MAKALAH
Permasalahan Pembelajaran Pendidikan Sejarah
(guna
memenuhi mata kuliah Belajar dan Pembelajaran)
Dosen
Pengampu:
Dr.
Suranto, M.Pd.
Oleh
Danang Setyo Nugroho
NIM
140210302001
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2015
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan
hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah saya yang berjudul “Permasalahan Pembelajaran Pendidikan Sejarah
pada Mahasiswa” makalah
ini di buat untuk memenuhi tugas
Belajar dan Pembelajaran. Penyusun makalah ini tidak lepas dari
bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan
terimakasih kepada:
1. Allah SWT.
2. Bapak Dr. Suranto, M.Pd, selaku dosen pembimbing
Belajar dan Pembelajaran
3. Kedua orang tua serta sekeluarga yang senantiasa mendukung,
mendoakan, dan memberikan bantuan baik moral maupun materiil demi terselesaikan
makalah ini;
4. Teman – teman yang terlibat dalam penyusunan makalah ini, yang telah
memberikan semangat.
Penulis
menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini masih jauh
dari sempurna, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
sifatnya membangun guna sempurna nyakarya tulis ini. Penulis berharap semoga
laporan makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.
Jember,
9 Juni 2015
Penulis
|
DAFTAR ISI
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembelajaran
merupakan jantung dari proses pendidikan dalam suatu institusi pendidikan.
Kualitas pembelajaran bersifat kompleks dan dinamis, dapat dipandang dari
berbagai persepsi dan sudut pandang melintasi garis waktu. Pada tingkat mikro,
pencapaian kualitas pembelajaran merupakan tanggungjawab profesional seorang
guru, misalnya melalui penciptaan pengalaman belajar yang bermkna bagi siswa
dan fasilitas yang didapat siswa untuk hasil belajar yang maksimal. Pada
tingkat makro, melalui sistem pembelajaran yang berkualitas, lembaga pendidikan
bertanggung jawab terhadap perkembangan intelektual, sikap, dan moral dari
setiap individu peseta didik sebagai anggota masyarakat.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
proses pembelajaran?
2. Bagaimana permasalahan dalam pembelajaran sejarah?
3. Bagaimana solusi permasalahan dalam pembelajaran
sejarah?
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan
masalah di atas, tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui dan memahami factor-faktor yang
berpengaruh terhadap proses pembelajaran.
2. Untuk mengetahui dan mengkaji permasalahan dalam
pembelajaran sejarah.
1.4 Manfaat
Manfaat penulisan
makalah ini adalah untuk memberikan pandangan mengenai factor-faktor yang berpengaruh terhadap proses
pembelajaran. Memberikan masalah pembelajaran sejarah dan mendapatkan
solusinya. Sehingga dapat menerapkan dari solusi yang diberikan.
BAB 2. PEMBAHASAN
2.2 Faktor yang Berpengaruh Terhadap Proses Pembelajaran
Faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap proses pembelajaran, baik secara eksternal maupun internal
diidentifikasikan sebagai berikut. Faktor-faktor eksetrnal mencakup guru,
materi, pola interaksi, media dan teknologi, situasi belajar dan sistem. Masih
ada pendidik yang kurang menguasai materi dan dalam mengevaluasi siswa menuntut
jawaban yang persis seperti yang ia jelaskan. Dengan kata lain siswa tidak
diberi peluang untuk berfikir kreatif. Guru juga mempunyai keterbatasan dalam
mengakses informasi baru yang memungkinkan ia mengetahui perkembangan terakhir
dibidangnya (state of the art) dan kemungkinan perkembangn yang lebih jauh dari
yang sudah dicapai sekarang (frontier of knowledge). Sementara itu materi
pembelajaran dipandang oleh siswa terlalu teoritis, kurang memanfaatkan
berbagai media secara optimal (Anggara, 2007:100).
Selama KBM
guru belum memberdayakan seluruh potensi dirinya sehingga sebagian besar siswa
belum mampu mencapai kompetensi individual yang diperlukan unuk mengikuti
pelajaran lanjutan. Beberapa siswa belum belajar sampai pada tingkat pemahaman.
Siswa belum mampu mempelajari fakta, konsep, prinsip, hukum, teori, dan gagasan
inovatif lainnya pada tingkat ingatan, mereka belum mampu menerapkannya secara
efektif dalam pemecahan. Di era globalisasi ini diperlukan pengetahuan dan
keanekaragaman keterampilan agar siswa mampu memberdayakan dirinya untuk
menemukan, menafsirkan, menilai dan menggunakan informasi, serta melahirkan
gagasan kreatif untuk menentukan sikap dalam pengambilan keputusan.
Pelajaran
Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), khususnya sejarah, sering dianggap sebagai
pelajaran hafalan dan membosankan. Pembelajaran ini dianggap tidak lebih dari
rangkaian angka tahun dan urutan peristiwa yang harus diingat kemudian diungkap
kembali saat menjawab soal-soal ujian. Kenyataan ini tidak dapat dipungkiri,
karena masih terjadi sampai sekarang. Pembelajaran sejarah yang selama ini
terjadi di sekolah-sekolah dirasakan kering dan membosankan. Menurut cara pandang
Pedagogy Kritis, pembelajaran sejarah seperti ini dianggap lebih banyak
memenuhi hasrat dominant group seperti rezim yang berkuasa, kelompok elit,
pengembang kurikulum dan lain-lain, sehingga mengabaikan peran siswa sebagai
pelaku sejarah zamannnya (Anggara, 2007:101).
Tidak
dipungkiri bahwa pendidikan sejarah mempunyai fungsi yang sangat penting dalam
membentuk kepribadian bangsa, kualitas manusia dan masyarakat Indonesia
umumnya. Agakya pernyataan tersebut tidaklah berlebihan. Namun sampai saat ini masih
terus dipertanyakan keberhasilannya, mengingat fenomena kehidupan berbangsa dan
bernegara Indonesia khususnya generasi muda makin hari makin diragukan
eksistensinya. Dengan kenyataan tersebut artinya ada sesuatu yang harus
dibenahi dalam pelaksanaan pendidikan sejarah (Alfian, 2007:1).
2.2 Permasalahan dalam Pembelajaran Sejarah
Beberapa pakar pendidikan sejarah
maupun sejarawan memberikan pendapat tentang fenomena pembelajaran sejarah yang
terjadi di Indonesia diantaranya masalah model pembelajaran sejarah, kurikulum
sejarah, masalah materi dan buku ajar atau buku teks, profesionalisme guru
sejarah dan lain sebagainya.
Yang
pertama adalah masalah model pembelajaran sejarah. Menurut Hamid Hasan dalam
Alfian (2007) bahwa kenyataan yang ada sekarang, pembelajaran sejarah jauh dari
harapan untuk memungkinkan anak melihat relevansinya dengan kehidupan masa kini
dan masa depan. Mulai dari jenjang SD hingga SMA, pembelajaran sejarah
cenderung hanya memanfaatkan fakta sejarah sebagai materi utama. Tidak aneh bila
pendidikan sejarah terasa kering, tidak menarik, dan tidak memberi kesempatan
kepada anak didik untuk belajar menggali makna dari sebuah peristiwa sejarah.
Taufik
Abdullah memberi penilaian, bahwa strategi pedagogis sejarah Indonesia sangat
lemah. Pendidikan sejarah di sekolah masih berkutat pada pendekatan chronicle
dan cenderung menuntut anak agar menghafal suatu peristiwa (Abdullah dalam
Alfian, 2007:2). Siswa tidak dibiasakan untuk mengartikan suatu peristiwa guna
memahami dinamika suatu perubahan.
Sistem
pembelajaran sejarah yang dikembangkan sebenarnya tidak lepas dari pengaruh
budaya yang telah mengakar. Model pembelajaran yang bersifat satu arah dimana
guru menjadi sumber pengetahuan utama dalam kegiatan pembelajaran menjadi
sangat sulit untuk dirubah. Pembelajaran sejarah saat ini mengakibatkan peran
siswa sebagai pelaku sejarah pada zamannya menjadi terabaikan.
Pengalaman-pengalaman yang telah dimiliki oleh siswa sebelumnya atau lingkungan
sosialnya tidak dijadikan bahan pelajaran di kelas, sehingga menempatkan siswa
sebagai peserta pembelajaran sejarah yang pasif (Martanto, dkk, 2009:10).
Dengan kata lain, kekurangcermatan pemilihan strategi mengajar akan berakibat
fatal bagi pencapaian tujuan pengajaran itu sendiri (Widja, 1989:13).
Kedua adalah
masalah kurikulum sejarah, karena kurikulum adalah salah satu komponen yang
menjadi acuan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Secara umum dapat
dikatakan bahwa kurikulum adalah rencana tertulis dan dilaksanakan dalam suatu
proses pendidikan guna mengembangkan potensi peserta didik menjadi berkualitas.
Dalam sebuah kurikulum termuat berbagai komponen, seperti, tujuan, konten dan
organisasi konten, proses yang menggambarkan posisi peserta didik dalam belajar
dan asessmen hasil belajar. Selain komponen tersebut, kurikulum sebagai suatu
rencana tertulis dapat pula berisikan sumber belajar dan peralatan belajar dan
evaluasi kurikulum atau program.
Sejak
Indonesia merdeka, telah terjadi beberapa kali perubahan kurikulum dan mata
pelajaran sejarah berada didalamnya. Akan tetapi materi-materi yang diberikan
dalam kurikulum yang sering mendapat kritik dari masyarakat maupun para
pemerhati sejarah baik dari pemilihannya, teori pengembangannya dan
implimentasinya yang seringkali digunakan untuk mendukung kekuasaan (Alfian,
2007:3).
Ketika
Orde Baru bermaksud menata kembali kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai
dengan Pancasila dan UUD 1945, tujuan pendidikan nasional diarahkan untuk
mendukung maksut tersebut. Tentu saja kurikulum sekolahan dikembangkan sesuai
dengan tujuan pendidikan nasional. Kurikulum 1986 yang berlaku pada awal masa
Orde Baru kemudian mengalami pergantian menjadi kurikulum 1975, kurikulum
sejarah juga mengalami penyempurnaan. Demikian seterusnya terjadi beberapa
perubahan kurikulum menjadi kurikulum 1984, 1994 dan 2004 (Umasih dalam Alfian,
2007:3). Kurikulum yang dipakai arahannya kurang jelas dan sangat berbau
politis, artinya kurikulum yang digunakan tidak lepas dari adanya
kepentingan-kepentinagn dari rezim yang berkuasa. Sejarah dijadikan alat untuk
membangun paradigma berfikir masyarakat mengenai perjalanan sejarah bangsa
dengan mengagung-agungkan rezim yang mempunyai kekuasaan. Sistem pembelajaran
yang diterapkan tidak mengarahkan siswa untuk berfikir kritis mengenai suatu
peristiwa sejarah, sehingga siswa seakan-akan dibohongi oleh pelajaran tentang
masa lalu (Anggara, 2007:103).
Selain
masalah kurikulum yang selalu mengalami perubahan, masalah yang tak kalah
pentingnya adalah masalah materi dan buku ajar/buku teks sejarah. Menurut
Lerissa (dalam Alfian, 2007), masalah buku ajar ini sudah ada sejak sistem
pendidikan nasional mulai diterapkan di Indonesia tahun 1946. Saat buku ajar
yang dipakai sebagai bahan ajar sejarah adalah karangan Sanusi Pane yang
berjudul Sejarah Indonesia (4 Jilid) yang ditulis atas permintaan pihak Jepang
pada tahun 1943-1944, yang kemudian dicetak ulang pada tahun 1946 dan 1950.
Pada tahun 1957 Anwar Sanusi menulis buku sejarah Indonesia untuk sekolah
menengah (3 Jilid). Setelah itu kemudian muncul berbagai buku ajar laniya yang
ditulis oleh berbagai pihak, terutama oleh guru, salah satunya buku yang
dikarang oleh Subantardjo.
Pada tahun
1970, para ahli sejarah yang terhimpun dalam Masyarakat Sejarawan Indonesia
(MSI) mengadakan “Seminar Sejarah II” di Jogjakarta dan menghasilkan sebuah
keputusan untuk menulis buku sejarah untuk keperluan perguruan tinggi dan bisa
dijadikan sumber buku ajar di SMP dan SMA. Buku yang terdiri dari 6 jilid itu,
kemudian juga tidak luput dari permasalahannya dan sempat memunculkan
pertentangan. Tidak semua penulis menggunakan metodo;logi yang sama yang telah
ditentukan oleh editor umum, Prof. sartono Kartodirdjo (pendekatan structural);
masing-masing penulis membawa tradisi ilmiah yang telah melekat pada dirinya (i
structural atau naratif/kisah). Pada masa itu perbedaan antara pendekatan
structural dan pendekatan naratif secara metodologis tidak bisa dijembatani
sama sekali. Masing-masing mempunyai domain sendiri-sendiri. Konflik yang
berkepanjangan ini menyebabkan Sartono mengundurkan diri dan diikuti oleh
penulis-penulis lainnya. Setelah buku tersebut dicetak ulang (1983-1984) sebagi
editor umum hanya tercantum nama Prof. Dr. Nugroho Notosusanto dan Prof. Dr.
Marwati Djoned Poesponegoro (Alfian, 2007:5). Tahun 1993 sempat dilakukan
revisi oleh RZ Lerissa dan Anhar Gonggong dan kawan-kawan, namun entah kenapa
kabarnya buku itu tidak diedarkan (Purwanto dan Adam, 2005:105).
Hampir
seluruh buku ajar, baik yang diterbitkan oleh swasta maupun pemerintah
sebenarnya tidak layak untuk dijadikan referensi. Hampir seluruh penulis buku
hanya membaca dokumen kurikulum secara harfiah dan tidak mampu memahami jiwa
kurikulum dengan baik. Sebagian besar penulis buku juga tidak paham sejarah
sebagi ilmu, historiografi, dan tertinggal sangat jauh dalam referensi mutahkir
penulisan (Purwanto, 2006:268).
Masalah
profesionalisme guru sejarah juga masih dipertanyakan, sampai saat ini masih
berkembang kesan dari para guru, pemegang kebijakan di sekolah bahwa pelajaran
sejarah dalam mengajarkannya tidak begitu penting memperhatikan masalah
keprofesian, sehingga tidak jarang tugas mengajar sejarah diberikan kepada guru
yang bukan profesinya. Akibatnya, guru mengajarkan sejarah dengan ceramah
mengulangi apa isi yang ada dalam buku (Anggara, 2007:102). Sementara itu
terlalu banyak sekolah yang memposisikan guru sejarah sebagi orang buangan, dan
mata pelajaran sejarah sekedar sebagai pelengkap. Bahkan banyak kasus
ditemukan, guru sejarah menjadi sasaran untuk menaikkan nilai siswa agar yang
bersangkutan dapat naik kelas. Selain itu, sebagian besar guru juga tidak
mengikuti perkembangan hasil penelitian dan penerbitan mutakhir sejarah
Indonesia. Hal yang terekhir itu juga berkaitan denagn adanya kenyataan bahwa
institusi resmi yang menjadi tempat pendidikan tambahan bagi guru sejarah itu
hanya berkutat pada substansi historis dan metode pengajaran sejarah yang
tertinggal jauh (Purwanto, 2006:268).
Pengajaran
sejarah di sekolah selama ini sering dilakukan kurang optimal. Pelajaran
sejarah seolah sangat mudah dan digampangkan. Banyak pendidik yang tidak
berlatar belakang pendidikan sejarah terpaksa mengajar sejarah di sekolah
(Hariyono, 1995:143).
2.3 Solusi Permasalahan dalam Pembelajaran Sejarah
Salah satu metode pembelajaran
sejarah yang cocok untuk menjadikan siswa aktif dan guru sebagai fasilitatornya
adalah kontruktivisme, inquiry, dan cooperatif learning. Kontruktivisme adalah
bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya
diperluas melalui konteks yang terbatas (Anggara, 2007:104). Pembelajaran
sejarah kontruktivisme berkaitan dengan pembelajaran yang berhubungan dengan
masalah-masalah yang dihadapi oleh siswa dalam kehidupan sehari-hari. Metode
inquiry juga sesuai dalam pembelajaran sejarah. Pengetahuan dan keterampilan
yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta,
tetapi hasil dari menemukan sendiri. Penggunaan model pembelajaran cooperatif
learning menempatkan guru sebagai fasilitator, director-motivator dan evaluator
bagi siswa dalam upaya membantu siswa mengembangkan keterampilan sosial dan
kemampuan berfikir kritis, agar mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, mampu
bekerjasama dengan orang lain, dan mampu berinteraksi sosial dengan masyarakat.
Kurikulum
sejarah merupakan suatu konsep atau kontrak yang merencanakan pendidikan
sejarah bagi sekelompok penduduk usia muda tertentu yang mengikuti jenjang
pendidikan tertentu. Tujuan dari lembaga pendidikan pada jenjang pendidikan
tertentu menentukan konsep pendidikan sejarah yang harus dikembangkan bagi
peserta didik lembaga pendidikan tersebut. Oleh karena itu kurikulum pendidikan
sejarah digambarkan dalam bentuk tujuan, materi/pokok bahasan, cara belajar
peserta didik, dan asessmen hasil belajar baik dalam bentuk perencanaan
tertulis maupun imlementasinya. Untuk kemudian dilakukan evaluasi kurikulum
untuk mengetahui keberhasilan atau kagagalan kurikulum dalam mencapai tujuan
(Hasan dalam Nursam, dkk. (ed)., 2008:421).
Untuk
dapat kembali mengajarkan sejarah secara baik dan menarik, pendidik mempunyai
keleluasaan mengolah dan menata materi yang ada. Sudah barang tentu tidak
mungkin topik yang ada dalam kurikulum dapat diselesaikan dengan alokasi waktu
yang tersedia. Untuk itulah bagaimana pendidik mengontrol berbagai materi
pengajaran yang memungkinkan dipelajari di luar kelas. Kurikulum yang baik
untuk kelas tertentu adalah yang cocok, terencana dengan baik, sesuai,
menyajikan pemikiran yang bijaksana dan sistematis. Tujuan kurikulum adalah membuka
peluang melalui perencanaan yang bijaksana bagi tumbuhkembangnya mata pelajaran
dan para siswanya (Hariyono, 1995:172 ; Kochar, 2008:68).
Sesuai
dengan ketetapan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas dan PP No. 19 tahun
2005, maka pengembanagn kurikulum pendidikan sejarah dimasa mendatang adalah
tanggungjawab satuan pendidikan. Artinya, pengembangan kurikulum pendidikan
sejarah SD, SMP, SMA menjadi tanggungjawab masing-masing sekolah tersebut.
Melalui pengembangan dan penempatan sejarah lokal sebagai materi kurikulum yang
dasar, terlepas apakah materi tersebut dikemas dalam mata pelajaran sejarah
ataukah mata pelajaran lain. Posisi materi sejarah lokal dalam kurikulum
dianggap penting karena pendidikan harus dimulai dari lingkungan terdekat dan
peserta didik harus menjadi dirinya sebagai anggota masyarakat terdekat (Hasan,
2007:8-13). Kurikulum sejarah tersebut harus mampu mengembangkan kualitas
manusia Indonesia masa mendatang, yaitu (1) semangat yang kuat, (2) kemampuan
berpikir baik yang bersifat proaktif maupun reaktif (3) memiliki kemampuan
mencari, memilih, menerima, mengolah dan memanfaatkan informasi melalui
berbagai media (4) mengambil inisiatif (5) tingkat kreativitas yang tinggi dan
(6) kerjasama yang tinggi (Musnir dalam Gunawan (ed), 1998:130).
Sedangkan
untuk mengatasi permasalahan buku teks harus ada kriteria yang baik. Salah satu
kriteria buku cetak yang baik menurut Kochar (2008) adalah buku cetak harus
bersih dari indoktrinasi. Buku cetak harus menyajikan pandangan yang adil
tentang berbagai macam ide yang disampaikan pada fase kehidupan tertentu. Buku
ini harus tidak mengandung sekumpulan pendapat yang sempit, tidak mengandung
terlalu banyak nasionalisme hingga cenderung membelenggu, kaku, dan resmi. Buku
ini harus tidak menanamkan kebiasaan memberikan tanggapan secara spontan tanpa
berpikir terlebih dahulu, penilaian yang menyakitkan dan tanggapan yang
emosional. Pandangan yang bias dan prasangka penulis harus tidak tercermin
didalam lembaran buku cetak. Buku cetak yang dipergunakan siswa harus
mengatakan kebenaran yang sesungguhnya, dan tidak ada yang lain selain
kebenaran.
Ada bahaya
dibalik pemakaian buku cetak tunggal karena akan menciptakan batasan-batasan.
Siswa cenderung mengembangkan ide yang salah bahwa sejarah sama artinya dengan
buku cetak. Dan sebagus apapun buku tersebut tidak akan cukup untuk mendukung
siswa dalm belajar. Jadi, saran alternatifnya adalah gunakan buku cetak tunggal
sebagi pendukung, dan sediakan serangkaian buku cetak lainnya yang
masing-masing mewakili subjek permasalahan dari sudut pandang yang berbeda.
Cara ini akan meminimalkan kecenderungan untuk bergantung sepenuhnya pada buku
cetak. Selain itu, siswa akan mampu membandingkan dan menyelaraskan sudut-sudut
pandang yang berbeda (Kochar, 2008:175).
Sejarah
haruslah diinterpretasikan seobjektif dan sesederhana mungkin. Ini dapat
terlaksana hanya jika guru sejarah memilki beberapa kualitas pokok. Menurut
Kochar (2008:393-395) kualitas yang harus dimilki guru sejarah adalah
penguasaan materi dan penguasaan teknik. Dalam penguasaan materi, guru sejarah
harus lengkap dari segi akademik. Meskipun ia mengajar kelas-kelas dasar, guru
sejarah harus sekurang-kurangnya bergelar sarjana dengan spesialisasi dalam
periode tertentu dalam sejarah. Di kelas-kelas yang lebih tinggi, sebagi
tambahan untuk subjek yang menjadi spesialisasinya, guru sejarah harus dapat
memasukkan ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan. Setiap guru harus sejarah harus
memperluas dan menguasai ilmu-ilmu yang terkait seperti bahasa modern, sejarah
filsafat, sejarah sastra, dan geografi. Dalam penguasaan teknik, guru sejarah
harus meguasai berbagai macam metode dan teknik dalam pembelajaran sejarah. Ia
harus menciptahkan suasana belajar yang nyaman dan menyenangkan agar proses
belajar-mengajar dapat berlangsung dengan cepat dan baik.
Pendidikan
dan pembinaan guru perlu ditingkatkan untuk menghasilkan guru yang bermutu dan
dalam jumlah yang memadai, serta perlu ditingkatkan pengembangan karier dan
kesejahteraannya termasuk pemberian penghargaan bagi guru yang berprestasi
(Musnir dalam Gunawan (ed), 1998: 129). Maka dari itu secara professional, guru
sejarah harus memilki pemahaman tentang hakikat pembelajaran sejarah, tujuan
pembelajaran sejarah, kompetensi-kompetensi apa yang dapat dikembangkan dalam
pembelajaran sejarah, nilai-nilai apa yang dibutuhkan dan dapat dikembangkan
dalam pembelajaran sejarah, sebelum nantinya guru dapat menentukan metode atau
pendekatan yang digunakan (Anggara, 2007:102-103).
BAB 3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
Melalui
makalah ini diharapkan mahasiswa
mampu menyadari pentingnya mempelajari pembelajaran sejarah dengan serta penerapannya di kelas.
Oleh sebab itu sebagai generasi muda harus bisa mengembangkan pendidikan
sejarah dan semakin memperdalam ilmu
sejarah
pada tiap aspek dari dosen
pengampunya.
DAFTAR PUSTAKA
Alfian,
Magdalia. 2007. ‘Pendidikan Sejarah dan Permasalahan yang Dihadapi’. Makalah.
Disampaikan dalam Seminar Nasional Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah
Se-Indonesia (IKAHIMSI). Universitas Negeri Semarang, Semarang, 16 April 2007
Anggara,
Boyi. 2007. ‘Pembelajaran Sejarah yang Berorientasi pada Masalah- Masalah
Sosial Kontemporer’. Makalah. Disampaikan dalam Seminar Nasional Ikatan
Himpunan Mahasiswa Sejarah Se-Indonesia (IKAHIMSI). Universitas Negeri
Semarang, Semarang, 16 April 2007
Gunawan,
Restu (ed). 1998. Simposium Pengajaran Sejarah (kumpulan makalah diskusi).
Jakarta : Depdikbud
Hariyono.
1995. Mempelajari Sejarah Secara Efektif. Jakarta : Pustaka Jaya
Hasan,
Hamid S. 2007. ‘Kurikulum Pendidikan Sejarah Berbasis Kompetensi’. Makalah.
Disampaikan dalam Seminar Nasional Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah
Se-Indonesia (IKAHIMSI). Universitas Negeri Semarang, Semarang, 16 April 2007
Kochar,
S.K. 2008. Pembelajaran Sejarah. Jakarta : Grasindo
Martanto,
SD, dkk. 2009. ‘Pembelajaran Sejarah Berbasis Realitas Sosial Kontemporer Untuk
Meningkatkan Minat Belajar Siswa’. PKM-GT. Semarang. Tidak Dipublikasikan
Nursam,
M. dkk (ed). 2008. Sejarah yang Memihak : Mengenang Sartono Kartodirdjo.
Yogyakarta : Ombak
Purwanto,
Bambang. 2006. Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?!. Yogyakarta : Ombak
Purwanto,
Bambang dan Adam AW. 2005. Menggugat Historiografi Indonesia. Yogyakarta. Ombak
Widja,
I Gde. 1989. Dasar – Dasar Pengembangan Strategi Serta Metode Pengajaran
Sejarah. Jakarta : Debdikbud
Bloggaul
[https://suciptoardi.wordpress.com/2009/07/28/pembelajaran-sejarah-permasalahan-dan-solusinya/] diakses tanggal 10 Juni 2015 19;00 wib
["http://andikaafnor.blogspot.fr/2011/10/pembelajaran-sejarah.html"]
diakses tanggal 10 Juni 2015 19;00 wib
(Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Belajar dan Pembelajaran. Dosen pengampu Dr. Suranto, M.Pd).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar