1.
Teori Belajar Kognitif Menurut Ausubel
Belajar adalah proses perubahan tingkah laku yang berupa
pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Perubahan ini bersifat menetap dalam
tingkah laku yang terjadi sebagai suatu hasil latihan atau pengalaman. Proses
belajar bersifat individual dan kontekstual, artinya proses belajar terjadi
dalam diri individu sesuai dengan perkembangannya dan lingkungannya.
Pembelajaran adalah sesuatu yang dilakukan oleh siswa, bukan dibuat oleh siswa.
Pembelajaran pada hakekatnya adalah suatu proses interaksi antara anak dengan
lingkungannnya baik antar anak dengan anak, anak dengan sumber belajar, maupun
anak dengan pendidik. Kegiatan pembelajaran ini akan menjadi bermakna bagi anak
jika dilakukan dalam lingkungan yang nyaman dan memberikan rasa aman bagi anak.
Pembelajaran pada dasarnya merupakan upaya pendidik untuk membantu peserta
didik dalam melaksanakan kegiatan belajar, demi mencapai hasil belajar yang
memuaskan. Pembelajaran akan mempunyai arti apabila antara pengetahuan yang
baru dengan pengetahuan yang lama memiliki keterkaitan. Inilah teori David P.
Ausubel, pembelajaran bermakna, seorang ahli psikologi pendidikan. Pembelajaran
bermakna adalah suatu proses pembelajaran dimana informasi baru dihubungkan
dengan struktur pengertian yang sudah dimiliki seseorang yang sedang melalui
pembelajaran. Pembelajaran bermakna terjadi apabila siswa boleh menghubungkan
fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan mereka. Artinya, bahan subjek itu
mesti sesuai dengan keterampilan siswa dan mesti relevan dengan struktur
kognitif yang dimiliki siswa. Oleh karena itu, subjek mesti dikaitkan dengan
konsep-konsep yang sudah dimiliki para siswa, sehingga konsep-konsep baru
tersebut benar-benar terserap olehnya.
Menurut Ausubel, siswa akan belajar dengan baik jika
“pengatur kemajuan (belajar)” atau advance organizer didefinisikan dan
dipresentasikan dengan baik dan tepat kepada siswa. Pengatur kemajuan belajar
adalah konsep atau informasi umum yang mewadahi (mencakup) semua isi pelajaran
yang akan diajarkan kepada siswa. David Ausubel merupakan salah satu tokoh ahli
psikologi kognitif yang berpendapat bahwa keberhasilan belajar siswa sangat
ditentukan oleh kebermaknaan bahan ajar yang dipelajari. Ausubel menggunakan
istilah “pengatur lanjut” (advance organizers) dalam penyajian informasi
yang dipelajari peserta didik agar belajar menjadi bermakna. Selanjutnya
dikatakan bahwa “pengatur lanjut” itu terdiri dari bahan verbal di satu pihak,
sebagian lagi merupakan sesuatu yang sudah diketahui peserta didik di pihak lain.
Dengan demikian kunci keberhasilan belajar terletak pada kebermaknaan bahan
ajar yang diterima atau yang dipelajari oleh siswa.
Dalam proses pembelajaran bermakna ini pun ada tiga faktor
yang memiliki pengaruh, yaitu struktur kognitif yang ada, stabilitas, dan
kejelasan pengetahuan dalam suatu bidang studi tertentu dan pada waktu
tertentu. Sifat-sifat struktur kognitif menentukan validitas dan kejelasan
arti-arti yang timbul waktu informasi baru masuk ke dalam struktur kognitif
itu, demikian pula sifat proses interaksi yang terjadi. Jika struktur kognitif
itu stabil dan diatur dengan baik, maka arti-arti yang jelas akan timbul dan
cenderung bertahan. Tetapi sebaliknya jika struktur kognitif itu tidak stabil,
meragukan, dan tidak teratur, maka struktur kognitif itu cenderung menghambat
belajar dan retensi.
Menurut Ausubel tipe belajar ada
tiga,
yaitu:
1.
Belajar dengan penemuan yang bermakna yaitu mengaitkan pengetahuan yang telah
dimilikinya dengan materi pelajaran yang dipelajari itu. Atau sebaliknya, siswa
terlebih dahulu menemukan pengetahuannya dari apa yang ia pelajari kemudian
pengetahuan baru tersebut ia kaitkan dengan pengetahuan yang sudah ada.
2.
Belajar dengan penemuan yang tidak bermakna yaitu pelajaran yang dipelajari
ditemukan sendiri oleh siswa tanpa mengaitkan pengetahuan yang telah
dimilikinya, kemudian dia hafalkan.
3.
Belajar menerima (ekspositori) yang
bermakna yaitu materi pelajaran yang telah tersusun secara logis disampaikan
kepada siswa sampai bentuk akhir, kemudian pengetahuan yang baru ia peroleh itu
dikaitkan dengan pengetahuan lain yang telah dimiliki.
Untuk menerapkan teori Ausubel dalam mengajar, ada beberapa
prinsip-prinsip dan konsep-konsep yang perlu kita perhatikan, yaitu :
1. Pengatur awal
Pengatur awal mengarahkan para siswa ke materi yang akan
mereka pelajari dan menolong mereka untuk mengingat kembali informasi yang
berhubungan yang dapat digunakan untuk membantu menanamkan pengetahuan baru.
Suatu pengatur awal dapat dianggap sebagai pertolongan mental dan disajikan
sebelum materi baru.
2. Diferensiasi
progresif
Selama belajar bermakna berlangsung, perlu terjadi
pengembangan dan elaborasi konsep. Pengembangan konsep berlangsung paling baik,
bila unsur-unsur yang paling umum diperkenalkan terlebih dulu, baru kemudian
hal-hal yang lebih khusus dan detail dari konsep tersebut.
3. Belajar super ordinat
Belajar superordinat terjadi, bila konsep-konsep yang telah
dipelajari sebelumnya dikenal sebagai unsur-unsur dari suatu konsep yang lebih
luas dan lebih inklusif.
4. Penyesuaian
integratif
Dalam mengajar, bukan hanya urutan menurut diferensiasi
progresif yang diperhatikan, melainkan juga harus diperlihatkan bagaimana
konsep-konsep baru dihubungkan pada konsep-konsep superordinat. Kita harus
memperlihatkan secara eksplisit bagaimana arti-arti baru dihubungkan dan
dipertentangkan dengan arti-arti sebelumnya yang lebih sempit dan bagaimana
konsep-konsep yang tingkatnya lebih tinggi sekarang mengambil arti baru.
Menurut Ausubel ada tiga kebaikan dari pembelajaran
bermakna, yaitu:
1. Informasi yang
dipelajari secara bermakna lebih lama dapat diingat.
2. Informasi yang
dipelajari secara bermakna memudahkan proses belajar berikutnya untuk materi
pelajaran yang mirip.
3. Informasi yang
dipelajari secara bermakna mempermudah belajar hal-hal yang mirip walaupun
telah terjadi lupa.
2.
Teori Belajar Kognitif Menurut Piaget
Jean Piaget adalah seorang ahli biologi dan psikolog yang
mempunyai kontribusi besar dalam pemahaman terhadap perkembangan intelektual
anak. Dalam rangka memahami proses dan tingkat perkembangan intelektual anak
ini Piaget telah melakukan observasi bertahun-tahun sejak tahun 1920-an
terhadap perkembangan intelektual yang terjadi pada anak-anak. Ia mulai
melakukan observasi dan interview pada tiga orang anaknya, kemudian anak-anak
lain dan para remaja melalui berbagai pemberian tugas intelektual, kemudian
mencatat jawaban-jawaban yang diperolehnya. Melalui penelitian yang ekstensif
akhirnya secara detail Piaget dapat menggambarkan teori proses perkembangan
intelektual yang terjadi pada anak mulai dari bayi sampai remaja.
Prinsip-prinsip teori perkembangan intelektual adalah
sebagai berikut :
1. Teori perkembangan
intelektual bertujuan untuk menjelaskan mekanisme proses perkembangan individu
mulai dari masa bayi, anak-anak sampai menjadi individu yang dewasa yang mampu
bernalar dan berpikir menggunakan hipotesis.
2. Perkembangan genetika
dalam organisme tertentu tidak seluruhnya dipengaruhi oleh sifat-sifat
keturunan dan tidak terjadi karena perubahan lingkungan, tetapi sangat
dipengaruhi oleh proses interaksi antara organisme dengan lingkungan.
3. Kecerdasan adalah
proses adaptasi dengan lingkungan dan membentuk struktur kognitif yang
diperlukan dalam mengadakan penyesuaian dengan lingkungan.
4. Hasil
perkembangan intelektual adalah kemampuan berpikir operasi formal.
5. Fungsi perkembangan
intelektual adalah menghasilkan stuktur kognitif yang kuat yang memungkinkan
individu bertindak atas lingkungannya dengan luwes dan dengan berbagai macam
cara.
6. Faktor yang
mempengaruhi perkembangan intelektual adalah lingkungan fisik, kematangan, pengaruh
sosial dan proses pengaturan diri (ekuilibrium).
Menurut Jean Piaget, bahwa proses belajar sebenarnya terdiri dari tiga
tahapan, yaitu :
a. Asimilasi yaitu proses penyatuan (pengintegrasian) informasi baru ke
struktur kognitif yang sudah ada dalam benak siswa. Contoh, bagi siswa yang
sudah mengetahui prinsip penjumlahan, jika gurunya memperkenalkan prinsip
perkalian, maka proses pengintegrasian antara prinsip penjumlahan (yang sudah
ada dalam benak siswa), dengan prinsip perkalian (sebagai informasi baru) itu
yang disebut asimilasi.
b. Akomodasi yaitu penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi yang baru.
Contoh, jika siswa diberi soal perkalian, maka berarti pemakaian (aplikasi)
prinsip perkalian tersebut dalam situasi yang baru dan spesifik itu yang
disebut akomodasi.
c. Equilibrasi (penyeimbangan) yaitu penyesuaian berkesinambungan antara
asimilasi dan akomodasi. Contoh, agar siswa tersebut dapat terus berkembang dan
menambah ilmunya, maka yang bersangkutan menjaga stabilitas mental dalam
dirinya yang memerlukan proses penyeimbangan antara “dunia dalam” dan “dunia
luar.
Menurut Piaget perkembangan kognitif anak dibagi menjadi
empat tahap, yaitu Tahap
sensori motorik, praoperasional, operasional konkret, dan opersional formal.
1.
Tahap sensori motorik (0-2 tahun)
Pada tahap ini anak mengatur sensorinya (inderanya) dan
tindakan-tindakannya. Pada awal periode ini anak tidak mempunyai konsepsi
tentang benda-benda secara permanen. Artinya anak belum dapat mengenal dan
menemukan objek, benda apapun yang tidak dilihat, tidak disentuh atau tidak
didengar. Benda-benda tersebut dianggap tidak ada meskipun sesungguhnya
ada di tempat lain.
2.
Tahap Praoperasional (2-7 tahun)
Anak sudah dapat memahami objek-objek secara sempurna, sudah
dapat mencari benda yang dibutuhkannya walaupun ia tidak melihatnya. Sudah
memiliki kemampuan berbahasa (dengan kata-kata pendek).
3.
Tahap Operasional Konkret (7-11 tahun)
Anak
sudah mulai melakukan operasi dan berpikir rasional, mampu mengambil keputusan
secara logis yang bersifat konkret, mampu mepertimbangkan dua aspek misalnya
bentuk dan ukuran. Adanya keterampilan klasifikasi-dapat menggolongkan
benda-benda ke dalam perangkat-perangkat dan penalarannya logis dan bersifat
tidak abstrak (tidak membayangkan persamaan aljabar).
4.
Tahap Operasional Formal (11-15 tahun)
Remaja tidak lagi terbatas pada pengalaman konkret aktual
sebagai dasar pemikiran. Mereka dapat membangkitkan situasi-situasi khayalan,
kemungkinan-kemungkinan hipotetis, atau dalil-dalil dan penalaran yang
benar-benar abstrak. Tiga sifat pemikiran remaja pada tahap operasional formal:
a. Remaja berfikir
lebih abstrak daripada anak-anak. Para pemikir operasional formal, misalnya
dapat memecahkan persamaan-persamaan aljabar yang abstrak.
b. Remaja sering
berfikir tentang yang mungkin. Mereka berfikir tentang ciri-ciri ideal diri
mereka sendiri, orang lain, dan dunia.
c. Remaja mulai
berfikir seperti ilmuwan, yang menyusun rencana-rancana untuk memecahkan
masalah dan menguji pemecahan masalah secara sistematis. Tipe pemecahan masalah
ini diberi nama deduksi hipotetis.
3.
Teori Belajar Kognitif Menurut Mex Wertheimenr
Psikologi mulai
berkembang dengan lahirnya teori belajar Gestalt. Peletak dasar pisiologi
Gestalt adalah Mex Wertheimenr tahun1880-1943. Teori
Gestalt ini memandang belajar adalah proses yang didasarkan pada pemahaman
(insight). Karena pada dasarnya setiap tingkah laku seseorang selalu didasarkan
pada kognisi, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi di mana tingkah
laku tersebut terjadi. Dengan kata lain, teori Gestalt ini menyatakan bahwa
yang paling penting dalam proses belajar individu adalah dimengertinya apa yang
dipelajari oleh tersebut. Oleh karena itu, teori belajar Gestalt ini disebut
teori insight.
Proses belajar yang menggunakan insight mempunyai ciri-ciri sebagai berikut (Suryabrata, 1990) :
Proses belajar yang menggunakan insight mempunyai ciri-ciri sebagai berikut (Suryabrata, 1990) :
d.
Insight tergantung pada kemampuan dasar.
e.
Insight tergantung kepada pengalaman
masa lampau yang relevan.
f.
Insight tergantung kepada pengaturan
situasi yang dihadapi.
g.
Insight didahului dengan periode
mencari dan mecoba-coba.
Solusi problem dengan menggunakan insight dapat diulangi
dengan mudah, dan akan berlaku secara berlangsung.
4.
Teori Belajar Kognitif Menurut Brunner
Menurut Brunner, pembelajaran hendaknya dapat menciptakan
situasi agar mahasiswa dapat belajar dari diri sendiri melalui pengalaman dan
eksperimen untuk menemukan pengetahuan dan kemampuan baru yang khas baginya.
Dari sudut pandang psikologi kognitif, bahwa cara yang dipandang efektif untuk
meningkatkan kualitas output pendidikan adalah pengembangan program-program
pembelajaran yang dapat mengoptimalkan keterlibatan mental intelektual
pembelajar pada setiap jenjang belajar. Sebagaimana direkomendasikan Merril,
yaitu jenjang yang bergerak dari tahapan mengingat, dilanjutkan ke menerapkan,
sampai pada tahap penemuan konsep, prosedur atau prinsip baru di bidang
disiplin keilmuan atau keahlian yang sedang dipelajari.
Dalam teori belajar, Jerome Bruner berpendapat bahwa
kegiatan belajar akan berjalan baik dan kreatif jika siswa dapat menemukan sendiri
suatu aturan atau kesimpulan tertentu. Dalam hal ini Bruner membedakan menjadi
tiga tahap. Ketiga tahap itu adalah:
1. tahap informasi, yaitu tahap awal untuk
memperoleh pengetahuan atau pengalaman baru,
2. tahap transformasi, yaitu tahap memahami,
mencerna dan menganalisis pengetahuan baru serta mentransformasikan dalam
bentuk baru yang mungkin bermanfaat untuk hal-hal yang lain, dan
3.
evaluasi, yaitu untuk mengetahui apakah hasil tranformasi pada tahap
kedua tadi benar atau tidak.
Bruner
mempermasalahkan seberapa banyak informasi itu diperlukan agar dapat
ditransformasikan . Perlu Anda ketahui, tidak hanya itu saja namun juga ada
empat tema pendidikan yaitu:
1. mengemukakan pentingnya arti
struktur pengetahuan,
2. kesiapan (readiness) siswa untuk
belajar,
3. nilai intuisi dalam proses
pendidikan dengan intuisi,
4. motivasi atau keinginan untuk
belajar siswa, dan guru untuk memotivasinya.
Bloom
dan Krathwohl menunjukkan apa yang mungkin dikuasai (dipelajari) oleh siswa,
yang tercakup dalam tiga kawasan yang diantaranya : Kognitif. Kognitif terdiri
dari enam tingkatan, yaitu :
1. Pengetahuan (mengingat, menghafal),
2. Pemahaman (menginterpretasikan),
3. Aplikasi / penerapan (menggunakan
konsep untuk memecahkan suatu masalah),
4. Analisis (menjabarkan suatu konsep),
5. Sintesis (menggabungkan
bagian-bagian konsep menjadi suatu konsep utuh),
6. Evaluasi (membandingkan nilai, ide,
metode dan sebagainya).
Oleh karena itu para ahli teori belajar psikologi kognitif
berkesimpulan bahwa salah satu faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan
proses pembelajaran di kelas ialah faktor kognitif yang dimiliki oleh peserta
didik. Faktor kognitif merupakan jendela bagi masuknya berbagai pengetahuan
yang diperoleh peserta didik melalui kegiatan belajar mandiri maupun kegiatan
belajar secara kelompok.
5.
Teori Belajar Cognitive Field ( Kurt Lewin )
Teori belajar cognitive field menitikberatkan perhatian pada
kepribadian dan psikologi sosial, karena pada hakikatnya masing-masing individu
berada di dalam suatu medan kekuatan, yang bersifat psikologis, yang disebut
life space. Life space mencakup perwujudan lingkungan dimana individu bereaksi,
misalnya orang yang dijumpai, fungsi kejiwaan yang dimiliki dan objek material
yang dihadapi.
Jadi, tingkah laku merupakan hasil interaksi antar kekuatan,
baik yang berasal dari dalam diri individu, seperti tujuan, kebutuhan, tekanan
kejiwaan, maupun yang berasal dari luar individu, seperti tantangan dan
permasalahan yang dihadapi. Menurut teori ini, belajar itu berlangsung sebagai
akibat dari perubahan dalam struktur kognitif.
Perubahan struktur kognitif itu adalah hasil pertemuan dari
dua kekuatan, yaitu yang berasal dari struktur medan kognitif itu sendiri dan
yang lainnya berasal dari kebutuhan dan motivasi internal individu. Dengan
demikian, peranan motivasi jauh lebih penting daripada reward atau hadiah.
6.
Teori Belajar Benyamin S. Bloom
Benyamin S. Bloom telah mengembangkan “taksonomi” untuk
domain kognitif. Taksonomi adalah metode untuk membuat urutan pemikiran dari
tahap dasar ke arah yang lebih tinggi dari kegiatan mental, dengan enam tahap
sebagai berikut :
a. Pengetahuan ( Knowledge ) ialah kemapuan untuk menghafal,
mengingat atau mengulangi informasi yang pernah diberikan. Contoh, Sebutkan
lima bagian utama kamera 35 mm.
b. Pemahaman ( comprehension ) ialah kemampuan untuk
menginterpretasi atau mengulang informasi dengan menggunakan bahasa sendiri.
Contoh, Uraikan 6 tahapan dalam mengisi film untuk kamera 35 mm.
c. Aplikasi ( Application ) ialah kemampuan menggunakan
informasi, teori, dan aturan pada situasi baru. Contoh, pilih ekspose 3 kamera
untuk pengambilan gambar yang berbeda.
d. Analisis ( Analysis ) ialah kemampuan mengurai pemikiran
yang kompleks, dan mengenai bagian-bagian serta hubungannya. Contoh, Bandingkan
cara kerja dua kamera 35 mm yang memiliki model yang berbeda.
e. Sintesis ( Synthesis ) ialah kemampuan mengumpulkan komponen
yang sama guna membentuk satu pola pemikiran yang baru. Contoh, Susunlah urutan
fotografi untuk 6 objek.
f. Evaluasi ( evaluation ) ialah kemampuan membuat pemikiran
berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. Contoh, buatlah penilaian terhadap
kualitas slide yang dihasilkan dalam lomba, dengan 4 urutan penilaian.
7. Teori belajar menurut Vygotsky
Menurut Vygotsky, perolehan pengetahuan dan perkembangan
kognitif seorang seturut dengan teori sciogenesis. Dimensi kesadaran social
bersifat primer, sedangkan dimensi individualnya bersifat derivative atau
merupakan turunan dan bersifat skunder. Artinya, pengetahuan dan pengembangan
kognitif individu berasal dari sumber-sumber social di luar dirinya. Hal ini
tidak berarti bahwa individu bersikap pasif dalam perkembangan kognitifnya,
tetapi Vygotsky juga menekankan pentingnya peran aktif seseorang dalam
mengkonstruksi pengetahuannya. Maka teori Vygotsky sebenarnya lebih tepat
disebut dengan pendekatan konstruktivisme.
Teori Vygotsky merupakan teori yang lebih mengacu pada
kontruktivisme. Karena ia lebih menekan pada hakikat pembelajaran
sosiokultural. Konsep teori perkembangan kognitif vygotsky terdapat pada tiga
hal:
a) hukum genetic tentang
perkembangan (genetic law of development)
b) zona perkembangan proksimal (zone
of proximal development)
c) mediasi
Vygotsky
mengemukakan tiga kategori pencapaian siswa dalam upayanya memecahkan
permasalahan, yaitu:
(1) Siswa mencapai keberhasilan
dengan baik,
(2) Siswa mencapai keberhasilan
dengan bantuan,
(3) Siswa gagal meraih keberhasilan.
8. Teori
Belajar John Dewey
John Dewey mengemukakan bahwa
belajar tergantung pada pengalaman dan minat siswa sendiri dan topik dalam
kurikulum seharusnya saling terintegrasi bukan terpisah atau tidak mempunyai
kaitan satu sama lain.
Penjelasan :
John
Dewey mengemukakan bahwa belajar tergantung pada pengalaman dan minat siswa
sendiri dan topik dalam kurikulum seharusnya saling terintegrasi bukan terpisah
atau tidak mempunyai kaitan satu sama lain (Sugihartono dkk, 2007:108). Apabila
belajar siswa tergantung pada pengalaman dan minat siswa maka suasana belajar
siswa akan menjadi lebih menyenangkan dan hal ini akan mendorong siswa untuk
berfikir proaktif dan mampu mencari pemecahan masalah, di samping itu kurikulum
yang diajarkan harus saling terintegrasi agar pembelajaran dapat berjalan
dengan baik dan memiliki hasil maksimal.
John Dewey dalam bukunya Democracy and Education (1950:
89-90, dalam Dwi Siswoyo dkk, 2011), pendidikan adalah rekonstruksi atau
reorganisasi pengalaman yang menambah makna pengalaman, dan yang menambah
kemampuan untuk mengarahkan pengalaman selanjutnya. Seperti telah diuraikan di
muka bahwa dalam teori konstruktivisme disebutkan bahwa permasalahan muncul
dibangun dari rekonstruksi yang dilakukan oleh siswa sendiri, hal ini dapat
dikatakan bahwa dalam pendidikan ada keterkaitan antara siswa dengan
permasalahan yang dihadapi dan siswa tersebut yang merekonstruksi lewat
pengetahuan yang dimiliki. Selain itu dari teori kognitif yang menegaskan
pengalaman sebagai landasan pembelajaran juga sangat relevan.
John
Dewey tidak hanya mengembangkan teori konstruktivistik yang terangkum dalam
teori kognitif tetapi juga mengembangkan teori perkembangan moral peserta
didik. John Dewey membagi perkembangan moral anak menjadi tiga tahapan, yaitu
tahap premoral atau preconventional, tahap conventional, dan tahap autonomous
(Dwi Siswoyo dkk, 2011). Selanjutnya John Dewey (Dwi Siswoyo dkk, 2011)
menjelaskan beberapa tahapan yang dikemukakan, yaitu:
a. Tahap premoral. Tingkah laku
seseorang didorong oleh desakan yang bersifat fisikal atau sosial.
b. Tahap convention. Seseorang mulai
bisa menerima nilai dengan sedikit kritis berdasarkan kepada kriteria
kelompoknya.
c. Tahap autonomous. Seseorang sudah
mulai bisa berbuat atau bertingkah laku sesuai dengan akal pikiran dan
pertimbangan dirinya sendiri, tidak sepenuhnya menerima kriteria kelompoknya.
9.
Teori Belajar Kognitif Menurut Kohler
Teori yang disampaikan oleh Kohler
berdasarkan pada penelitiannya pada seekor monyetnya dipulau Cannary yang
dikembangkan dari teori Gestalt. Kohler menyatakan bahwa belajar adalah serta
mencapainya, hasil adalah proses yang didasarkan ada insight.
sumber:
http://crhiry.blogspot.com/2013/12/teori-belajar-kognitif-menurut-para-ahli.html
(disusun guna untuk memenuhi tugas mata kuliah Belajar dan Pembelajaran, dosen pengampu Dr. Suranto, M.Pd)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar