
PERJUANGAN
MENGARAH KE PERSATUAN DAN KESATUAN SELAMA MASA PERGERAKAN NASIONAL INDONESIA
(Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Sejarah
Nasional Indonesia III)
Dosen
Pengampu:
Dr. Nurul Umamah, M.Pd
Oleh
Diana Kusuma
Widyastutik
140210302006 /
A
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah swt
yang telah melimpahkan rahmat, taufik, serta hidayah-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan pengerjaan makalah yang berjudul “Perjuangan
Mengarah Ke Persatuan dan Kesatuan Selama Masa Pergerakan Nasional Indonesia”. Makalah ini
disusun guna memenuhi tugas mata
kuliah Sejarah Nasional Indonesia III.
Pada kesempatan ini, kami
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga
makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Saya sebagai penyusun menyadari
bahwa dalam penulisan makalah ini masih
jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan saran dan kritik
yang bersifat membangun dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat memberikan
informasi dan bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu
pengetahuan bagi kita semua.
Jember, 4 November
2015
DAFTAR ISI
halaman
BAB. 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada masa kolonial
Belanda, rakyat Indonesia sangat menderita. Penderitaan rakyat tersebut
diakibatkan oleh kebijakan-kebijakan kolonial yang merugikan rakyat. Sebagai
rakyat kecil yang ditindas oleh penjajah, tentu rakyat Indonesia ingin
memberontak, demikian pula para mahasiswa dan pemuda masa itu.
Penderitaan itu
menjadikan rakyat Indonesia muncul kesadaran nasionalnya dan mulai memahami
perlunya menggalang persatuan. Atas prakarsa para kaum intelektual, persatuan
itu dapat diwujudkan dalam bentuk perjuangan yang bersifat modern. Perjuangan
tidak lagi menggunakan kekuatan senjata tetapi dengan menggunakan
organisasi-organisasi pemuda. Berkembangnya sistem pendidikan Barat melahirkan
golongan terpelajar. Adanya diskriminasi dalam pendidikan kolonial dan tidak
adanya kesempatan bagi penduduk pribumi untuk mengenyam pendidikan, mendorong
kaum terpelajar untuk mendirikan sekolah untuk kaum pribumi. Sekolah ini juga
dikenal sebagai sekolah kebangsaan sebab bertujuan untuk menanamkan rasa
nasionalisme di kalangan rakyat dan mencetak generasi penerus yang terpelajar
dan sadar akan nasib bangsanya.
Lahirnya
Pergerakan Nasional Indonesia (Pengaruh pendidikan, Diskriminasi dan Pengaruh
paham baru). Lahirnya Pergerakan Nasional Indonesia (Pengaruh pendidikan,
Diskriminasi dan Pengaruh paham baru). Menurut Sartono Kartodirjo, nasionalisme
Indonesia merupakan antitesa dari kolonialisme. Maksudnya, lahirnya nasionalisme
karena adanya penjajahan oleh Belanda.
1.2
Rumusan Masalah
1. Apakah
faktor-faktor yang menjadi pendorong adanya pergerakan nasional Indonesia ?
2. Bagaimana
perjuangan organisasi-organisasi Indonesia pada akhir masa Hindia Belanda yang
mengarah ke persatuan dan kesatuan selama masa Pergerakan nasional ?
3. bagaimana
perjuangan gerakan perempuan dan pemuda yang mengarah pada persatuan dan
kesatuan selama masa Pergerakan Nasional ?
1.3 Tujuan
1. untuk
mengetahui faktor-faktor yang menjadi latar belakang adanya pergerakan nasional
Indonesia,
2. untuk
mengetahu perjuangan organisasi-organisasi Indonesia pada akhir masa Hindia
Belanda yang mengarah ke persatuan dan kesatuan selama masa Pergerakan
Nasional,
3. untuk
mengetahui perjuangan gerakan perempuan dan pemuda yang mengarah pada persatuan
dan kesatuan selama masa Pergerakan Nasional.
1.4 Manfaat
1.
bagi mahasiswa
dapat mengetahui latar belakang pergerakan nasional Indonesia dan perjuangan
organisasi – organisasi Indonesia untuk mengarah ke peratuan dan kesatuan
selama masa pergerakan nasional,
2.
dengan adanya makalah ini
diharapkan dapat memicu pembaca agar lebih mengerti dan memahami tentang
perjuangan organisasi – organisasi Indonesia selama masa pergerakan nasional.
BAB 2. PEMBAHASAN
2.1 Faktor Faktor Pendorong Adanya Pergerakan Nasional Indonesia
Faktor
– faktor yang mendorong lahirnya pergerakan kebangsaan dalam masyarakat pribumi
Indonesia (Hindia Belanda) dapat dipilahkan dalam 2 faktor diantarnya faktor internal dan faktor
eksternal, faktor internal datang dari kondisi atau realitas sosial, ekonomi,
politik masyarakat pribumi berkaitan dengan kolonialisme belanda. Sedangkan
faktor eksternal berasal dari luar wilayah Indonesia yang ikut mempengaruhi
bangkitnya kesadaran berbangsa di kalangan masyarakat pribumi Indonesia
(Hindia-Belanda).
Pertama,
faktor internal meliputi beberapa fenomena/gejala, kejadian/peristiwa sebagai
berikut:
1.
Penderitaan
masyarakat pribumi akibat kebijakan pemerintah kolonial, terutama sejak
diberlakukannya politik tanam paksa/cultuur stelsel (1830-1879) dan politik
liberal/Open Door Policy (1870-1900). Penderitaan rakyat pribui diantaranya
proses pemiskinan secara struktural (poverty process), kelaparan, wabah
penyakit, ketercerabutan atau keterasingan (alineation) dari akar- akar budaya
tradisionalnya. Kesamaan penderitaan ini menimbulkan perasaan senasib
sepenanggunngandari beberapa golongan dan mendorong terjadinya proses integrasi
nasional.
2.
Lahirnya
golongan intelektual, cerdik-pandai atau cendekiawan sebagai akibat dari
kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang mengembangkan pendidikan untuk
masyarakat pribumi indonesia (Hindia-Belanda).
3.
Program
Pax-Neerlandica dari Gubernur Jenderal J.B. van Heutz (1904-1909) Hal ini ikut
memudahkan bagi masyarakat pribumi Indonesia untuk menjalin interaksi dan
komunikasi satu sama lain, serta penyebar luasan gagasan nasionalisme.
4.
Program
Desentralisasi tahun 1803 berupa pelimpahan wewenang dan kekuasaan dari tangan
gubernur jenderal kepada residen memberikan kesempatan bagi masyarakat pribumi
untuk menjadi pegawai pamong praja dan melatih dalam hal administrasi
pemerintahan.
5.
Kebijakan
Ordonansi Perkawinan tahun 1895 yang isinya mewajibkan semua penduduk pribumi
di pulau jawa dan Madura yang berada di luar kerajaan Mataram yang tidak
memeluk agama kristen agar kawin dan cerai menurut hukum agama islam. Kebijakan
ini menjadi titik temu antara islam dan pribumi yang memposisikan Belanda
sebagai musuh bersama. Dalam pandangan islam, Belanda adalah kafir kitabi yang
harus dilawan. Sementara itu, kalangan pribumi juga menganggap Belanda sebagai
golongan asing yang harus diusir. Keluarnya ordonansi Perkawinan ini
menimbulkan dampak bahwa orang merasa terbiasa dan merasa yakin untuk
menyatakan diri sebagai orang islam.
6.
Inspirasi
dari dua kerajaan besar, yakni Sriwijaya dan Majapahit, yang fakta-fakta
sejarahnya diungkap oleh para sarjana Belanda/Brat sendiri seperti N.J. Krom,
Brandes, dan Casparis.
7.
Adanya
kepercayaan rakyat terhadap kedatangan pemimpin seorang pemimpin agung, Ratu
Adil, dan ramalan Jayabaya, yang mencerminkan keinginan rakyat hidup mandiri
dan merdeka.
Kedua,
faktor eksternal, diantaranya sebagai berikut:
1.
Masuknya
ide, konsep, wacana atau ideologi dari barat seperti: Nasionalisme, Demokrasi,
hak-hak Asasi manusia (HAM), Feminisme/Perjuangan Emansipasi Wanita, dan
lain-lain ikut menumbuhkan kemandirian dan kesadaran berbangsa.
2.
Berkembangnya
gerakan modernisme atau pembaruan Islam Modern yang ikut menumbuhkan kesadaran
berbangsa di kalangan masyarakat Muslim Indonesia (Hindia-Belanda). Hal ini
karena pokok pikiran utama Gerakan Pembaharuan islam Modern adalah integrasi
antara islam dengan kehidupan modern (barat) yang ditandai oleh kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi (iptek).
3.
Peperangan
yang terjadi antara Jepang dan rusia (1904-1905) di selat Tsusyima yang
dimenangkan oleh pihak jepang. Kemenangan jepang telah membangkitkan rasa
percaya diri dan kesadaran bangsa-bangsa berkulit warna (bangsa-bangsa asia)
bahwa mereka dapat mengalahkan bangsa-bangsa berkulit putih (bangsa-bangsa
Eropa).
4.
Pengaruh
yang ditimbulkan oleh perkembangan gerakan nasionalisme di berbagai wilayah.
Sementara
itu, kahin (1995:50) menganalisis bahwa nasionalisme Indonesia tumbuh dan
berkembang melaui 4 saluran penting.
a.
Derajat
homogenitas agama yang tinggi dari masyarakat Indonesia di mana lebih dari 90%
penduduk Indonesia beragama islam. Dalam hal ini, Islam tampil sebagai simbol
kelompok untuk melakukan perlawanan terhadap kekuatan asing dan penindas yang
agamanya berbeda (penjajah Belanda yang agamanya kristen). Tindakan represif
pemerintah kolonial Belanda terhadap kaum muslim Indonesia justru membuat agama
islam makin berkembang luas.
b.
Perkembangan
bahasa kesatuan Indonesia kuno yang asal usulnya dari bahasa melayu pasar
menjadi bahasa nasional, yakni bahasa indonesia. Penggunaan bahasa Indonesia
telah menimbulkan ras percaya diri yang besar di kalangan berbagai kelompok
masyarakat Indonesia, sebagai sebuah senjata psikologis yang menggetarkan.
c.
Integrasi
nasionalisme bangsa Indonesia sedikit banyak juga disumbangkan oleh kehadiran
Volksraad (dewan rakyat), semacam Majelis Perwakilan Tertinggi bagi seluruh
rakyat Indonesia. Volksraad ini dibentuk pada tahun 1917 pada masa Gubernur
Jendral Van Limburg Stirrum, dengan fungsi baru sebatas sebagai dewan
penasihat. Pentingnya lembaga ini ialah dapat menyatukan semua orang Indonesia
dari berbagai wilayah kepulauan, dan membuat mereka lebih sadar mengenai
masalah relasi mereka dengan pemerintah Kolonial Belanda.
d.
Pertumbuhan
dan persebaran nasionalisme Indonesia juga diransang oleh cara-cara penyebaran
gagasan-gagasan nasionalisme dan gagasan-gagasn lainnya melalui surat kabar,
majalah dan radio (media massa). Sebagai contoh, surat kabar Indonesia yang
pertama kali terbit ialah Bromartini. Surat kabar ini terbit di Surakarta pda
tahun 1855.
2.2 Akhir Masa Hindia Belanda
A. Fraksi
Nasional
Pembentukan ini
muncul dari anggota Volksraad Moh. Husni Thamrin, ketua perkumpulan kaum
betawi. Faktor- faktor yang timbul pada saat itu :
1.
Sikap pemerintah Hindia
Belanda terhadap gerakan politik luar Volksraad, terutama terhadap PNI
2.
Anggaran dan perlakuan
yang sama oleh pemerintah terhadap semua gerakan nasional maupun non ko-0perasi
3.
Didirikannya Vaderlandshe
Club (V.C) tahun 1929 sebagai protes terhadap “ethish beleid” Gubernur Jenderal
de Graef.
Fraksi
ini didirikan tanggal 27 Januari tahun 1930 di Jakarta beranggotakan 10 anggota
wakil dari daerah – daerah jawa, Sumatra, Sulawesi dan Kalimantan. Dan diketuai
oleh Moh Husni Thamrin. Kegiatan pertama dari fraksi ini adalah pembelaan
terhadap pemimpin- pemimpon PNI yang di tangkap dalam sidang pengadilan
kolonial. Sesuai dengan keadaan hidup sosial ekonomi yang sangat tertekan
akibat depresi ekonomi maka fraksi ini juga untuk memperbaiki keadaan-sosial
ekonomi. Kemudian tekanan politik Gubernur Jendral de Jonge
politik non kooperatif menjadi lumpuh, akibatnya muncul kaum kooperator yang di
dalam Volksraad oleh Fraksi Nasional dan di luar Volksraad oleh Partai
Indonesia Raya (Parindra) yang didirikan pada tahun 1935.
Dalam masa itu muncullah Petisi Sutardjo. Pada tahun
1936, yang berisi usul Indonesia berdiri sendiri tetapi tidak lepas dari
kerjasama Belanda. Petisi yang menghebohkan kalangan pergerakan, ada yang pro
dan kontra akhirnya gagal dan ditolak oleh pemerintah Belanda. Dalam siding Volksraad
sendiri, suara Fraksi Nasional juga terpecah-pecah dalam menanggapi petisi.
B. Petisi
Sutardjo
Gagasan petisi ini
dicetuskan oleh Soetardjo Kartohadikusumo, Ketua Persatuan Pegawai
Bestuur/Pamongpraja Bumi Putra (PPBB) dan wakil dari organisasi ini di dalam
siding Volksraad pada bulan Juli 1936. Petisi ini, diusulkan di luar tanggung
jawab PPBB. Landasannya adalah pasal 1 undang-undang Dasar Kerajaan Belanda
yang bebunyi bahwa kerajaan Nederland meliputi wilayah Nederland, Hindia
Belanda, Suriname, dan Curacao dan menurut Sutardo keempat wilayah tersebut
memiliki derajat yang sama. Usul petisi, yang kemudian dikenal dengan nama
Petisi Sutardjo,diajukan pada tanggal 15 Juli 1936 kepada pemerintah, Ratu
serta Staten General (Parlemen) di negara Belanda. Usul yang dianggap
menyimpang dari cita-cita kalangan pergerakan umumnya mendapat reaksi baik dari
pihak Indonesia maupun Belanda. Pihak Hindia Belanda menyatakan pemerintah
memang mempunyai maksud untuk selalu meningkatkan peranan rakyat dalam
mengendalikan pemerintah sampai rakyat Indonesia sanggup untuk mengurus segala
sesuatunya.
Pada tanggal 4 Oktober 1937 dibentuk Central Comite
Petisi Sutardjo (CCPS). dan di daerah-daerah dibentuk cabang Comite Petisi
Sutardjo. Pada tanggal 11 Mei 1939 di Jakarta, pengurus CCPS mengadakan rapat
pembubaran CCPS. Keputusan ini diambil untuk menjaga jangan timbul permasalahan
Nasional Concentrati juga untuk menjaga jangan timbul salah paham atau
kekecewaan di dalam masyarakat Indonesia.
C.
Gabungan Politik
Indonesia
Pada tanggal 15 Juli 1936,
partai-partai politik dengan dipelopori oleh Sutardjo Kartohadikusumo
mengajukan usul atau petisi, yaitu permohonan supaya diselenggarakan suatu
musyawarah antara wakil-wakil Indonesia dan negara Belanda di mana anggotanya
mempunyai hak yang sama. Tujuannya adalah untuk menyusun suatu rencana
pemberian kepada Indonesia suatu pemerintah yang berdiri sendiri. Namun usul
tersebut ditolak oleh pemerintah kolonial Belanda. GAPI
dibentuk pada tanggal 21 Mei 1939 di Jakarta dan dipimpin oleh Moh Husni
Thamrin, Mr. Amir Syarifuddin, Abikusno Tjokrosuyoso. Berikut ini ada beberapa alasan yang
mendorong terbentuknya GAPI yaitu :.
a)
Kegagalan petisi Sutarjo.
b)
Kepentingan internasional akibat timbulnya fasisme.
c)
Sikap pemerintah yang kurang memerhatikan kepentingan bangsa
Indonesia.
Dan didalamnya anggaran dasar
diterangkan bahwa GAPI berdasarkan kepada:
a. Hak
untuk menentukan diri sendiri
b. Persatuan
nasional dari seluruh bangsa Indonesia, dengan berdasrkan kerakyatan dan faham
politik, ekonomi dan social
c. Persatuan
aksi seluruh pergerakan Indonesia
Dalam
konferensi pertama GAPI pada tanggal 4 Juli 1939 telah dibicarakan dengan
semboyan “Indonesia berparlemen”. Jelas tidak menuntut kemerdekaan penuh,
melainkan suatu parlemen yang berdasarkan pada sendi-sendi demokrasi.
Ditetapkan pula disiplin organisasi di mana anggota yang dipecat oleh partainya
juga keluar dari GAPI.
Pada
bulan Agustus 1940 waktu Belanda dikuasai Jerman dan Indonesia sudah dinyatakan
darurat perang, GAPI mengeluarkan resolusi yang menuntut adanya perubahan dalam
masa ketatanegaraan di Indonesia dengan
menggunakan hukum tata negara dalam masa genting. Isi resolusi tersebut
menggantikan Volksraad dengan parlemen sejati yang anggotanya dipilih oleh
rakyat.
D. Organisasi
Keagamaan
Salah satu organisasi keagamaan ialah Muhammadiyah. Muhammadiyah
adalah organisasi Islam modern yang didirikan di Yogyakarta pada tanggal 18
November 1912 oleh K.H. Ahmad Dahlan. Muhammadiyah berarti umat Muhammad atau
pengikut Muhammad. Dengan nama ini memiliki harapan dapat mencontoh segala
jejak perjuangan dan pengabdian Nabi Muhammad. Tujuan yang ingin dicapai antara
lain :
a.
memajukan pengajaran berdasarkan agama islam, dan
b.
memupuk keimanan dan ketaqwaan para anggotanya.
Dalam rangka mencapai tujuan itu, Muhammadiyah melakukan
beberapa upaya sebagai berikut :
a.
mendirikan sekolah-sekolah (bukan pondok pesantren) dengan
pengajaran agama dan kurikulum yang modern,
b.
mendirikan rumah sakit dengan nama Pusat Kesengsaraan Umum
(PKU)
c.
mendirikan rumah yatim piatu.
d.
mendirikan perkumpulan kepanduan Hisbul Wathan.
Dalam perkembangannya, Muhammadiyah menghadapi tantangan
dari golongan Islam konservatif. Mereka melihat Muhammadiyah begitu terbuka
terhadap kebudayaan Barat sehingga khawatir kemurnian Islam akan dirusakkan.
Oleh karena itu para ulama mendirikan Nahdlatul Ulama pada tahun 1926. Gerakan
NU dipelopori oleh K.H. Hasyim Asy’ari. Gerakan Muhammadiyah banyak mendapat
simpati termasuk pemerintah kolonial Belanda karena perjuangannya tidak
bersifat konfrontatif (menentang).
Disamping Muhammadiyah, gerakan keagamaan lain yang memiliki
andil bagi kemajuan bangsa antara lain :
1.
Jong Islamienten Bond, berdiri tanggal 1 Januari 1925 di
Jakarta.
2.
Nahdlatul Ulama (NU), berdiri pada tanggal 31 Januari 1926
di Surabaya, Jawa Timur
3.
Nahdlatul Wathan, berdiri tahun 1932 di Pacor, Lombok Timur.
2.3 Perjuangan Gerakan Perempuan dan Pemuda
A.
Gerakan
Perempuan dan Pemuda
Kehidupan
kaum perempuan Indonesia sekitar abad ke-19 dan awal abad ke-20 tidak dapat
digeneralisasikan. Kaum perempuan Indonesia juga mengolah tanah, menanam,
memlihara tanaman dan mengolah hasil panen, kaum perempuan didesapun juga tidak
kalah kegiatannya dengan kaum laki-laki. Lebih lanjut dari fakta-fakta sejarah
yang menggambarkan kenyataan masa lampau, terlihat bahwa di Indonesia
permepuan dapat mendapatkan kedudukan,
wewenang, dan kekuasaan tertinggi
didalam Negara yaitu sebagai kepala negara. Pada zaman Majapahit misalnya
(1294-1525), tercatat raja putri Tribuana Tungga Dewi ibunda raja Hayam Wuruk
yang terkenal mempunyai kedudukan sebagai permaisuri raja bukan sekedar sebagai
istri raja, melainkan juga berperan dalma menentukan jalannya pemerintahan. Di
kesultanan Aceh dipimpin leh seorang Sultanah (sultan perempuan) yang terkenal
yaitu Sultanag Sri Tajul Alam Safiatuddin Shah.
Kita
juga mengenal nama Laksamana Malahayati yang terkenal keberanian dan
kemampuannya memimpin armada Aceh dalam memimpin armada Aceh dalam menghadapi
kapal-kapal Belanda di bawag bendera VOC dan armada Protugis. Kita juga
mengenal tokoh-tokoh pejuang perempuan Aceh lainnya seperti Cut Mutia, Cut Nya
Dien, dan Pocut Baren. Mereka dengan gagah berani berjuang, menghadapi pasukan
Belanda dengan marsosenya yang terkenal. Aceh diperintah oleh tiga penguasa
perempuan yaitu Sultanah Nurul Alam Naqiatudin Syah (1673-1678), Inayat
Zakiyahtudin Syah (1678-1688), dan Komalat Zainatuddin Syah (1688-1699).
Selain
di Aceh, Sulawesi Selatan juga memiliki tokoh yang berkuasa tahun 1856, Siti
Aisyah We Tenriolle yang diangkat sebagai datuk atau raja. Di Maluku, khususnya
pulau Saparua, dikenal seorang perempuan yang ikut berjuang bernama Marta
Christina Tiahahu, ia tertangkap tahun 1817 dan meninggal 1818. Martha
merupakan putri dari Paulus Tiahahu. Di akhir abad ke-19 di Jawa juga dikenal
tokoh-tokoh perempuan, keduanya adalah Nyai Ageng Serang dan Ratnaningsih.
Berbagai
hal dan isu menjadi perhatian dan kepedulian kaum perempuan Indonesia dimasa
kebangkitan kebangsaan ini. Bahkan dari isu-isu itu tetap merupakan
permasalahan dan menjadi kepedulian para perempuan dewasa ini. Diantara isu-isu
itu antara lain:
1) Pendidikan
untuk perempuan,
2) Perkawinan
anak-anak dan poligami, dan
3) Hak
politik.
Pendidikan
Untuk Perempuan
Sekolah-sekolah
yang dibangun oleh pemerintah Belanda empunya tujuan, terutama adalah untuk mendukung
kepentingan pemerintah kolonial Belanda yang membutuhkan banyak tenaga untuk
menjalakan pemerintahannya. Politik etis yang diusulkanole J. Th van Deventer
khusunya dibidang edukasi membawa pengaruh yang besar bagi pendidikan kaum
perempuan. J.H. Abendanon dan istrinya mendorong dibukanya kesempatan
pendidikan untuk perempuan. Namun pemerintah Hindia Belanda tidak memberi
dukungan. Oleh karena itu Abendanon, istrinya beserta teman-teman Belandanya
membuka sekolah yang dinamakan Kartini pada tahun 1913 yang dikhususkan untuk
gadis-gadis Jawa. Didirikan ditempat seperti Jakarta (1913), Madiun (1914),
Malang (1914) dan Cirebon (1916), Pekalongan (1917), Indramayu, Surabaya, dan
Rembangan (1918).
Tahun
1910-an semakin banyak perempuan Indonesia memasuki dunia pendidikan Barat dan
menjadi anggota elite modern, jumlah mereka memang masih kecil, bila
dibandingkan dengan jumlah keseluruhan populas perempuan di Hindia Belanda.
Pendidikan pun semakin diterima khususnya bagi kalangan menengah dan atas.
Jumlahnya pun meningkat, tahun 1909 anak gadis yang bersekolah disekolah desa
berjumlah 1097 orang; tahun 1914 menjadi 19.455 orang, dan terus meningkat pada
tahun 1919 berjumlah 36.649 orang. Selain sekolah kartini terdapat juga sekolah
Dewi Sartika di Jawa Barat, Rohana Kudus dan Rhmah El Yunusiyah di Sumatera
Barat, dan Maria Walanda Maramis di Sulawesi Utara.
Untuk
para gadis dikalangan bawah, pendidikan keterampilan sangat dibutuhkan agar
mereka dapat mecari nafkah tambahan untuk keluarganya. Oleh karena itu, kaum
perempuan memerlukan pengetahuan modern untuk memahami dan mendukung gerakan kebangsaan yang sedang berkembang.
Memasuki tahun 1920-an oraganisasi-organisasi perempuan semakain dipengaruhi
oleh kesadaran dan semangat nasionalisme. Misalnya pada bulan Desember 1928
diadakan Kongres Perempuan Indonesia di Yogyakarta. Resolusi pertama dari
kongres ini berkaitan dengan pendidikan untuk anaka-anak gadis. Kongres
mendesak agar pemerintah meningkatkan jumlah sekolah untuk anak gadis sebab
masih banyak orang tua yang enggan memasukan anak-anak perempuannya kesekolah
yang ko-edukasi. Salah satu pembicara yang lantang mengungkapkan pentngnya
pedidikan untuk perempuan adalah Siti Sundari. Ia menentang pendidikan
tradisional untuk anak perempuan yang didasarkan pada keyakinan bahwa anak
adalah milik orang tuanya. Pembicara yang lain adalah Nyi Hajar Dewantara, ia
mengemukakan dalam bahasa jawa tentang kodrat perempuan sebagai ibu yang
mengandung anak-anaknya.
Perkawinan Anak-anak dan
Poligami
Dorongan untuk memajukan pendidikan bagi
perempuan antara lain bertujuan untuk mencegah gadis-gadis dipaksa menikah
diusia dini. Jika gadis-gadis mendapat pendidikan yang cukup, mereka akan
menyadari tentang keadaan dan lingkungannya. Memang terjadi perdebatan tentang
batas minimal usia bagi seseorang untuk menikah, khususnya bagi seorang gadis.
Dewi Sartika seorang tokoh pendidik dari Bandung bahkan menyatakan bahwa
perkawinan anak-anak adalah penyakit dalam masyarakat pribumi. Salah satu cara
menghapunya adalah dengan memberikan pendidikan kepada kaum perempuan. Di
Banten perkawinan anak-anak terjadi karena factor ekonomi, agar keluarga anak
gadis lepas dari beban dan mengharapkan tenaga bantu dari menantunya untuk
menggarap sawah ladangnya. Dan dampaknya banyak terjadi perceraian dan poligami
serta buruknya kondisi istri karena melahirkan muda.
Salah satu organisasi perempuan yang gigih
memperjuangkan dan penghapusan perkawinan anak-anak adalah Istri Sedar. Dalam
penerbitan majalahnya yang berjudul Sedar
mengemukakan masalah-masalah perkawinan anak-anak dan bahwa perempuan berhak
memiliki kebebasan atas tubuhnya. Oraganisasi kebangsaan juga banyak yang
menentang perkawinan anak-anak yang salah satu tokohnya adalah Dr. Sutomo yang
memimpin Indonesische Studieclub di Surabaya. Tentang perkawinan anak-anak ini
secraa khusus juga dibicarakan dalam berbagai pertemuan termasuk Kongres
Perempuan Indonesia (KPI). Dalam KPI I tahun 1928 seorang pembicara yang
bernama Mugarumah dari Putri Indonesia (PI) menyatakan bahwa perkawinan anak-anak
merupakan masalah yang terpenting bagi orang Indonesia karena perkawinan
anak-anak ini masih banyak terjadi di Indonesia.
Kaum perempuan juga menaruh perhatian dan
berusaha untuk menghilangkan ketidakadilan yang dialami kaum perempuan dalam
perkawinan, diantaranya adalah system poligami, kawin paksa, dan perceraian.
KPI sejak tahun 1928 dalam setiap pertemuannya selalu memasukkan masalah
perkawinan dalam agendanya. Selain itu juga mengajukan usul atau mosi kepada
pemerintah Hindia-Belanda untuk mengeluarkan peraturan atau perundang-undangan.
Beberapa perkumpulan perempuan Indonesia kemudian membentuk sebuah badan yang
dinamakan Komite Perlindungan kaum Perempuan dan anak-anak Indonesia (KPKPAI)
yang memiliki tugas dan tujuan yakni untuk memberi perlindungan kepada
perempuan dan anak-anak dalam kehidupan
perkawinan. Lembaga ini juga merencanakan suatu peraturan perkawinan dan
membentuk Biro Konsultasi perkawinan yang dipimpin oleh Ny. Maria Ulfa Santoso,
S.H. Dalam KPI III tahun 1938 dibandung dibentuk sebuah komisi yang akan
membuat rancangan peraturan perkawinan. Kongres ini memutuskan bahwa KPKPAI
menjadi Badan Perlindungan Perempuan Indonesia dalam Perkawinan (BPPIP).
Hak di Bidang Politik dan
hak Pilih Aktif
Bagi perempuan kesempatan untuk memperoleh
pendidikan dan jaminan hak pribadi dalam kehidupan perkawinan sejalan dengan
perkembangannya kesadaran kaum perempuan Indonesia tentang hak politik pun
semakin meningkat. Salah satu hak politik yang diperjuangkan ialah hak untuk
memilih wakil-wakilnya dalam pemerintahan dan Dewan Rakyat (Volksraad). Gerakan
perempuan Indonesia menuntut hak bersaudara berasal dari pengaruh yang didapat
dari gerakan kaum perempuan Belanda di Hindia Belanda yang menuntut hak bersuara.
Ketika kaum perempuan negeri Belanda mendapat hak bersuara atau hak memilih
pada tahun 1919, para perempuan Belanda di Hindia Belanda juga menuntut hak
yang sama diberikan kepada mereka. Mereka kemudian membentuk cabang Vereeniging voor Vrouwenkiesrecht (VVV)
atau Asosiasi Hak Memilih Bagi Perempuan di Hindia Belanda. Memasuki era
19201-an bebrapa perempuan Indonesia bergabung dalam VVV.
Dua orang terkenal ialah Rukmini Santoso
adik R.A Kartini dan Rangkoyo Chailan Syamsu Datuk Tumenggung dari Sumatra
Barat. Baru tahun 1937 dikeluarkan peraturan hak pilih pasif artinya bahawa
perempuan berhak diangkat dalam dewan perwakilan. Pada tahun 1938 ada empat
oranf perempuan Indonesia yang diangkat sebagai anggota Dewan Daerah (Gemeente
Raad) yaitu Emma Puradireja di Bandung, Sri Umiati di Cirebon, Ny. Sunario
Mangunpuspito di Semarang, dan Ny Siti Sundari
Sudirman dari Surabaya. Pemberian hak pilih pasif untuk anggota Gemeente Raad kepada perempuan Indonesia
saat itu mendapat sambutan baik. Namun, kaum perempuan Indonesia merasa adanya
kepincangann kalau tidak juga diberi hak memilih, artinya hak pilih secara
penuh. Artinya, mereka bergantung kepada kaum laki-laki untuk memilih
wakil-wakilnya di dewan-dewan daerah itu. KPI pun setuju dan menuntut agar
kepada kaum perempuan Indonesia diberi hak pilih secara penuh dan menganjurkan
kepada organisasi-organisasi perempuan yang menjadi anggotanya untuk terus
mengupayakan dengan caranya masing-masing agar perempuan Indonesia diberi hak
pilih secara penuh.
Pada tahun 1939 organisasi-organisasi
perempuan Indonesia mengajukan tuntutan agar diberlakukan hak pilih aktif untuk
kaum perempuan Indonesia. Mereka juga menuntut agar dalam keanggotaan Volksraad, kaum perempuan juga
diikutsertakan dan bukan hanya di dewan-dewan daerah. Tuntutan kaum perempuan
Indonesia untuk mendapat hak pilih yang penuh, artinya hak dipilih dan hak
memilih diperoleh secara bertahap. Pada awalnya pemerintah Hindia Belanda tidak
ingin memberikan hak pilih secara penuh kepada kaum perempuan pribumi. Akan
tetapi, dengan usaha yang gigih, pada tahun 1938 pemerintah Hindia Belanda
memberikan hak pilih pasif dan baru pada tahun 1941 hak pilih aktif didapat
oleh kaum perempuan Indonesia, ketika sidang Volksraad menyetujui dikeluarkan Ordonansi Pemilihan Anggota Dewan
(Kiesordonantie Gemeenteraden). Akan
tetapi, penggunaan hak pilih ini belum terlaksana, karena pada tahun 1942 bala
tentara Jepang menjatuhkan kekuasaan pemerintah Hindia Belanda.
B.
Pertumbuhan
dan Perkembangan Gerakan Perempuan
Semangat
kebangsaan yang tumbuh dan berkembang pada awal abad ke-20 di Indonesia telah
membawa pengaruh yang besar bagi kaum perempuan pribumi. Salah satu faktor
pendorongnya adalah pendidikan Barat yang menghasilkan elite baru dalam
masyarakat Kolonial yang disebut elite modern. Sama seperti kaum laki-laki,
mereka ini tumbuh kesadarannya akan situasi dan kondisi hidup dalam masyarakat
yang terjajah. Pendidikan Barat ini, seperti yang telah dinikmati antar lain
oleh R.A. Kartini, Dewi Sartika, Maria Walanda Maramis, dan Rahma El
Yunussiayah telah membantu kaum perempuan Indonesia menyatakan apa yang mereka
butuhkan berdasarkan persepsi mereka sendiri. Mereka juga menyadari berbagai
masalah yang dihadapi oleh orang Indonesia khususnya kaum perempuannya. Banyak
hambatan yang dihadapi oleh kaum perempuan untuk dapat perlu sekolah, karena
tugasnya adalah di rumah istri dan Ibu. Padahal, untuk dapat mendidik
anak-anaknya, seorang Ibu harus memahami dan mengetahui apa yang diperlukan
oleh anaknya.
Oleh
karena itu, dari beberapa orang yang beruntung dapat mengecap pendidikan Barat
muncul tokoh-tokoh pergerakan perempuan. Pada awal abad ke-20 ini gerakan
perempuan sering diidentifikasi dengan semangat nasionalisme. Namun, jika kita
cermati sifat gerakan perempuan yang mendasar adalah semangat emansipasi.
Tambahan lagi gerakan perempuan ini tidaklah mencerminkan dan mewakili
keseluruhan kaum perempuan Indonesia. Perempuan yang hidup di pedesaan dan
tidak berpendidikan atau perempuan dari kalangan etnik lain seperti Cina dan
Arab tidak termasuk dalam gerakan perempuan ini. Gerakan perempuan ini
didominasi oleh kaum perempuan terpelajar yang tinggal di wilayah perkotaan.
Karena para pendirinya dan aktivisnya adalah kaum perempuan muda yang
berpendidikan Barat, gerakan-gerakan dan organisasi-organisasi perempuan itu
terdapat dimana pendidikan Barat diadakan seperti di Jawa, Sumatra, dan
Sulawesi Utara.
Yang
dapat dianggap sebagai organisasi dan pelopor gerakan perempuan Indonesia
adalah Putri Mardika yang dibentuk pada tahun 1912 di Jakarta atas bantuan Budi
Utomo. Tujuan perkumpulan ini adalah memberi bantuan, bimbingan, dan penjelasan
kepada para gadis pribumi dalam menuntut pelajaran. Melalui majalah yang
diterbitkan yang juga bernama Poetri
Mardika dikemukakan hal-hal yang berguna bagi kaum perempuan untuk
menghilangkan rasa rendah diri dan meningkatkan derajatnya. Di samping itu,
juga dibangkitkan kesadaran perempuan untuk berani bertindak di luar rumah dan
menyatakan pendapatnya di muka umum. Organisasi ini juga memberi beasiswa
kepada gadis-gadis yang ingin maju dan menerima anggota laki-laki. Ketuanya
adalah R.A. Theresia Sabarudin dibantu oleh Sadikun Tondokusumo, R.A. Sutinah
Joyopranoto, dan Rr. Rukmini. Walaupun Putri Mardika tidak berumur panjang,
pengaruhnya cukup besar terhadap kaum perempuan pribumi yang berpendidikan.
Kemudian
muncul berbagai organisasi perempuan di berbagai tempat, misalnya Pawiyatan
Wanito di Magelang (1915) Wanito Hadi di Jepara (1915), Purborini di Tegal
(1917), Wanito Susilo di Pemalang (1918), Putri Budi Sejati di Surabaya (1919),
dan Wanito Mulyo di Yogyakarta (1920). Di Bukittinggi, pada tahun 1920
terbentuk Sarikat Kaum Ibu Sumatra dan di Gorontalo, Sulawesi Utara, pada tahun
yang sama berdiri Gorontalosche
Mohammedansche Vrouwen Vereeninging. Pada umumnya organisasi-organisasi ini
bersifat sekuler dan bertujuan mempererat tali persaudaraan untuk bersama-sama
mengusahakan kemajuan perempuan, meningkatkan kepandaian, mencari kesempatan
lebih banyak untuk para gadis pribumi dalam memperoleh pendidikan, serta
meningkatkan kesejahteraan perempuan dengan usaha menghapus ketidakadilan dalam
keluarga dan masyarakat.
Di
Minahasa, yang terletak tidak jauh dari Gorontalo berdiri organisasi yang
bernama PIKAT (Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya) pada tanggal 8 Juli 1917.
Pelopornya adalah Maria Walanda Maramis (1872-1924) yang sejk lama menaruh
perhatian pada pendidikan untuk para gadis walaupun dia sendiri hanya sempat
bersekolah tiga tahun di sekolah desa. Sebagai anak yatim piatu, putri pedagang
kecil, ia tidak berhak masuk ke sekolah yang lebih tinggi. Kesempatan
mengembangkan diri akhirnya datang ketika ia menikah dengan Josef Federik C. Walanda yang seorang guru.
Dengan
bantuan dan dukungan suaminya ia belajar bahasa Belanda sehingga mampu membaca
buku-buku dalam bahasa Belanda. Dari buku-buku yang dibacanya ia memperoleh
banyak pengetahuan yang mendorong berkembangnya berbagai gagasan. Salah satu
idenya adalah bagaimana caranya agar gadis-gadis yang lulus sekolah desa dapat
melanjutkan pelajarannya tanpa terhalang oleh status orang tuanya. Maria
sendiri mengalami bahwa ia tidak dapat melanjutkan studinya setelah lulus dari
sekolah desa hanya disebabkan ayahnya sebagai pedagang kecil. Saudara-saudara
sepupunya yang perempuan desa melanjutkan sekolahnya ke Miesjesschool karena pamannya yang juga memeliharanya adalah
seorang Kepala Distrik dengan gelar mayor.
Di
kalangan kaum perempuan Islam semangat gerakan emansipasi pun berkembang
sejalan dengan tumbuhnya gerakan kebangsaan. Berdirinya Muhammadiyah pada tahun
1912 mendorong pembentukan organisasi perempuan Islam yaitu Aisyah pada tanggal
12 April 1917. Namun ini disepakati karena berkaitan dengan nama istri nabi
Muhammad yang bernama Aisyah. Sebagai istri Nabi Aisyah ternyata aktif bekerja
untuk membantu perjuangan Nabi Muhammad khususnya dalam bidang perekonomian
rumah tangga. Apa yang dilakukan Aisyah, dilakukan juga oleh kaum perempuan
Islam yang tinggal di Kampun Kauman, Yogyakarta. Banyak dari mereka yang aktif
berdagang, sebagai pengusaha dan pembuat batik.
Sebelum
Aisyiyah berdiri, di kalangan perempuan muslim Muhammadiyah telah banyak
kegiatan yang dilakukan. Nyai Ahmad Dahlan, istri pendiri Muhammadiyah Kyai
Ahmad Dahlan, telah lama mencita-citakan agar perempuan muslim selain tahu
tugasnya sebagai Ibu Rumah Tangga, juga tahu dan paham akan tugas mereka dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ia juga meminta kepada suaminya agar
Muhammadiyah menaruh perhatian kepada kaum perempuan dengan memberi pendidikan
dan bimbingan supaya mereka juga mengerti tentang organisasi. Menurutnya kaum
perempuan juga harus mendapat perhatian sebaik-baiknya karena ia yakin bahwa
tanpa perempuan perjuangan tidak akan berhasil.
Langkah
pertama yang diambil Nyai Ahmad Dahlan dalam mewujudkan cita-citanya adalah
dengan mengadakan pengajian bagi kaum perempuan dari segala usia di Kampung
Kauman. Kegiatan semacam ini juga diselenggarakan di tempat lain. Bukan hanya
pengajian, melainkan berbagai aktivitas yang berguna bagi perempuan juga
dilakukan perempuan Muhammadiyah. Kelompok pengajian kaum perempuan
Muhammadiyah ini kemudian dibina untuk membantu tugas-tugas bagian Penolong
Kesengsaraan Oemat (PKO) Pengurus Besar Muhammadiyah dan diberi nama Sopo Tresno pada tahun1914 secara khusus
tugasnya adalah menyantuni anak yatim piatu di samping kursus-kursus kepandaian
putri.
Memasuki
tahun 1920-an gerakan kebangsaan semakin meningkat aktivitasnya. Sementara itu,
pemerintah kolonial bereaksi dan bertindak semakin represif. Di kalangan kaum
perempuan organisasi baru tumbuh dan berkembang dan organisasi-organisasi yang
sudah ada pun berkembang kiprahnya walaupun harus selalu berhati-hati dalam
mengeluarkan pernyataan agar tidak ditindak oleh penguasa kolonial.
Dengan
berkembangnya pendidikan untuk perempuan semakin banyak perempuan yang mampu
berorganisasi. Organisasi-organisasi yang ada pun memberi kesempatan kepada
kaum perempuan untuk menjadi anggotanya dan membentuk bagian perempuan,
misalnya, Jong Java Meisjeskring, Taman Siswa (1922), dan Putri Indonesia
(1927). Aisyiyah dari Muhammadiyah pun semakin berkembang. Pada tahun 1927
Sarekat Ambon mendirikan bagian perempuan yang dinamakan Ina Tuni.
Bagian
perempuan dari perkumpulan Pemuda Indonesia (Jong Indonesie) dibentuk di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta dengan
nama Putri Indonesia. Sama seperti putri Indonesia tujuannya adalah memperkuat
dan mengembangkan semangat persatuan dan kebangsaan Indonesia. Hal ini banyak
dipengaruhi oleh Partai Nasional Indonesia (PNI). Anggota Putri Indonesia
umumnya adalah gadis-gadis yang telah mengecap pendidikan Barat. Kesadaran
kebangsaan mereka cepat berkembang di samping kesadaran meningkatkan peran dan
status kaum perempuan dalam masyarakat. Oleh karena itu, Putri Indonesia
menekankan pentingnya pendidikan untuk kaum perempuan. Sebagai Ibu rumah tangga
pengetahuan umum juga diperlukan karena mereka adalah pendidik bagi
anak-anaknya. Yang diketuai oleh Suyatin (Ny. S. Kartowiyono).
Kaum
perempuan yang beragama Katolik pun tidak mau tinggal diam. Mereka membentuk
organisasi yang diberi nama Wanita Katolik di Yogyakarta pada tanggal 26 Juni
1924. Tujuan organisasi ini adalah memberi kesadaran kepada para anggotanya
agar menjadi warga gereja dan warna negara yang baik. Mereka juga harus
meningkatkan martabatnya sebagai perempuan Katolik. Setelah wanita Katolik
terbentuk, segera berdiri cabangnya ditempat-tempat yang banyak warga penganut
Katolik, seperti di Solo, Klaten, Semarang, Magelang, Muntilan, dan Surabaya.
Wanita Katolik juga tarif aktif dalam Kongres Perempuan Indonesia I tahun 1928
di Yogyakarta.
Para
pengurus Besar Budi Utomo pada tanggal 24 April 1921 mendirikan perkumpulan
khusus perempuan di Yogyakarta yang dinamakan Wanito Utomo. Organisasi ini
tidak khusus untuk para istri anggota Budi Utomo, tetapi juga menerima
perempuan-perempuan lain di luar Budi Utomo yang berminat. Tujuannya adalah
memajukan keterampilan perempuan sesuai dengan tuntutan zaman dan membina
persaudaraan untuk tolong-menolong. Adapun kegiatannya antara lain mencari dana
dengan mengadakan bazar dan hasilnya disumbangkan ke rumah sakit, ke PKO
(Pertolongan Kesengsaraan Oemoem) dari Muhammadiyah dan untuk beasiswa dari Studiefonds Darmo Woro.
Adapun
tahun 1937 dibuka seksi simpan pinjam yang dinamakan Karti Hardono Wanito
Utomo. Wanito Utomo membubarkan diri pada zaman Jepang dan bergabung pada
Fujinkai karena pemerintah pendudukan Jepang membubarkan semua organisasi yang
berdiri sejak masa Hindia Belanda dan membentuk organisasi baru.
Ketika
perguruan Taman Siswa didirikan oleh Suwardi Suryaningrat atau Ki Hajar Dewantara
pada tanggal 3 Juli 1922 di Yogyakarta, kaum perempuan di lingkungan perguruan
tersebut pun membentuk kesatuan yang dinamakan Perempuan Taman Siswa.
Pemrakarsanya adalah R.A. Suwardi Suryaningrat yang berganti nama menjadi Nyi
Hajar Dewantara sesuai dengan pergantian nama suaminya. Ia dibantu oleh
Rumsiah, Jumilah, Siti Marsidah, dan Ny.Sutomo.
Adapun
semboyan dari Perempuan Taman Siswa ialah Suci
Tata Ngesti Tuggal (Bersatu, Tertib, dan Disiplin). Asas dan tujuannya sama
dengan Perguruan Taman Siswa yaitu memajukan pendidikan. Dalam hal ini terutama
adalah pendidikan bagi kaum perempuan. Selain itu, diusahakan untuk memelihara
hubungan kekeluargaan dalam lingkungan Taman Siswa dan dengan
organisasi-organisasi lainnya. Oleh karena itu, pada tahun 1928 Wanita Taman
Siswa bersama dengan Wanito Utomo dan
Putri Indonesia memprakarsai Kongres Perempuan Indonesia untuk memprakarsai
Kongres Perempuan Indonesia untuk menggalang persatuan. Wanita Taman Siswa pun
terus berkembang sejalan dengan perkembangan perguruan Taman Siswa ke berbagai
tempat di Indonesia.
Dilihat
oleh semangat Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 tentang Persatuan, kaum
perempuan yang aktif dalam organisasi-organisasi perempuan berinisiatif untuk
menyatukan gerakan mereka. Semangat persatuan dan kesatuan yang terus
berkembang menjadi dasar bagi meningkatnya semangat dan kesadaran nasional.
Atas
inisiatif tujuh organisasi perempuan yaitu Wanito Utomo, Putri Indonesia,
Aisyiyah, Wanita Taman Siswa, Jong Islamieten Bond Dames Afdeeling, Jong Java
Meisjeskring, Wanita Katolik dengan tiga tokoh pemrakarsa yaitu Ny.R.A.Sukonto,
Nyi Hajar Dewantara, dan Suyatin (Ny. S.Kartowiyono) diadakan Kongres Perempuan
Indonesia dari tanggal 22-25 Desember 1928. Kongres diselenggarakan di Pendopo
Joyodipuran, Yogyakarta milik seorang bangsawan keraton yang bernama R.T.
Joyodipuro.
Di
samping ketujuh organisasi perempuan yang menjadi pemrakarsa, kongres ini
diikuti oleh 15 organisasi perempuan dari berbagai kota di Jawa. Kelima belas
organisasi itu adalah Budi Rini (Malang), Budi Wanito (Solo), Darmo Laksmi
(Salatiga), Kartiwara (Solo), Kusumo Rini (Kudus), Margining Kautaman (Kemayoran), Natdlatul Fataat
(Yogyakarta), Panti Krido Wanito (Pekalongan), Putri Budi Sejati (Surabaya),
Rukun Wanodiyo (Jakarta), Sancaya Rini (Solo), Sarikat Islam Bagian Istri
(Surabaya), Wanito Kencono (Banjarnegara), Wanito Mulyo (Yogyakarta), dan
Wanita Sejati (Bandung). Organisasi-organisasi ini ada yang bersifat keagamaan
yaitu Islam dan Katolik, ada juga yang sekuler. Menurut catatan kongres ada 30
organisasi yang mengirim utusan. Namun, dalam kenyataannya ada beberapa yang
merupakan cabang dari organisasi yang sama.
Dari
perkumpulan laki-laki yang hadir antara alain dari Budi Utomo, PNI (Pimpinan
Pusat), CPPPBD, Perhimpunan Indonesia (Pimpinan Pusat), Partai Islam (cabang),
Partai Sarikat Islam (Yogyakarta), MKD, Jong Java (Yogyakarta), Walfajri
(Pimpinan Pusat), Persaudaraan Antara Pandu Indonesia Batavia, PJA, PTI, Jong
Madura, Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Jong Java Batavia, Jong Islamieten Bond
(Pimpinan Pusat), PAPIM, PSD, Sangkara Muda, INPO, dan Sarikat Islam cabang
Pandu, juga wakil dari Pers dan Pemerintah.
Kongres
mendapat dukungan dari berbagai organisasi yang tidak dapat hadir dan mereka
mengirim telegram yaitu dari Kaum Ibu Sumatra, Kautaman Istri Sumtra, Wanita
Utama Bogor, Putri Pemuda Sumatra, Jakarta, Perserikatan Marsudi Rukun Jakarta,
Dewan Pimpinan Majelis Ulama, dan Pemuda Sumatra, Jakarta.
Adapun
maksud dan tujuan kongres ini adalah menjalin hubungan dari berbagai
perkumpulan kaum perempuan yang sudah ada agar dapat membicarakan hal yang
dihadapi kaum perempuan Indonesia. Seperti disampaikan oleh ketua Kongres Ny. R.A.
Sukonto dalam sambutan pembukaan Kongres bahwa kaum perempuan pribumi sangat
tertinggal jika dibandingkan dengan kaum perempuan dari bangsa dan negara lain.
Selain itu, disadari karena zaman telah berubah, kaum perempuan harus mampu mengikuti
kemajuan zaman tanpa harus meninggalkan kewajibannya sebagai Ibu dan istri yang
mengurus rumah tangga. Akan tetapi, derajat perempuan harus disamakan dengan
laki-laki dan jangan sampai direndahkan.
Ny.
R.A. Sukonto menyatakan:
“... Orang lelaki dan orang perempuan itoe
moesti berdjalan bersama-sama di dalam bergaoelan pripengidoepan oemoem.
Artinya tidaklah perempoean menjadi laki, akan tetapi perempoean hanya tinggal
masih perempoean akan tetapi deradjatnya haroes disamakan dengan orang lelaki,
djangan sampai direndahkan waktoe doeluoekala (kolot).
Kongres
perempuan Indonesia I dibuka pada sabtu malam tanggal 22 Desember 1928 dihadiri
oleh sekitar 1.000 orang. Di samping anggota delegasi dari berbagai organisasi
perempuan, hadir juga beberapa tokoh pergerakan nasional seperti Mr. Singgih,
dan Dr. Supomo dari Budi Utomo, My. Suyadi dari PNI, Dr. Sukiman dari PSI dan
A.D.Haani dari Walfajri. Perhatian peserta selama kongres berlangsung yang tiga
hari lama tetap besar. Menurut laporan walaupun hujan deras peserta tetap
datang sehingga jumlahnya berkisar antara 500-750 orang.
Dari
laporan kongres yang didokumentasikan secara lengkap dan dengan baik oleh Susan
Blackburn, dapat diketahui ada 15 pembicara yang mewakili berbagai organisasi.
Pokok permasalahan yang dikemukakan terutama berkisar pada masalah-masalah yang
dihadapi kaum perempuan pada masa itu dan bagaimana menghadapi dan
menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Cara dan gaya pembicara pun memiliki
kekhasan sendiri. Misalnya Nyi Hajar Dewantara yang mengemukakan tentang
perilaku atau adab yang baik bagi perempuan disampaikan dalam Bahasa Jawa.
Menurut Nyi Hajar perilaku yang baik adalah yang bersifat menghargai termasuk
menghargai dirinya sendiri.
Pokok
permasalahan yang banyak mendapat perhatian adalah tentang hak-hak kaum
perempuan dalam perkawinan termasuk soal poligami dan perkawinan anak-anak
tentang pentingnya pendidikan bagi perempuan khususnya pendidikan modern yang
berarti Barat, persamaan hak perempuan dan laki-laki dan yang terpenting adalah
tentang persatuan dan kesatuan.
Keputusan
yang diambil oleh Kongres Perempuan Indonesia adalah sebagai berikut :
Keputusan yang
terpenting dari kongres ini adalah membentuk badan permufakatan yang dinamakan
Perikatan Perempuan Indonesia (PPI) dan berkedudukan di Yogyakarta atau di
tempat lain yang menjadi tempat tinggal pengurusnya. PPI diketuai oleh Ny.
R.A. Sukonto (Wanito Utomo). Dalam
rancangan statuta pembentukannya disebutkan dalam pasal II tentang maksut
pembentukan PPI yaitu “... menjadi perhatian antara segala perhimpoenan
Indonesia dan memperbaiki nasib dan deradjat perempoean oemoemnya, teristimewa
perempoean Indonesia, tiada dengan berazas sesoeatu agama atau politiek”.
Usaha-usaha
yang dijalankan antara lain menerbitkan surat kabar yang akan menjadi tempat
bagi kaum perempuan Indonesia untuk mengemukakan gagasan dan kehendak yang
berkaitan dengan hak dan kewajibannya; membentuk studie fonds (badan derma) untuk membantu gadis-gadis yang tidak
mampu bersekolah, mencegah perkawinan anak-anak, selain itu juga mengirim mosi
kepada pemerintah Hindia Belanda agar:
1.
Secepatnya mengadakan
dana untuk janda dan anak-anak,
2.
Jangan mencabut onderstand (tunjangan pensiun), dan
3.
Memperbanyak jumlah
sekolah khusus untuk para gadis juga mengirim mosi kepada pengadilan agama agar
setiap talak dikukuhkan secara tertulis sesuai dengan peraturan agama Islam.
Setiap
tahun PPII mengadakan Kongres yang diselenggarakan di kota yang berbeda. Dalam
kongres tahun 1929 ditetapkan bahwa Pengurus PPII tetap berkedudukan di
Yogyakarta yang pada masa itu disebut Mataram. Ditentukan juga bahwa badan dana
beasiswa disebut Seri Derma dan surat kabar yang diterbitkan di Jakarta
dinamakan Isteri. Yang berhak menjadi
anggot federasi ini adalah induk organisasi dan bukan cabang-cabangnya. Ketika
Mugarumah meninggal, ia mewariskan kekayaannya pada Seri Darma yang menyediakan
dana bagi gadis-gadis tidak mampu dan berniat melanjutkan studinya.
Setelah
segala persiapan dianggap cukup, panitia Kongres yang antara lain beranggotakan
Ny. Sri Mangunsarkoro, Ny. Suwarni Pringgodigdo, Ny. Abdulrachman, dan Ny. Moh.
Husni Thamrin mengadakan Kongres Perempuan Indonesia II (KPI II) di Jakarta
pada tanggal 20-24 Juli 1935. Kongres ini dipimpin oleh Ny. Sri Mangunsarkoro
dan dibantu oleh Ny. Sh. Suparto. Adapun maksud KPI II ini adalah mngeratkan
hubungan persaudaraan antara organisasi-organisasi perempuan Indonesia, usaha
memperbaiki nasib perempuan Indonesia pada khususnya dan rakyat Indonesia pada
umumnya.
Adapun
dasar dari KPI II, sebagai berikut:
1.
Kenasionalan artinya
tiap-tiap perkumpulan yang turut haruslah mengakui bahwa Indonesia adalah
tumpah darahnya dan bekerja untuk rakyat Indonesia pada umunya.
2.
Kesosialan artinya segala
pembicaraan dan pekerjaan ditujukan kepada perbaikan masyarakat pada umumnya,
dengan tiada memasukkan soal agama dan politik.
3.
Kenetralan artinya:
a.
Bahwa tiap-tiap anggota
wajib menghargai pendirian dan haluan masing-masing golongan.
b.
Perbedaan dalam paham dan
haluan hendaknya dipandang sebagai suatu hal yang dapat menambah luas dan
dalamnya pandangan masing-masing.
4.
Keperempuanan artinya
bahwa pekerjaan Kongres harus ditujukan kepada pembukaan segala jalan bagi
perempuan Indonesia ke arah kemajuan dan ketinggian derajatnya untuk
menjalankan kewajibannya sebagai Ibu bangsa. Konsep “Ibu Bangsa” ini sangat
penting untuk ditelaah karena dalam KPI II ini ditekankan tentang kewajiban
utama perempuan Indonesia adalah berusaha menumbuhkan generasi baru yang lebih
sadar akan kebangsaannya. Untuk mencapai hal itu harus dijalin hubungan yang
baik antara generasi tua dan generasi muda, sehingga tercipta saling pengertian
dan saling menghargai.
KPI
II juga menaruh perhatian yang besar pada nasib kaum pekerja perempuan dan
anak-anak. Di bawah pimpinan Ny. Sri Mangunsarkoro dibentuk suatu badan yang
berkewajiban menyelidiki keadaan kaum buruh perempuan di Indonesia. Badan ini
dinamakan Badan Penyelidik Perburuhan Perempuan Indonesia (BPPPI). Para anggota
KPI berkewajiban untuk memberi bantuan kepada mereka yang mengalami
ketidakadilan baik dalam pekerjaan maupun dalam perkawinan. Anjuran hidup
sederhana juga terus digiatkan agar kelebihan kekayaan pada mereka yang
berkecukupan dapat digunakan untuk perjuangan kebangsaan. Jumlah anggota KPI II
bertambah besar dengan KPI I. Namun, masih ada organisasi perempuan yang tidak
bergabung dalam KPI II misalnya Istri Sedar yang dipimpin oleh Ny. Suwarni
Pringgodigdo. Organisasi yang dibentuk tahun 1930 ini semula ikut dalam KPI II.
Akan tetapi, karena ada beberapa hal yang tidak sesuai dengan prinsip yang dianutnya
misalnya tentang kedudukan perempuan dalam hukum perkawinan Islam yang
mengizinkan poligami. Istri Sedar keluar dari KPI II.
Hal
lain yang terjadi setelah KPI II berlangsung adalah pembubaran PPII. Dalam
pertemuan yang diadakan pada tanggal 14-15 September 1935 di Yogyakarta
disepakati bahwa PPII membubarkan diri karena asas dan tujuannya sama dengan
KPI. Sehubungan dengan itu, semua harta kekayaan PPII termasuk Seri Derma
diserahkan kepada KPI yang sudah menjadi badan federasi organisasi-organisasi
perempuan.
Berbagai
isu yang dibahas dalam kongres ini masih sangat relevan dengan kaum perempuan
Indonesia dewasa ini. Masalah peraturan perkawinan yang sangat diperlukan
sebagai perlindungan bagi perempuan yang seringkali hak-haknya terabaikan
merupakan isu utama yang selalu dibicarakan oleh organisasi-organisasi
perempuan. Demikian juga halnya dengan perdagangan perempuan dan anak-anak baik
yang nyata maupun terselubung menjadi perhatian dan kepedulian perempuan hingga
masa kini.
Masalah-masalah
besar yang dihadapi kaum perempuan Indonesia tetap menjadi perhatian utama dan
masuk menjadi agenda dalam Kongres Perempuan Indonesia IV. Kongres ini diadakan
pada tanggal 25-28 Juli 1941 dan dipimpin oleh Ny. Sunaryo Mangunpuspito.
Perhatian organisasi-organisasi perempuan menjadi anggota KPI tetap besar
membuat mereka semakin bersemangat memperjuangkan bukan saja hak-hak perempuan,
melainkan juga hak-hak bangsa Indonesia secara keseluruhan.
BAB 3. PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Faktor – faktor yang mendorong lahirnya pergerakan kebangsaan dalam
masyarakat pribumi Indonesia (Hindia Belanda) dapat dipilahkan dalam 2
faktor diantarnya faktor internal dan
faktor eksternal, faktor internal datang dari kondisi atau realitas sosial, ekonomi,
politik masyarakat pribumi berkaitan dengan kolonialisme belanda. Sedangkan
faktor eksternal berasal dari luar wilayah Indonesia yang ikut mempengaruhi
bangkitnya kesadaran berbangsa di kalangan masyarakat pribumi Indonesia
(Hindia-Belanda).
Pada masa akhir
masa Hindia Belanda terdapat beberapa organisasasi 1) Fraksi Nasional. Fraksi
ini didirikan tanggal 27 Januari tahun1930 di Jakarta beranggotakan 10 anggota
wakil dari daerah – daerah jawa, Sumatra, Sulawesi dan Kalimantan. Dan diketuai
oleh Moh Husni Thamrin. Kegiatan pertama dari fraksi ini adalah pembelaan
terhadap pemimpin- pemimpon PNI yang di tangkap dalam sidang pengadilan
kolonial. 2) Petisi Sutardjo. Dicetuskan oleh Soetardjo
Kartohadikusumo. Petisi ini, diusulkan di luar tanggung jawab PPBB. Landasan
usul adalah pasal 1 UU Kerajaan Belanda. Usul petisi bernama Petisi
Sutardjo,diajukan pada tanggal 15 Juli 1936 kepada pemerintah, Ratu serta
Parlemen di negara Belanda dan ditolak. 3)
Gabungan Politik Indonesia. Organisasi ini dibentuk pada tanggal 21 Mei 1939 di
Jakarta dan dipimpin oleh Moh Husni Thamrin, Mr, Amir Syarifuddin, Abikusno
Tjokrosuyoso. Muhammadiyah
adalah organisasi Islam modern yang didirikan di Yogyakarta pada tanggal 18
November 1912 oleh K.H. Ahmad Dahlan. Muhammadiyah berarti umat Muhammad atau
pengikut Muhammad.
Kehidupan kaum
perempuan Indonesia sekitar abad ke-19 dan awal abad ke-20 tidak dapat
digeneralisasikan. Kaum perempuan Indonesia juga mengolah tanah, menanam,
memlihara tanaman dan mengolah hasil panen, kaum perempuan didesapun juga tidak
kalah kegiatannya dengan kaum laki-laki. gerakan perempuan Indonesia adalah
Putri Mardikam yang dibentuk pada tahun 1912 di Jakarta atas bantuan Budi
Utomo.
Daftar Pustaka
Kahin, George McTurnan. 1995. Nasionalisme
dan Revolusi di Indonesia: Timbulnya Pergerakan Kebangsaan Indonesia. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
Kartodidjo, sartono.
2010. Sejarah Nasional Indonesia jilid V: Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa
Hindia Belanda. Jakarta: Balai Pustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar