Minggu, 16 Desember 2018

STRATEGI PEMBELAJARAN

STRATEGI PEMBELAJARAN
Macam – Macam Strategi Pembelajaran

Strategi pembelajaran merupakan suatu serangkaian rencana kegiatan yang termasuk didalamnya penggunaan metode dan pemanfaatan berbagai sumber daya atau kekuatan dalam suatu pembelajaran. Strategi pembelajaran disusun untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Strategi pembelajaran didalamnya mencakup pendekatan, model, metode dan teknik pembelajaran secara spesifik.        Berikut macam – macam strategi pembelajaran:
Strategi Ekspositori
Strategi pembelajaran ekspositori adalah strategi pembelajaran yang menekankan kepada proses penyampaian materi secara verbal dari seorang guru kepada sekelompok siswa dengan maksud agar siswa dapat menguasai materi pelajaran secara optimal.
Strategi pembelajaran ekspositori merupakan bentuk dari pendekatan pembelajran yang berorientasi kepada guru, dikatakan demikian sebab dalam strategi ini guru memegang peranan yang sangat penting atau dominan.
Dalam sistem ini guru menyajikan dalam bentuk yang telah dipersiapkan secara rapi, sistematik, dan lengkap sehingga anak didik tinggal menyimak dan mencernanya saja secara tertib dan teratur.
Metode pembelajaran yang tepat menggambarkan strategi ini, diantaranya :
a.       Metode ceramah
Metode pembelajaran ceramah adalah penerangan secara lisan atas bahan pembelajaran kepada sekelompok pendengar untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu dalam jumlah yang relatif besar. Jadi ini sesuai dengan pengertian dan maksud dari Strategi Ekspositori tersebut, dimana strategi ini merupakan strategi ceramah atau satu arah.
b.      Metode demonstrasi
Metode demonstrasi adalah cara penyajian bahan pelajaran dengan memperagakan atau mempertunjukkan kepada siswa suatu proses, situasi atau benda tertentu yang sedang dipelajari, baik sebenarnya ataupun tiruan dengan lisan. Jadi guru memperagakan apa yang sedang dipelajari kepada siswanya.
c.       Metode sosiodrama
Sosiodrama pada dasarnya mendramatisasi tingkah laku dalam hubungannya dengan masalah sosial. Jadi dalam pembelajaran guru memberikan penjelasan dengan mendramatisasikan tingkah laku untuk memberikan contoh kepada siswa.
Strategi Inquiry
Strategi Pembelajaran Inquiry (SPI) adalah rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankan pada proses berfikir secara kritis dan analitis untuk mencari dan menemukan sendiri jawabannya dari suatu masalah yang ditanyakan.
Ada beberapa hal yang menjadi utama strategi pembelajaran inquiry:
a)      Menekankan kepada aktifitas siswa secara maksimal untuk mencari dan menemukan, artinya strategi inquiry menempatkan siswa sebagai objek belajar.
b)      Jika bahan pelajaran yang akan diajarkan tidak berbentuk atau konsep yang sudah jadi, akan tetapi sebuah kesimpulan yang perlu pembuktian.
c)      Jika proses pembelajaran berangkat dari rasa ingin tahu siswa terhadap sesuatu.
d)     Jika guru akan mengajar pada sekelompok siswa rata-rata memilki kemauan dan kemampuan berpikir, atrategi ini akan kurang berhasil diterapkan kepada siswa yang kurang memiliki kemampuan untuk berpikir.
e)      Jika jumlah siswa yang belajar tak terlalu banyak sehingga bisa dikendalikan oleh guru.
f)       Jika guru memiliki waktu yang cukup untuk menggunakan pendekatan yang berpusat pada siswa
SPI merupakan strategi yang menekankan kepada pembangunan intelektual anak. Perkembangan mental (intelektual) itu menurut Piaget dipengaruhi oleh 4 faktor, yaitu maturation, physical experience, social experience, dan equilibration.
Strategi ini menggunakan beberapa metode yang relevan, diantaranya :
a.       Metode diskusi
Metode diskusi adalah suatu cara mengelola pembelajaran dengan penyajian materi melalui pemecahan masalah, atau analisis sistem produk teknologi yang pemecahannya sangat terbuka. Disini siswa melakukan diskusi tentang suatu masalah yang diberikan oleh guru, sehingga siswa menjadi aktif.
b.      Metode pemberian tugas
Metode pemberian tugas adalah cara mengajar atau penyajian materi melalui penugasan siswa untuk melakukan suatu pekerjaan. Disini guru memberikan suatu tugas kepada siswa untuk diselesaikan oleh siswa, sehingga siswa menjadi aktif.
c.       Metode eksperimen
Metode eksperimen adalah suatu cara pengelolaan pembelajaran di mana siswa melakukan aktivitas percobaan dengan mengalami dan membuktikan sendiri suatu yang dipelajarinya. Jadi metode ini dalam strategi pembelajaran merangsang siswa untuk melakukan suatu aktivitas aktif yang berdasarkan pengalaman yang ia alami.
d.      Metode tanya jawab
Metode tanya jawab adalah cara penyajian pelajaran dalam bentuk pertanyaan yang harus dijawab, terutama dari guru kepada siswa, tetapi dapat pula dari siswa kepada guru. Disini guru memberikan waktu untuk siswa bertanya kepada gurunya tentang materi pembelajaran.





c.       Strategi Pembelajaran Inkuiri Sosial
Strategi Pembelajaran Inkuiri Sosial merupakan suatu rangkaian kegiatan belajar yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis, logis, analitis, sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri.
Strategi ini menggunakan beberapa metode pembelajaran yang relevan, diantaranya :
a.       Metode eksperimen
Siswa melakukan percobaan dengan mengalami dan membuktikan sendiri sesuatu yang dipelajari. Siswa dituntut untuk mengalami sendiri, mencari kebenaran atau mencoba mencari suatu hukum atau dalil dan menarik kesimpulan atau proses yang dialaminya itu.
b.      Metode tugas atau resitasi
Metode resitasi (penugasan) adalah metode penyajian bahan pelajaran dimana guru memberikan tugas tertentu agar siswa melakukan kegiatan belajar. Siswa diberi tugas guna menggali kemampuan dan pemahaman siswa akan tugas yang diberikan.
c.       Metode latihan
Metode latihan maerupakan suatu cara mengajar yang baik untuk menanamkan kebiasaan-kebiasaan tertentu. Siswa diajarkan untuk melatih kemampuan yang dia miliki dan lebih mengasah kemampuan yang dimiliki tersebut.
d.      Metode karya wisata
Teknik karya wisata adalah teknik mengajar yang dilaksanakan dengan mengajar siswa kesuatu tempat atau objek tertentu diluar sekolah untuk mempelajari atau menyelidiki sesuatu. Siswa diajak untuk mendapatkan pembelajaran dari tempat atau objek yang dikunjungi.
d.      Contextual Teaching Learning
Contextual teaching and learning (CTL) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi pembelajaran dengan situasi dunia nyata siswa, dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Karakteristik pembelajaran kontekstual:
1)         Pembelajaran dilaksanakan dalam konteks autentik
2)         Pembelajaran memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengerjakan tugas-tugas yang bermakna (meaningful learning).
3)         Pembelajaran dilaksanakan dengan memberikan pengalaman bermakna kepada siswa (learning by doing).
4)         Pembelajaran dilaksanakan melalui kerja kelompok, berdiskusi, saling mngoreksi antar teman (learning in a group).
5)         Pembelajaran memberikan kesempatan untuk menciptakan rasa kebersamaan, bekerja sama, dan saling memahami antara satu dengan yang lain secara mendalam (learning to know each other deeply).
6)         Pemebelajaran dilaksanakan secara aktif, kreatif, produktif, dan mementingkan kerja sama (learning to ask, to inquiry, to work together).
7)         Pembelajaran dilaksanakan dalam situasi yang menyenangkan (learning ask an enjoy activity).

Metode pembelajaran yang tepat menggambarkan strategi ini, diantaranya :
a.       Metode demonstrasi
Guru memperagakan materi apa sedang dipelajari kepada siswa dengan menyangkutkan kegiatan sehari-hari, sehingga siswa lebih memahami.
b.      Metode sosiodrama
Dalam pembelajaran guru memberikan penjelasan dengan mendramatisasikan tingkah laku yang berhubungan dengan masalah sosial disekitar siswa untuk memberikan contoh kepada siswa, sehingga siswa lebih paham
  1. Strategi Pembelajaran Berbasis Masalah
Pembelajaran berbasis masalah dapat diartikan sebagai rangkaian aktivitas pembelajaran yang menekankan kepada proses penyelesaian masalah yang dihadapi secara ilmiah.
Metode pembelajaran yang tepat menggambarkan strategi ini, diantaranya :
a.       Metode problem solving
Metode problem solving bukan hanya sekedar metode mengajar, tetapi juga merupakan suatu metode berfikir sebab dalam metode problem solving dapat menggunakan metode-metode lainnya yang dimulai dari mencari data sampai kepada menarik kesimpulan.
b.      Metode diskusi
Disini siswa dituntut untuk dapat menemukan pemecahan masalah dari masalah yang dihadapi dengan cara berdiskusi.
  1. Strategi Pembelajaran Peningkatan Kemampuan Berpikir
Strategi pembelajaran peningkatan kemampuan berpikir merupakan strategi pembelajaran yang menekankan kepada kemampuan berpikir siswa. Dalam pembelajaran ini materi pelajaran tidak disajikan begitu saja kepada siswa, akan tetapi siswa dibimbing untuk proses menemukan sendiri konsep yang harus dikuasai melalui proses dialogis yang terus menerus dengan memanfaatkan pengalaman siswa.
Model strategi pembelajaran peningkatan kemampuan berpikir adalah model pembelajaran yang bertumpu kepada pengembangan kemampuan berpikir siswa melalui telaahan fakta-fakta atau pengalaman anak sebagai bahan untuk memecahkan masalah yang diajarkan
Strategi ini menggunakan beberapa metode pembelajaran yang relevan, diantaranya :
a.       Metode diskusi
Disini siswa dituntut untuk dapat menemukan pemecahan masalah dari masalah yang dihadapi dengan cara berdiskusi.
b.      Metode tanya jawab
Metode tanya jawab adalah cara penyajian pelajaran dalam bentuk pertanyaan yang harus dijawab, terutama dari guru kepada siswa, tetapi dapat pula dari siswa kepada guru. Disini guru memberikan waktu untuk siswa bertanya kepada gurunya tentang materi pembelajaran.

c.       Metode eksperimen
Metode ini dalam strategi pembelajaran merangsang siswa untuk melakukan suatu aktivitas aktif yang berdasarkan pengalaman yang ia alami.
  1. Strategi Pembelajaran Kooperatif/ Kelompok
Model pembelajaran kelompok adalah rangkaian kegiatan belajar yang dilakukan oleh siswa dalam kelompok-kelompok tertentu untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan.Strategi pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran dengan menggunakan sistem pengelompokan/tim kecil, yaitu antara empat sampai enam orang yang mempunyai latar belakang kemampuan akademik, jenis kelamin, ras, atau suku yang berbeda (heterogen), sistem penilaian dilakukan terhadap kelompok. Setiap kelompok akan memperoleh penghargaan (reward), jika kelompok tersebut menunjukkan prestasi yang dipersyaratkan.
Strategi ini menggunakan beberapa metode pembelajaran yang relevan, diantaranya :
a.       Metode diskusi
Disini siswa dituntut untuk dapat menemukan pemecahan masalah dari masalah yang dihadapi dengan cara berdiskusi.
b.      Metode karya wisata
Siswa membentuk suatu kelompok guna untuk mendapatkan pembelajaran dari tempat atau objek yang dikunjungi.
c.       Metode eksperimen
Dengan berkelompok siswa melakukan eksperimen atau percobaan tentang suatu hal guna melatih kemampuan dan pemahaman mereka.
d.      Metode tugas atau resitasi
Siswa disuruh membuat suatu kelompok belajar, kemudian mereka diberi tugas guna menggali kemampuan, kekompakan, dan pemahaman siswa akan tugas yang diberikan.
  1. Strategi Pembelajaran Afektif
Strategi pembelajaran afektif memang berbeda dengan strategi pembelajaran kognitif dan keterampilan. Afektif berhubungan dengan nilai (value) yang sulit diukur karena menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam diri siswa. Dalam batas tertentu, afeksi dapat muncul dalam kejadian behavioral. Akan tetapi, penilaiannya untuk sampai pada kesimpulan yang bisa dipertanggungjawabkan membutuhkan ketelitian dan observasi yang terus menerus, dan hal ini tidaklah mudah untuk dilakukan.
Strategi ini menggunakan beberapa metode pembelajaran yang relevan, diantaranya :
a.       Metode tugas atau resitasi
Siswa diberi tugas guna menggali kemampuan dan pemahaman siswa akan tugas yang diberikan.
b.      Metode latihan
Siswa diajarkan untuk melatih kemampuan yang dia miliki dan lebih mengasah kemampuan yang dimiliki tersebut.

MODEL, TEKNIK, PENDEKATAN ????

Sabtu, 13 Oktober 2018

MAKALAH KONDISI SOSIAL DAN BUDAYA BANGSA INDONESIA PADA MASA PERGERAKAN NASIONAL INDONESIA













KONDISI SOSIAL DAN BUDAYA BANGSA INDONESIA
PADA MASA PERGERAKAN NASIONAL INDONESIA


MAKALAH



Oleh
Muhardin
NIM 140210302038


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2015
Dek bukunya sudah?:-)KATA PENGANTAR

             Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat Serta hidayah-Nya, terutama nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga kami dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Sejarah Nasional Indonesia III dengan judul Kondisi Sosial dan Budaya Bangsa Indonesia Pada Masa Pergerakan Nasional Indonesia sesuai batas waktu yang telah ditentukan. Kemudian Sholawat serta Salam kita sampaikan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah memberikan pedoman hidup yakni, Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk keselamatan di Dunia dan Akhirat.

MAKALAH PEMBANDING KEBIJAKAN-KEBIJAKAN PEMERINTAH KOLONIAL PADA MASA PERGERAKAN NASIONAL



KEBIJAKAN-KEBIJAKAN PEMERINTAH KOLONIAL
PADA MASA PERGERAKAN NASIONAL


MAKALAH



Oleh
Akhirul Ariyanto
NIM 140210302064


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2015

DAFTAR ISI




PRAKATA

            Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta  karunia-Nya kepada penulis sehingga berhasil menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya dengan judul “Kebijakan-Kebijakan Pemerintah Kolonial pada Masa Pergerakan Nasional.

MAKALAH KEBIJAKAN-KEBIJAKAN KOLONIAL BELANDA PADA ZAMAN PERGERAKAN NASIONAL






KEBIJAKAN-KEBIJAKAN KOLONIAL BELANDA PADA ZAMAN PERGERAKAN NASIONAL

TUGAS MAKALAH


Oleh
Bagus Adi Prasetyo
NIM 140210302029


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN SEJARAH
UNIVERSITAS JEMBER
2015


Alhamdulillah saya sampaikan kepada Tuhan YME, karena berkat rahmat-Nya tugas  yang berjudul “Kebijakan-Kebijakan Kolonial Belanda Pada Zaman Pergerakan Nasional” selesai dengan tepat waktu.
Tujuan saya dalam membuat makalah ini, untuk menyelesaikan salah satu tugas dari mata kuliah Sejarah Nasional Indonesia III  pada semester tiga program studi Pendidikan Sejarh di Universitas Jember. Dan semoga makalah ini bisa menambah wawasan kepada para pembaca khusunya bagi mahasiswa-mahasiswi Universitas Jember.

                                                                                    Jember, 22 Agustus 2015


                                                                                                Penulis







DAFTAR ISI
Halaman Judul
Kata Pengantar ……………………………………………………               i
Daftar Isi ……………………………………………....………….               ii
BAB 1. PENDAHULUAN ………………………………………               1
1.1  Latar Belakang ………………………………………………..               1
1.2  Rumusan Masalah ……………………………………………..             2
1.3  Tujuan ………………………………………………………….             2
BAB 2. PEMBAHASAN …………………………………………              3
2.1  Latar Belakang Pelaksanaan Kebijakan Politik
Kolonial Belanda …………......................................................              3
2.2 Pelaksanaan Politik Kolonial Belanda di Indonesia …..………              5
2.2.1  Politik Kolonial Belanda di Indonesia ........……..…….               5
2.2.2  Gagasan-Gagasan Baru Tentang Fungsi
Jajahan Kolonal Belanda…..............................................             10
2.3 Dampak Pelaksanaan Politik Kolonial di Indonesia ..……........             33
BAB 3. SIMPULAN ........................................................................             35
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………...                 36




BAB 1. PENDAHULUAN

1.1  Latar belakang
Nasionalisme Indonesia mencapai titik puncaknya setelah Perang Dunia II. Indonesia dan negara-negara lain di Asia mengalami penjajahan dan secara serempak membangkitkan nasionalismenya sehingga tercipta negara yang merdeka. Pemerintah kolonial menjalankan “indirect rule” yaitu pemerintahan yang tidak langsung. Masyarakat pribumi dijadikan  objek pengurasan atau pemerasan bahan dasar bagi industrinya dan sebaliknya dijadikan pasar bagi barang-barangnya.
Masa inilah yang digunakan dan dimobilisasikan sebagai kekuatan nasionalisme. Dalam hal ini nasionalisme ingin mengembalikan “the human dignity” yaitu harga diri manusia yang hilang karena kolonialisme dan imperialisme. Semangat kebangsaan yang merupakan “psychological state of mind” harus selalu dibangkitkan dan dihidupkan, karena itulah nasionalisme yang harus dipupuk setiap saat.
Interdepedensi antara kolonialisme dengan politiknya dan nasionalisme yang sedang tumbuh tidak dapat dihindari karena nasionalisme merupakan collective conscience untuk menghadapi kondisi sosio-politik yang buruk, yaitu dengan jalan mengadakan reaksi sesuai dengan posisi kelompok itu. Situasi kolonial menjadi tantangan bagi rakyat tanah jajahan untuk secara kolektif mempersatukan diri untuk mengubah situasi sosio-politik ke arah kebebasan secara global




Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, saya dapat menemukan beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
  1. Apa Latar Belakang Pelaksanaan Kebijakan Politik Kolonial Belanda ?
  2. Bagaimana sistim Pelaksanaan Politik Kolonial Belanda di Indonesia ?
  3. Bagaimanakah Dampak dari Kebijakan Politik Kolonial Belanda bagi Bangsa Indonesia ?

1.2  Tujuan
  1. Untuk mengetahui bagaimana latar belakang diberlakukannya sistim Politik Kolonial Belanda di Indonesia.
  2. untuk mengetahui mengatahui proses pelaksanaan Politik Kolonial Belanda di Indonesia.
  3. untuk memahami dampak-dampak yang terjadi akibat di laksanakannya Politik Kolonial Belanda di Indonesia.








BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Latar Belakang Pelaksanaan Kebijakan Politik Kolonial Belanda
Politik Imperialisme yang dijalankan oleh Belanda pada tahun 1850 sampai 1900, mengandung berbagai macam pengertian. Dalam tulisan ini “imperalisme” berarti perluasan kontrol politik ke daerah seberang dan bersinonim dengan ekspansi kolonial. Abad ke-19 merupakan suatu periode baru bagi imperialisme Belanda yang ditandai oleh politik kolonial. Semula kepentingan-kepentingan Belanda terbatas pada perdagangan, maka dalam periode ini Belanda mulai mengutamakan kepentingan politik. Keinginan memonopoli mendorong VOC untuk mengkonsentrasikan perdagangan rempah-rempah bergeser menjadi mengembangkan perkebunan-perkebunan besar.  Sistem eksploitasi dan monopoli masih bertahan sewaktu pemerintah Belanda mengambil alih administrasi VOC.
Eksponen-eksponen interpretasi ekonomis menyatakan bahwa, imperialisme itu adalah akibat mutlak dari bentuk produksi kapitalis. Dalam hubungan ini ada dua soal yang perlu diterangkan. Pertama, dalam periode sebelum tahun 1850 ekspansi Belanda dapat disamakan dengan kolonialisme dalam arti marxistis, karena ada akumulasi modal dan kelebihan produksi di Negeri Belanda. Kedua, politik kolonial Belanda sesudah tahun 1850 harus diterangkan tidak hanya dari segi motif ekonomi saja, tetapi sebabnya juga dipelajari dari segi perluasan militer, perluasan pegawai, perluasan politik, dan agama.
Dalam mencari faktor-faktor yang menentukan imperalisme Belanda, perlu pula memperhatikan faktor komplementernya. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa liberalisme, humaniterisme, kristianisme, ikut serta dalam membentuk politik kolonial Belanda. Pendekatan multidimensional sangat diperlukan dalam studi tentang imperialisme Belanda.
Sifat-sifat pokok dari politik kolonial Belanda dapat dicari dengan menggunakan ukuran analitis dengan jalan membandingkan sistem imperalisme yang digunakan oleh negara-negara Eropa lainnya. Belanda membutuhkan hasil-hasil daerah tropis dan mendapatkannya secara pemungutan upeti, sebaliknya orang-orang Inggris menjual kain-kain tenun sebagai hasil dari Revolusi Industri. Di Asia dapat diperjual belikannya dengan harga yang lebih murah daripada kain tenun buatan penduduk pribumi.
Bagi Inggris perdagangan lebih menguntungkan dari pemungutan upeti, dan tanah-tanah jajahannya di anggap sebagai pasar yang menguntungkan. Setelah didominasi Perancis, Belanda tidak mempunyai industri dan modal. Tanah jajahannya dianggap sebagai penghasil barang-barang ekspor yang dibutuhkan untuk perdagangannya. Pada akhir abad ke-19 politik ini diganti dengan Politik Kesejahteraan, karena kepentingan perdagangan ingin menciptakan suatu pasar tanah jajahan dengan daya beli yang cukup besar.
Dari keterangan tersebut jelas bahwa kepentingan Indonesia sebagai tanah jajahan tergantung pada negeri induk. Memorandum tahun 1851 menegaskan politik Belanda bahwa “daerah-daerah taklukan harus memberi keuntungan material bagi Belanda, keuntungan yang memang menjadi tujuan penaklukannya”. Orang beranggapan bahwa surplus yang besar bagi perbendaharaan negeri induk adalah sesuai dengan kepentingan yang pokok dan permanen dari tanah-tanah jajahan. Ideologi politik di Eropa pada abad ke-19 sangat berpengaruh pada imperialisme dan politik kolonial.
Liberalisme mulai berkembang di Negari Belanda pada periode sesudah Napoleon. Dalam masa 40 tahun berikutnya lahirlah politik kolonial yang lazim disebut Politik Kolonial Liberal. Sosialisme tumbuh sebagai kekuatan baru dalam politik kolonial Belanda dan segera tampil sebagai pendekar antikolonialisme. Ketidaktahuan rakyat tentang tanah-tanah jajahan bukanlah hal yang sangat aneh dan orang tidak boleh berharap bahwa mereka akan menaruh perhatian kepada negeri-negeri asing yang ada diluar pengetahuannya. Kita khusus hanya akan memperhatikan golongan idealis dan golongan rakyat yang mempunyai kepentingan di tanah-tanah jajahan yang mempunyai pengaruh politik, karena ikut menentukan sebagian besar bentuk politik kolonial.
Oleh karena periode ini dapat dibedakan dan masing-masing ditandai oleh politik yang berbeda, maka akan membuat batasan-batasan menurut titik-titik perubahan yang pokok, yaitu tahun 1830, 1848, 1870, 1901. Sewaktu politik kolonial liberal setapak demi setapak menggantikan sistem perdagangan lama yang disertai monopoli dan eksploitasi tenaga kerja dan tanah pribumi. Pada bagian kedua abad ke-19 sedikit demi sedikit terjadi pergeseran dari periode yang tak berketentuan ke suatu periode pembaharuan kepentingan pollitik kolonial. Perubahan ini terwujud dalam tumbuhnya perkebunan-perkebunan, tumbuhnya jaringan-jaringan kereta api, berdirinya bank, ekspedisi-ekspedisi militer, dan penyebaran agamaKristen secara intensif.
Pada imperialisme Belanda terdapat beberapa unsur atau faktor yang penting, tetapi faktor manakah yang menjadi faktor penentu belum dapat dipecahkan dengan pasti. Akan lebih tepat bila membahas kecenderungan dan pola-pola kolonialisme atau imperialisme Belanda daripasa membahas sebab-sebab dan dorongan atau motifnya. Istilah kecenderungan atau pola mencakup kompleksitas faktor-faktor yang menentukan fenomena historis yang disebut imperialisme. Tekanan akan diletakkan pada korelasi antara tingkat perkembangan ekonomi di Negeri Belanda dan perubahan di dalam politik kolonial yang akan timbul kemudian.

2.2 Pelaksanaan Politik Kolonial Belanda di Indonesia
2.2.1 Politik Kolonial Belanda di Indonesia
Memasuki abad ke-19 di Indonesia terjadi perubahan politik. Perusahaan Dagang Hindia Timur yang disebut VOC dibubarkan pada tanggal 31 Desember 1799. Setelah runtuhnya VOC, Pemerintah Kerajaan Belanda mengambil alih seluruh kekuasaannya, dengan melanjutkan Politik Tradisional Kumpeni yang bertujuan memperoleh penghasilan sebagai upeti dan laba perdagangan, semuanya demi keuntungan kerajaan. Seperti politik dan administrasi Kumpeni dijalankanlah suatu sistem pemerintahan tidak langsung, pembesar pribumi tetap ditugaskan untuk mengawasi perkara-perkara pribumi dan agen-agen Belanda ditugaskan untuk mengawasi tanam wajib yang hasilnya untuk pasaran Eropa.
Marsekal Lodewijk (Louis) atau Napoleon dikirim ke Batavia untuk menjadi Gurbernur. Dan Marsekal Wilhem Deandels segera melakukan tugasnya untuk menyusun kembali sistem pemerintahan dan membangun pertahanan. Tindakan-tindakan utamanya adalah membangun suatu birokrasi dan tentara yang profesional, mengubah sistem politik tradisional dan melakukan pengerahan tenaga misili (wajib militer). Namun, masa pemerintahan Deandles tidak berlangsung lama terutama karena timbul berbagai penolakan atas kebijakan yang dilancarkannya. Ia digantikan oleh Gurbernur Jendral Jansen yang harus menyerahkan Kepulauan Indonesia kepada Inggris.
Sitem liberal memperoleh kesempatan untuk pertama kalinya pada zama Raffles, selama Interregnum Inggris. Pemerintahan Letnan Gurbernur Jendral Thomas Stafford Rafflles (1811-1816) mengadakan suatu sistem administrasi yang sejajar dengan doktrin-doktrin liberal. Hal yang khas dari zaman pemerintahannya adalah hal pajak tanah. Ia menerapkan beberapa kebijakan baru dengan mengubah hubungan politik dan ekonomi dalam sistem politik tradisional dengan menghapus penyerahan wajib hasil penanaman dan kerja wajib untuk para bupati. Raffles juga menyatakan semua tanah adalah milik Raja Inggris.
Politik Raffles juga mempertunjukkan aspek ideal, yaitu usaha mempraktekan beberapa prinsip humaniter. Rakyat harus dibebaskan dari pemerasan para penguasanya dan harus pula dijamin keamanan, keadilan, dan pendidikannya. Perubahan politik kolonialmyang dibuat Raffles itu, akhirnya kandas atau dihapus oleh Belanda sebelum waktu berlakunya habis. Sebagian besar kegagalan ini disebabkan adanya perbedaan yang besar antara idealisme liberal dan kondisi sosio-kultural dari masyarakat tradisional Jawa.
Di sejumlah tempat kebijakan Raffles memperoleh perlawanan. Raffles selanjutnya hanya menjadi penjabat kolonial dengan wilayah yang lebih sempit di daerah Bengkulu. Pada tahun 1824 berdasarkan Perjanjian London, ia menyerahkan Bengkulu sebagai ganti Pulau Tumasik dan Malaka. Di tempat ini Raffles juga berhasil membangun sebuah kota pelabuhan perdagangan transito yang dikenal dengan nama Singapura yang berdiri sejak tahun 1819.
Setelah menerima kemmbali Kepulauan Indonesia dari Inggris, pemerintah Kolonial Belanda menyuruh sejumlah komisaris jendral yang bertugas untuk memusatkank perhatian pada penataan dan pemulihan kembali kolonialisasi di Pulau Jawa. Sejumlah utusan dikirim untuk membuat kembali perjanjian yang diperbaruhi pengakuan terhadap kekuasaan kolonial Belanda. Seorang Pangeran Kraton Yogyakarta melakukan perlawanan yang banyak menguras keuangan pemerintah Belanda. Akibat pembiayaan meredam Perlawanan Diponegoro (1825-1830) dan Perang Belgia (1831) keadaan keuangan jajahan menjadi kosong. Dan Belanda terdorong kembali untuk malakukan politik Kumpeni.
Pada tahun 1788 Inggris menemukan dan mulai mengeksploitasi suatu benua baru disebelah selatan yang disebut Australia. Kapal-kapal Inggris banyak mengambil keuntungan dari pelayaran ke Australia. Sebagai akibat sistem yang menjunjung tinggi kebebasan ekonomi dan perusahaan barat yang kapitalisme, dan yang dapat memberi keuntungan disingkirkan karena memberi kesempatan kepada Inggris untuk memonopoli perdagangan di Indonesia, sedang Belandalah yang harus memikul biaya pemerintahan. Sistem pajak tanah mengakibatkan kekacauan-kekacauan sosial di dalam masyarakat Indonesia.
Di kalangan elite politik di negeri Belanda timbul perdebatan mengenai cara mengisi keuangan yang kosong. Sejumlah kalangan berpendapat bahwa perdagangan laut dapat dikembangkan lagi untuk menghasilkan keuntungan seperti di masa sebelumnya. Raja Belanda adalah Johanes Van Den Bosch segera berangkat ke Pulau Jawa untuk mewujudkan pemikiran tentang pola atau sitem penanaman (Cultuurstelsel 1830-1870). Hakikat Cultuurstelsel adalah bahwa penduduk sebagai ganti membayar pajak tanah sekaligus harus menyediakan sejumlah hasil bumi yang nilainya sama dengan pajak itu. Pemikiran itu terkenal dengan istilah Sistem Tanam Paksa, yang merupakan perpaduan antara Sistem Priangan (Preangerstelsel) masa VOC dan pengerahan tenaga kerja.
Dengan dijalankannya Cultuurstelsel, maka sistem akan lebih disesuaikan dengan adat kebiasaan pribumi yang telah ada. Berati kaum bangsawan feodal harus dikembalikan pada posisinya yang lama, untuk menggerakkan rakyat, memperbesar produksi, dan menjalankan pekerjaan-pekerjaan yang diminta oleh pemerintah. Disinilah menjumpai suatu sistem pemerintahan tidak langsung. Politik ini dapat disamakan dengan prinsip non-akulturasi yang dijalankan sampai berakhirnya rezim Belanda.
Kehidupan Perdesaan di Pulau Jawa mengalami perubahan. Sejumlah kebijakan baru di perkenalkan dan di terapkan. Para bupati dan jajaran bawahannya menjadi penentu pelaksanaan sistem ini dengan menjamin kelancaran pengerahan tenaga kerja dan hasil penanaman. Sistem ini di jalankan dengan penerapan pemberian insentif dan pengenaan sangsi atau hukuman. Di bidang politik dan pemerintahan, daerah di Pulau Jawa direorganisasi dalam suatu struktur birokrasi.
Jajaran pemerintahan kolonial adalan Gurbernur Jendral yang dibantu oleh Dewan Hindia (Raad Van Indie) sebagai penasehat beserta departemen-departemennya. Penerapan sistem Tanam Paksa berhasil memulihkan keungan pemerintahan dan menghidupkan kembali perekonomian Negeri Belanda. Pelayaran dan perdagangan Belanda kembali mengambil peran dalam lalu lintas pemasok komoditi untuk pasar internasional di Eropa yang dijalankan oleh sebuah perusahaan dagang Nederlandsche Handelsmaatschappij (NHM). NHM juga berfungsi sebagai badan perbankan yang melayani kebutuhan keuangan pemerintahan dan menyidiakan modal untuk perusahaan perkebunan.
Setelah pertengahan abad ke-19, penerapan Sistem Tanam Paksa mulai memperlihatkan penyimpangan-penyimpangan. Dalam upaya mengejar keuntungan dari persentase penanaman, para pelaksana penanaman sering melakukan pemaksaan. Apalagi, pemikiran humanisme mulai melanda kehidupan masyarakat dan budaya Eropa. Gagasan humantarian yang membela harkat manusia secara universal membingkai kritik terhadap Sistem Tanam Paksa.
Penolakan itu tampak menguat di kalangan para penulis, pegawai, menteri, pengusaha, dan sebagian besar kolonialis kawakan yang menghendaki liberalisasi perekonomian negeri jajahan. Pada tahun 1870 terbentuk peraturan tentang pertanahan secara bertahap mulai dihapuskan. Pada tahun itu pula suatu peraturan pertanahan dicanangkan, yakni peraturan Agraria tahun1870, yang mengatur kepemilikan tanah negara (Domein Verklaring) seraya memberikan peluang untuk masuknya modal swasta. Disejumlah tempat penerapan Domein Verklaring itu mendapatkan protes dan perlawanan.
Setelah Sistem Tanam Paksa dihapuskan, perekonomian negeri jajahan mulai mengenal modal-modal swasta baik di negeri Belanda maupun di negeri lainnya, seperti Inggris, Amerika, dan China. Penemuan listrik dan penerangan mengubah pola kehidupan dan perekonomian masyarakat. Mesin uap mulai ketinggalan zaman sebagai sumber tenaga penggerak atau tenaga mesin. Teknologi menjadi unsur yang tidak dapat dikesampingkan dalam dunia usaha da perekonomian kapitalistik. Kemajuan tersebut menjadi penunjang daya tarik penanaman modal asing.
Pada akhir adab ke-19 negara kolonial Belanda hampir berhasil menaklukkan seluruh kerajaan dan masyarakat politik di Kepulauan Indonesia. Sementara di pulau barat politik Hindia Belanda masih dalam bentuk eksplorasi dan penjelajahan awal kolonialisme. Selain itu jaringan perdagangan internasional tetap berkembang ditengah-tengah perkembangan imperialisme modern yang memunculkan bangsa-bangsa penjajah baru, seperti Amerika Serikat, Jerman, dan kemudian Jepang.
Perkembangan internasional makin memperlihatkan peran dan pengaruh yang mendalam dalam dinamika kehidupan suatu bangsa. Perekonomian dunia mulai mengenal suatu bentuk monopoli dan suatu persaingan baru yang lebih rumit melalui sistem kapitalisme yang mencari daerah eksploitasi dan pasar bebas untuk dikuasai melalui Hegemoni. Ditengah-tengah itu falsafah politik yang menganut azas liberalisme, laissez, faire, laissezpasse, mulai mendapat tantangan terutama menyangkut peran pemerintah atau negara. Perkembangan dunia diparuh pertama abad ke-20 makin memperjelas bagaimana negara atau pemerintah perlu meninjau perannya terutama dalam bidang perekonomian.

2.2.2 Gagasan-Gagasan Baru Tentang Fungsi Jajahan Kolonial Belanda
            Politik kolonial bertujuan untuk menguasai daerah-daerah produksi bahan- bahan mentah bagi kepentingan modal, baik dari Nederland maupun negara-negara besar lainnya yang tidak mungkin lagi ditolak oleh Indonesia. Kekuasaan modal perdagangan dan perusahaan ingin mempertahankan kedudukannya yang pertama untuk tetap bisa membuka pasarnya, sedang yang kedua untuk tetap memperoleh hasil perusahaannya ialah bahan-bahan mentah.
            Menjelang pergantian abad semakin bertambah besar kesadaran akan pentingnya arti Indonesia bagi Negeri Belanda, disebabkan oleh perebutan daerah kekuasaan negara besar imperialistis yang secara berlomba-lomba mencari daerah jajahan dari Afrika dan Asia.
  1. Politik Etis
Politik kolonial pertama diucapkan secara resmi oleh van Dedem sebagai anggota parlemen. Pada tahun 1891, diutarakannya keharusan untuk memisahkan keuangan Indonesia dari Negeri Belanda. Diperjuangkan (juga kemajuan rakyat antara lain, dengan membuat bangunan umum) desentralisasi, kesejahteraan rakyat, dan ekspansi yang pada umumnya menuju kesuatuan politik yang konstruktif. Kesejahteraan rakyat, serta efisiensi, kemudian terkenal dengan politik etis. Dari kalangan kaum liberal muncul van Deventer sebagai pendukung ide politik kolonial baru.
Program kolonial dari kaum liberal terutama “memajukan perkembangan bebas perusahaan swasta” tidak disetujuinya karena ia lebih mengutamakan kesejahteraan materiil dan moril kaum pribumi, desentralisasi pemerintah serta penggunaan tenaga pribumi dalam administrasi. Van Deventer mempunyai pengaruh besar karena karangannya hutang kehormatan pada tahun 1899. Ia mengecam politik kolonial Belanda yang tidak mau memisahkan keuangan negeri induk dari negeri jajahan. Pemisahan itu dapat dilakukan sejak tahun 1867, dan dinyatakan bahwa selama periode antara tahun 1867 sampai dengan tahun 1878 yang dinamakan politik Batig Slot.
Perubahan politik kolonial juga dipercepat oleh perkembangan ekonomi sekitar tahun 1900. Perkebunan gula dan kopi mengalami kerugian yang besar karena terserang hama, panen yang gagal, penyakit ternak, dan bencana alam mendesak agar segera ada pertolongan. Usaha-usaha yang dilakukan untuk menanggulangi keadaan ekonomi yaitu:
1.        Pembentukan Panitia Kemunduran Kesejahteraan untuk menyelidiki sebab-sebab kemunduran itu. Hasilnya akan dipergunakan sebagai landasan politik praktis.
2.        Untuk memajukan perusahaan pribumi perlu dihidupkan kembali baik usaha-usaha agraris maupun yang industrial.
3.        Diadakan peraturan-peraturan atau usaha-usaha untuk mencegah kemunduran lebih lanjut, antara lain dengan mengadakan pinjaman tidak berbunga sebesar 30 juta gulden yang dikembalikan dalam waktu 5-6 tahun; pemberian sebagai hadiah sebesar 40 juta gulden.
4.        Beberapa penyelidikan keadaan ekonomis seperti yang tercantum dalam karya van Deventer, J.D Keilstra, dan Fock, semua member gambaran bahwa rakyat di pedesaan sangat miskin; hidup tertekan dari hari ke hari; hasil minimum dari tanah yang telah terpecah-pecah; dan upah kerjanya sangat rendah.
Dalam politik “kewajiban moril” yang telah didukung oleh semua golongan dinyatakan bahwa Negeri Belanda harus memperhatikan kepentingan pribumi dan membantu Indonesia dalam masa kesulitan politik etis mulai dilaksanakan dengan pemberian bantuan sebesar f.40 juta gulden.
Politik etis merubah pandangan dalam politik kolonial yang beranggapan Indonesia tidak lagi sebagai wingewest (daerah yang menguntungkan) menjadi daerah yang perlu dikembangkan sehingga dapat dipenuhi keperluannya dan ditingkatkan budaya rakyat pribumi. Kapitalisme kolonialis pada awal abad ke-20 mengalami perkembangan sangat pesat; aliran emas bagi Indonesia semakin besar. Begitu juga hasil-hasil dari perkebunan teh, karet, tembakau, lada, beras, kapuk, dan timah. Politik “pintu terbuka” membawa akibat denasionalisasi hubungan perdagangan dan lebih bergerak ke arah internasionalisasi.
Untuk menjaga kepentingan modal, ditempuh oleh Belanda suatu politik yang mengambil sikap berdamai dengan gerakan emansipasi yang hendak mewujudkan aspirasi nasional, suatu politik yang terkenal dengan nama “politik asosiasi” dan diharapkan oleh kaum etisi dapat memperkuat sistem kolonial.
Selama periode antara tahun 1900-1914 ditunjukkan pengertian terhadap cita-cita rakyat Indonesia yang mulai bergerak ke arah emansipasi dan kemerdekaan. Dicarinya bentuk pemerintahan kolonial yang merupakan suatu sistem di mana Barat dan Timur dapat hidup berdampingan dan mempersatukan kedua unsur dalam suatu kesatuan politik. Selama periode tahun 1900-1925 banyak kemajuan serta perubahan dan bangunan-bangunan besar telah dijalankan, di antaranya, ialah:
1.      Desentralisasi
2.      Perubahan-Perubahan Pemerintah
3.      Perbaikan Kesehatan Rakyat dan Emigrasi
4.      Perbaikan Pertanian dan Peternakan
5.      Pembangunan Irigasi dan Lalu lintas
Sejak tahun 1883-1898 telah dibuat bangunan-bangunan produktif, seperti jalan kereta api sebesar f.231 juta, pelabuhan f.61 juta, dan pengairan f.49 juta. Sebagian besar dari pembiayaan dapat ditutup dengan pajak-pajak terutama dari perusahaan dan perkebunan dan dengan pinjaman-pinjaman baru. Usaha-usaha lain untuk meningkatkan kehidupan rakyat juga dilakukan pendirian bank simpanan, regi candu, rumah gadai negeri, pengawasan, pengerahan tenaga kerja ke daerah seberang, pembelian kembali tanah-tanah partikelir (swasta), dan emigrasi (transmigrasi).
Sisa-sisa Sistem Tanam Paksa, tanaman kopilah yang masih dipertahankan di beberapa daerah seperti di Minahasa. Dalam penanaman tebu banyak terjadi tekanan-tekanan dari kepala daerah untuk penyewaan-penyewaan tanah dan pengerahan tenaga kerja, sedangkan dalam pembagian air kebun-kebun tebu di dahulukan. Keadaan yang sangat menyedihkan, yaitu kekejaman yang dilakukan terhadap “kuli” yang dikerahkan untuk bekerja di perkebunan di Deli, seperti dilukiskan dalam buku  De millioenen uit Deli. Sebagai usaha untuk melindungi rakyat, herendiensten mulai dikurangi dan pembelian kembali tanah-tanah partikelir. Sejak tahun 1836 para tuan tanah diberi kekuasaan feudal terhadap penghuni tanahnya, hak yang makin lama menimbulkan keadaan yang makin buruk. Baru mulai tahun 1909 tersedia uang untuk melaksanakan pembelian itu.

  1. Emigrasi
Penduduk di Jawa dan Madura pada tahun 1865 berjumlah 14 juta dan pada tahun 1900 telah berlipat dua. Daerah yang subur tanahnya menjadi padat penduduknya. Di daerah itu umumnya sudah tidak ada lagi tanah kosong, bahkan tanah persawahan juga digunakan untuk penanaman tanaman ekspor, seperti tebu dan tembakau. Dalam abad ke-19 terjadi migrasi dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Perusahaan gula ini memberi pencahairan baru di mana perkembangan penduduknya akan lebih cepat daripada perluasan tanah pertanian. Dari tahun 1885 sampai tahun 1900 penduduk bertambah 30%, sawah pengairan hanya bertambah 5,7% dan tanah pertanian 16%. Emigrasi ke daerah luar Jawa disebabkan permintaan besar akan tenaga kerja di daerah perkebunan Sumatra Utara, khususnya di Deli, sedang emigrasi ke Lampung mempunyai tujuan untuk menetap.

  1. Edukasi
Pengajaran diberikan di sekolah kelas I kepada anak-anak pegawai negeri dan orang yang berkedudukan atau bertahta, di sekolah kelas II kepada anak-anak pribumi pada umumnya. Sekolah jenis pertama menurut Stb. 1893 no. 128, dirikan di ibu kota keresidenan, afdeling, dan onderafdeling atau kota pusat perdagangan dan kerajinan. Pada tahun 1903 terdapat 14 sekolah kelas I di ibu kota keresidenan dan 29 kota di ibukota afdeling. Mata pelajaran yang diberikan ialah membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi, ilmu alam, sejarah dan menggambar.
Pada tahun 1903 di Jawa dan Madura terdapat 245 sekolah kelas II negeri, 326 sekolah partikelir, diantaranya 63 dari zending. Jumlah murid pada tahun 1892 ada 50.000, diantaranya 35.000 sekolah negeri dan 15000 di sekolah swasta. Pada tahun 1902 ada 1.623 orang anak pribumi yang belajar pada sekolah Eropa. Perbandingan di Jawa dan Madura antara jumlah anak yang bersekolah dengan jumlah penduduk adalah 1:523 dan biaya yang dikeluarkan untuk setiap anak hanya f.0.035.
Untuk mendidik anak pamong praja ada 3 sekolah OSVIA, masing-masing ada 3 sekolah guru, yaitu di Bandung, Yogyakarta, dan Probolinggo, satu sekolah dokter pribumi di Jakarta yang mengeluarkan 18 dokter setiap tahun, sepertiganya diperuntukkan bagi luar Jawa. Untuk Jawa dan Madura ada 1 dokter untuk 100.000 penduduk. Pada tahun 1902 dibuka sekolah pertanian di Bogor.

  1. Politik Kemakmuran
Dengan perkembangan pesat perusahaan perkebunan timbullah keperluan atau tuntutan untuk menciptakan prasarana baik jasa maupun lembaga yang sesuai dengan tingkat perkembangan ekonomi ini. Perekonomian yang dualistis pada satu pihak memberi kesempatan bagi industri perkebunan untuk bereksploitasi dengan tanah dan tenaga yang murah karena belum dikenal di kalangan rakyat kontrak dalam arti yang sebenarnya, di pihak lain taraf kehidupan rakyat masih rendah keterampilannya, pendidikannya, organisasinya, sehingga tidak dapat maju dalam menghadapi kesatuan ekonomi yang kuat, malahan merosot kedudukannya dari petani-petani menjadi pekerja di pabrik.
Di Jawa tidak mudah untuk timbul kelas menengah yang kuat yang dapat menyaingi bangsa Arab, Cina, dan Eropa. Di luar Jawa kondisi pertumbuhan golongan itu lebih baik karena jumlah penduduk tidak banyak dan mudah mengambil bagian dalam perkembangan ekonomi. Penetrasi ekonomi-keuangan belum berhasil menghilangkan sikap tradisional sehingga perubahan-perubahan negara yang dituntut oleh perkembangan industri dan modernisasi. Untuk itu perlu diadakan gerakan koperasi yang dimulai dari rakyat sendiri dengan bantuan pemerintah. Beberapa permasalahan yang memerlukan pemecahan ialah : masalah penduduk, irigasi, keribaan, sistem kredit, masalah kesehatan rakyat, masalah candu, pemadatan, dan perburuhan.

  1. Sistem Kredit
Permintaan akan kredit sangat besar di kalangan rakyat yang kebanyakan hidup dengan hutang. Kredit di berikan oleh China, Arab, dan orang pribumi umumnya memberi bunga dengan riba yang mencapai 15% sebulan. Pada tahun 1904 didirikan bank kredit rakyat yang memberi petunjuk kepada rakyat mengenai penggunaan kredit. Lumbung desa didirikan dengan sumbangan rakyat sendiri. Petani dapat meminjam padi dan dikembalikan waktu habis panen dengan ditambah bunganya. Dengan demikian dapat dicegah kemerosotan harga beras sehabis panen.
Pada tahun 1917 jumlah bank padi ada 11.000, akan tetapi dengan perbaikan pengangkutan serta kemajuan ekonomi, keuangan, modal rata-rata setiap bank pada tahun 1917 ialah 243 pikul, jumlah peminjaman rata-rata 125-182. Di samping bank padi juga didirikan bank desa yang memberikan pinjaman kecil untuk petani setempat. Bunga mula-mula 10% kemudian diturunkan menjadi 6% dan 8%. Pada tingkat kabupaten didirikan bank kredit rakyat yang memberi kredit untuk memajukan industri dengan bunga 18% setahun pada 1929, kemudian diturunkan menjadi 15%-12% pada tahun 1929.
Pinjaman diberikan selama 10-20 bulan tahun itu ada 89 bank meliputi 960.000 peminjaman dan penabungan. Usaha melaksanakan koperasi pada umumnya mengalami kegagalan karena berbagai faktor yang menghalangi, antara lain masyarakat desa belum sepenuhnya mencakup dalam ekonomi keuangan, tidak ada kelas menengah pribumi yang menjadi penggeraknya, masih kuat rasa komunal di desa sehingga tidak ada dorongan mencari kemajuan. Banyak koperasi yang menjadi bagian dari Pergerakan Nasioanal berdiri karena hasrat kaum pribumi untuk menghindari dan menandingi dominasi China.
Pada tahun 1880 Ordonansi Kuli dijalankan untuk mengerahkan tenaga buruh ke daerah-daerah di mana penduduk sangat jarang, maka pengusaha dizinkan membuat kontrak dengan kaum buruh dengan sanksi hukuman. Ordonansi Sumatra Timur hendak melindungi buruh yang didatangkan dari Jawa dan China. Seluruhnya meliputi jumlah kira-kira 450.000 orang. Inspeksi perburuhan mengawasi pelaksanaan kontrak-kontrak tersebut. Dengan adanya kontrak buruh berdasarkan sanksi hukuman, pengusaha di Sumatra Utara mendapat tenaga cukup murah, meskipun jauh lebih mahal daripada buruh di Jawa. Jumlah tenaga buruh yang dikerahkan terbatas untuk menjaga agar tidak timbul situasi di mana tanah untuk perkebunan berkurang oleh keperluan tanah pertanian bagi pendatang bagi Jawa.
Karena aksi ILO yang mempersoalkan jenis buruh itu dan Undang-Undang Tarif di Amerika Serikat dari tahun 1930 yang menolak hasil perkebunan yang menggunakan tenaga kontrak itu, perkebunan tembakau melepaskan hak-haknya atas dasar sanksi hukuman itu dengan menggunakan buruh bebas. Pada tahun 1931 dan 1936 berlaku undang-undang yang menghapuskan kuli kontrak itu secara bertahap.




f.        Perubahan Pemerintahan atau Administrasi
Lama sebelum tahun 1900 telah terasa bahwa pemerintahan mengalami desentralisasi. Sejak tahun 1854 parlemen mempunyai hak mengawasi pemerintahan Hindia Belanda dan kepentingan yang ada dibawah politik di negeri Belanda. Untuk penyesuaian dengan perkembangan perusahaan bebas sejak tahun 1870, administrasi perlu diubah berdasarkan prinsip persamaan dan ekonomi. Desentralisasi mencakup tiga hal, yaitu:
  1. Delegasi kekuasaan dari pusat pemerintahan ke pemerintahan di Hindia Belanda, dari pemerintahan ini ke departemen, pejabat lokal, dan dari pejabat Belanda ke pejabat pribumi,
  2. Menciptakan lembaga-lembaga otonom yang mengatur urusan sendiri,
  3. Pemisahan keuangan negeri dari keuangan pribadi.
Pada tahun 1903 didirikan Dewan Kota di daerah Batavia, Meester Cornelis (Jatinegara), dan Buitenzorg (Bogor), setahun kemudian di beberapa tempat di Jawa dan diluar Jawa. Semua anggota dipilih, meskipun mayoritas masih dipegang oleh golongan Belanda. Ini disebabkan oleh batasan hak memilih, antara lain dengan pajak pendapatan yang sedikit-dikitnya f.300. Anggota dewan harus paham Bahasa Belanda.
Menjelang akhir abad ke-19 perkembangan administrasi sangat pesat karena banyak pelayanan yang perlu diselenggarakan oleh pemerintah: tahun 1897 urusan hutang-hutang, tahun 1899 urusan pertambangan, sekitar tahun 1900 urusan bank kredit, kemudian secara berturut-urut diadakan dinas pertanian, perikanan, kerajinan, sedang dinas kesehatan dan peternakan diperluas sejak tahun 1907 pengajaran juga diperluas.
Sehubungan dengan ekspansi aktivitas negara pada tahun 1904 didirikan Departemen Pertanian, tahun 1907 Departemen Perusahaan-perusahaan Negara yang pada tahun 1911 bergabung menjadi Departemen Pertanian, Industri, dan Perdagangan. Pada tahun 1914 diajukan suatu rencana perubahan pemerintahan tetapi ditolak, pada tahun 1918, diterima peraturan Ontvoogding (pembebasan dari perwalian) dari pamong praja dan pada tahun 1922 sistem baru pemerintahan (Bestuurshervorming).
Berdasarkan Undang-Undang Perubahan (Bestuurshervorming) tahun 1922, Hindia Belanda dibagi atas beberapa provinsi. Selaras dengan perubahan tersebut, dewan-dewan keresidenan dihapus dan pada tahun 1925 dewan-dewan kabupaten dibentuk. Selain itu dibentuk pula dewan provinsi, dewan-dewan kota, dan diluar Jawa ada juga dewan-dewan lokal. Dewan kabupaten berjumlah 76 di Jawa dan diketuai oleh bupati. Didalam sidang umumnya ada pembagian atas komisi, antara lain yang mengurus pekerjaan umum, pasar, peraturan-peraturan, sedangkan pekerjaan rutin ada di tangan dewan komisaris-komisaris. Dalam pelaksanaan desentralisasi, secara berangsur-angsur akan dibentuk provinsi dan kemudian kabupaten sebagai daerah otonom. Di daerah provinsi-provinsi belum terbentuk pelaksanaan undang-undang tahun 1903.

  1. Undang-Undang Dasar
Perubahan pemerintahan mencakup juga rencana memperbesar kekuasaan kepada pejabat pribumi. Pada umumnya ontvoogding  tidak dapat berjalan lancar karena ada kekhawatiran bahwa pejabat Belanda akan kehilangan hubungan dengan rakyat sama sekali. Salah satu bentuk pelaksanaan pemberian otonomi kepada hindia Belanda adalah persiapan-persiapan mendirikan Dewan Rakyat. Volksraad atau Dewan Rakyat menjadi dewan perwakilan beranggotakan 39 orang, diantaranya 19 orang diangkat. Badan ini mempunyai kekuasaan legislatif hanya memberi advis antara lain mengenai keuangan.
Pada tahun 1920 jumlah anggota menjadi 49 orang, di antaranya 24 dipilih dan 14 di angkat, termasuk 8 pribumi. Anggota Dewan Rakyat mempunyai kebebasan untuk mengecam aturan-aturan pemerintah. Dengan pecahnya Perang Dunia I timbul suasana yang lebih demokratis. Dalam dewan boleh menggunakan Bahasa Indonesia, debat persidangan permulaan sangat bersemangat, bahkan sering revolusioner, mengandung banyak kecaman terhadap pemerintah dan banyak kekecewaan-kekecewaan, semua melahirkan perasaan antikolonialisme, anti-Belanda, dan antikapitalisme.
Perasaan ini meluap waktu di Negeri Belanda ada pergolakan pada akhir Perang Dunia I, sehingga Gurbernur Jenderal mengumumkan janji untuk melakukan perubahan-perubahan sosial. Janji itu segera disusul dengan pembentukan Panitia Perubahan. Panitia ini dibentuk pada tahun 1919 dan mencakup wakil-wakil dari berbagai kepentingan politik. Dewan Rakyat perlu diberi kekuasaan legislatif, dan masih banyak lagi usul-usul yang sangat maju.
Undang-Undang Dasar baru Negeri Belanda dari tahun 1922 memuat gagasan-gagasan seperti yang disarankan oleh Panitia Perubahan. Hindia Belanda diakui sebagai bagian intergal dari kerajaan Belanda. Pemerintahan tertinggi Hindia Belanda ada pada Mahkota, sedang pemerintahan umum dijalankan oleh Gurbernur Jenderal (seperti) yang diatur dalam undang-undang, kecuali untuk kekuasaan yang menjadi hak Mahkota (art. 60). Manurut artikel 61 konstitusi ditetapkan oleh badan undang-undang di Negeri Belanda, badan perwakilan lokal perlu didengar terlebih dahulu, kecuali hal-hal yang menjadi hak Mahkota peraturan-peraturan tentang urusan Hindia Belanda perlu ditetapkan oleh badan-badan lokal. Menurut artikel 62 semua peraturan oleh badan-badan lokal yang bertentangan dengan Mahkota dan kepentingan umum dapat ditiadakan dengan undang-undang.

  1. Tata Negara 1925
Perubahan-perubahan dalam UUD mengaharuskan perubahan-perubahan besar dalam konstitusi Hindia Belanda. Regeerings Reglement 1854 diubah menurut usulan Fock pada tahun 1922. Kemudian De Graff menyusul perubahan dari Regeerings Reglement 1854 itu yang diterima oleh Staten General sebagai konstitusi (Staatsinrichting) pada tahun 1925. Rencana perubahan yang diusulkan De Graff menimbulkan banyak ketidakpuasan baik dikalangan nasionalis maupun Belanda yang progresif. Mereka membentuk panitia untuk merumuskan suatu kenyataan tentang sistem politik di Hindia Belanda, ketuanya Oppenheim dan anggota-anggotanya adalah Carpentier-Alting, Dr. Kleintjes ahli dalam hukum konstitusi, van Vollenhoven ahli hukum adat, dan Snouck Hurgronje ahli dalam hukum islam. Dalam kesimpulan laporan mereka dilancarkan kecaman terhadap usul resmi dari Panitia Perubahan yang hanya mementingkan perubahan undang-undang dan bukan penyerahan pemerintahan.
Pada tahun 1928 timbul aliran pembaharuan dalam pemerintahan yang juga terkenal sebagai gerakan ootvoogding (pendewasaan) pamong praja pribumi. Dasar politik ini ialah prinsip protektorat, yaitu yang hendak membiarkan penduduk pribumi ada di bawah pimpinan kepalanya sendiri baik yang diakui maupun yang diangkat oleh pemerintahan Hindia Belanda. Telah menjadi kenyataan bahwa spesialisasi memperkuat peran pamong praja. Tidak lama setelah dilaksanakan perubahan tahun 1926 mengenai pembagian atas daerah-daerah sangat kepincangan serta kesulitan-kesuliatan yang timbul dikalangan pamong praja, sehinggan pada tahun 1931 perlu diadakan perubahan lagi.
Dalam susunan pamong praja yang baru, seorang residen bertugas mengawasi pemerintahan kabupaten serta mengkoordinasikan berbagai dinas kesejahteraan dan pemimpin pelaksana perencanaan. Bupati mempunyai kedudukan yang ganda, ia menjadi kepala kabupaten, baik sebagai kesatuan administrasi maupun sebagai daerah otonom. Tugasnya antara lain pemimpin umum dalam pekerjaan umum, pegawas keuangan, dan sebagai dewan kabupaten. Pada umumnnya para bupati mempunyai kecakapan untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan baru itu.
Kedudukan asisten residen diturunkan, oleh karena ia bukan lagi atasan dari bupati, tetapi seorang “saudara muda” yang mendampinginya dalam pemerintahan sehari-hari. Di samping itu, ia masih juga menjadi anggota dewan kabupaten dan dewan harian. Para kontrolir mempunyai pekerjaan yang sama dengan kepalanya, yaitu asisten residen. Ia bertugas untuk lebih banyak membuat hubungan dengan anggota-anggota pamong praja bawahan dan lebih mengalami kehidupan di desa-desa. Para wedana dan asisten wedana yang sebagai unsur terbawah dari hierarki birokrasi ternyata menjadi dasar bagi pemerintahan. Pada merekalah terletak kewajiban yang berat untuk melaksanakan peraturan-peraturan di daerah pedesaan. Didaerah luar Jawa perkembangan pemerintahan menunjukkan perbedaan.
Rencana pemerintahan Hindia Belanda untuk mengembangkan pemerintahannya sendiri (zelfbestuur) baru mulai dilaksanakan beberapa tahun sebelum Perang Dunia II, yaitu dengan memulihkan pemerintahan sendiri di Sulawesi dan Bali. Dari perkembangan pemerintahan dalam abad ke-20 nyatalah bahwa pemerintahan tidak lagi bersifat patriarkhal, tetapi belumlah dapat dikatakan bahwa demokratisasi telah berkembang dengan pesat. Di luar Jawa perubahan administrasi menunjukkan perbedaan yang mencolok dengan berkembangnya sejak tahun 1900. Diciptakan birokrasi yang ada di bawah hegemoni pamong praja Eropa.
Desentralisasi bertujuan untuk menghapus sisa-sisa dari masyarakat tradisional yang menghalang-halangi perkembangan administrasi modern, seperti masyarakat-masyarakat adat. Kemudian diciptakan di Jawa bagian-bagian teritorial yang setengah otonom, sedang di luar Jawa pengurangan “daerah pemerintahan sendiri” sejak tahun 1914. Dengan diciptakannya masyarakat kelompok (groepgemeenschap) pada tahun 1936 sebagai unit administratif dihidupkan kembali kesatuan-kesatuan lama yang sepenuhnya ada di bawah kekuasaan pamong praja Belanda. Semboyan modernnsasi dalam administrasi dibungkam dengan menghidupkan kembali prinsip Belanda yang terkenal sebagai pemerintahan tidak langsung. Anakronisme feodal ini dibenarkan oleh pemerintah kolonial dengan menunjukkan prinsip etnisitas (kesukuan) sebagai dasar pemerintahan dan bukan prinsip teritorial.
Menjelang Perang Dunia II kekuasaan kolonial sangat kuat, pemimpin pusat semakin ketat, maka menjadi semakin samar-samar gambaran masa depan Hindia Belanda. Hal ini dengan nyata sekali dapat dilihat dari pernyataan Gurbernur Jenderal De Jonge pada tahun 1936, yang menggambarkan bahwa suatu otonomi baru dapat diberiakan kira-kira tiga ratus tahun kemudian. Baik segi sistem pemerintahan tidak langsung maupun dari segi dualisme sebagai hakikat masyarakat kolonial, dibidang hukum dan peradilan di Hindia Belanda juga terdiri atas dua bagian yang masing-masing mencakup lingkungan yang berbeda sekali. Pada satu pihak ada pengadilan gubernemen yang dimasukkan oleh pemerintah kolonial dan dijalankan oleh pegawai pemerintahan menurut peraturan-peraturan hukum. Dan di pihak lain pengadilan pribumi yang dilakukan menurut hukum adat yang pada umumnya tidak tertulis.
Pada tahun 1819 didirikan Mahkamah Agung (Hoog-Gerecht-schoff) antara kekuasaan pemerintahan dan pengadilan. Pada tahun 1848 Mahkamah Agung mendapat kekuasaan mengawasi pengadilan di Jawa dan baru pada tahun 1869 berdasarkan keputusan raja para pegawai pamong praja dibebaskan dari pengadilan pribumi meskipun kekurangan tenaga ahli hukum, dan baru pada tahun 1891 semua pengadilan negeri diketuai oleh ahli hukum. Secara resmi pada tahun 1918 berlaku hukum pidana Hindia Belanda yang didasarkan atas satu kitab undang-undang baik orang Eropa maupun orang pribumi.
Perkembangan sosial – politik sejak kebangunan nasional dan pecahnya perang dunia I menimbulkan situasi politik yang sangat melemahkan tujuan seperti termaktub dalam politik etis itu. Pada tahun1916 orang telah mengatakan bahwa politik itu mengalami kebangkrutan dan kemajuan yang dicapai bukanlah jasa haluan etis. Etika kristenlah yang meningkatkan kegiatan zending dan misi dalam bidang pengajaran, kesehatan, dan spiritual penduduk terbatas pada tindakan–tindakan terpaksa dijalankan saja, antara lain perluasan pengajaran relative sedikit. Dengan munculnya pergerakan nasional, tidak hanya kesadaran rakyat yang memuncak, tetapi kegiatan untuk mencapai  kemajuan dilakukan oleh pihak rakyat pribumi sendiri.
Dalam hubungan politik etis humanistis seperti diperjuangkan oleh Snouck Hurgronje hendak mengalihkan budaya barat berdasarkan gagagsan asosiasi. Selanjutnya dapat dikatakan bahwa politik kolonial dan tindakan Belanda berjalan diatas garis yang telah dibuat oleh Komisi Soal-Soal Mandat. Sesuai dengan prinsip-prinsip Mandat Rangkap, secara berturut-turut Belanda berusaha mengadakan perubahan-perubahan dibidang pemerintahan dalam negeri, memajukan kesehatan, pendidikan dan syarat- syarat kerja, dan memberi fasilitas- fasilitas yang diperlukan bagi pengembangan sumber-sumber alam. Cara belanda memecahkan masalah sistem Mandat Rangkap yang tidak mungkin dipersatukan menunjukan bahwa kepentingan penduduk pribumi ditempatkan di bawah kepentingan dunia luar pada umumnya dan negeri induk pada khususnya. Akhirnya dapat ditunjukkan bahwa likuidasi kolonialisme Belanda disebabkan oleh dua kekuatan utama setelah Perang Dunia II masalah kolonial menjadi masalah dunia internasional, nasionalisme dapat menggerakkan kekuatannya untuk melawan kembalinya kolonialisme.

2.3  Dampak dari Kebijakan Politik Kolonial Belanda bagi Bangsa Indonesia
Pelaksanaan politik etis di Indonesia yang dilatar belakangi oleh munculnya kaum humanisme, yang pada dasarnya merupakan program balas budi dari pihak Belanda atas pengorbanan Bangsa Indonesia yang telah dirampas kekayaannya oleh Belanda. Dengan adanya politik etis, Rakyat Indonesia mendapatkan kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Program tersebut telah melahirkan benih-benih kaum terpelajar yang kelak akan memelopori pergerakan kebangsaan Indonesia. Dari sinilah muncul kesadaran rakyat Indonesia, bahwa untuk mengusir penjajahan, mereka harus menggalang persatuan dan kesatuan bangsa.
Penderitaan Rakyat Indonesia akibat berbagai kebijakan yang diterapkan dalam sistem kolonialisme yang berupa monopoli perdagangan, tanam paksa, dan kerja paksa sudah tidak dapat ditolelir lagi. Sumber kekayaan alam Indonesia terus dieksploitasi untuk mengisi kas keuangan Belanda. Rakyat Indonesia depekerjakan tanpa upah atau diperlakukan secara tidak layak. Kenyataan tersebut sungguh ironis, Rakyat Indonesia yang bekerja keras, sedangkan Belanda yang menikmatinya.
Penderitaan yang dialami Bangsa Indonesia telah menimbulkan reaksi, baik dari pihak Bangsa Indonesia sendiri maupun dari pihak Belanda, terutama orang orang Belanda yang menaruh simpati terhadap penderitaan Bangsa Indonesia, yang disebut dengan golongan liberalis dan humanis. Mereka menentang sistem tanam paksa yang berlaku pada saat itu. Sistem tanam paksa merupakan sistem yang menindas, mengeksploitasi dan memperlakukan rakyat Indonesia secara tidak adil.
  1. Kebijakan Pemerintah Kolonial Portugis
a)      Berusaha menanamkan kekuasaan di Maluku.
b)      Menyebarkan agama Katolik di daerah-daerah yang dikuasai.
c)      Mengembangkan bahasa dan seni musik keroncong Portugis.
d)      Sistem monopoli perdagangan cengkih dan pala di Ternate.
Pengaruh yang ditimbulkan dari kebijakan-kebijakan Portugis:
a)      Terganggu dan kacaunya jaringan perdagangan.
b)      Banyaknya orang-orang beragama Katolik di daerah pendudukan Portugis.
c)      Rakyat menjadi miskin dan menderita.
d)      Tumbuh benih rasa benci terhadap kekejaman Portugis.
e)      Munculnya rasa persatuan dan kesatuan rakyat Maluku untuk menentang Portugis.
f)       Bahasa Portugis turut memperkaya perbendaharaan kata/ kosakata dan nama keluarga seperti da Costa, Dias, de Fretes, Mendosa, Gonzalves, da Silva, dan lain-lain.
g)      Seni musik keroncong yang terkenal di Indonesia sebagai peninggalan Portugis adalah keroncong Morisco.
h)      Banyak peninggalan arsitektur yang bercorak Portugis dan senjata api atau meriam di daerah pendudukan.

  1. Dampak dari kebijakan VOC
a)      Bangsa Indonesia mengalami kerugian dan penderitaan.
b)      Kekuasaan raja menjadi berkurang atau bahkan didominasi secara keseluruhan oleh VOC.
c)      Wilayah kerajaan terpecah-belah dengan melahirkan kerajaan dan penguasa baru dibawah kendali VOC.
d)      Hak Octroi (istimewa) VOC, membuat masyarakat Indonesia menjadi miskin, menderita, mengenal ekonomi uang, mengenal sistem pertahanan benteng, etika perjanjian dan prajurit bersenjata modern (senjata api, meriam).
e)      Pelayaran Hongi, bagi penduduk Maluku khususnya, dapat dikatakan sebagai suatu perampasan, perampokan, pemerkosaan, perbudakan, dan pembunuhan.
f)       Hak Ekstirpasi bagi rakyat merupakan ancaman matinya suatu harapan atau sumber penghasilan yang bisa berlebih.

  1. Dampak dari kebijakan Deandles
Dalam upaya mempertahankan Pulau Jawa, Daendels melakukan hal-hal berikut:
a)      Membangun ketentaraan, pendirian tangsi-tangsi atau benteng, pabrik mesiu atau senjata di Semarang dan Surabaya serta rumah sakit tentara.
b)      Membuat jalan pos dari Anyer sampai Panarukan dengan panjang sekitar 1.000 km.
c)      Membangun pelabuhan di Anyer dan Ujung Kulon untuk kepentingan perang.
d)      Memberlakukan kerja rodi atau kerja paksa untuk membangun pangkalan tentara.
Kebijakan-kebijakan yang diberlakukan Daendels terhadap kehidupan rakyat:
a)      Semua pegawai pemerintah menerima gaji tetap dan mereka dilarang melakukan kegiatan perdagangan.
b)      Melarang penyewaan desa, kecuali untuk memproduksi gula, garam, dan sarang burung.
c)      Melaksanakan contingenten yaitu pajak dengan penyerahan hasil bumi.
d)      Menetapkan verplichte leverantie, kewajiban menjual hasil bumi hanya kepada pemerintah dengan harga yang telah ditetapkan.
e)      Menerapkan sistem kerja paksa (rodi) dan membangun ketentaraan dengan melatih orang-orang pribumi.
f)       Membangun jalan pos dari Anyer sampai Panarukan sebagai dasar pertimbangan pertahanan.
g)      Membangun pelabuhan-pelabuhan dan membuat kapal perang berukuran kecil.
h)      Melakukan penjualan tanah rakyat kepada pihak swasta (asing).
i)       Mewajibkan Prianger stelsel, yaitu kewajiban rakyat Priangan untuk menanam kopi.
Langkah-langkah kebijakan Daendels yang memeras dan menindas rakyat menimbulkan:
a)      kebencian yang mendalam baik dari kalangan penguasa daerah maupun rakyat,
b)      Munculnya tanah-tanah partikelir yang dikelola oleh pengusaha swasta,
c)      Pertentangan/perlawanan penguasa maupun rakyat,
d)      Kemiskinan dan penderitaan yang berkepanjangan,
e)      Pencopotan Daendels.
Pada tahun 1810, Kaisar Napoleon menganggap bahwa tindakan Daendels sangat otoriter. Pada tahun 1811 Daendels ia ditarik kembali ke Negeri Belanda dan digantikan oleh Gubernur Jenderal Janssens. Ternyata Janssens tidak secakap dan sekuat Daendels dalam melaksanakan tugasnya. Ketika Inggris menyerang Pulau Jawa, ia menyerah dan harus menandatangani perjanjian di Tuntang pada tanggal 17 September 1811.

4.      Dampak kebijakan Raffles
Raffles bermaksud menerapkan politik kolonial seperti yang dijalankan oleh Inggris di India. Kebijakan Daendels yang dikenal dengan nama Contingenten diganti dengan sistem sewa tanah (Landrent). Sistem sewa tanah disebut juga sistem pajak tanah. Rakyat atau para petani harus membayar pajak sebagai uang sewa, karena semua tanah dianggap milik negara. Pokok-pokok sistem Landrent:
a)      Penyerahan wajib dan wajib kerja dihapuskan.
b)      Hasil pertanian dipungut langsung oleh pemerintah tanpa perantara bupati.
c)      Rakyat harus menyewa tanah dan membayar pajak kepada pemerintah sebagai pemilik tanah.
Dalam pelaksanaannya, sistem Landrent di Indonesia mengalami kegagalan, karena:
a)      Sulit menentukan besar kecilnya pajak untuk pemilik tanah yang luasnya berbeda,
b)      Sulit menentukan luas sempit dan tingkat kesuburan tanah,
c)      Terbatasnya jumlah pegawai, dan
d)      Masyarakat pedesaan belum terbiasa dengan sistem uang.
Tindakan yang dilakukan oleh Raffles berikutnya adalah membagi wilayah Jawa menjadi 16 daerah karesidenan. Hal ini mengandung maksud untuk mempermudah pemerintah melakukan pengawasan terhadap daerah-daerah yang dikuasai. Setiap karesidenan dikepalai oleh seorang residen dan dibantu oleh asisten residen. Thomas Stamford Raffles juga memberi sumbangan positif bagi Indonesia yaitu:
a)      Membentuk susunan baru dalam pengadilan yang didasarkan pengadilan Inggris,
b)      Menulis buku yang berjudul History of Java,
c)      Menemukan bunga Rafflesia-arnoldii, dan
d)      Merintis adanya Kebun Raya Bogor.

5.      Dampak Cultuurstelsel atau Sistem Tanam Paksa
Cultuurstelsel dalam bahasa Inggris adalah Cultivation System yang memiliki arti sistem tanam. Namun di Indonesia cultuurstelsel lebih dikenal dengan istilah tanam paksa. Ini cukup beralasan diartikan seperti itu karena dalam praktiknya rakyat dipaksa untuk bekerja dan menanam tanaman wajib tanpa mendapat imbalan. Tanaman wajib adalah tanaman perdagangan yang laku di dunia internasional seperti kopi, teh, lada, kina, dan tembakau. Cultuurstelsel diberlakukan dengan tujuan memperoleh pendapatan sebanyak mungkin dalam waktu relatif singkat. Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam sistem tanam paksa:
a)      Tanah yang harus diserahkan rakyat cenderung melebihi dari ketentuan 1/5.
b)      Tanah yang ditanami tanaman wajib tetap ditarik pajak.
c)      Rakyat yang tidak punya tanah garapan ternyata bekerja di pabrik atau perkebunan lebih dari 66 hari atau 1/5 tahun.
d)      Kelebihan hasil tanam dari jumlah pajak ternyata tidak dikembalikan.
e)      Jika terjadi gagal panen ternyata ditanggung petani.
Adanya berita kelaparan menimbulkan berbagai reaksi, baik dari rakyat Indonesia maupun orang-orang Belanda. Rakyat selalu mengadakan perlawanan tetapi tidak pernah berhasil. Penyebabnya bergerak sendiri-sendiri secara sporadis dan tidak terorganisasi secara baik. Reaksi dari Belanda sendiri yaitu adanya pertentangan dari golongan liberal dan humanis terhadap pelaksanaan sistem tanam paksa. Pada tahun 1860, Edward Douwes Dekker yang dikenal dengan nama samaran Multatuli menerbitkan sebuah buku yang berjudul “Max Havelar”.
Buku ini berisi tentang keadaan pemerintahan kolonial yang bersifat menindas dan korup di Jawa. Di samping Douwes Dekker, juga ada tokoh lain yang menentang tanam paksa yaitu Baron van Hoevel, dan Fransen van de Putteyang menerbitkan artikel “Suiker Contracten” (perjanjian gula). Menghadapi berbagai reaksi yang ada, pemerintah Belanda mulai menghapus sistem tanam paksa, namun secara bertahap. Sistem tanam paksa secara resmi dihapuskan pada tahun 1870 berdasarkan UU Landreform (UU Agraria). Meskipun tanam paksa sangat memberatkan rakyat, namun di sisi lain juga memberikan pengaruh yang positif terhadap rakyat. Dampak positif tanam paksa:
a)      Terbukanya lapangan pekerjaan,
b)      Rakyat mulai mengenal tanaman-tanaman baru, dan
c)      Rakyat mengenal cara menanam yang baik.






BAB 3. SIMPULAN

Dari pembahasan makalah di atas maka kesimpulannya adalah sebagai berikut :
Politik Imperialisme yang dijalankan oleh Belanda pada tahun 1850 sampai 1900, mengandung berbagai macam pengertian. Abad ke-19 merupakan suatu periode baru bagi imperialisme Belanda yang ditandai oleh politik kolonial. Semula kepentingan-kepentingan Belanda terbatas pada perdagangan, maka dalam periode ini Belanda mulai mengutamakan kepentingan politik. Belanda membutuhkan hasil-hasil daerah tropis dan mendapatkannya secara pemungutan upeti, sebaliknya orang-orang Inggris menjual kain-kain tenun sebagai hasil dari Revolusi Industri.
Sitem liberal memperoleh kesempatan untuk pertama kalinya pada zama Raffles, selama Interregnum Inggris. Pemerintahan Letnan Gurbernur Jendral Thomas Stafford Rafflles (1811-1816) mengadakan suatu sistem administrasi yang sejajar dengan doktrin-doktrin liberal. Raja Belanda adalah Johanes Van Den Bosch segera berangkat ke Pulau Jawa untuk mewujudkan pemikiran tentang pola atau sitem penanaman (Cultuurstelsel 1830-1870). Gagasan-gagasan baru mengenai fungsi jajahan:
a.       Politik Etis
b.       Emigras
c.       Edukasi
d.       Politik Kemakmuran
e.       Perubahan Pemeintahan atau administrasi
f.        UUD
g.       Tata Negara 1925
Pelaksanaan politik etis di Indonesia yang dilatar belakangi oleh munculnya kaum humanisme, yang pada dasarnya merupakan program balas budi dari pihak Belanda atas pengorbanan Bangsa Indonesia yang telah dirampas kekayaannya oleh Belanda. Penderitaan yang dialami Bangsa Indonesia telah menimbulkan reaksi, baik dari pihak Bangsa Indonesia sendiri maupun dari pihak Belanda, terutama orang orang Belanda yang menaruh simpati terhadap penderitaan Bangsa Indonesia, yang disebut dengan golongan liberalis dan humanis.


















DAFTAR PUSTAKA

Nugroho Notosusanto, Marwati Djoened Poesponegoro. 1993. Sejarah Nasional Indonesia IV.     Jakarta : Balai Pustaka.
Pringgodigdo, A.K. 1964. Sejarah Pergerakan Rakyat indonesia. Jakarta : Pustaka Rakyat.
Suhartono. 2001. Sejarah Pergerakan Nasional “dari Budi Utomo sampai Proklamasi Kemerdekaan 1908-1945”. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.