BAB
1. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Metode sejarah
lisan adalah suatu metode pengumpulan data atau bahan guna penulisan sejarah
yang dilakukan sejarawan melalui wawancara terhadap para pelaku sejarah yang
ingin diteliti. Di Indonesia metode wawancara dalam penulisan sejarah mulai
dikembangkan dengan diawali adanya proyek sejarah lisan yang ditangani oleh
Badan Arsip Nasional. Berkembangnya metode wawancara dalam penulisan sejarah di
Indonesia dilatarbelakangi oleh sulitnya menemukan jejak masa lampau berupa dokumen
yang sezaman serta makin berkembangnya perhatian studi sejarah yangmengarah ke
subyek masyarakat berupa orng kecil dalam peristiwa kecil yang biasanya tidak
meninggalkan jejak berupa dokumen. Wawancara adalah kegiatan melakukan tanya
jawab dengan narasumber untuk mendapatkan keterangan tertentu. Wawacara
merupakan teknik pengumpulan data yang amat penting dalam penelitian survey
selain teknik utama berupa Observasi. Oleh karena itu, dalam penelitian survei,
teknik wawancara merupakan pembantu utama dari metode
1.2 Rumusan
Masalah
- Bagaimana persiapan awal saat akan melakukan
wawancara dalam sejarah lisan ?
- Bagaimana tekhnik dan draft wawancara dalam
sejarah lisan ?
1.3 Tujuan
Penulisan
- Untuk mengetahui bagaimana persiapan ketika akan
melakukan wawancara dalam sejarah lisan.
- Untuk mengetahui bagaimana draft wawan cara dalam
sejarah lisan
BAB 2. PEMBAHASAN
2.1 Persiapan Penelitian dalam Sejarah Lisan
Praktek sejarah lisan merupakan
implementasi dari tiga tahapan kerja utama yang melekat pada metode sejarah
lisan. Dengan demikian, praktek sejarah lisan pun dimulai dari kegiatan kerja
berupa persiapan. Persiapan dalam praktek sejarah lisan memainkan peranan yang sangat
signifikan. Baik tidaknya persiapan yang dilakukan akan menentukan sukses
tidaknya kegiatan penggalian sejarah lisan yang akan dilakukan. Oleh karenanya,
persiapan yang matang sangat diperlukan agar kegiatan penggalian
sejarahlisanyang dilakukan dapat mencapai hasil yang optimal. Banyak hal yang
tentunya perlu dilakukan dalam tahapan kerja persiapan ini, namun demikian bila
ditelaah dengan seksama setidaknya ada delapan langkah kegiatan yang perlu mendapat
prioritas perhatian. Kedelapan langkah kegiatan tersebut,meliputi,perumusan topik
penelitian, penetapan judul penelitian, pembuatan kerangka penelitian,
pembuatan kendali wawancara, inventarisasi dan seleksi pengkisah, kontak dengan
pengkisah, pengenalan lapangan, dan persiapan alat rekam (Purwanto,B. 2006:76).
2.1.1 Urut-urutan
langkah kegiatan
akan diuraikan di bawah ini tidaklah
bersifat kaku, bisa jadi karena pertimbangan situasi dan kondisi, langkah
kegiatan yang satu lebih didahulukan dibanding langkah kegiatan lainnya.
a. Perumusan Topik Penelitian
Sebagai langkah kegiatan pertama,
perumusan topik penelitian dapat dikatakan menempati posisi strategis. Pada
dasarnya sebuah kegiatan penggalian sejarahlisan baru dapat dilakukan dengar
baik manakala telah diperoleh kejelasan tentang topik yang akan diteliti. Tanpa
kejelasan tentang topik penelitian, bisa jadi kegiatan penggalian sejarah lisan
akan berjalan tanpa arah. Untuk menentukan topik penelitian, setidaknya ada
empat pertimbangan yang perlu dilakukan. Pertama, interested topic, yakni topik
menarik untuk diteliti. Topik yang menarik untuk diteliti tentu adalah topik yang
sesuai dengan minat peneliti dan tidak perlu dipaksakan harus menarik atau
sesuai pula dengan minat orang lain. Dengan kata lain, peneliti haruslah
memiliki ketertarikan yang besar terhadap topik yang dipilihnya. Dengan adanya
ketertarikan peneliti terhadap topik yang dipilihnya diharapkan peneliti dapat
bekerja dengan nyaman dan sepenuh hati saat melakukan penggalian sejarah lisan.
Suatu topik yang dipilih dengan keterpaksaan atau karena keinginan orang lain
bisa jadi tidak akan menghasilkan penggalian sejarah lisan yang optimal.
Kedua, manageable topic, yakni topik
yang diteliti ada dalam jangkauan kemampuan. Setidaknya ada tiga hal penting
yang perlu dipikirkan untuk mengetahui sebuah topik berada dalam jangkauan kemampuan,
yakni kemampuan intelektual, kemampuan finansial, dan kemampuan atau
ketersediaan waktu (Pranoto,
S, W. 2014:32).
Kemampuan intelektual berkaitan
dengan kemampuan akademis peneliti di dalam mengolah dan mengerjakan topik yang
akan diteliti. Dengan demikian, sebuah topik haruslah ditetapkan atau dipilih
dengan satu keyakinan awal bahwa topik tersebut sangat mungkin diteliti karena
sesuai dengan kapasitas intelektual yang dimiliki penggali sejarah lisan.
Kemampuan finansial berbicara tentang kemampuan ekonomi penggali sejarah lisan
dalam mengolah dan menyelesaikan topik yang akan diteliti. Oleh karenanya, bila
seandainya kemampuan ekonomi terbatas janganlah mencari topik yang sekiranya
akan memerlukan adanya biaya perjalanan yang tinggi untuk mendatangi tempat
tinggal pengkisah atau pemilik sejarah lisan. Kemampuan atau ketersediaan waktu
dipahami sebagai adanya kesesuaian antara waktu yang dimiliki penggali sejarah
lisan dengan rentang waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan penggalian
sejarah lisan sebagaimana topik penelitian yang dipilih. Dengan demikian, bila waktu
terbatas ada baiknya tidak memilih topik yang kira-kira akan menuntut banyak
wawancara dengan para pengkisah yang memiliki tingkat kesibukan kerja tinggi
sehingga sulit dihubungi untuk mengadakan wawancara. Mana di antara ketiganya
yang perlu ditempatkan pada prioritas pertimbangan pertama, tampaknya yang
berkait erat dengan kemampuan intelektual.
Ketiga, obtainable topic, yakni sumber (pengkisah)
yang diperlukan untuk menggali sejarah lisan yang sesuai dengan topik yang
telah dirumuskan masih hidup dan relatif mudah untuk dijangkau. Dengan demikian,
dalam pertimbangan yang ketiga ini, haruslah dipikirkan dengan cemat dan cerdas
bahwa topiktersebut sangat dimungkinkan digarap dengan sumber sejarah yang
berupa sejarahlisan. Salah satu rasionalisasi berpikir yang paling penting
untuk menentukan tersedia tidaknya sumber yang memiliki sejarah lisan
(pengkisah) adalah berkaitan dengan usia maksimalmanusia pada umumnya.
Mengingat sejarah lisan merupakan pengetahuan yang diperoleh dari tangan pertama,
sudah jelaslah bahwa topik yang diteliti harus berada dalam kurun waktu yang
masih memungkinkan sang pemilik peristiwanya masih hidup. Janganlah sampai
terjadi, sebuah metodesejarahlisan dipaksakan untuk menggarap para pengkisah
yang tidak sezaman dengan peristiwa yang tengah diteliti. Bila ini terjadi,
kredibilitas sumber akan dipertanyakan secara tajam (Kuntowijoyo 1995:25).
Keempat, significance of topic, yakni
topik cukup penting untuk diteliti. Pertimbangan terakhir dalam menentukan
topik bisa jadi akan sangat relatifsekali, terutama manakala hal tersebut
dikaitkan dengan orang lain diluar penggali sejarah lisan. Kegiatan penggalian
Sejarah lisan dengan topik A bisa dianggap penting oleh seseorang atau suatu
kelompok tetapi juga sebaliknya bisa dianggap tidak penting oleh orang lain
atau kelompok lain. Oleh karenanya, untuk mengukur penting tidaknya suatu topik
bukanlah merupakan hal yang mudah. Untuk menyikapi hal ini, salah satu tolok
ukur yang dapat digunakan dalam penggalian sejarah lisan adalah berkait dengan
keudzuran usia dari para pemilik sejarah lisan. Bila suatu peristiwa sejarah
dipandang semakin sedikit menyisakan sumber lisan yang berupa sejarah lisan
dapat kiranya diberi prioritas untuk lebih dahulu digarap. Di luar itu,
pengukuran kepentingan topik dalam penggalian seiarah lisan dapat pula dilihat
dari nilai rekonstruksi yang akan dihasilkan. Bila sebuahrekonstruksi sejarah melalui
sejarah lisan akan mampu mencerahkan pemahaman sejarah masyarakat tentang suatu
peristiwa yang tengah menjadi bahan pembicaraan atau masih gelap alurnya bisa
pula kiranya dikedepankan untuk diberi prioritas.
Mana di antara keempat pertimbangan
topik di atas yang perlu diberi prioritas, bisa jadi akan berbeda bagi setiap
orang atau akan sangat relatif sekali. Namun demikian, kalaulah perlukan adanya
skala prioritas maka prioritas pertama dan kedua yang perlu dipertimbangkan
dalam memilih topik adalah adanya ketertarikan yang kuat terhadap topik yang
diteliti serta topik tersebut berada dalam jangkauan kemampuan, khususnya kemampuan
intelektual atau akademis. Dengan demikian pula, urut-urutan pertimbangan dalam
memilih topik bagi penelitian sejarah lisan sebagaimana dikemukakan didepan
sekaligus pula merupakan urut-urutan yang memperlihatkan tingkat kepentingan
dalam memilih topik.
Pentignya menempatkan ketertarikan
terhadap topik dalam prioritas pertama saat melakukan penelitian sejarah lisan
tampak secara implisit diungkapkan pula oleh Kuntowijoyo (1995) ketika menjelaskan
dua pertimbangan penting dalam memilih topik penelitian sejarah. Menurut
Kuntowijoyo (1995), dalam memilih topik untuk peneltian sejarah sebaiknya
didasarkan atas dua pertimbangan. Pertama, kedekatan emosional. Kedua,
kedekatan intelektual. Kedekatan emosional terhadap topik penelitian bisa didasarkan
atas berbagai pertimbangan, seperti kedekatan secara geografis (desa,
kelurahan, kecamatan, kota, kabupaten, dan sebagainya), secara institusional,
secara organisasi, atapun kedekatan secara emosional terhadap tokoh atau pemuka
agama. Kedekatan intelektual lebih didasarkan atas kapasitas keilmuan dan wawasan
peneliti terhadap topik yang akan diteliti.
b.
Penetapan
Judul Penelitian
Setelah topik berhasil dirumuskan dan
ditetapkan, langkah selanjutnya adalah menetapkan judul bagi penelitian yang
dipilih. Bila topik di ibaratkan sebagai judul besar maka judul itu sendiri
dapat diibaratkan sebagai bentuk yang lebih spesifik dari topik. Dengan kata
lain, judul adalah bentuk yang lebih rinci dan jelas tentang materi yang akan
diteliti. Berkaitan denganjudul, ada baiknya judul terdiri dari dua variabel
yang saling berkaitan, seperti Dampak Kehadiran Perguruan Tinggi di Jatinangor
terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat sekitar atau Respon Mahasiswa terhadap
Kehadiran Taman Bacaan di Jatinangor.
Untuk memilih judul terbaik sebuah
penelitian sejarah lisan pada dasarnya parameter-parameter yang digunakan dalam
memilih topik dapat juga digunakan dalam memilih judul penelitian. Dari sebuah
topik bisa dipastikan banyak pilihan judul yang dapat diangkat ke permukaan.
Dengan demikian, untuk menetapkan satu dari sekian banyak judul yang berhasil
diinventarisir, cermatilah dengan baik hal-hal yang berkaitan dengan
ketertarikan peneliti terhadap judul, ketersediaan sumber untuk mengungkap atau
merekonstruksi materi sebagaimana yang tercantum dalam judul, kemampuan
intelektual, finansial, dan waktu peneliti untuk menyelesaikan materi
penelitian, serta nilai penting penelitian.
c.
Pemahaman Masalah
Memahami masalah yang akan diteliti
sebagaimana tercermin dalam judul penelitian perlu dilakukan agar sebelum
penggalian sejarah lisan dilakukan, penggali sejarah lisan telah memiliki bekal
awal tentang peristiwa atau materi yang akan ditelitinya. Upaya memahami
masalah dapat dilakukan melalui pendekatan konvensional dan pendekatan non
konvensional. Pendekatan konvensional dilakukan dengan melacaknya terlebih
dahulu melalui sumber- sumber tertulis, baik yang ada di lembaga-lembaga
kearsipan maupun perpustakaan-perpustakaan.
Pendekatan non konvensional dilakukan
dengan melacak materi Atau peristiwa yang akan diteliti melalui
internet. Media internet menyediakan banyak website yang sarat dengan
informasi. Satu di antaranya adalah
www.google.com. Dengan memasukan informasi
yang diperlukan dalam search engine ini, dalam waktu yang
tidak terlalu lama akan diperoleh kejelasan berkaitan dengan sumber
yang tersedia atau informasi yang diinginkan berkaitan dengan
peristiwa atau materi yang hendak digali. Mana diantara kedua
pendekatan ini yang perlu dikedepankan, tampaknya akan lebih
baik bila mengedepankan pendekatan non konvensional terlebih
dahulu.
d.
Pembuatan
Kerangka Penelitian
Kerangka penelitian bagi penggalian
sejarah lisan penting untuk dibuat karena dapat menjadi petunjuk tentang
informasi sejarah penelitianakan dilakukan akan terlihat dari kerangka penelitian
yang dibuat. Kerangka penelitian sebagai penjabaran lebih lanjut dari judul
yang telah ditetapkan akan dapat memberi penjelasan yang lebih rinci tentang
informasisejarah lisanapa yang diperlukan dan penting untuk digali. Dengan
demikian, melaluikerngka penelitian akan dapat diperoleh kejelasan tentang
jenis informasi sejarahlisan yang perlu digali.
Tidak ada aturan baku yang menentukan
tentang banyaknya bab yang termuat dalam sebuah kerangka penelitian. Namun,
pada umumnya, kerangka penelitian minimal terdiri dari empat bab. Itupun dengan
asumsi, bab pertama merupakan bab pendahuluan sementara bab keempat merupakan
simpulan. Dengan demikian bab tiga dan bab empat merupakan bab yang berisi
pembahasan atau inti jawaban penelitian (Taufik Abdullah , 1982).
e.
Pembuatan
Kendali Wawancara
Berbeda dengan kerangka penelitian,
yang memiliki fungsi sebagai petunjuk seputar informasi sejarah lisan yang
diperlukan, kendali wawancara memiliki fungsi sebagai alat pancing untuk
memperoleh informasi sejarah lisan sebagaimana yang diinginkan. Dengan demikian,
kendaliwawancara selalu memiliki keterkaitanerat dengan kerangka sementara. Apa
yang sudah diuraikan dalam kerangka sementara kemudian dijabarkan lebih lanjut
dalam kendali wawancara.
Tampilan kendali wawancara sebagai
penjabaran lebih lanjut dari kerangka sementara tidak lain berupa daftar
pertanyaan. Penting kiranya untuk diperhatikan, pertanyaan-pertanyaan yang
dimuat dalam kendaliwawancara haruslah dibuat sesederhana mungkin tetapi jelas
dan mudah dipahami. Terlebih bila pertanyaan-pertanyaan tersebut ditujukan
kepada para pemilik sejarah lisan yang berasal dari komunitas masyarakat yang
sederhana dan kurangatau bahkan tidak terdidik. Untuk itu semua, sudah
selayaknya bila pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dimulai dengan 5 W
(who,what,when,where, why) dan 1H (how) Selanjutnya, agar dapat
diperolehinformasi sejarah lisan yang optimal maka haruslah dihindarkan
pertanyaan-pertanyaan yang bersifat tertutup atau pertanyaan-pertanyaan yang hanya
memerlukan jawaban YA dan TIDAK.
f.
Inventarisasi
dan Seleksi Pengkisah
Gambaran awal tentang keberadaan para
pemilik sejarah lisan atau pengkisah sebenarnya sudah harus diperoleh sejak
topik dirumuskan. Oleh karenanya, pada langkahkegiatan ini, inventarisasi dipahami
sebagai proses penyusunan daftar pengkisah sesuai dengan derajat perannya dalam
peristiwa sejarah serta perluasan daftar pengkisah yang akan digali sejarah
lisannya. Akan menjadi daftar pengkisah yang akan digali sejarah lisannya. Akan
menjadi baik kiranya bila daftar pengkisah ini dibuat sebanyak mungkin. Adapun
yang dimaksud pengkisah (interviewee) adalah saksi hidup yang menceriterakan
kesaksiannya melalui wawancara yang direkam dalam alat rekam. Kesaksian lisan
dari tangan pertama, bisa berupa peristiwa tertentu yang dialami sendiri,
dirasakan sendiri, didengar sendiri, dilihat sendiri, atau dipikirkan sendiri secara
langsung oleh pengkisah.
Setelah inventarisasi dilakukan, maka
dilakukanlah seleksi pengkisah. Seleksi pengkisah yang paling sederhana
menyangkut dua hal, pertama, usia. Seleksi usia dilakukan untuk mengetahui kesezamanan
pengkisah dengan peristiwa yang akan digali sejarahnya. Untuk mudahnya, usia 15
tahun dapat digunakan sebagai usia minimal yang seyogyanya dimiliki pengkisah
saat sebuah peristiwa sejarah terjadi. Dengan demikian, Lila pengkisah berceritera
tentang peristiwa yang terjadi pada tahun 1950, maka setidaknya si pengkisah
haruslah orang yang kelahirannya pada tahun 1935 atau sebelumnya. Selanjutnya,
bila upaya penggalian sejarah lisan dilakukan pada tahun 2013 berarti pada
tahun diadakannya penggalian sejarah lisan, usianya setidaknya telah mencapai
78 tahun. Bila si pengkisah padatahun 2013 baru berusia 60 tahun atau lebih
muda dari itu secara otomatis perlu dikesampingkan terlebih dahulu dari daftar
pengkisah yang harus digali sejarah lisannya.
g.
Kontak
dengan Pengkisah
Setelah diperoleh daftar pengkisah
terseleksi, langkah selanjutnya mengadakan kontak dengan pengkisah. Kontak
dengan pengkisah. Kontak dengan pengkisah dimaksudkan untuk memperkenalkan
diri, menyampaikan maksud dan tujuan, serta sekaligus membuat janji wawancara.
Ada baiknya sebelum kontak dilakukan, pewawancara berupaya mengenal terlebih
dahulu profil calon pengkisah, baik melalui orang-orang yang mengetahui tentang
jati diri pengkisah maupun melalui bacaan-bacaan (Bigalke, 1982). Banyak cara
yang bisa dilakukan untuk mengadakan kontak awal dengan pengkisah, mulai dari
datang langsung ke tempat tinggal pengkisah, mengirim surat, berkomunikasi
lewat telepon rumah atau handphone, hingga
berkomunikasi melalui SMS atau e-mail. Kesemua pilihan untuk membuat kontak
dengan pengkisah tersebut sifatnya tentu sangat kondisional sekali. Faktor
etika dan kesantunan perlu dipertimbangkan manakala akan menentukan media
komunikasi untuk mengontak pengkisah. Diantara kesemua pilihan, bila pengkisah
yang akan dikontak telah berumur atau lebih tua dari peneliti ada baiknya
mendatangi langsung kediaman pengkisah menjadi prioritas pilihan pertama.
Kontak awal dengan pengkisah pada
dasarnya akan turut menentukan sukses tidaknya penggalian sejarah lisan yang
akan dilakukan. Bila bahasa iklan ada yang berbunyi, “kesan pertama begitu
menggoda, selanjutnya terserah anda”, maka kontak awal dengan pengkisah pun
harus dilakukan secara hati-hati agar dapat menimbulkan kesan awal yang baik
dari pengkisah. Untuk mencapai itu semua, faktor penampilan dan kesantuan dalam
berbicara benar-benar harus diperhatikan dengan baik. Haruslah diupayakan bahwa
kontak awal tersebut dapat menimbulkan rasa nyaman dan senang pada pengkisah.
2.1.2 Prinsip Dasar Penelitian
Sejarah Lisan
Metode sejarah lisan adalah suatu
metode pengumpulan data atau bahan guna penulisan sejarah yang dilakukan
sejarawan melalui wawancara terhadap para pelaku sejarah yang ingin diteliti.
Wawancara adalah kegiatan melakukan Tanya jawab dengan narasumber untuk
mendapatkan keterangan tertentu. Sebagai teknik pengumpulan informasi atau
pengumpulan data dalam penelitian sejarah, teknik wawancara merupakan teknik
yang bersifat pelengkap artinya wawancara digunakan untuk melengkapi data atau
informasi yang berasal dari sumber dokumen. Untuk melakukan wawancara,
diperlukan beberapa persiapan antara lain
1.
Menyeleksi individu untuk diwawancarai
Dalam tahap ini, seorang peneliti diharapkan mampu
dengan tepat memilih narasumber yang benar-benar kompeten dengan aspek yang
ingin diteliti. Kegagalan memilih narasumber akan berdampak pada ketidakvalidan
informasi yang diperoleh. Akibatnya, hasil penelitian akan dianggap tidak
benar.
2.
Melakukan pendekatan terhadap orang yang ingin diwawancarai
Setelah memilih narasumber yang tepat, hendaknya
seorang pewawancara/peneliti melakukan
pendekatan secara personal terhadap narasumber agar tercipta keakraban yang
akan berpengaruh baik terhadap proses pengumpulan informasi.
3.
Mengembangkan suasana lancar dalam wawancara
Setelah tercipta suasana yang akrab, sebaiknya
peneliti mampu menciptakan suasana yang lancer dan kondusif dalam proses
wawancara.
4.
Mempersiapkan pokok masalah yang akan dikemukakan (ditanyakan).
2.2 Wawancara dalam sejarah lisan
Sejarah lisan juga mempunyai sumbangan
yang besar dalam kepenulisan sejarah. Dengan sifatnya yang kontemporer, pertama
sejarah lisan memberikan kemungkinan yang hampir tak terbatas untuk menggali
sejarah dari pelaku-pelakunya, kedua sejarah lisan dapat menemukan
pelaku-pelaku sejarah yang tidak disebutkan didalam dokumen, dan yang ketiga
sejarah lisan memungkinkan adanya perluasan permasalahan sejarah, karena
sejarah tidak di batasi lagi dengan adanya dokumen tertulis.
Dengan melalui kerja sejarah
lisan, wawancara yang dilakukan dapat mendokumentasikan aspek-aspek tertentu
dari pengalaman sejarah yang cenderung hilang dalam sumber lainnya. Ingatan
merupakan fakta sosial, dan adanya subjektivitas di dalam ingatan itu, untuk
upaya mengatasi berbagai kesulitan subjektif itu, maka adanya penganalisaan
teks lisan dan menghubungkannya, dengan yang lain dalam bentuk dokumen tertulis
atau informasi.
Menurut Koentjaraningrat (1977), ada beberapa cara yang dapat dilakukan dalam
wawancara :
1.
Adanya seleksi individu untuk diwawancarai guna
memperoleh informasi yang akurat (maksudnya kedudukan orang tersebut dalam
suatu peristiwa, sebagai pelaku utama, informan, atau saksi).
2. Harus ada pendekatan kepada orang
yang diwawancarai.
3.
Mengembangkan suasana lancar dalam wawancara
dengan pertanyaan yang jelas, tidak
berbelit dan menghindari pertanyaan yang menyinggung perasaan
- Persiapkan
pokok-pokok masalah yang akan ditanyakan dengan sebaik-baiknya agar
memperoleh data yang akurat.
Teknik pengumpulan data dengan wawancara
terbagi menjadi tiga macam:
1.
Poll Type Interview
(pertanyaan dengan jawabanyang talah ditentukan, narasumber tinggal memilih
jawaban yang ada).
2. Open Type Interview
(Wawancara dilakukan dengan cara pertanyaan ditentukan terlebih dahulu,
sedangkan narasumber dapat menjawab bebas).
3. Nonstructured Interview
(Wawancara dilakukan dengan cara pertanyaan ataupun jawaban tidak ditentukan
sebelumnya).
Tahapan pelaksanaan kegiatan
penggalian sejarah lisan juga dapat dibagi lagi dalam beberapa langkah kegiatan
yang terdiri dari lima tahap, meliputi pembuatan label wawancara, pembukaan
wawancara, menjaga suasana wawancara, membuat catatan, dan mengakhiri
wawancara.
1.
Membuat Label
Wawancara
Fungsi label dalam wawancara
sejarah lisan pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan fungsi keterangan
pengarang, tahun, judul, tempat terbit, dan penerbit yang ada pada sebuah buku.
Oleh karena itu, jelaslah pembuatan label ini mutlak harus dilakukan dalam
kegiatan penggalian sejarah lisan. Label wawancara untuk kegiatan penggalian
sejarah lisan ini dibuat pada awal dan akhir wawancara, ada yang berbentuk
lisan dan ada pula yang berbentuk tulisan. Adapun keterangan yang termuat dalam
label wawancara, meliputi, nama pengkisah, nama pewawancara, tanggal dan tempat
wawancara, waktu wawancara, dan topik atau judul penelitian. Untuk memudahkan,
ada beberapa jenis label wawancara yang perlu dibuat oleh pewawancara dalam
kegiatan penggalian sejarah lisan.
a.
Label yang terekam
dalam kaset pada awal wawancara.
Sebagai contoh, label yang
terekam dalam kaset ini misalnya berbunyi, “Pada hari ini, Selasa tanggal 24
Mei 2005, saya, Haidir Aulia, mengadakan wawancara dengan Susilo Bambang
Yudhoyono. Wawancara ini diadakan di tempat kediaman pengkisah di Cikeas
berkaitan dengan penelitian yang berjudul, ‘Respon Para Menteri Kabinet
terhadap Dekrit Presiden 22 Juli 2001’. Wawancara dimulai pada pukul 16.00 WIB.
Adapun isi wawancara sebagai berikut”.
b.
Label yang terekam
dalam kaset pada akhir wawancara.
Bunyi label wawancara di akhir
wawancara misalnya, “demikian wawancara dengan Susilo Bambang Yudhoyono,
wawancara ini berakhir pada pukul 17 .13” atau “demikian wawancara pertama
dengan Susilo Bambang Yudhoyono, wawancara ini berakhir pada pukul 17.13.
Wawancara selanjutnya direncanakan akan berlangsung hari Selasa tanggal 31 Mei
2005”.
c.
Dua label wawancara
lainnya berbentuk tulisan,
yakni yang tertulis di kulit kaset dan yang
tertulis di kertas pembungkus kaset. Kedua label wawancara yang berbentuk
tulisan ini berisi keterangan tentang topik atau judul penelitian, nama
pengkisah, nama pewawancara, tempat.
Terlepas dari ada tidaknya hubungan personal yang telah terbangun antara
pewawancara dan pengkisah, untuk membangun rapport yang baik, hendaklah
diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1.
Pertanyaan
disampaikan satu per satu dan mulailah pertanyaan dengan kata-kata siapa, apa,
dimana, kapan, mengapa, atau bagaimana (5W, 1H).
2.
Usahakan pertanyaan
tidak terlalu panjang apalagi berputar-putar sehingga membingungkan pengkisah.
Pertanyaan yang baik adalah pertanyaan yang mudah dipahami dan mudah ditangkap
oleh pengkisah, terutama bila pengkisah berasal dari lingkungan masyarakat yang
sederhana dan kurang terdidik.
3.
Jangan sekali-kali memotong pembicaraan
pengkisah, termasuk apabila pewawancara menilai bahwa peristiwa yang
diceriterakan pengkisah tidak benar, baik menyangkut tempat peristiwanya, tokoh
peristiwa, ataupun waktu terjadinya peristiwa. Dengan kata lain, jangan
menggunakan wawancara untuk mempertontonkan pengetahuan pribadi atau kehebatan
pewawancara.
4.
Jadilah pendengar
yang baik selama pengkisah menyampaikan keterangannya dan berikanlah “pesan”
yang jelas kepada pengkisah bahwa pewawancara sangat tertarik dengan
keterangan-keterangannya . “Pesan” ketertarikan dapat berbentuk bahasa tubuh
atau komentar lisan.
5.
Apabila keterangan
pengkisah dipandang kurang jelas, jangan segan-segan untuk bertanya kembali
untuk memperjelas pemahaman atas jawaban pengkisah.
6.
Bersikaplah fleksibel
dan jangan terpaku hanya pada pertanyaan-pertanyaan yang termuat dalam kendali
wawancara, terutama manakala ditemukan keterangan-keterangan baru dari
pengkisah tentang topik yang tengah diteliti.
7.
Kalau tidak terpaksa
sekali, hindarkan kehadiran pihak ketiga selama wawancara
8. Hindarkan keterangan off the record yang bersifat
“abadi”. Artinya, kalaupun pengkisah menyatakan bahwa keterangannya bersifat
off the record maka hendaklah diupayakan bahwa hal tersebut tidak berlangsung
selamanya tetapi ada kurun waktu, misalnya sifat off the record-nya hanya
selama pengkisah masih hidup. Setelah pengkisah meninggal, informasi yang
diberikannya menjadi terbuka untuk dipublikasikanin.
2. Pembukaan
Wawancara
Bagian terpenting dari tahapan pelaksanaan metode
sejarah lisan adalah saat pembukaan wawancara. Seyogyanya pembukaan wawancara
dibuat sebaik mungkin agar mampu memberi kesan yang nyaman bagi pengkisah. Oleh
karenanya, sangat disarankan kalau pembukaan wawancara dimulai dengan
pertanyaan-pertanyaan yang santai, ringan, dan menyenangkan bagi pengkisah,
misalnya tentang riwayat hidup pengkisah, termasuk di dalamnya
kenangan-kenangan manis pengkisah semasa kanak-kanak, remaja, hingga dewasa.
Sasaran utama pembukaan wawancara adalah untuk menyegarkan ingatan pengkisah
akan peristiwa-peristiwa sejarah terpilih yang terdapat di dalam memorinya.
Upaya lain dapat pula dilakukan dengan mengadakan dialog santai terlebih dahulu
sebelum wawancara diadakan.
3. Menjaga
Suasana Wawancara
Setelah pembukaan wawancara berjalan dengan lancar
dan baik, hal lain yang harus segera diperhatikan adalah menciptakan rapport
atau suasana psikologis berupa rasa saling percaya dan keterbukaan hubungan
antara pewawancara dan pengkisah. Untuk itu, berikan kesempatan kepada
pengkisah untuk memberikan informasi dan pengetahuannya secara panjang lebar
dan hindarkan kesan dalam diri pengkisah bahwa seolah-olah ia tengah
diinterogasi. Rapport biasanya akan mudah tercipta bila antara pewawancara dan
pengkisah sebelumnya telah saling mengenal, misalnya karena hubungan kerja atau
hubungan pertemanan. Dalam kondisi seperti itu, wawancara pun biasanya akan
semakin hidup karena dapat diisi dengan pembicaraan yang bersifat pleasantries,
yakni kelakar-kelakar yang sebagian merupakan nostalgia terhadap pengalaman
pada masa silam.
4. Membuat Catatan
Pembuatan
catatan sewaktu wawancara berlangsung di antaranya dimaksudkan untuk mencatat
kata-kata yang dinilai kurang jelas atau kata-kata yang dianggap penting,
misalnya mengenai nama orang, nama tempat, atau istilah-istilah tetentu yang
bersumber pada bahasa asing atau bahasa daerah setempat. Adapun koreksi
terhadap kata-kata yang dicatat tersebut dilakukan segera setelah wawancara
selesai atau bila dipandang perlu dapat ditanyakan sewaktu wawancara masih
berlangsung. Di luar itu, pembuatan catatan juga perlu dilakukan untuk
menyikapi kemungkinan munculnya pertanyaan baru di luar yang tertulis dalam
kendali wawancara.
5. Mengakhiri Wawancara
Keputusan
untuk mengakhiri wawancara sangat ditentukan oleh kejelian pewawancara dalam
memahami permasalahan serta dalam membaca suasana wawancara. Apabila data yang
diperlukan dari pengkisah sudah memenuhi target yang diinginkan hendaknya
wawancara segera diakhiri untuk mencegah masuknya informasi-informasi yang
tidak relevan dengan topik atau judul penelitian dalam kaset. Demikian pula
apabila pengkisah kelihatan sudah lelah atau banyak ngelantur dalam menuturkan
kisahnya sebaiknya wawancara pun segera dihentikan untuk dilanjutkan pada waktu
yang lain.
BAB 3. PENUTUP
3.1
Simpulan
Metode penelitian sejarah adalah metode atau cara yang digunakan sebagai
pedoman dalam melakukan penelitian peristiwa sejarah dan permasalahannya.
Dengan kata lain, metode penelitian sejarah adalah instrumen untuk
merekonstruksi peristiwa sejarah (history as past actuality) menjadi sejarah
sebagai kisah (history as written). Dalam ruang lingkup Ilmu Sejarah, metode
penelitian itu disebut metode sejarah.
Metode sejarah digunakan sebagai metode penelitian, pada prinsipnya
bertujuan untuk menjawab enam pertanyaan (5 W dan 1 H) yang merupakan elemen
dasar penulisan sejarah, yaitu what (apa), when (kapan), where (dimana), who
(siapa), why (mengapa), dan how (bagaimana). Pertanyaan-pertanyaan itu
konkretnya adalah: Apa (peristiwa apa) yang terjadi? Kapan terjadinya? Di mana
terjadinya? Siapa yang terlibat dalam peristiwa itu? Mengapa peristiwa itu
terjadi? Bagaimana proses terjadinya peristiwa itu?
Dalam proses penulisan sejarah sebagai kisah, pertanyaan-pertanyaan dasar
itu dikembangkan sesuai dengan permasalahan yang perlu diungkap dan dibahas.
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itulah yang harus menjadi sasaran penelitian
sejarah, karena penulisan sejarah dituntut untuk menghasilkan eksplanasi
(kejelasan) mengenai signifikansi (arti penting) dan makna peristiwa.
Daftar Pustaka
Abdullah,
Taufik. 1982. “Di Sekitar Pencarian dan Penggunaan Sejarah Lisan”, Lembaran
Berita Sejarah Lisan, Nomor 9. Jakarta : Arsip Nasional Republik
Indonesia.
Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Yoyakarta:
Yayasan Bentang Budaya.
Kuntowijoyo.2003.Metodologi Sejarah. Yogyakarta: PT.Tiara Wacana.
Pranoto,
S, W. 2014. Teori Metodologi Sejarah. Yogyakarta : Graha
Ilmu.
Purwanto,
B. 2006. Gagalnya Historiografi
Indonesiasentris?!. Yogyakarta : Ombak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar