangsaan sebab bertujuan untuk menanamkan rasa nasionalisme di kalangan rakyat dan mencetak generasi penerus yang terpelajar dan sadar akan nasib bangsanya.
Lahirnya Pergerakan Nasional Indonesia (Pengaruh pendidikan, Diskriminasi dan Pengaruh paham baru). Lahirnya Pergerakan Nasional Indonesia (Pengaruh pendidikan, Diskriminasi dan Pengaruh paham baru). Menurut Sartono Kartodirjo, nasionalisme Indonesia merupakan antitesa dari kolonialisme. Maksudnya, lahirnya nasionalisme karena adanya penjajahan oleh Belanda.

1.2 Rumusan Masalah

1.      Apakah faktor-faktor yang menjadi pendorong adanya pergerakan nasional Indonesia ?
2.      Bagaimana perjuangan organisasi-organisasi Indonesia pada akhir masa Hindia Belanda yang mengarah ke persatuan dan kesatuan selama masa Pergerakan nasional ?
3.      bagaimana perjuangan gerakan perempuan dan pemuda yang mengarah pada persatuan dan kesatuan selama masa Pergerakan Nasional ?

1.3 Tujuan

1.      untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi latar belakang adanya pergerakan nasional Indonesia,
2.      untuk mengetahu perjuangan organisasi-organisasi Indonesia pada akhir masa Hindia Belanda yang mengarah ke persatuan dan kesatuan selama masa Pergerakan Nasional,
3.      untuk mengetahui perjuangan gerakan perempuan dan pemuda yang mengarah pada persatuan dan kesatuan selama masa Pergerakan Nasional.

1.4 Manfaat

1.      bagi mahasiswa dapat mengetahui latar belakang pergerakan nasional Indonesia dan perjuangan organisasi – organisasi Indonesia untuk mengarah ke peratuan dan kesatuan selama masa pergerakan nasional,
2.      dengan adanya makalah ini diharapkan dapat memicu pembaca agar lebih mengerti dan memahami tentang perjuangan organisasi – organisasi Indonesia selama masa pergerakan nasional.



BAB 2. PEMBAHASAN

2.1  Faktor Faktor Pendorong Adanya Pergerakan Nasional Indonesia

Faktor – faktor yang mendorong lahirnya pergerakan kebangsaan dalam masyarakat pribumi Indonesia (Hindia Belanda) dapat dipilahkan dalam 2 faktor  diantarnya faktor internal dan faktor eksternal, faktor internal datang dari kondisi atau realitas sosial, ekonomi, politik masyarakat pribumi berkaitan dengan kolonialisme belanda. Sedangkan faktor eksternal berasal dari luar wilayah Indonesia yang ikut mempengaruhi bangkitnya kesadaran berbangsa di kalangan masyarakat pribumi Indonesia (Hindia-Belanda).
Pertama, faktor internal meliputi beberapa fenomena/gejala, kejadian/peristiwa sebagai berikut:
1.         Penderitaan masyarakat pribumi akibat kebijakan pemerintah kolonial, terutama sejak diberlakukannya politik tanam paksa/cultuur stelsel (1830-1879) dan politik liberal/Open Door Policy (1870-1900). Penderitaan rakyat pribui diantaranya proses pemiskinan secara struktural (poverty process), kelaparan, wabah penyakit, ketercerabutan atau keterasingan (alineation) dari akar- akar budaya tradisionalnya. Kesamaan penderitaan ini menimbulkan perasaan senasib sepenanggunngandari beberapa golongan dan mendorong terjadinya proses integrasi nasional.
2.         Lahirnya golongan intelektual, cerdik-pandai atau cendekiawan sebagai akibat dari kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang mengembangkan pendidikan untuk masyarakat pribumi indonesia (Hindia-Belanda).
3.         Program Pax-Neerlandica dari Gubernur Jenderal J.B. van Heutz (1904-1909) Hal ini ikut memudahkan bagi masyarakat pribumi Indonesia untuk menjalin interaksi dan komunikasi satu sama lain, serta penyebar luasan gagasan nasionalisme.
4.         Program Desentralisasi tahun 1803 berupa pelimpahan wewenang dan kekuasaan dari tangan gubernur jenderal kepada residen memberikan kesempatan bagi masyarakat pribumi untuk menjadi pegawai pamong praja dan melatih dalam hal administrasi pemerintahan.
5.         Kebijakan Ordonansi Perkawinan tahun 1895 yang isinya mewajibkan semua penduduk pribumi di pulau jawa dan Madura yang berada di luar kerajaan Mataram yang tidak memeluk agama kristen agar kawin dan cerai menurut hukum agama islam. Kebijakan ini menjadi titik temu antara islam dan pribumi yang memposisikan Belanda sebagai musuh bersama. Dalam pandangan islam, Belanda adalah kafir kitabi yang harus dilawan. Sementara itu, kalangan pribumi juga menganggap Belanda sebagai golongan asing yang harus diusir. Keluarnya ordonansi Perkawinan ini menimbulkan dampak bahwa orang merasa terbiasa dan merasa yakin untuk menyatakan diri sebagai orang islam.
6.         Inspirasi dari dua kerajaan besar, yakni Sriwijaya dan Majapahit, yang fakta-fakta sejarahnya diungkap oleh para sarjana Belanda/Brat sendiri seperti N.J. Krom, Brandes, dan Casparis.
7.         Adanya kepercayaan rakyat terhadap kedatangan pemimpin seorang pemimpin agung, Ratu Adil, dan ramalan Jayabaya, yang mencerminkan keinginan rakyat hidup mandiri dan merdeka.
Kedua, faktor eksternal, diantaranya sebagai berikut:
1.         Masuknya ide, konsep, wacana atau ideologi dari barat seperti: Nasionalisme, Demokrasi, hak-hak Asasi manusia (HAM), Feminisme/Perjuangan Emansipasi Wanita, dan lain-lain ikut menumbuhkan kemandirian dan kesadaran berbangsa.
2.        Berkembangnya gerakan modernisme atau pembaruan Islam Modern yang ikut menumbuhkan kesadaran berbangsa di kalangan masyarakat Muslim Indonesia (Hindia-Belanda). Hal ini karena pokok pikiran utama Gerakan Pembaharuan islam Modern adalah integrasi antara islam dengan kehidupan modern (barat) yang ditandai oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).
3.         Peperangan yang terjadi antara Jepang dan rusia (1904-1905) di selat Tsusyima yang dimenangkan oleh pihak jepang. Kemenangan jepang telah membangkitkan rasa percaya diri dan kesadaran bangsa-bangsa berkulit warna (bangsa-bangsa asia) bahwa mereka dapat mengalahkan bangsa-bangsa berkulit putih (bangsa-bangsa Eropa).
4.        Pengaruh yang ditimbulkan oleh perkembangan gerakan nasionalisme di berbagai wilayah.
Sementara itu, kahin (1995:50) menganalisis bahwa nasionalisme Indonesia tumbuh dan berkembang melaui 4 saluran penting.
a.       Derajat homogenitas agama yang tinggi dari masyarakat Indonesia di mana lebih dari 90% penduduk Indonesia beragama islam. Dalam hal ini, Islam tampil sebagai simbol kelompok untuk melakukan perlawanan terhadap kekuatan asing dan penindas yang agamanya berbeda (penjajah Belanda yang agamanya kristen). Tindakan represif pemerintah kolonial Belanda terhadap kaum muslim Indonesia justru membuat agama islam makin berkembang luas.
b.    Perkembangan bahasa kesatuan Indonesia kuno yang asal usulnya dari bahasa melayu pasar menjadi bahasa nasional, yakni bahasa indonesia. Penggunaan bahasa Indonesia telah menimbulkan ras percaya diri yang besar di kalangan berbagai kelompok masyarakat Indonesia, sebagai sebuah senjata psikologis yang menggetarkan.
c.       Integrasi nasionalisme bangsa Indonesia sedikit banyak juga disumbangkan oleh kehadiran Volksraad (dewan rakyat), semacam Majelis Perwakilan Tertinggi bagi seluruh rakyat Indonesia. Volksraad ini dibentuk pada tahun 1917 pada masa Gubernur Jendral Van Limburg Stirrum, dengan fungsi baru sebatas sebagai dewan penasihat. Pentingnya lembaga ini ialah dapat menyatukan semua orang Indonesia dari berbagai wilayah kepulauan, dan membuat mereka lebih sadar mengenai masalah relasi mereka dengan pemerintah Kolonial Belanda.
d.        Pertumbuhan dan persebaran nasionalisme Indonesia juga diransang oleh cara-cara penyebaran gagasan-gagasan nasionalisme dan gagasan-gagasn lainnya melalui surat kabar, majalah dan radio (media massa). Sebagai contoh, surat kabar Indonesia yang pertama kali terbit ialah Bromartini. Surat kabar ini terbit di Surakarta pda tahun 1855.

2.2 Akhir Masa Hindia Belanda

A.    Fraksi Nasional
Pembentukan ini muncul dari anggota Volksraad Moh. Husni Thamrin, ketua perkumpulan kaum betawi. Faktor- faktor yang timbul pada saat itu :
1.        Sikap pemerintah Hindia Belanda terhadap gerakan politik luar Volksraad, terutama terhadap PNI
2.        Anggaran dan perlakuan yang sama oleh pemerintah terhadap semua gerakan nasional maupun non ko-0perasi
3.        Didirikannya Vaderlandshe Club (V.C) tahun 1929 sebagai protes terhadap “ethish beleid” Gubernur Jenderal de Graef.
Fraksi ini didirikan tanggal 27 Januari tahun 1930 di Jakarta beranggotakan 10 anggota wakil dari daerah – daerah jawa, Sumatra, Sulawesi dan Kalimantan. Dan diketuai oleh Moh Husni Thamrin. Kegiatan pertama dari fraksi ini adalah pembelaan terhadap pemimpin- pemimpon PNI yang di tangkap dalam sidang pengadilan kolonial. Sesuai dengan keadaan hidup sosial ekonomi yang sangat tertekan akibat depresi ekonomi maka fraksi ini juga untuk memperbaiki keadaan-sosial ekonomi. Kemudian tekanan politik Gubernur Jendral de Jonge politik non kooperatif menjadi lumpuh, akibatnya muncul kaum kooperator yang di dalam Volksraad oleh Fraksi Nasional dan di luar Volksraad oleh Partai Indonesia Raya (Parindra) yang didirikan pada tahun 1935.
Dalam masa itu muncullah Petisi Sutardjo. Pada tahun 1936, yang berisi usul Indonesia berdiri sendiri tetapi tidak lepas dari kerjasama Belanda. Petisi yang menghebohkan kalangan pergerakan, ada yang pro dan kontra akhirnya gagal dan ditolak oleh pemerintah Belanda. Dalam siding Volksraad sendiri, suara Fraksi Nasional juga terpecah-pecah dalam menanggapi petisi.
B.       Petisi Sutardjo
Gagasan petisi ini dicetuskan oleh Soetardjo Kartohadikusumo, Ketua Persatuan Pegawai Bestuur/Pamongpraja Bumi Putra (PPBB) dan wakil dari organisasi ini di dalam siding Volksraad pada bulan Juli 1936. Petisi ini, diusulkan di luar tanggung jawab PPBB. Landasannya adalah pasal 1 undang-undang Dasar Kerajaan Belanda yang bebunyi bahwa kerajaan Nederland meliputi wilayah Nederland, Hindia Belanda, Suriname, dan Curacao dan menurut Sutardo keempat wilayah tersebut memiliki derajat yang sama. Usul petisi, yang kemudian dikenal dengan nama Petisi Sutardjo,diajukan pada tanggal 15 Juli 1936 kepada pemerintah, Ratu serta Staten General (Parlemen) di negara Belanda. Usul yang dianggap menyimpang dari cita-cita kalangan pergerakan umumnya mendapat reaksi baik dari pihak Indonesia maupun Belanda. Pihak Hindia Belanda menyatakan pemerintah memang mempunyai maksud untuk selalu meningkatkan peranan rakyat dalam mengendalikan pemerintah sampai rakyat Indonesia sanggup untuk mengurus segala sesuatunya.
Pada tanggal 4 Oktober 1937 dibentuk Central Comite Petisi Sutardjo (CCPS). dan di daerah-daerah dibentuk cabang Comite Petisi Sutardjo. Pada tanggal 11 Mei 1939 di Jakarta, pengurus CCPS mengadakan rapat pembubaran CCPS. Keputusan ini diambil untuk menjaga jangan timbul permasalahan Nasional Concentrati juga untuk menjaga jangan timbul salah paham atau kekecewaan di dalam masyarakat Indonesia.
C.            Gabungan Politik Indonesia
Pada tanggal 15 Juli 1936, partai-partai politik dengan dipelopori oleh Sutardjo Kartohadikusumo mengajukan usul atau petisi, yaitu permohonan supaya diselenggarakan suatu musyawarah antara wakil-wakil Indonesia dan negara Belanda di mana anggotanya mempunyai hak yang sama. Tujuannya adalah untuk menyusun suatu rencana pemberian kepada Indonesia suatu pemerintah yang berdiri sendiri. Namun usul tersebut ditolak oleh pemerintah kolonial Belanda. GAPI dibentuk pada tanggal 21 Mei 1939 di Jakarta dan dipimpin oleh Moh Husni Thamrin, Mr. Amir Syarifuddin, Abikusno Tjokrosuyoso. Berikut ini ada beberapa alasan yang mendorong terbentuknya GAPI yaitu :.
a)    Kegagalan petisi Sutarjo.
b)    Kepentingan internasional akibat timbulnya fasisme.
c)    Sikap pemerintah yang kurang memerhatikan kepentingan bangsa Indonesia.

Dan didalamnya anggaran dasar diterangkan bahwa GAPI berdasarkan kepada:
a.    Hak untuk menentukan diri sendiri
b.    Persatuan nasional dari seluruh bangsa Indonesia, dengan berdasrkan kerakyatan dan faham politik, ekonomi dan social
c.    Persatuan aksi seluruh pergerakan Indonesia
Dalam konferensi pertama GAPI pada tanggal 4 Juli 1939 telah dibicarakan dengan semboyan “Indonesia berparlemen”. Jelas tidak menuntut kemerdekaan penuh, melainkan suatu parlemen yang berdasarkan pada sendi-sendi demokrasi. Ditetapkan pula disiplin organisasi di mana anggota yang dipecat oleh partainya juga keluar dari GAPI.
Pada bulan Agustus 1940 waktu Belanda dikuasai Jerman dan Indonesia sudah dinyatakan darurat perang, GAPI mengeluarkan resolusi yang menuntut adanya perubahan dalam masa ketatanegaraan  di Indonesia dengan menggunakan hukum tata negara dalam masa genting. Isi resolusi tersebut menggantikan Volksraad dengan parlemen sejati yang anggotanya dipilih oleh rakyat.
D.      Organisasi Keagamaan
Salah satu organisasi keagamaan ialah Muhammadiyah. Muhammadiyah adalah organisasi Islam modern yang didirikan di Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 oleh K.H. Ahmad Dahlan. Muhammadiyah berarti umat Muhammad atau pengikut Muhammad. Dengan nama ini memiliki harapan dapat mencontoh segala jejak perjuangan dan pengabdian Nabi Muhammad. Tujuan yang ingin dicapai antara lain :
a.         memajukan pengajaran berdasarkan agama islam, dan
b.        memupuk keimanan dan ketaqwaan para anggotanya.
Dalam rangka mencapai tujuan itu, Muhammadiyah melakukan beberapa upaya sebagai berikut :
a.        mendirikan sekolah-sekolah (bukan pondok pesantren) dengan pengajaran agama dan kurikulum yang modern,
b.        mendirikan rumah sakit dengan nama Pusat Kesengsaraan Umum (PKU)
c.        mendirikan rumah yatim piatu.
d.        mendirikan perkumpulan kepanduan Hisbul Wathan.
Dalam perkembangannya, Muhammadiyah menghadapi tantangan dari golongan Islam konservatif. Mereka melihat Muhammadiyah begitu terbuka terhadap kebudayaan Barat sehingga khawatir kemurnian Islam akan dirusakkan. Oleh karena itu para ulama mendirikan Nahdlatul Ulama pada tahun 1926. Gerakan NU dipelopori oleh K.H. Hasyim Asy’ari. Gerakan Muhammadiyah banyak mendapat simpati termasuk pemerintah kolonial Belanda karena perjuangannya tidak bersifat konfrontatif (menentang).
Disamping Muhammadiyah, gerakan keagamaan lain yang memiliki andil bagi kemajuan bangsa antara lain :
1.             Jong Islamienten Bond, berdiri tanggal 1 Januari 1925 di Jakarta.
2.             Nahdlatul Ulama (NU), berdiri pada tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya, Jawa Timur
3.             Nahdlatul Wathan, berdiri tahun 1932 di Pacor, Lombok Timur.

2.3 Perjuangan Gerakan Perempuan dan Pemuda

A.    Gerakan Perempuan dan Pemuda
Kehidupan kaum perempuan Indonesia sekitar abad ke-19 dan awal abad ke-20 tidak dapat digeneralisasikan. Kaum perempuan Indonesia juga mengolah tanah, menanam, memlihara tanaman dan mengolah hasil panen, kaum perempuan didesapun juga tidak kalah kegiatannya dengan kaum laki-laki. Lebih lanjut dari fakta-fakta sejarah yang menggambarkan kenyataan masa lampau, terlihat bahwa di Indonesia permepuan  dapat mendapatkan kedudukan, wewenang, dan kekuasaan  tertinggi didalam Negara yaitu sebagai kepala negara. Pada zaman Majapahit misalnya (1294-1525), tercatat raja putri Tribuana Tungga Dewi ibunda raja Hayam Wuruk yang terkenal mempunyai kedudukan sebagai permaisuri raja bukan sekedar sebagai istri raja, melainkan juga berperan dalma menentukan jalannya pemerintahan. Di kesultanan Aceh dipimpin leh seorang Sultanah (sultan perempuan) yang terkenal yaitu Sultanag Sri Tajul Alam Safiatuddin Shah.
Kita juga mengenal nama Laksamana Malahayati yang terkenal keberanian dan kemampuannya memimpin armada Aceh dalam memimpin armada Aceh dalam menghadapi kapal-kapal Belanda di bawag bendera VOC dan armada Protugis. Kita juga mengenal tokoh-tokoh pejuang perempuan Aceh lainnya seperti Cut Mutia, Cut Nya Dien, dan Pocut Baren. Mereka dengan gagah berani berjuang, menghadapi pasukan Belanda dengan marsosenya yang terkenal. Aceh diperintah oleh tiga penguasa perempuan yaitu Sultanah Nurul Alam Naqiatudin Syah (1673-1678), Inayat Zakiyahtudin Syah (1678-1688), dan Komalat Zainatuddin Syah (1688-1699).
Selain di Aceh, Sulawesi Selatan juga memiliki tokoh yang berkuasa tahun 1856, Siti Aisyah We Tenriolle yang diangkat sebagai datuk atau raja. Di Maluku, khususnya pulau Saparua, dikenal seorang perempuan yang ikut berjuang bernama Marta Christina Tiahahu, ia tertangkap tahun 1817 dan meninggal 1818. Martha merupakan putri dari Paulus Tiahahu. Di akhir abad ke-19 di Jawa juga dikenal tokoh-tokoh perempuan, keduanya adalah Nyai Ageng Serang dan Ratnaningsih.
Berbagai hal dan isu menjadi perhatian dan kepedulian kaum perempuan Indonesia dimasa kebangkitan kebangsaan ini. Bahkan dari isu-isu itu tetap merupakan permasalahan dan menjadi kepedulian para perempuan dewasa ini. Diantara isu-isu itu antara lain:
1)      Pendidikan untuk perempuan,
2)      Perkawinan anak-anak dan poligami, dan
3)      Hak politik.

Pendidikan Untuk Perempuan
Sekolah-sekolah yang dibangun oleh pemerintah Belanda empunya tujuan, terutama adalah untuk mendukung kepentingan pemerintah kolonial Belanda yang membutuhkan banyak tenaga untuk menjalakan pemerintahannya. Politik etis yang diusulkanole J. Th van Deventer khusunya dibidang edukasi membawa pengaruh yang besar bagi pendidikan kaum perempuan. J.H. Abendanon dan istrinya mendorong dibukanya kesempatan pendidikan untuk perempuan. Namun pemerintah Hindia Belanda tidak memberi dukungan. Oleh karena itu Abendanon, istrinya beserta teman-teman Belandanya membuka sekolah yang dinamakan Kartini pada tahun 1913 yang dikhususkan untuk gadis-gadis Jawa. Didirikan ditempat seperti Jakarta (1913), Madiun (1914), Malang (1914) dan Cirebon (1916), Pekalongan (1917), Indramayu, Surabaya, dan Rembangan (1918).
Tahun 1910-an semakin banyak perempuan Indonesia memasuki dunia pendidikan Barat dan menjadi anggota elite modern, jumlah mereka memang masih kecil, bila dibandingkan dengan jumlah keseluruhan populas perempuan di Hindia Belanda. Pendidikan pun semakin diterima khususnya bagi kalangan menengah dan atas. Jumlahnya pun meningkat, tahun 1909 anak gadis yang bersekolah disekolah desa berjumlah 1097 orang; tahun 1914 menjadi 19.455 orang, dan terus meningkat pada tahun 1919 berjumlah 36.649 orang. Selain sekolah kartini terdapat juga sekolah Dewi Sartika di Jawa Barat, Rohana Kudus dan Rhmah El Yunusiyah di Sumatera Barat, dan Maria Walanda Maramis di Sulawesi Utara.
Untuk para gadis dikalangan bawah, pendidikan keterampilan sangat dibutuhkan agar mereka dapat mecari nafkah tambahan untuk keluarganya. Oleh karena itu, kaum perempuan memerlukan pengetahuan modern untuk memahami dan mendukung  gerakan kebangsaan yang sedang berkembang. Memasuki tahun 1920-an oraganisasi-organisasi perempuan semakain dipengaruhi oleh kesadaran dan semangat nasionalisme. Misalnya pada bulan Desember 1928 diadakan Kongres Perempuan Indonesia di Yogyakarta. Resolusi pertama dari kongres ini berkaitan dengan pendidikan untuk anaka-anak gadis. Kongres mendesak agar pemerintah meningkatkan jumlah sekolah untuk anak gadis sebab masih banyak orang tua yang enggan memasukan anak-anak perempuannya kesekolah yang ko-edukasi. Salah satu pembicara yang lantang mengungkapkan pentngnya pedidikan untuk perempuan adalah Siti Sundari. Ia menentang pendidikan tradisional untuk anak perempuan yang didasarkan pada keyakinan bahwa anak adalah milik orang tuanya. Pembicara yang lain adalah Nyi Hajar Dewantara, ia mengemukakan dalam bahasa jawa tentang kodrat perempuan sebagai ibu yang mengandung anak-anaknya.


Perkawinan Anak-anak dan Poligami
Dorongan untuk memajukan pendidikan bagi perempuan antara lain bertujuan untuk mencegah gadis-gadis dipaksa menikah diusia dini. Jika gadis-gadis mendapat pendidikan yang cukup, mereka akan menyadari tentang keadaan dan lingkungannya. Memang terjadi perdebatan tentang batas minimal usia bagi seseorang untuk menikah, khususnya bagi seorang gadis. Dewi Sartika seorang tokoh pendidik dari Bandung bahkan menyatakan bahwa perkawinan anak-anak adalah penyakit dalam masyarakat pribumi. Salah satu cara menghapunya adalah dengan memberikan pendidikan kepada kaum perempuan. Di Banten perkawinan anak-anak terjadi karena factor ekonomi, agar keluarga anak gadis lepas dari beban dan mengharapkan tenaga bantu dari menantunya untuk menggarap sawah ladangnya. Dan dampaknya banyak terjadi perceraian dan poligami serta buruknya kondisi istri karena melahirkan muda.
Salah satu organisasi perempuan yang gigih memperjuangkan dan penghapusan perkawinan anak-anak adalah Istri Sedar. Dalam penerbitan majalahnya yang berjudul Sedar mengemukakan masalah-masalah perkawinan anak-anak dan bahwa perempuan berhak memiliki kebebasan atas tubuhnya. Oraganisasi kebangsaan juga banyak yang menentang perkawinan anak-anak yang salah satu tokohnya adalah Dr. Sutomo yang memimpin Indonesische Studieclub di Surabaya. Tentang perkawinan anak-anak ini secraa khusus juga dibicarakan dalam berbagai pertemuan termasuk Kongres Perempuan Indonesia (KPI). Dalam KPI I tahun 1928 seorang pembicara yang bernama Mugarumah dari Putri Indonesia (PI) menyatakan bahwa perkawinan anak-anak merupakan masalah yang terpenting bagi orang Indonesia karena perkawinan anak-anak ini masih banyak terjadi di Indonesia.
Kaum perempuan juga menaruh perhatian dan berusaha untuk menghilangkan ketidakadilan yang dialami kaum perempuan dalam perkawinan, diantaranya adalah system poligami, kawin paksa, dan perceraian. KPI sejak tahun 1928 dalam setiap pertemuannya selalu memasukkan masalah perkawinan dalam agendanya. Selain itu juga mengajukan usul atau mosi kepada pemerintah Hindia-Belanda untuk mengeluarkan peraturan atau perundang-undangan. Beberapa perkumpulan perempuan Indonesia kemudian membentuk sebuah badan yang dinamakan Komite Perlindungan kaum Perempuan dan anak-anak Indonesia (KPKPAI) yang memiliki tugas dan tujuan yakni untuk memberi perlindungan kepada perempuan dan anak-anak  dalam kehidupan perkawinan. Lembaga ini juga merencanakan suatu peraturan perkawinan dan membentuk Biro Konsultasi perkawinan yang dipimpin oleh Ny. Maria Ulfa Santoso, S.H. Dalam KPI III tahun 1938 dibandung dibentuk sebuah komisi yang akan membuat rancangan peraturan perkawinan. Kongres ini memutuskan bahwa KPKPAI menjadi Badan Perlindungan Perempuan Indonesia dalam Perkawinan (BPPIP).

Hak di Bidang Politik dan hak Pilih Aktif
Bagi perempuan kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan jaminan hak pribadi dalam kehidupan perkawinan sejalan dengan perkembangannya kesadaran kaum perempuan Indonesia tentang hak politik pun semakin meningkat. Salah satu hak politik yang diperjuangkan ialah hak untuk memilih wakil-wakilnya dalam pemerintahan dan Dewan Rakyat (Volksraad). Gerakan perempuan Indonesia menuntut hak bersaudara berasal dari pengaruh yang didapat dari gerakan kaum perempuan Belanda di Hindia Belanda yang menuntut hak bersuara. Ketika kaum perempuan negeri Belanda mendapat hak bersuara atau hak memilih pada tahun 1919, para perempuan Belanda di Hindia Belanda juga menuntut hak yang sama diberikan kepada mereka. Mereka kemudian membentuk cabang Vereeniging voor Vrouwenkiesrecht (VVV) atau Asosiasi Hak Memilih Bagi Perempuan di Hindia Belanda. Memasuki era 19201-an bebrapa perempuan Indonesia bergabung dalam VVV.
Dua orang terkenal ialah Rukmini Santoso adik R.A Kartini dan Rangkoyo Chailan Syamsu Datuk Tumenggung dari Sumatra Barat. Baru tahun 1937 dikeluarkan peraturan hak pilih pasif artinya bahawa perempuan berhak diangkat dalam dewan perwakilan. Pada tahun 1938 ada empat oranf perempuan Indonesia yang diangkat sebagai anggota Dewan Daerah (Gemeente Raad) yaitu Emma Puradireja di Bandung, Sri Umiati di Cirebon, Ny. Sunario Mangunpuspito di Semarang, dan Ny Siti Sundari  Sudirman dari Surabaya. Pemberian hak pilih pasif untuk anggota Gemeente Raad kepada perempuan Indonesia saat itu mendapat sambutan baik. Namun, kaum perempuan Indonesia merasa adanya kepincangann kalau tidak juga diberi hak memilih, artinya hak pilih secara penuh. Artinya, mereka bergantung kepada kaum laki-laki untuk memilih wakil-wakilnya di dewan-dewan daerah itu. KPI pun setuju dan menuntut agar kepada kaum perempuan Indonesia diberi hak pilih secara penuh dan menganjurkan kepada organisasi-organisasi perempuan yang menjadi anggotanya untuk terus mengupayakan dengan caranya masing-masing agar perempuan Indonesia diberi hak pilih secara penuh.
Pada tahun 1939 organisasi-organisasi perempuan Indonesia mengajukan tuntutan agar diberlakukan hak pilih aktif untuk kaum perempuan Indonesia. Mereka juga menuntut agar dalam keanggotaan Volksraad, kaum perempuan juga diikutsertakan dan bukan hanya di dewan-dewan daerah. Tuntutan kaum perempuan Indonesia untuk mendapat hak pilih yang penuh, artinya hak dipilih dan hak memilih diperoleh secara bertahap. Pada awalnya pemerintah Hindia Belanda tidak ingin memberikan hak pilih secara penuh kepada kaum perempuan pribumi. Akan tetapi, dengan usaha yang gigih, pada tahun 1938 pemerintah Hindia Belanda memberikan hak pilih pasif dan baru pada tahun 1941 hak pilih aktif didapat oleh kaum perempuan Indonesia, ketika sidang Volksraad menyetujui dikeluarkan Ordonansi Pemilihan Anggota Dewan (Kiesordonantie Gemeenteraden). Akan tetapi, penggunaan hak pilih ini belum terlaksana, karena pada tahun 1942 bala tentara Jepang menjatuhkan kekuasaan pemerintah Hindia Belanda.
B.     Pertumbuhan dan Perkembangan Gerakan Perempuan
Semangat kebangsaan yang tumbuh dan berkembang pada awal abad ke-20 di Indonesia telah membawa pengaruh yang besar bagi kaum perempuan pribumi. Salah satu faktor pendorongnya adalah pendidikan Barat yang menghasilkan elite baru dalam masyarakat Kolonial yang disebut elite modern. Sama seperti kaum laki-laki, mereka ini tumbuh kesadarannya akan situasi dan kondisi hidup dalam masyarakat yang terjajah. Pendidikan Barat ini, seperti yang telah dinikmati antar lain oleh R.A. Kartini, Dewi Sartika, Maria Walanda Maramis, dan Rahma El Yunussiayah telah membantu kaum perempuan Indonesia menyatakan apa yang mereka butuhkan berdasarkan persepsi mereka sendiri. Mereka juga menyadari berbagai masalah yang dihadapi oleh orang Indonesia khususnya kaum perempuannya. Banyak hambatan yang dihadapi oleh kaum perempuan untuk dapat perlu sekolah, karena tugasnya adalah di rumah istri dan Ibu. Padahal, untuk dapat mendidik anak-anaknya, seorang Ibu harus memahami dan mengetahui apa yang diperlukan oleh anaknya.
Oleh karena itu, dari beberapa orang yang beruntung dapat mengecap pendidikan Barat muncul tokoh-tokoh pergerakan perempuan. Pada awal abad ke-20 ini gerakan perempuan sering diidentifikasi dengan semangat nasionalisme. Namun, jika kita cermati sifat gerakan perempuan yang mendasar adalah semangat emansipasi. Tambahan lagi gerakan perempuan ini tidaklah mencerminkan dan mewakili keseluruhan kaum perempuan Indonesia. Perempuan yang hidup di pedesaan dan tidak berpendidikan atau perempuan dari kalangan etnik lain seperti Cina dan Arab tidak termasuk dalam gerakan perempuan ini. Gerakan perempuan ini didominasi oleh kaum perempuan terpelajar yang tinggal di wilayah perkotaan. Karena para pendirinya dan aktivisnya adalah kaum perempuan muda yang berpendidikan Barat, gerakan-gerakan dan organisasi-organisasi perempuan itu terdapat dimana pendidikan Barat diadakan seperti di Jawa, Sumatra, dan Sulawesi Utara.
Yang dapat dianggap sebagai organisasi dan pelopor gerakan perempuan Indonesia adalah Putri Mardika yang dibentuk pada tahun 1912 di Jakarta atas bantuan Budi Utomo. Tujuan perkumpulan ini adalah memberi bantuan, bimbingan, dan penjelasan kepada para gadis pribumi dalam menuntut pelajaran. Melalui majalah yang diterbitkan yang juga bernama Poetri Mardika dikemukakan hal-hal yang berguna bagi kaum perempuan untuk menghilangkan rasa rendah diri dan meningkatkan derajatnya. Di samping itu, juga dibangkitkan kesadaran perempuan untuk berani bertindak di luar rumah dan menyatakan pendapatnya di muka umum. Organisasi ini juga memberi beasiswa kepada gadis-gadis yang ingin maju dan menerima anggota laki-laki. Ketuanya adalah R.A. Theresia Sabarudin dibantu oleh Sadikun Tondokusumo, R.A. Sutinah Joyopranoto, dan Rr. Rukmini. Walaupun Putri Mardika tidak berumur panjang, pengaruhnya cukup besar terhadap kaum perempuan pribumi yang berpendidikan.
Kemudian muncul berbagai organisasi perempuan di berbagai tempat, misalnya Pawiyatan Wanito di Magelang (1915) Wanito Hadi di Jepara (1915), Purborini di Tegal (1917), Wanito Susilo di Pemalang (1918), Putri Budi Sejati di Surabaya (1919), dan Wanito Mulyo di Yogyakarta (1920). Di Bukittinggi, pada tahun 1920 terbentuk Sarikat Kaum Ibu Sumatra dan di Gorontalo, Sulawesi Utara, pada tahun yang sama berdiri Gorontalosche Mohammedansche Vrouwen Vereeninging. Pada umumnya organisasi-organisasi ini bersifat sekuler dan bertujuan mempererat tali persaudaraan untuk bersama-sama mengusahakan kemajuan perempuan, meningkatkan kepandaian, mencari kesempatan lebih banyak untuk para gadis pribumi dalam memperoleh pendidikan, serta meningkatkan kesejahteraan perempuan dengan usaha menghapus ketidakadilan dalam keluarga dan masyarakat.
Di Minahasa, yang terletak tidak jauh dari Gorontalo berdiri organisasi yang bernama PIKAT (Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya) pada tanggal 8 Juli 1917. Pelopornya adalah Maria Walanda Maramis (1872-1924) yang sejk lama menaruh perhatian pada pendidikan untuk para gadis walaupun dia sendiri hanya sempat bersekolah tiga tahun di sekolah desa. Sebagai anak yatim piatu, putri pedagang kecil, ia tidak berhak masuk ke sekolah yang lebih tinggi. Kesempatan mengembangkan diri akhirnya datang ketika ia menikah dengan Josef Federik C. Walanda  yang seorang guru.
Dengan bantuan dan dukungan suaminya ia belajar bahasa Belanda sehingga mampu membaca buku-buku dalam bahasa Belanda. Dari buku-buku yang dibacanya ia memperoleh banyak pengetahuan yang mendorong berkembangnya berbagai gagasan. Salah satu idenya adalah bagaimana caranya agar gadis-gadis yang lulus sekolah desa dapat melanjutkan pelajarannya tanpa terhalang oleh status orang tuanya. Maria sendiri mengalami bahwa ia tidak dapat melanjutkan studinya setelah lulus dari sekolah desa hanya disebabkan ayahnya sebagai pedagang kecil. Saudara-saudara sepupunya yang perempuan desa melanjutkan sekolahnya ke Miesjesschool karena pamannya yang juga memeliharanya adalah seorang Kepala Distrik dengan gelar mayor.
Di kalangan kaum perempuan Islam semangat gerakan emansipasi pun berkembang sejalan dengan tumbuhnya gerakan kebangsaan. Berdirinya Muhammadiyah pada tahun 1912 mendorong pembentukan organisasi perempuan Islam yaitu Aisyah pada tanggal 12 April 1917. Namun ini disepakati karena berkaitan dengan nama istri nabi Muhammad yang bernama Aisyah. Sebagai istri Nabi Aisyah ternyata aktif bekerja untuk membantu perjuangan Nabi Muhammad khususnya dalam bidang perekonomian rumah tangga. Apa yang dilakukan Aisyah, dilakukan juga oleh kaum perempuan Islam yang tinggal di Kampun Kauman, Yogyakarta. Banyak dari mereka yang aktif berdagang, sebagai pengusaha dan pembuat batik.
Sebelum Aisyiyah berdiri, di kalangan perempuan muslim Muhammadiyah telah banyak kegiatan yang dilakukan. Nyai Ahmad Dahlan, istri pendiri Muhammadiyah Kyai Ahmad Dahlan, telah lama mencita-citakan agar perempuan muslim selain tahu tugasnya sebagai Ibu Rumah Tangga, juga tahu dan paham akan tugas mereka dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ia juga meminta kepada suaminya agar Muhammadiyah menaruh perhatian kepada kaum perempuan dengan memberi pendidikan dan bimbingan supaya mereka juga mengerti tentang organisasi. Menurutnya kaum perempuan juga harus mendapat perhatian sebaik-baiknya karena ia yakin bahwa tanpa perempuan perjuangan tidak akan berhasil.
Langkah pertama yang diambil Nyai Ahmad Dahlan dalam mewujudkan cita-citanya adalah dengan mengadakan pengajian bagi kaum perempuan dari segala usia di Kampung Kauman. Kegiatan semacam ini juga diselenggarakan di tempat lain. Bukan hanya pengajian, melainkan berbagai aktivitas yang berguna bagi perempuan juga dilakukan perempuan Muhammadiyah. Kelompok pengajian kaum perempuan Muhammadiyah ini kemudian dibina untuk membantu tugas-tugas bagian Penolong Kesengsaraan Oemat (PKO) Pengurus Besar Muhammadiyah dan diberi nama Sopo Tresno pada tahun1914 secara khusus tugasnya adalah menyantuni anak yatim piatu di samping kursus-kursus kepandaian putri.
Memasuki tahun 1920-an gerakan kebangsaan semakin meningkat aktivitasnya. Sementara itu, pemerintah kolonial bereaksi dan bertindak semakin represif. Di kalangan kaum perempuan organisasi baru tumbuh dan berkembang dan organisasi-organisasi yang sudah ada pun berkembang kiprahnya walaupun harus selalu berhati-hati dalam mengeluarkan pernyataan agar tidak ditindak oleh penguasa kolonial.
Dengan berkembangnya pendidikan untuk perempuan semakin banyak perempuan yang mampu berorganisasi. Organisasi-organisasi yang ada pun memberi kesempatan kepada kaum perempuan untuk menjadi anggotanya dan membentuk bagian perempuan, misalnya, Jong Java Meisjeskring, Taman Siswa (1922), dan Putri Indonesia (1927). Aisyiyah dari Muhammadiyah pun semakin berkembang. Pada tahun 1927 Sarekat Ambon mendirikan bagian perempuan yang dinamakan Ina Tuni.
Bagian perempuan dari perkumpulan Pemuda Indonesia (Jong Indonesie) dibentuk di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta dengan nama Putri Indonesia. Sama seperti putri Indonesia tujuannya adalah memperkuat dan mengembangkan semangat persatuan dan kebangsaan Indonesia. Hal ini banyak dipengaruhi oleh Partai Nasional Indonesia (PNI). Anggota Putri Indonesia umumnya adalah gadis-gadis yang telah mengecap pendidikan Barat. Kesadaran kebangsaan mereka cepat berkembang di samping kesadaran meningkatkan peran dan status kaum perempuan dalam masyarakat. Oleh karena itu, Putri Indonesia menekankan pentingnya pendidikan untuk kaum perempuan. Sebagai Ibu rumah tangga pengetahuan umum juga diperlukan karena mereka adalah pendidik bagi anak-anaknya. Yang diketuai oleh Suyatin (Ny. S. Kartowiyono).
Kaum perempuan yang beragama Katolik pun tidak mau tinggal diam. Mereka membentuk organisasi yang diberi nama Wanita Katolik di Yogyakarta pada tanggal 26 Juni 1924. Tujuan organisasi ini adalah memberi kesadaran kepada para anggotanya agar menjadi warga gereja dan warna negara yang baik. Mereka juga harus meningkatkan martabatnya sebagai perempuan Katolik. Setelah wanita Katolik terbentuk, segera berdiri cabangnya ditempat-tempat yang banyak warga penganut Katolik, seperti di Solo, Klaten, Semarang, Magelang, Muntilan, dan Surabaya. Wanita Katolik juga tarif aktif dalam Kongres Perempuan Indonesia I tahun 1928 di Yogyakarta.
Para pengurus Besar Budi Utomo pada tanggal 24 April 1921 mendirikan perkumpulan khusus perempuan di Yogyakarta yang dinamakan Wanito Utomo. Organisasi ini tidak khusus untuk para istri anggota Budi Utomo, tetapi juga menerima perempuan-perempuan lain di luar Budi Utomo yang berminat. Tujuannya adalah memajukan keterampilan perempuan sesuai dengan tuntutan zaman dan membina persaudaraan untuk tolong-menolong. Adapun kegiatannya antara lain mencari dana dengan mengadakan bazar dan hasilnya disumbangkan ke rumah sakit, ke PKO (Pertolongan Kesengsaraan Oemoem) dari Muhammadiyah dan untuk beasiswa dari Studiefonds Darmo Woro.
Adapun tahun 1937 dibuka seksi simpan pinjam yang dinamakan Karti Hardono Wanito Utomo. Wanito Utomo membubarkan diri pada zaman Jepang dan bergabung pada Fujinkai karena pemerintah pendudukan Jepang membubarkan semua organisasi yang berdiri sejak masa Hindia Belanda dan membentuk organisasi baru.
Ketika perguruan Taman Siswa didirikan oleh Suwardi Suryaningrat atau Ki Hajar Dewantara pada tanggal 3 Juli 1922 di Yogyakarta, kaum perempuan di lingkungan perguruan tersebut pun membentuk kesatuan yang dinamakan Perempuan Taman Siswa. Pemrakarsanya adalah R.A. Suwardi Suryaningrat yang berganti nama menjadi Nyi Hajar Dewantara sesuai dengan pergantian nama suaminya. Ia dibantu oleh Rumsiah, Jumilah, Siti Marsidah, dan Ny.Sutomo.
Adapun semboyan dari Perempuan Taman Siswa ialah Suci Tata Ngesti Tuggal (Bersatu, Tertib, dan Disiplin). Asas dan tujuannya sama dengan Perguruan Taman Siswa yaitu memajukan pendidikan. Dalam hal ini terutama adalah pendidikan bagi kaum perempuan. Selain itu, diusahakan untuk memelihara hubungan kekeluargaan dalam lingkungan Taman Siswa dan dengan organisasi-organisasi lainnya. Oleh karena itu, pada tahun 1928 Wanita Taman Siswa  bersama dengan Wanito Utomo dan Putri Indonesia memprakarsai Kongres Perempuan Indonesia untuk memprakarsai Kongres Perempuan Indonesia untuk menggalang persatuan. Wanita Taman Siswa pun terus berkembang sejalan dengan perkembangan perguruan Taman Siswa ke berbagai tempat di Indonesia.
Dilihat oleh semangat Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 tentang Persatuan, kaum perempuan yang aktif dalam organisasi-organisasi perempuan berinisiatif untuk menyatukan gerakan mereka. Semangat persatuan dan kesatuan yang terus berkembang menjadi dasar bagi meningkatnya semangat dan kesadaran nasional.
Atas inisiatif tujuh organisasi perempuan yaitu Wanito Utomo, Putri Indonesia, Aisyiyah, Wanita Taman Siswa, Jong Islamieten Bond Dames Afdeeling, Jong Java Meisjeskring, Wanita Katolik dengan tiga tokoh pemrakarsa yaitu Ny.R.A.Sukonto, Nyi Hajar Dewantara, dan Suyatin (Ny. S.Kartowiyono) diadakan Kongres Perempuan Indonesia dari tanggal 22-25 Desember 1928. Kongres diselenggarakan di Pendopo Joyodipuran, Yogyakarta milik seorang bangsawan keraton yang bernama R.T. Joyodipuro.
Di samping ketujuh organisasi perempuan yang menjadi pemrakarsa, kongres ini diikuti oleh 15 organisasi perempuan dari berbagai kota di Jawa. Kelima belas organisasi itu adalah Budi Rini (Malang), Budi Wanito (Solo), Darmo Laksmi (Salatiga), Kartiwara (Solo), Kusumo Rini (Kudus), Margining  Kautaman (Kemayoran), Natdlatul Fataat (Yogyakarta), Panti Krido Wanito (Pekalongan), Putri Budi Sejati (Surabaya), Rukun Wanodiyo (Jakarta), Sancaya Rini (Solo), Sarikat Islam Bagian Istri (Surabaya), Wanito Kencono (Banjarnegara), Wanito Mulyo (Yogyakarta), dan Wanita Sejati (Bandung). Organisasi-organisasi ini ada yang bersifat keagamaan yaitu Islam dan Katolik, ada juga yang sekuler. Menurut catatan kongres ada 30 organisasi yang mengirim utusan. Namun, dalam kenyataannya ada beberapa yang merupakan cabang dari organisasi yang sama.
Dari perkumpulan laki-laki yang hadir antara alain dari Budi Utomo, PNI (Pimpinan Pusat), CPPPBD, Perhimpunan Indonesia (Pimpinan Pusat), Partai Islam (cabang), Partai Sarikat Islam (Yogyakarta), MKD, Jong Java (Yogyakarta), Walfajri (Pimpinan Pusat), Persaudaraan Antara Pandu Indonesia Batavia, PJA, PTI, Jong Madura, Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Jong Java Batavia, Jong Islamieten Bond (Pimpinan Pusat), PAPIM, PSD, Sangkara Muda, INPO, dan Sarikat Islam cabang Pandu, juga wakil dari Pers dan Pemerintah.
Kongres mendapat dukungan dari berbagai organisasi yang tidak dapat hadir dan mereka mengirim telegram yaitu dari Kaum Ibu Sumatra, Kautaman Istri Sumtra, Wanita Utama Bogor, Putri Pemuda Sumatra, Jakarta, Perserikatan Marsudi Rukun Jakarta, Dewan Pimpinan Majelis Ulama, dan Pemuda Sumatra, Jakarta.
Adapun maksud dan tujuan kongres ini adalah menjalin hubungan dari berbagai perkumpulan kaum perempuan yang sudah ada agar dapat membicarakan hal yang dihadapi kaum perempuan Indonesia. Seperti disampaikan oleh ketua Kongres Ny. R.A. Sukonto dalam sambutan pembukaan Kongres bahwa kaum perempuan pribumi sangat tertinggal jika dibandingkan dengan kaum perempuan dari bangsa dan negara lain. Selain itu, disadari karena zaman telah berubah, kaum perempuan harus mampu mengikuti kemajuan zaman tanpa harus meninggalkan kewajibannya sebagai Ibu dan istri yang mengurus rumah tangga. Akan tetapi, derajat perempuan harus disamakan dengan laki-laki dan jangan sampai direndahkan.
Ny. R.A. Sukonto menyatakan:
   “... Orang lelaki dan orang perempuan itoe moesti berdjalan bersama-sama di dalam bergaoelan pripengidoepan oemoem. Artinya tidaklah perempoean menjadi laki, akan tetapi perempoean hanya tinggal masih perempoean akan tetapi deradjatnya haroes disamakan dengan orang lelaki, djangan sampai direndahkan waktoe doeluoekala (kolot).
Kongres perempuan Indonesia I dibuka pada sabtu malam tanggal 22 Desember 1928 dihadiri oleh sekitar 1.000 orang. Di samping anggota delegasi dari berbagai organisasi perempuan, hadir juga beberapa tokoh pergerakan nasional seperti Mr. Singgih, dan Dr. Supomo dari Budi Utomo, My. Suyadi dari PNI, Dr. Sukiman dari PSI dan A.D.Haani dari Walfajri. Perhatian peserta selama kongres berlangsung yang tiga hari lama tetap besar. Menurut laporan walaupun hujan deras peserta tetap datang sehingga jumlahnya berkisar antara 500-750 orang.
Dari laporan kongres yang didokumentasikan secara lengkap dan dengan baik oleh Susan Blackburn, dapat diketahui ada 15 pembicara yang mewakili berbagai organisasi. Pokok permasalahan yang dikemukakan terutama berkisar pada masalah-masalah yang dihadapi kaum perempuan pada masa itu dan bagaimana menghadapi dan menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Cara dan gaya pembicara pun memiliki kekhasan sendiri. Misalnya Nyi Hajar Dewantara yang mengemukakan tentang perilaku atau adab yang baik bagi perempuan disampaikan dalam Bahasa Jawa. Menurut Nyi Hajar perilaku yang baik adalah yang bersifat menghargai termasuk menghargai dirinya sendiri.
Pokok permasalahan yang banyak mendapat perhatian adalah tentang hak-hak kaum perempuan dalam perkawinan termasuk soal poligami dan perkawinan anak-anak tentang pentingnya pendidikan bagi perempuan khususnya pendidikan modern yang berarti Barat, persamaan hak perempuan dan laki-laki dan yang terpenting adalah tentang persatuan dan kesatuan.
Keputusan yang diambil oleh Kongres Perempuan Indonesia adalah sebagai berikut :
Keputusan yang terpenting dari kongres ini adalah membentuk badan permufakatan yang dinamakan Perikatan Perempuan Indonesia (PPI) dan berkedudukan di Yogyakarta atau di tempat lain yang menjadi tempat tinggal pengurusnya. PPI diketuai oleh Ny. R.A. Sukonto (Wanito Utomo). Dalam rancangan statuta pembentukannya disebutkan dalam pasal II tentang maksut pembentukan PPI yaitu “... menjadi perhatian antara segala perhimpoenan Indonesia dan memperbaiki nasib dan deradjat perempoean oemoemnya, teristimewa perempoean Indonesia, tiada dengan berazas sesoeatu agama atau politiek”.
Usaha-usaha yang dijalankan antara lain menerbitkan surat kabar yang akan menjadi tempat bagi kaum perempuan Indonesia untuk mengemukakan gagasan dan kehendak yang berkaitan dengan hak dan kewajibannya; membentuk studie fonds (badan derma) untuk membantu gadis-gadis yang tidak mampu bersekolah, mencegah perkawinan anak-anak, selain itu juga mengirim mosi kepada pemerintah Hindia Belanda agar:
1.        Secepatnya mengadakan dana untuk janda dan anak-anak,
2.        Jangan mencabut onderstand  (tunjangan pensiun), dan
3.        Memperbanyak jumlah sekolah khusus untuk para gadis juga mengirim mosi kepada pengadilan agama agar setiap talak dikukuhkan secara tertulis sesuai dengan peraturan agama Islam.
Setiap tahun PPII mengadakan Kongres yang diselenggarakan di kota yang berbeda. Dalam kongres tahun 1929 ditetapkan bahwa Pengurus PPII tetap berkedudukan di Yogyakarta yang pada masa itu disebut Mataram. Ditentukan juga bahwa badan dana beasiswa disebut Seri Derma dan surat kabar yang diterbitkan di Jakarta dinamakan Isteri. Yang berhak menjadi anggot federasi ini adalah induk organisasi dan bukan cabang-cabangnya. Ketika Mugarumah meninggal, ia mewariskan kekayaannya pada Seri Darma yang menyediakan dana bagi gadis-gadis tidak mampu dan berniat melanjutkan studinya.
Setelah segala persiapan dianggap cukup, panitia Kongres yang antara lain beranggotakan Ny. Sri Mangunsarkoro, Ny. Suwarni Pringgodigdo, Ny. Abdulrachman, dan Ny. Moh. Husni Thamrin mengadakan Kongres Perempuan Indonesia II (KPI II) di Jakarta pada tanggal 20-24 Juli 1935. Kongres ini dipimpin oleh Ny. Sri Mangunsarkoro dan dibantu oleh Ny. Sh. Suparto. Adapun maksud KPI II ini adalah mngeratkan hubungan persaudaraan antara organisasi-organisasi perempuan Indonesia, usaha memperbaiki nasib perempuan Indonesia pada khususnya dan rakyat Indonesia pada umumnya.
Adapun dasar dari KPI II, sebagai berikut:
1.             Kenasionalan artinya tiap-tiap perkumpulan yang turut haruslah mengakui bahwa Indonesia adalah tumpah darahnya dan bekerja untuk rakyat Indonesia pada umunya.
2.             Kesosialan artinya segala pembicaraan dan pekerjaan ditujukan kepada perbaikan masyarakat pada umumnya, dengan tiada memasukkan soal agama dan politik.
3.             Kenetralan artinya:
a.         Bahwa tiap-tiap anggota wajib menghargai pendirian dan haluan masing-masing golongan.
b.         Perbedaan dalam paham dan haluan hendaknya dipandang sebagai suatu hal yang dapat menambah luas dan dalamnya pandangan masing-masing.
4.             Keperempuanan artinya bahwa pekerjaan Kongres harus ditujukan kepada pembukaan segala jalan bagi perempuan Indonesia ke arah kemajuan dan ketinggian derajatnya untuk menjalankan kewajibannya sebagai Ibu bangsa. Konsep “Ibu Bangsa” ini sangat penting untuk ditelaah karena dalam KPI II ini ditekankan tentang kewajiban utama perempuan Indonesia adalah berusaha menumbuhkan generasi baru yang lebih sadar akan kebangsaannya. Untuk mencapai hal itu harus dijalin hubungan yang baik antara generasi tua dan generasi muda, sehingga tercipta saling pengertian dan saling menghargai.
KPI II juga menaruh perhatian yang besar pada nasib kaum pekerja perempuan dan anak-anak. Di bawah pimpinan Ny. Sri Mangunsarkoro dibentuk suatu badan yang berkewajiban menyelidiki keadaan kaum buruh perempuan di Indonesia. Badan ini dinamakan Badan Penyelidik Perburuhan Perempuan Indonesia (BPPPI). Para anggota KPI berkewajiban untuk memberi bantuan kepada mereka yang mengalami ketidakadilan baik dalam pekerjaan maupun dalam perkawinan. Anjuran hidup sederhana juga terus digiatkan agar kelebihan kekayaan pada mereka yang berkecukupan dapat digunakan untuk perjuangan kebangsaan. Jumlah anggota KPI II bertambah besar dengan KPI I. Namun, masih ada organisasi perempuan yang tidak bergabung dalam KPI II misalnya Istri Sedar yang dipimpin oleh Ny. Suwarni Pringgodigdo. Organisasi yang dibentuk tahun 1930 ini semula ikut dalam KPI II. Akan tetapi, karena ada beberapa hal yang tidak sesuai dengan prinsip yang dianutnya misalnya tentang kedudukan perempuan dalam hukum perkawinan Islam yang mengizinkan poligami. Istri Sedar keluar dari KPI II.
Hal lain yang terjadi setelah KPI II berlangsung adalah pembubaran PPII. Dalam pertemuan yang diadakan pada tanggal 14-15 September 1935 di Yogyakarta disepakati bahwa PPII membubarkan diri karena asas dan tujuannya sama dengan KPI. Sehubungan dengan itu, semua harta kekayaan PPII termasuk Seri Derma diserahkan kepada KPI yang sudah menjadi badan federasi organisasi-organisasi perempuan.
Berbagai isu yang dibahas dalam kongres ini masih sangat relevan dengan kaum perempuan Indonesia dewasa ini. Masalah peraturan perkawinan yang sangat diperlukan sebagai perlindungan bagi perempuan yang seringkali hak-haknya terabaikan merupakan isu utama yang selalu dibicarakan oleh organisasi-organisasi perempuan. Demikian juga halnya dengan perdagangan perempuan dan anak-anak baik yang nyata maupun terselubung menjadi perhatian dan kepedulian perempuan hingga masa kini.
Masalah-masalah besar yang dihadapi kaum perempuan Indonesia tetap menjadi perhatian utama dan masuk menjadi agenda dalam Kongres Perempuan Indonesia IV. Kongres ini diadakan pada tanggal 25-28 Juli 1941 dan dipimpin oleh Ny. Sunaryo Mangunpuspito. Perhatian organisasi-organisasi perempuan menjadi anggota KPI tetap besar membuat mereka semakin bersemangat memperjuangkan bukan saja hak-hak perempuan, melainkan juga hak-hak bangsa Indonesia secara keseluruhan.


BAB 3. PENUTUP

3.1         Kesimpulan

Faktor – faktor yang mendorong lahirnya pergerakan kebangsaan dalam masyarakat pribumi Indonesia (Hindia Belanda) dapat dipilahkan dalam 2 faktor  diantarnya faktor internal dan faktor eksternal, faktor internal datang dari kondisi atau realitas sosial, ekonomi, politik masyarakat pribumi berkaitan dengan kolonialisme belanda. Sedangkan faktor eksternal berasal dari luar wilayah Indonesia yang ikut mempengaruhi bangkitnya kesadaran berbangsa di kalangan masyarakat pribumi Indonesia (Hindia-Belanda).
Pada masa akhir masa Hindia Belanda terdapat beberapa organisasasi 1) Fraksi Nasional. Fraksi ini didirikan tanggal 27 Januari tahun1930 di Jakarta beranggotakan 10 anggota wakil dari daerah – daerah jawa, Sumatra, Sulawesi dan Kalimantan. Dan diketuai oleh Moh Husni Thamrin. Kegiatan pertama dari fraksi ini adalah pembelaan terhadap pemimpin- pemimpon PNI yang di tangkap dalam sidang pengadilan kolonial. 2) Petisi Sutardjo. Dicetuskan oleh Soetardjo Kartohadikusumo. Petisi ini, diusulkan di luar tanggung jawab PPBB. Landasan usul adalah pasal 1 UU Kerajaan Belanda. Usul petisi bernama Petisi Sutardjo,diajukan pada tanggal 15 Juli 1936 kepada pemerintah, Ratu serta Parlemen di negara Belanda dan ditolak. 3) Gabungan Politik Indonesia. Organisasi ini dibentuk pada tanggal 21 Mei 1939 di Jakarta dan dipimpin oleh Moh Husni Thamrin, Mr, Amir Syarifuddin, Abikusno Tjokrosuyoso. Muhammadiyah adalah organisasi Islam modern yang didirikan di Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 oleh K.H. Ahmad Dahlan. Muhammadiyah berarti umat Muhammad atau pengikut Muhammad.
Kehidupan kaum perempuan Indonesia sekitar abad ke-19 dan awal abad ke-20 tidak dapat digeneralisasikan. Kaum perempuan Indonesia juga mengolah tanah, menanam, memlihara tanaman dan mengolah hasil panen, kaum perempuan didesapun juga tidak kalah kegiatannya dengan kaum laki-laki. gerakan perempuan Indonesia adalah Putri Mardikam yang dibentuk pada tahun 1912 di Jakarta atas bantuan Budi Utomo.

Daftar Pustaka

Kahin, George McTurnan. 1995. Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia: Timbulnya Pergerakan Kebangsaan Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Kartodidjo, sartono. 2010. Sejarah Nasional Indonesia jilid V: Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia Belanda. Jakarta: Balai Pustaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar