Sabtu, 13 Oktober 2018

Bagaimana persiapan awal saat akan melakukan wawancara dalam sejarah lisan ?

  • Bagaimana persiapan awal saat akan melakukan wawancara dalam sejarah lisan ?


    BAB 1. PENDAHULUAN
    1.1  Latar Belakang
    Metode sejarah lisan adalah suatu metode pengumpulan data atau bahan guna penulisan sejarah yang dilakukan sejarawan melalui wawancara terhadap para pelaku sejarah yang ingin diteliti. Di Indonesia metode wawancara dalam penulisan sejarah mulai dikembangkan dengan diawali adanya proyek sejarah lisan yang ditangani oleh Badan Arsip Nasional. Berkembangnya metode wawancara dalam penulisan sejarah di Indonesia dilatarbelakangi oleh sulitnya menemukan jejak masa lampau berupa dokumen yang sezaman serta makin berkembangnya perhatian studi sejarah yangmengarah ke subyek masyarakat berupa orng kecil dalam peristiwa kecil yang biasanya tidak meninggalkan jejak berupa dokumen. Wawancara adalah kegiatan melakukan tanya jawab dengan narasumber untuk mendapatkan keterangan tertentu. Wawacara merupakan teknik pengumpulan data yang amat penting dalam penelitian survey selain teknik utama berupa Observasi. Oleh karena itu, dalam penelitian survei, teknik wawancara merupakan pembantu utama dari metode
    1.2  Rumusan Masalah
    1. Bagaimana persiapan awal saat akan melakukan wawancara dalam sejarah lisan ?
    2. Bagaimana tekhnik dan draft wawancara dalam sejarah lisan ?
    1.3  Tujuan Penulisan
    1. Untuk mengetahui bagaimana persiapan ketika akan melakukan wawancara dalam sejarah lisan.
    2. Untuk mengetahui bagaimana draft wawan cara dalam sejarah lisan

    BAB 2. PEMBAHASAN
    2.1 Persiapan Penelitian dalam Sejarah Lisan
    Praktek sejarah lisan merupakan implementasi dari tiga tahapan kerja utama yang melekat pada metode sejarah lisan. Dengan demikian, praktek sejarah lisan pun dimulai dari kegiatan kerja berupa persiapan. Persiapan dalam praktek sejarah lisan memainkan peranan yang sangat signifikan. Baik tidaknya persiapan yang dilakukan akan menentukan sukses tidaknya kegiatan penggalian sejarah lisan yang akan dilakukan. Oleh karenanya, persiapan yang matang sangat diperlukan agar kegiatan penggalian sejarahlisanyang dilakukan dapat mencapai hasil yang optimal. Banyak hal yang tentunya perlu dilakukan dalam tahapan kerja persiapan ini, namun demikian bila ditelaah dengan seksama setidaknya ada delapan langkah kegiatan yang perlu mendapat prioritas perhatian. Kedelapan langkah kegiatan tersebut,meliputi,perumusan topik penelitian, penetapan judul penelitian, pembuatan kerangka penelitian, pembuatan kendali wawancara, inventarisasi dan seleksi pengkisah, kontak dengan pengkisah, pengenalan lapangan, dan persiapan alat rekam (Purwanto,B. 2006:76).
    2.1.1 Urut-urutan langkah kegiatan
    akan diuraikan di bawah ini tidaklah bersifat kaku, bisa jadi karena pertimbangan situasi dan kondisi, langkah kegiatan yang satu lebih didahulukan dibanding langkah kegiatan lainnya.
    a.      Perumusan Topik Penelitian
    Sebagai langkah kegiatan pertama, perumusan topik penelitian dapat dikatakan menempati posisi strategis. Pada dasarnya sebuah kegiatan penggalian sejarahlisan baru dapat dilakukan dengar baik manakala telah diperoleh kejelasan tentang topik yang akan diteliti. Tanpa kejelasan tentang topik penelitian, bisa jadi kegiatan penggalian sejarah lisan akan berjalan tanpa arah. Untuk menentukan topik penelitian, setidaknya ada empat pertimbangan yang perlu dilakukan. Pertama, interested topic, yakni topik menarik untuk diteliti. Topik yang menarik untuk diteliti tentu adalah topik yang sesuai dengan minat peneliti dan tidak perlu dipaksakan harus menarik atau sesuai pula dengan minat orang lain. Dengan kata lain, peneliti haruslah memiliki ketertarikan yang besar terhadap topik yang dipilihnya. Dengan adanya ketertarikan peneliti terhadap topik yang dipilihnya diharapkan peneliti dapat bekerja dengan nyaman dan sepenuh hati saat melakukan penggalian sejarah lisan. Suatu topik yang dipilih dengan keterpaksaan atau karena keinginan orang lain bisa jadi tidak akan menghasilkan penggalian sejarah lisan yang optimal.
    Kedua, manageable topic, yakni topik yang diteliti ada dalam jangkauan kemampuan. Setidaknya ada tiga hal penting yang perlu dipikirkan untuk mengetahui sebuah topik berada dalam jangkauan kemampuan, yakni kemampuan intelektual, kemampuan finansial, dan kemampuan atau ketersediaan waktu (Pranoto, S, W. 2014:32).
    Kemampuan intelektual berkaitan dengan kemampuan akademis peneliti di dalam mengolah dan mengerjakan topik yang akan diteliti. Dengan demikian, sebuah topik haruslah ditetapkan atau dipilih dengan satu keyakinan awal bahwa topik tersebut sangat mungkin diteliti karena sesuai dengan kapasitas intelektual yang dimiliki penggali sejarah lisan. Kemampuan finansial berbicara tentang kemampuan ekonomi penggali sejarah lisan dalam mengolah dan menyelesaikan topik yang akan diteliti. Oleh karenanya, bila seandainya kemampuan ekonomi terbatas janganlah mencari topik yang sekiranya akan memerlukan adanya biaya perjalanan yang tinggi untuk mendatangi tempat tinggal pengkisah atau pemilik sejarah lisan. Kemampuan atau ketersediaan waktu dipahami sebagai adanya kesesuaian antara waktu yang dimiliki penggali sejarah lisan dengan rentang waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan penggalian sejarah lisan sebagaimana topik penelitian yang dipilih. Dengan demikian, bila waktu terbatas ada baiknya tidak memilih topik yang kira-kira akan menuntut banyak wawancara dengan para pengkisah yang memiliki tingkat kesibukan kerja tinggi sehingga sulit dihubungi untuk mengadakan wawancara. Mana di antara ketiganya yang perlu ditempatkan pada prioritas pertimbangan pertama, tampaknya yang berkait erat dengan kemampuan intelektual.
    Ketiga, obtainable topic, yakni sumber (pengkisah) yang diperlukan untuk menggali sejarah lisan yang sesuai dengan topik yang telah dirumuskan masih hidup dan relatif mudah untuk dijangkau. Dengan demikian, dalam pertimbangan yang ketiga ini, haruslah dipikirkan dengan cemat dan cerdas bahwa topiktersebut sangat dimungkinkan digarap dengan sumber sejarah yang berupa sejarahlisan. Salah satu rasionalisasi berpikir yang paling penting untuk menentukan tersedia tidaknya sumber yang memiliki sejarah lisan (pengkisah) adalah berkaitan dengan usia maksimalmanusia pada umumnya. Mengingat sejarah lisan merupakan pengetahuan yang diperoleh dari tangan pertama, sudah jelaslah bahwa topik yang diteliti harus berada dalam kurun waktu yang masih memungkinkan sang pemilik peristiwanya masih hidup. Janganlah sampai terjadi, sebuah metodesejarahlisan dipaksakan untuk menggarap para pengkisah yang tidak sezaman dengan peristiwa yang tengah diteliti. Bila ini terjadi, kredibilitas sumber akan dipertanyakan secara tajam (Kuntowijoyo 1995:25).
    Keempat, significance of topic, yakni topik cukup penting untuk diteliti. Pertimbangan terakhir dalam menentukan topik bisa jadi akan sangat relatifsekali, terutama manakala hal tersebut dikaitkan dengan orang lain diluar penggali sejarah lisan. Kegiatan penggalian Sejarah lisan dengan topik A bisa dianggap penting oleh seseorang atau suatu kelompok tetapi juga sebaliknya bisa dianggap tidak penting oleh orang lain atau kelompok lain. Oleh karenanya, untuk mengukur penting tidaknya suatu topik bukanlah merupakan hal yang mudah. Untuk menyikapi hal ini, salah satu tolok ukur yang dapat digunakan dalam penggalian sejarah lisan adalah berkait dengan keudzuran usia dari para pemilik sejarah lisan. Bila suatu peristiwa sejarah dipandang semakin sedikit menyisakan sumber lisan yang berupa sejarah lisan dapat kiranya diberi prioritas untuk lebih dahulu digarap. Di luar itu, pengukuran kepentingan topik dalam penggalian seiarah lisan dapat pula dilihat dari nilai rekonstruksi yang akan dihasilkan. Bila sebuahrekonstruksi sejarah melalui sejarah lisan akan mampu mencerahkan pemahaman sejarah masyarakat tentang suatu peristiwa yang tengah menjadi bahan pembicaraan atau masih gelap alurnya bisa pula kiranya dikedepankan untuk diberi prioritas.
    Mana di antara keempat pertimbangan topik di atas yang perlu diberi prioritas, bisa jadi akan berbeda bagi setiap orang atau akan sangat relatif sekali. Namun demikian, kalaulah perlukan adanya skala prioritas maka prioritas pertama dan kedua yang perlu dipertimbangkan dalam memilih topik adalah adanya ketertarikan yang kuat terhadap topik yang diteliti serta topik tersebut berada dalam jangkauan kemampuan, khususnya kemampuan intelektual atau akademis. Dengan demikian pula, urut-urutan pertimbangan dalam memilih topik bagi penelitian sejarah lisan sebagaimana dikemukakan didepan sekaligus pula merupakan urut-urutan yang memperlihatkan tingkat kepentingan dalam memilih topik.
    Pentignya menempatkan ketertarikan terhadap topik dalam prioritas pertama saat melakukan penelitian sejarah lisan tampak secara implisit diungkapkan pula oleh Kuntowijoyo (1995) ketika menjelaskan dua pertimbangan penting dalam memilih topik penelitian sejarah. Menurut Kuntowijoyo (1995), dalam memilih topik untuk peneltian sejarah sebaiknya didasarkan atas dua pertimbangan. Pertama, kedekatan emosional. Kedua, kedekatan intelektual. Kedekatan emosional terhadap topik penelitian bisa didasarkan atas berbagai pertimbangan, seperti kedekatan secara geografis (desa, kelurahan, kecamatan, kota, kabupaten, dan sebagainya), secara institusional, secara organisasi, atapun kedekatan secara emosional terhadap tokoh atau pemuka agama. Kedekatan intelektual lebih didasarkan atas kapasitas keilmuan dan wawasan peneliti terhadap topik yang akan diteliti.
    b.      Penetapan Judul Penelitian
    Setelah topik berhasil dirumuskan dan ditetapkan, langkah selanjutnya adalah menetapkan judul bagi penelitian yang dipilih. Bila topik di ibaratkan sebagai judul besar maka judul itu sendiri dapat diibaratkan sebagai bentuk yang lebih spesifik dari topik. Dengan kata lain, judul adalah bentuk yang lebih rinci dan jelas tentang materi yang akan diteliti. Berkaitan denganjudul, ada baiknya judul terdiri dari dua variabel yang saling berkaitan, seperti Dampak Kehadiran Perguruan Tinggi di Jatinangor terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat sekitar atau Respon Mahasiswa terhadap Kehadiran Taman Bacaan di Jatinangor.
    Untuk memilih judul terbaik sebuah penelitian sejarah lisan pada dasarnya parameter-parameter yang digunakan dalam memilih topik dapat juga digunakan dalam memilih judul penelitian. Dari sebuah topik bisa dipastikan banyak pilihan judul yang dapat diangkat ke permukaan. Dengan demikian, untuk menetapkan satu dari sekian banyak judul yang berhasil diinventarisir, cermatilah dengan baik hal-hal yang berkaitan dengan ketertarikan peneliti terhadap judul, ketersediaan sumber untuk mengungkap atau merekonstruksi materi sebagaimana yang tercantum dalam judul, kemampuan intelektual, finansial, dan waktu peneliti untuk menyelesaikan materi penelitian, serta nilai penting penelitian.
    c.       Pemahaman Masalah
    Memahami masalah yang akan diteliti sebagaimana tercermin dalam judul penelitian perlu dilakukan agar sebelum penggalian sejarah lisan dilakukan, penggali sejarah lisan telah memiliki bekal awal tentang peristiwa atau materi yang akan ditelitinya. Upaya memahami masalah dapat dilakukan melalui pendekatan konvensional dan pendekatan non konvensional. Pendekatan konvensional dilakukan dengan melacaknya terlebih dahulu melalui sumber- sumber tertulis, baik yang ada di lembaga-lembaga kearsipan maupun perpustakaan-perpustakaan.
    Pendekatan non konvensional dilakukan dengan melacak materi Atau peristiwa yang akan diteliti melalui internet. Media internet menyediakan banyak website yang sarat dengan informasi. Satu di antaranya adalah www.google.com. Dengan memasukan informasi yang diperlukan dalam search engine ini, dalam waktu yang tidak terlalu lama akan diperoleh kejelasan berkaitan dengan sumber yang tersedia atau informasi yang diinginkan berkaitan dengan peristiwa atau materi yang hendak digali. Mana diantara kedua pendekatan ini yang perlu dikedepankan, tampaknya akan lebih baik bila mengedepankan pendekatan non konvensional terlebih dahulu.
    d.      Pembuatan Kerangka Penelitian
    Kerangka penelitian bagi penggalian sejarah lisan penting untuk dibuat karena dapat menjadi petunjuk tentang informasi sejarah penelitianakan dilakukan akan terlihat dari kerangka penelitian yang dibuat. Kerangka penelitian sebagai penjabaran lebih lanjut dari judul yang telah ditetapkan akan dapat memberi penjelasan yang lebih rinci tentang informasisejarah lisanapa yang diperlukan dan penting untuk digali. Dengan demikian, melaluikerngka penelitian akan dapat diperoleh kejelasan tentang jenis informasi sejarahlisan yang perlu digali.
    Tidak ada aturan baku yang menentukan tentang banyaknya bab yang termuat dalam sebuah kerangka penelitian. Namun, pada umumnya, kerangka penelitian minimal terdiri dari empat bab. Itupun dengan asumsi, bab pertama merupakan bab pendahuluan sementara bab keempat merupakan simpulan. Dengan demikian bab tiga dan bab empat merupakan bab yang berisi pembahasan atau inti jawaban penelitian (Taufik Abdullah , 1982).
    e.       Pembuatan Kendali Wawancara
    Berbeda dengan kerangka penelitian, yang memiliki fungsi sebagai petunjuk seputar informasi sejarah lisan yang diperlukan, kendali wawancara memiliki fungsi sebagai alat pancing untuk memperoleh informasi sejarah lisan sebagaimana yang diinginkan. Dengan demikian, kendaliwawancara selalu memiliki keterkaitanerat dengan kerangka sementara. Apa yang sudah diuraikan dalam kerangka sementara kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam kendali wawancara.
    Tampilan kendali wawancara sebagai penjabaran lebih lanjut dari kerangka sementara tidak lain berupa daftar pertanyaan. Penting kiranya untuk diperhatikan, pertanyaan-pertanyaan yang dimuat dalam kendaliwawancara haruslah dibuat sesederhana mungkin tetapi jelas dan mudah dipahami. Terlebih bila pertanyaan-pertanyaan tersebut ditujukan kepada para pemilik sejarah lisan yang berasal dari komunitas masyarakat yang sederhana dan kurangatau bahkan tidak terdidik. Untuk itu semua, sudah selayaknya bila pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dimulai dengan 5 W (who,what,when,where, why) dan 1H (how) Selanjutnya, agar dapat diperolehinformasi sejarah lisan yang optimal maka haruslah dihindarkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat tertutup atau pertanyaan-pertanyaan yang hanya memerlukan jawaban YA dan TIDAK.
    f.        Inventarisasi dan Seleksi Pengkisah
    Gambaran awal tentang keberadaan para pemilik sejarah lisan atau pengkisah sebenarnya sudah harus diperoleh sejak topik dirumuskan. Oleh karenanya, pada langkahkegiatan ini, inventarisasi dipahami sebagai proses penyusunan daftar pengkisah sesuai dengan derajat perannya dalam peristiwa sejarah serta perluasan daftar pengkisah yang akan digali sejarah lisannya. Akan menjadi daftar pengkisah yang akan digali sejarah lisannya. Akan menjadi baik kiranya bila daftar pengkisah ini dibuat sebanyak mungkin. Adapun yang dimaksud pengkisah (interviewee) adalah saksi hidup yang menceriterakan kesaksiannya melalui wawancara yang direkam dalam alat rekam. Kesaksian lisan dari tangan pertama, bisa berupa peristiwa tertentu yang dialami sendiri, dirasakan sendiri, didengar sendiri, dilihat sendiri, atau dipikirkan sendiri secara langsung oleh pengkisah.
    Setelah inventarisasi dilakukan, maka dilakukanlah seleksi pengkisah. Seleksi pengkisah yang paling sederhana menyangkut dua hal, pertama, usia. Seleksi usia dilakukan untuk mengetahui kesezamanan pengkisah dengan peristiwa yang akan digali sejarahnya. Untuk mudahnya, usia 15 tahun dapat digunakan sebagai usia minimal yang seyogyanya dimiliki pengkisah saat sebuah peristiwa sejarah terjadi. Dengan demikian, Lila pengkisah berceritera tentang peristiwa yang terjadi pada tahun 1950, maka setidaknya si pengkisah haruslah orang yang kelahirannya pada tahun 1935 atau sebelumnya. Selanjutnya, bila upaya penggalian sejarah lisan dilakukan pada tahun 2013 berarti pada tahun diadakannya penggalian sejarah lisan, usianya setidaknya telah mencapai 78 tahun. Bila si pengkisah padatahun 2013 baru berusia 60 tahun atau lebih muda dari itu secara otomatis perlu dikesampingkan terlebih dahulu dari daftar pengkisah yang harus digali sejarah lisannya.
    g.      Kontak dengan Pengkisah
    Setelah diperoleh daftar pengkisah terseleksi, langkah selanjutnya mengadakan kontak dengan pengkisah. Kontak dengan pengkisah. Kontak dengan pengkisah dimaksudkan untuk memperkenalkan diri, menyampaikan maksud dan tujuan, serta sekaligus membuat janji wawancara. Ada baiknya sebelum kontak dilakukan, pewawancara berupaya mengenal terlebih dahulu profil calon pengkisah, baik melalui orang-orang yang mengetahui tentang jati diri pengkisah maupun melalui bacaan-bacaan (Bigalke, 1982). Banyak cara yang bisa dilakukan untuk mengadakan kontak awal dengan pengkisah, mulai dari datang langsung ke tempat tinggal pengkisah, mengirim surat, berkomunikasi lewat telepon rumah atau handphone, hingga berkomunikasi melalui SMS atau e-mail. Kesemua pilihan untuk membuat kontak dengan pengkisah tersebut sifatnya tentu sangat kondisional sekali. Faktor etika dan kesantunan perlu dipertimbangkan manakala akan menentukan media komunikasi untuk mengontak pengkisah. Diantara kesemua pilihan, bila pengkisah yang akan dikontak telah berumur atau lebih tua dari peneliti ada baiknya mendatangi langsung kediaman pengkisah menjadi prioritas pilihan pertama.
    Kontak awal dengan pengkisah pada dasarnya akan turut menentukan sukses tidaknya penggalian sejarah lisan yang akan dilakukan. Bila bahasa iklan ada yang berbunyi, “kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah anda”, maka kontak awal dengan pengkisah pun harus dilakukan secara hati-hati agar dapat menimbulkan kesan awal yang baik dari pengkisah. Untuk mencapai itu semua, faktor penampilan dan kesantuan dalam berbicara benar-benar harus diperhatikan dengan baik. Haruslah diupayakan bahwa kontak awal tersebut dapat menimbulkan rasa nyaman dan senang pada pengkisah.
    2.1.2 Prinsip Dasar Penelitian Sejarah Lisan
    Metode sejarah lisan adalah suatu metode pengumpulan data atau bahan guna penulisan sejarah yang dilakukan sejarawan melalui wawancara terhadap para pelaku sejarah yang ingin diteliti. Wawancara adalah kegiatan melakukan Tanya jawab dengan narasumber untuk mendapatkan keterangan tertentu. Sebagai teknik pengumpulan informasi atau pengumpulan data dalam penelitian sejarah, teknik wawancara merupakan teknik yang bersifat pelengkap artinya wawancara digunakan untuk melengkapi data atau informasi yang berasal dari sumber dokumen. Untuk melakukan wawancara, diperlukan beberapa persiapan antara lain
    1. Menyeleksi individu untuk diwawancarai
    Dalam tahap ini, seorang peneliti diharapkan mampu dengan tepat memilih narasumber yang benar-benar kompeten dengan aspek yang ingin diteliti. Kegagalan memilih narasumber akan berdampak pada ketidakvalidan informasi yang diperoleh. Akibatnya, hasil penelitian akan dianggap tidak benar.
    2. Melakukan pendekatan terhadap orang yang ingin diwawancarai
    Setelah memilih narasumber yang tepat, hendaknya seorang  pewawancara/peneliti melakukan pendekatan secara personal terhadap narasumber agar tercipta keakraban yang akan berpengaruh baik terhadap proses pengumpulan informasi.
    3. Mengembangkan suasana lancar dalam wawancara
    Setelah tercipta suasana yang akrab, sebaiknya peneliti mampu menciptakan suasana yang lancer dan kondusif dalam proses wawancara.
    4. Mempersiapkan pokok masalah yang akan dikemukakan (ditanyakan).
    2.2  Wawancara dalam sejarah lisan
    Sejarah lisan juga mempunyai sumbangan yang besar dalam kepenulisan sejarah. Dengan sifatnya yang kontemporer, pertama sejarah lisan memberikan kemungkinan yang hampir tak terbatas untuk menggali sejarah dari pelaku-pelakunya, kedua sejarah lisan dapat menemukan pelaku-pelaku sejarah yang tidak disebutkan didalam dokumen, dan yang ketiga sejarah lisan memungkinkan adanya perluasan permasalahan sejarah, karena sejarah tidak di batasi lagi dengan adanya dokumen tertulis.
    Dengan melalui kerja sejarah lisan, wawancara yang dilakukan dapat mendokumentasikan aspek-aspek tertentu dari pengalaman sejarah yang cenderung hilang dalam sumber lainnya. Ingatan merupakan fakta sosial, dan adanya subjektivitas di dalam ingatan itu, untuk upaya mengatasi berbagai kesulitan subjektif itu, maka adanya penganalisaan teks lisan dan menghubungkannya, dengan yang lain dalam bentuk dokumen tertulis atau informasi.
    Menurut Koentjaraningrat (1977),  ada beberapa cara yang dapat dilakukan dalam wawancara :
    1.       Adanya seleksi individu untuk diwawancarai guna memperoleh informasi yang akurat (maksudnya kedudukan orang tersebut dalam suatu peristiwa, sebagai pelaku utama, informan, atau saksi).
    2.       Harus ada pendekatan kepada orang yang diwawancarai.
    3.     Mengembangkan suasana lancar dalam wawancara dengan pertanyaan yang jelas, tidak  berbelit dan menghindari pertanyaan yang menyinggung perasaan
    1. Persiapkan pokok-pokok masalah yang akan ditanyakan dengan sebaik-baiknya agar memperoleh data yang akurat.
    Teknik pengumpulan data dengan wawancara terbagi menjadi tiga macam:
    1. Poll Type Interview (pertanyaan dengan jawabanyang talah ditentukan, narasumber tinggal memilih jawaban yang ada).
    2. Open Type Interview (Wawancara dilakukan dengan cara pertanyaan ditentukan terlebih dahulu, sedangkan narasumber dapat menjawab bebas).
    3. Nonstructured Interview (Wawancara dilakukan dengan cara pertanyaan ataupun jawaban tidak ditentukan sebelumnya).
    Tahapan pelaksanaan kegiatan penggalian sejarah lisan juga dapat dibagi lagi dalam beberapa langkah kegiatan yang terdiri dari lima tahap, meliputi pembuatan label wawancara, pembukaan wawancara, menjaga suasana wawancara, membuat catatan, dan mengakhiri wawancara.
    1.      Membuat Label Wawancara
    Fungsi label dalam wawancara sejarah lisan pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan fungsi keterangan pengarang, tahun, judul, tempat terbit, dan penerbit yang ada pada sebuah buku. Oleh karena itu, jelaslah pembuatan label ini mutlak harus dilakukan dalam kegiatan penggalian sejarah lisan. Label wawancara untuk kegiatan penggalian sejarah lisan ini dibuat pada awal dan akhir wawancara, ada yang berbentuk lisan dan ada pula yang berbentuk tulisan. Adapun keterangan yang termuat dalam label wawancara, meliputi, nama pengkisah, nama pewawancara, tanggal dan tempat wawancara, waktu wawancara, dan topik atau judul penelitian. Untuk memudahkan, ada beberapa jenis label wawancara yang perlu dibuat oleh pewawancara dalam kegiatan penggalian sejarah lisan.
    a.       Label yang terekam dalam kaset pada awal wawancara.
    Sebagai contoh, label yang terekam dalam kaset ini misalnya berbunyi, “Pada hari ini, Selasa tanggal 24 Mei 2005, saya, Haidir Aulia, mengadakan wawancara dengan Susilo Bambang Yudhoyono. Wawancara ini diadakan di tempat kediaman pengkisah di Cikeas berkaitan dengan penelitian yang berjudul, ‘Respon Para Menteri Kabinet terhadap Dekrit Presiden 22 Juli 2001’. Wawancara dimulai pada pukul 16.00 WIB. Adapun isi wawancara sebagai berikut”.
    b.      Label yang terekam dalam kaset pada akhir wawancara.
    Bunyi label wawancara di akhir wawancara misalnya, “demikian wawancara dengan Susilo Bambang Yudhoyono, wawancara ini berakhir pada pukul 17 .13” atau “demikian wawancara pertama dengan Susilo Bambang Yudhoyono, wawancara ini berakhir pada pukul 17.13. Wawancara selanjutnya direncanakan akan berlangsung hari Selasa tanggal 31 Mei 2005”.
    c.       Dua label wawancara lainnya berbentuk tulisan,
     yakni yang tertulis di kulit kaset dan yang tertulis di kertas pembungkus kaset. Kedua label wawancara yang berbentuk tulisan ini berisi keterangan tentang topik atau judul penelitian, nama pengkisah, nama pewawancara, tempat.
    Terlepas dari ada tidaknya hubungan personal yang telah terbangun antara pewawancara dan pengkisah, untuk membangun rapport yang baik, hendaklah diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
    1.      Pertanyaan disampaikan satu per satu dan mulailah pertanyaan dengan kata-kata siapa, apa, dimana, kapan, mengapa, atau bagaimana (5W, 1H).
    2.      Usahakan pertanyaan tidak terlalu panjang apalagi berputar-putar sehingga membingungkan pengkisah. Pertanyaan yang baik adalah pertanyaan yang mudah dipahami dan mudah ditangkap oleh pengkisah, terutama bila pengkisah berasal dari lingkungan masyarakat yang sederhana dan kurang terdidik.
    3.       Jangan sekali-kali memotong pembicaraan pengkisah, termasuk apabila pewawancara menilai bahwa peristiwa yang diceriterakan pengkisah tidak benar, baik menyangkut tempat peristiwanya, tokoh peristiwa, ataupun waktu terjadinya peristiwa. Dengan kata lain, jangan menggunakan wawancara untuk mempertontonkan pengetahuan pribadi atau kehebatan pewawancara.
    4.      Jadilah pendengar yang baik selama pengkisah menyampaikan keterangannya dan berikanlah “pesan” yang jelas kepada pengkisah bahwa pewawancara sangat tertarik dengan keterangan-keterangannya . “Pesan” ketertarikan dapat berbentuk bahasa tubuh atau komentar lisan.
    5.      Apabila keterangan pengkisah dipandang kurang jelas, jangan segan-segan untuk bertanya kembali untuk memperjelas pemahaman atas jawaban pengkisah.
    6.      Bersikaplah fleksibel dan jangan terpaku hanya pada pertanyaan-pertanyaan yang termuat dalam kendali wawancara, terutama manakala ditemukan keterangan-keterangan baru dari pengkisah tentang topik yang tengah diteliti.
    7.      Kalau tidak terpaksa sekali, hindarkan kehadiran pihak ketiga selama wawancara
    8.      Hindarkan keterangan off the record yang bersifat “abadi”. Artinya, kalaupun pengkisah menyatakan bahwa keterangannya bersifat off the record maka hendaklah diupayakan bahwa hal tersebut tidak berlangsung selamanya tetapi ada kurun waktu, misalnya sifat off the record-nya hanya selama pengkisah masih hidup. Setelah pengkisah meninggal, informasi yang diberikannya menjadi terbuka untuk dipublikasikanin.
    2.      Pembukaan Wawancara
    Bagian terpenting dari tahapan pelaksanaan metode sejarah lisan adalah saat pembukaan wawancara. Seyogyanya pembukaan wawancara dibuat sebaik mungkin agar mampu memberi kesan yang nyaman bagi pengkisah. Oleh karenanya, sangat disarankan kalau pembukaan wawancara dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan yang santai, ringan, dan menyenangkan bagi pengkisah, misalnya tentang riwayat hidup pengkisah, termasuk di dalamnya kenangan-kenangan manis pengkisah semasa kanak-kanak, remaja, hingga dewasa. Sasaran utama pembukaan wawancara adalah untuk menyegarkan ingatan pengkisah akan peristiwa-peristiwa sejarah terpilih yang terdapat di dalam memorinya. Upaya lain dapat pula dilakukan dengan mengadakan dialog santai terlebih dahulu sebelum wawancara diadakan.
    3.      Menjaga Suasana Wawancara
    Setelah pembukaan wawancara berjalan dengan lancar dan baik, hal lain yang harus segera diperhatikan adalah menciptakan rapport atau suasana psikologis berupa rasa saling percaya dan keterbukaan hubungan antara pewawancara dan pengkisah. Untuk itu, berikan kesempatan kepada pengkisah untuk memberikan informasi dan pengetahuannya secara panjang lebar dan hindarkan kesan dalam diri pengkisah bahwa seolah-olah ia tengah diinterogasi. Rapport biasanya akan mudah tercipta bila antara pewawancara dan pengkisah sebelumnya telah saling mengenal, misalnya karena hubungan kerja atau hubungan pertemanan. Dalam kondisi seperti itu, wawancara pun biasanya akan semakin hidup karena dapat diisi dengan pembicaraan yang bersifat pleasantries, yakni kelakar-kelakar yang sebagian merupakan nostalgia terhadap pengalaman pada masa silam.
    4.      Membuat Catatan
    Pembuatan catatan sewaktu wawancara berlangsung di antaranya dimaksudkan untuk mencatat kata-kata yang dinilai kurang jelas atau kata-kata yang dianggap penting, misalnya mengenai nama orang, nama tempat, atau istilah-istilah tetentu yang bersumber pada bahasa asing atau bahasa daerah setempat. Adapun koreksi terhadap kata-kata yang dicatat tersebut dilakukan segera setelah wawancara selesai atau bila dipandang perlu dapat ditanyakan sewaktu wawancara masih berlangsung. Di luar itu, pembuatan catatan juga perlu dilakukan untuk menyikapi kemungkinan munculnya pertanyaan baru di luar yang tertulis dalam kendali wawancara.
    5.      Mengakhiri Wawancara
    Keputusan untuk mengakhiri wawancara sangat ditentukan oleh kejelian pewawancara dalam memahami permasalahan serta dalam membaca suasana wawancara. Apabila data yang diperlukan dari pengkisah sudah memenuhi target yang diinginkan hendaknya wawancara segera diakhiri untuk mencegah masuknya informasi-informasi yang tidak relevan dengan topik atau judul penelitian dalam kaset. Demikian pula apabila pengkisah kelihatan sudah lelah atau banyak ngelantur dalam menuturkan kisahnya sebaiknya wawancara pun segera dihentikan untuk dilanjutkan pada waktu yang lain.

    BAB 3. PENUTUP
    3.1 Simpulan
    Metode penelitian sejarah adalah metode atau cara yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan penelitian peristiwa sejarah dan permasalahannya. Dengan kata lain, metode penelitian sejarah adalah instrumen untuk merekonstruksi peristiwa sejarah (history as past actuality) menjadi sejarah sebagai kisah (history as written). Dalam ruang lingkup Ilmu Sejarah, metode penelitian itu disebut metode sejarah.
    Metode sejarah digunakan sebagai metode penelitian, pada prinsipnya bertujuan untuk menjawab enam pertanyaan (5 W dan 1 H) yang merupakan elemen dasar penulisan sejarah, yaitu what (apa), when (kapan), where (dimana), who (siapa), why (mengapa), dan how (bagaimana). Pertanyaan-pertanyaan itu konkretnya adalah: Apa (peristiwa apa) yang terjadi? Kapan terjadinya? Di mana terjadinya? Siapa yang terlibat dalam peristiwa itu? Mengapa peristiwa itu terjadi? Bagaimana proses terjadinya peristiwa itu?
    Dalam proses penulisan sejarah sebagai kisah, pertanyaan-pertanyaan dasar itu dikembangkan sesuai dengan permasalahan yang perlu diungkap dan dibahas. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itulah yang harus menjadi sasaran penelitian sejarah, karena penulisan sejarah dituntut untuk menghasilkan eksplanasi (kejelasan) mengenai signifikansi (arti penting) dan makna peristiwa.


    Daftar Pustaka
    Abdullah, Taufik. 1982. “Di Sekitar Pencarian dan Penggunaan Sejarah Lisan”, Lembaran Berita Sejarah Lisan, Nomor 9. Jakarta : Arsip Nasional Republik Indonesia.
    Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Yoyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
    Kuntowijoyo.2003.Metodologi Sejarah. Yogyakarta: PT.Tiara Wacana.
    Pranoto, S, W. 2014. Teori  Metodologi Sejarah. Yogyakarta : Graha Ilmu.
    Purwanto, B. 2006. Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?!. Yogyakarta : Ombak.

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar